"Sebenarnya aku sudah sangat lama menyukaimu. Jauh... jauh sebelum kamu mengenal Dimas. Aku sudah menyukaimu saat kamu masih berseragam putih biru dan aku putih abu-abu. Aku suka memandangimu saat kamu ikut dengan Pak Manan membeli kendaraan. Aku bahkan siap siaga ikut ayahku ke showroom setiap tanggal 5 tiap bulannya. Karena aku tahu, kamu pasti akan datang ke showroom untuk membayar cicilan mobil bersama ayahmu. Kamu adalah cinta monyetku, Ma." Tirta mengungkapkan rahasia masa lalunya.Begitu rupanya."Tapi aku tidak pernah melihat rasa cintamu, baik waktu itu mau pun sekarang, Mas. Yang aku lihat adalah seorang anak remaja tanggung yang kerap mengusili semua urusanku," ungkap Padma apa adanya."Aku jadi kesal padamu, karena aku tidak sempat mengungkapkan rasa cintaku. Aku tertikung oleh Dimas. Padahal aku sudah lama mengumpulkan niat untuk menembakmu, saat seragammu berubah dari putih biru menjadi putih abu-abu." Tirta bersungut-sungut. Ia sekarang tidak gengsi lagi untuk mengaku.
"Kita sudah sampai, Ma." Tirta menghentikan kendaraan di pintu gerbang TB Berkah Sukses Jaya."Kalau hati sedang gembira, waktu rasanya cepat sekali berlalu ya, Ma?" Tirta meringis. Saat tengah kasmaran begini, perasaannya jadi lebih peka. Sekarang ia tidak berani lagi mencibir lagu-lagu cinta yang liriknya dulu ia anggap lebay. Karena sekarang ia mengalami perasaan yang sama persis dengan lagu-lagu itu."Iya, Mas. Karena kita sedang bahagia. Alam bawah sadar kita jadi tidak ingin moment ini berlalu. Makanya waktu jadi terasa singkat." Padma menimpali kata-kata Tirta sambil mengangkat jemarinya. Sedari di kafe tadi, tidak bosan-bosannya ia menatap cincin indah di jari manisnya. Aksi kekanakannya membuat Tirta tersenyum."Kamu senang sekali ya aku beri cincin?" Tirta mengelus sayang ubun-ubun Padma."Senang banget, Mas. Akhirnya ada orang yang membelikan aku sesuatu yang berharga selain orang tuaku." Padma menggoyang-goyangkan jemarinya. Pantulan lampu di depan gerbang membuat kilauan
"Aku khawatir, Mas. Apakah bijaksana kalau Mas mematahkan hatinya." Menelusuri jalan setapak menuju rumah, Padma mengutarakan keraguannya. "Menurutku sudah waktunya, Ma. Nunik sudah terlalu lama hanya memandangku seorang. Sampai-sampai ia tidak bisa melihat kehadiran orang lain. Ia harus segera disadarkan," terang Tirta."Biarkan nanti kami berdua berbincang-bincang. Aku akan menasehatinya pelan-pelan. Kami akan bicara dari hati ke hati." Tirta menjelaskan maksudnya."Ya sudah kalau menurut Mas begitu." Padma pasrah."Ayo masuk, Mas. Kita langsung ke ruang tamu saja." Padma membawa Tirta menuju ruang tamu. Ia akan menemani Tirta sampai Nunik datang."Biar aku saja yang membawanya, Bik. Minumannya juga. Letakkan saja di baki. Nanti aku akan kembali untuk membawanya." Kesibukan Nunik di dapur terdengar hingga ke ruang tamu. Bagaimana hati Padma tidak makin khawatir."Ini Mas pisang goreng coklat kejunya. Masih hangat lho. Ayo dimakan dulu." Ninik menghidangkan makanan kecil dengan mat
Padma memindai jam dinding di dapur. Pukul setengah delapan pagi. Ia tengah menikmati sarapan paginya sendirian. Biasanya ia sarapan pagi bersama dengan Nunik dan Danang sebelum mereka memulai aktivitas. Ayahnya sudah tiga hari ini mengunjungi kerabat yang sedang sakit di luar kota. Sementara Bulik Fatimah berjalan pagi. Sepuluh menit sudah berlalu. Namun ia tidak mendapati sosok Nunik mau pun Danang menghampiri meja makan."Bik, Nunik belum bangun ya?" Penasaran, Padma menanyakan kabar Nunik pada Bik Parni yang tengah mencuci peralatan makan."Sudah kok, Mbak. Bibik rasa Mbak Nunik malah tidak tidur dari semalam." Bik Parni menurunkan nada suaranya menjadi berbisik."Hah, kenapa?" Padma ikut berbisik. Bik Parni mengelap tangan basahnya dulu sebelum menoleh ke lorong. Yakin keadaan aman, barulah ia duduk di sebelah Padma."Bibik nggak tahu pasti kenapanya, Mbak. Yang jelas, Bibik mendengar suara tangisan dari kamar Mbak Nunik setelah Mas Tirta pulang. Terus pukul setengah lima dini ha
"Nik. Mbak ini tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, kalau Bapak, amit-amit pergi, Mbak tinggal sendirian." Suara Padma bergetar."Mbak bahkan tidak bisa memiliki anak. Mbak nantinya akan benar-benar sendirian kalau tidak punya pasangan. Makanya Mbak memutuskan untuk menerima lamaran Mas Tirta, karena ia sudah tahu dan bersedia menerima kekurangan, Mbak. Menurutmu, Mbak jahat karena menerima lamarannya?" Air mata kini menganak sungai di kedua bola mata Padma. Ia kesulitan membayangkan masa senjanya dalam kesendirian.Hening.Tidak ada satu orang pun yang berbicara. Hanya suara detak jam yang bergerak konstan di dapur yang senyap."Mbak, nggak munafik. Mbak juga nggak jahat. Aku yang belum bisa menerima kenyataan. Padahal aku sudah tahu, kalau Mas Tirta itu menyukai Mbak. Aku hanya pura-pura tidak tahu, karena tidak ingin menerima kenyataan itu," ucap Nunik pelan. Hati nuraninya berhasil melampaui egonya. Akhirnya ia berbesar hati mengakui kekalahannya."Aku iri dengan keberuntu
"Lipstik gue kayaknya ketebelan deh ini, Wil." Padma ngeri melihat bibirnya merah membara. Saat ini Wilma dan Ririn tengah mendandaninya di kamar. Malam ini Tirta akan membawanya ke rumah orang tuanya. Ibunya mengadakan selamatan kecil-kecilan atas ulang tahun pernikahan mereka yang ke-38. Tirta memintanya untuk tampil maksimal hari ini. Makanya ia meminta Wilma dan Ririn untuk membantunya."Kagak, Ma. Dandanan lo ini natural banget. Nah, supaya seimbang, lipstick lo emang harus cetar. Kayak nih liat, sesembak Taylor Swift." Wilma membuka galeri photo di ponselnya. Memperlihatkan lipstick merah menyala penyanyi country terkenal sedunia."Iya, sih. Tapi gue kayak merasa muka gue jadi gimana gitu ya?" Padma kesulitan mendeskripsikan kalimatnya. "Jadi judes-judes seksi kan? Hehehe. Menurut gue juga gitu. Lo nampak menggoda banget, Ma. Apalagi karena lo pake kebaya model koset begini. Lekuk liku body lo seksi abis." Wilma membuat gerakan seperti jam pasir."Astaga, pujian lo membuat gue
"Oke, aku panggilkan. Kalau moodmu nanti rusak karenanya, jangan salahkan aku. Ingat, sudah sudah memperingatkanmu lebih dulu." Padma mengancam Tirta."Iya, sayangku nan cantik jelita. Aku yang akan menanggung resikonya." Tirta melambaikan tangannya.Sementara Padma, ia mencari sang bulik yang sedang mengomeli Bik Parni di dapur. Seperti biasa. Ada saja pekerjaan Bik Parni yang tidak berkenan di hatinya."Bulik dicari Mas Tirta di depan." Ogah-ogahan Padma memanggil sang bulik."Ngapain dia mencariku? Aku 'kan tidak punya hutang padanya?" Berbalik badan Bulik Fatimah menyahuti Padma ketus."Padma tidak tahu, Bulik. Dia cuma bilang ingin bertemu dengan Bulik." Padma sudah mempunyai firasat yang tidak enak. Jangan-jangan Bulik Padma akan mengomeli Tirta nantinya."Mau apa sih anak itu? Mengganggu orang kerja saja!" Bulik Fatimah mencuci tangan dan bergegas ke depan. Ketidakramahan tergambar jelas pada air mukanya. Padma buru-buru mensejajarinya langkah sang Bulik. Agar saat terjadi apa-
"Rame banget ya, Mas? Kata Mas cuma selamatan kecil-kecilan." Padma gentar melihat banyaknya mobil-mobil mewah di halaman rumah Tirta. Bukan hanya di halaman. Sebagian juga terparkir rapi di sisi jalan. "Rame memang. Tapi mereka semuanya kerabatku kok. Tidak ada yang perlu kamu takutkan." Tirta melajukan kendaran langsung ke garasi. Tidak ada tempat kosong lagi di halaman."Ayo kita masuk." Sembari membuka sabuk pengaman, Tirta menegur Padma yang masih duduk tegang di dalam mobil."Ayo, Ma. Kenapa kamu masih bengong di situ?" Tirta menjawil cuping hidung Padma."Aku takut mengacaukan acara orang tuamu, Mas. Aku memang bukan gadis nakal atau pun istri orang. Tapi aku janda dan mandul pula." Padma mengungkapkan kekhawatirannya. "Masalah ini sudah kita bahas berulang kali bukan? Jangan mbulet di situ-situ lagi ah.""Berulang kali dibahas tapi berulang kali juga aku takut, Mas.""Percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Memang tidak mudah. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Ayo, kita ha