"Oke, aku panggilkan. Kalau moodmu nanti rusak karenanya, jangan salahkan aku. Ingat, sudah sudah memperingatkanmu lebih dulu." Padma mengancam Tirta."Iya, sayangku nan cantik jelita. Aku yang akan menanggung resikonya." Tirta melambaikan tangannya.Sementara Padma, ia mencari sang bulik yang sedang mengomeli Bik Parni di dapur. Seperti biasa. Ada saja pekerjaan Bik Parni yang tidak berkenan di hatinya."Bulik dicari Mas Tirta di depan." Ogah-ogahan Padma memanggil sang bulik."Ngapain dia mencariku? Aku 'kan tidak punya hutang padanya?" Berbalik badan Bulik Fatimah menyahuti Padma ketus."Padma tidak tahu, Bulik. Dia cuma bilang ingin bertemu dengan Bulik." Padma sudah mempunyai firasat yang tidak enak. Jangan-jangan Bulik Padma akan mengomeli Tirta nantinya."Mau apa sih anak itu? Mengganggu orang kerja saja!" Bulik Fatimah mencuci tangan dan bergegas ke depan. Ketidakramahan tergambar jelas pada air mukanya. Padma buru-buru mensejajarinya langkah sang Bulik. Agar saat terjadi apa-
"Rame banget ya, Mas? Kata Mas cuma selamatan kecil-kecilan." Padma gentar melihat banyaknya mobil-mobil mewah di halaman rumah Tirta. Bukan hanya di halaman. Sebagian juga terparkir rapi di sisi jalan. "Rame memang. Tapi mereka semuanya kerabatku kok. Tidak ada yang perlu kamu takutkan." Tirta melajukan kendaran langsung ke garasi. Tidak ada tempat kosong lagi di halaman."Ayo kita masuk." Sembari membuka sabuk pengaman, Tirta menegur Padma yang masih duduk tegang di dalam mobil."Ayo, Ma. Kenapa kamu masih bengong di situ?" Tirta menjawil cuping hidung Padma."Aku takut mengacaukan acara orang tuamu, Mas. Aku memang bukan gadis nakal atau pun istri orang. Tapi aku janda dan mandul pula." Padma mengungkapkan kekhawatirannya. "Masalah ini sudah kita bahas berulang kali bukan? Jangan mbulet di situ-situ lagi ah.""Berulang kali dibahas tapi berulang kali juga aku takut, Mas.""Percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Memang tidak mudah. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Ayo, kita ha
Hening. Semua orang seakan-akan tidak mempercayai mata dan telinga mereka sendiri. Bagaimana tidak? Tirta si bujang lapuk yang biasanya dingin terhadap perempuan, bisa berubah seperti ini, seratus delapan puluh derajat. Hingga ada satu orang yang bertepuk tangan kencang. Orang itu adalah Herman."Tepuk tangan dong semuanya. Masa kalian semua tidak menyelamati Mas Tirta sih?" Herman mengompori kerabat-kerabatnya. Istri dan anaknya yang masih balita mulai bertepuk tangan. Satu orang menyusul. Satu lagi... lagi dan lagi. Hingga akhirnya semua tamu bertepuk tangan dan mengucapkan selamat. Termasuk Bu Nani, Pak Cahyono, Erina dan kedua orang tua Ninis. Menyisakan Ninis yang tampak sibuk dengan ponselnya. Ia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Herman."Tidak ada yang perlu kamu takutkan bukan?" Tirta tersenyum pada Padma di antara gegap gempita riuhnya tepuk tangan."Iya, Mas." Padma mengangguk. Dalam hati Padma berkata ; belum. Bukan tidak ada. Tapi ia menyimpan bantahannya
"Zaman sekarang ngeri ya, Mbak? Banyak sekali orang yang tidak tahu malu. Sudah tidak tahu malu, eh tidak tahu diri lagi." Ninis menyenggol bahu Ratna, istri Herman. Saat ini duduk berdekatan dengan Ratna, Padma dan juga Erina."Maksudmu apa sih, Nis? Mbak nggak ngerti. Kamu ini bicara kok ya tidak ada ujung pangkalnya." Ratna menanggapi sekedarnya. Ia bukan type orang yang suka bergosip."Maksudku. Banyak orang yang tidak tahu malu. Pede banget terang-terangan menggoda calon suami orang. Padahal bentukannya kombinasi antara gajah bengkak sama ular kobra." Ninis dengan sengaja mempeleroki Padma saat mengucapkan kata gajah dan ular kobra."Ngerti 'kan sekarang, Mbak? Masa nggak ngerti." Ninis menaikturunkan alisnya. Ekspresinya jelas-jelas meledek Padma. Dia sudah lama menunggu kesempatan ini. Di mana si mbak-mbak janda ini sendirian. Dengan begitu ia bisa membantainya sampai puas. Saat di parkiran rumah sakit dulu, ada Tirta yang membelanya. Kalau sekarang, Tirta pasti sedang dicerama
"Ya, Ma. Ada apa?" Tirta mendekat. Dari kejauhan ia memang sempat melihat kalau Ninis, Erina dan Padma tengah berbincang seru. Hanya saja ia tidak mengetahui apa yang menjadi bahan obrolan keempatnya."Ini lho, Mas. Ninis dan Erina... ingin mengucapkan selamat padaku." Padma membelokkan topik pembicaraan. Ia nyaris bisa mendengar suara napas tertahan yang dilepaskan. Ninis dan Erina menghembuskan nafas lega bersamaan. Keduanya lega karena Padma tidak mengatakan hal yang sebenarnya."Oh, aku kira mereka berdua mencari ribut denganmu," pungkas Tirta curiga. Ia ikut duduk di samping Padma."Tadinya," Padma sengaja menggantung kalimatnya. Ia sengaja membuat Ninis dan Erina penasaran."Tadinya apa?" Tirta mengernyitkan kening. Ninis dan Erina tidak lagi cemas. Mereka santai-santai saja. Mereka tahu bahwa Padma hanya mengeprank mereka. Buktinya Padma tidak sedikit pun menyinggung aksi mereka bedua tadi."Tadinya mereka berdua mengeroyokku. Ninis mengatai aku pelakor yang bentukannya seperti
"Mbak Padma kenapa sih? Dari tadi Bibik perhatikan, kok mandar-mandir terus di pintu kamar kerja bapak." Bik Parni menegur Padma. Ia heran melihat majikannya mondar mandir seperti orang linglung."Nggak apa-apa, Bik. Sebenarnya saya ingin berbicara dengan bapak. Tapi takutnya saya malah mengganggu." Padma mencari alasan."Kayaknya nggak sih, Mbak. Kalau masih jam-jam segini, bapak paling cuma memeriksa berkas-berkas bon di toko hari ini. Ini Bibik disuruh bikin kopi." Bik Parni mengangkat nampan dengan secangkir kopi di atasnya."Baiklah kalau begitu. Sini kopinya biar saya saja yang mengantar." Padma mengambil alih nampan dari tangan Bik Parni."Yo, wes. Hati-hati mengangkatnya. Nanti tumpah.""Iya, Bik. Tenang saja."Padma menarik napas panjang dua kali sebelum mengetuk pintu."Ya, masuk saja, Bik." Padma mendorong pintu dengan bahunya setelah ayahnya menjawab."Lho kamu toh yang mengantar kopi, Nduk. Tumben. Apa ada hal penting yang ingin kamu bicarakan." Pak Manan menggeser tumpuk
"Iya, Mas. Baru saja. Makanya aku agak bingung," adu Padma resah."Bingung bagaimana? Apa ayahmu tidak setuju?" tanya Tirta cemas."Bapak bilang, ia akan menjawabnya setelah bertemu dengan Mas. Duh, aku jadi deg-deg-an, Mas. Jangan-jangan Bapak tidak setuju lagi," ujar Padma lesu. Rasanya baru kemarin ia meminta izin ayahnya untuk menikah dengan Dimas dan ditolak. Jangan-jangan kali ini keinginannya juga tidak akan dikabulkan."Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu ah. Mungkin ayahmu tidak yakin dengan niatku. Makanya ia belum memberi jawaban langsung. Ayahmu takut kamu jatuh ke lubang yang sama dua kali." Tirta menghibur Padma yang galau."Mungkin juga ya, Mas." Padma mendecakkan lidah."Ya sudah. Daripada kita menduga yang tidak-tidak, aku temui saya ayahmu. Doakan agar aku berhasil meyakinkan ayahmu ya, Sayang?" Tirta mengelus sekilas puncak kepala Padma."Sayang... sayang... nanti kedengaran orang lain, Mas. Malu. Kita bukan abege lagi," sungut Padma."Biar saja. Aku memang sayang
"Yes, berhasil!"Padma meninju-ninju udara tatkala timbangannya menunjukkan angka enam puluh tiga kilogram. Itu artinya ia berhasil memangkas berat badannya sebanyak lima kilogram lagi. Pantas saja beberapa bajunya sudah terasa longgar. Padahal baru dua bulan yang lalu ia membelinya. Diet ketat dan olahraga konsistennya selama tiga minggu ini telah membuahkan hasil. Ia memang sengaja diet ketat agar saat pernikahannya nanti, ia bisa tampil manglingi."Ya, masuk saja," seru Padma tatkala mendengar suara ketukan pintu. Kepala Nunik nongol di ambang pintu."Udah, Mbak. Nggak usah ditimbang lagi. Akhir-akhir ini aku merasa Mbak Padma makin langsing." Nunik masuk ke dalam kamar. Pandangannya tercurah pada kosmetik yang berjajar rapi di meja rias. Padma sekarang memang suka berdandan."Semua hal itu harus ada pembuktiannya, Nik. Tidak bisa main rasa-rasa saja. Makanya diciptakanlah timbangan. Supaya angkanya signifikan." Padma turun dari timbangan."Yang pasti angka Mbak turun 'kan? Bukan h