Padma menoleh ke belakang. Ternyata memang Tirta. Bukan itu saja. Wilma, Ririn dan Yesi tampak tersenyum-senyum tidak jelas."Lho, kok Mas bisa ada di sini?" seru Padma kaget."Ya bisa lah. Namanya juga tempat umum. Sini sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Tirta berusaha melepaskan pegangan tangan Michael."Tunggu dulu." Michael mempertahankan cengkramannya."Kamu belum memberitahuku nomor teleponmu." Michael terus menuntut."Untuk apa sih, Dek? Toh, nanti saya juga akan ke sini lagi." Padma berusaha menarik lengannya. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Di mana Tirta dan Michael sama-sama memegangi satu lengannya. Wilma, Ririn dan Yesi membuat gerakan huruf O sambil bertepuk tangan kecil."Kok untuk apa. Ya agar saya bisa memantau hasil program kamu dong." Michael mempertahankan cengkraman tangannya."Kamu ikut program apa memangnya, Ma?" Tirta mengernyitkan alisnya."Itu, program 100 days to get better. Pengalaman pribadi Dek Michael ini saat kelebihan berat bad
"Kok kita ke mall sih, Mas? Memang pertemuannya sambil belanja gitu?" Padma heran saat Tirta membelokkan mobil ke sebuah mall."Kamu mau belanja?" Tirta balik bertanya."Ya nggak lah. 'Kan aku belum kurus."Ups, ia keceplosan."Apa hubungannya antara belum kurus dengan tidak belanja? Agak lain kamu ini memang." Tirta menghidupkan lampu tangan saat sebuah mobil terlihat akan keluar dari parkiran."Beruntung banget kita hari ini ya, Mas." Padma mencoba mengalihkan pembicaraan."Beruntung kenapa?" Tirta melajukan kendaraan setelah mobil yang ia tunggu keluar dari lot parkir. Baru setelahnya ia mematikan mesin mobil."Aku meminta pertemuan di mall agar cepat selesai. Kafe di mall itu ramai. Jennifer pasti tidak betah duduk lama-lama di sana." Tirta memberi alasan. Padma nyengir. Jennifer memang tidak menyukai kebisingan."Temani aku ke satu tempat dulu, baru kita menemui Jennifer ya. Ada waktu sekitar satu jam lagi.""Oke, Mas." Padma mengangguk. Keduanya kemudian keluar dari mobil dan be
"Kami ada tiga contoh cincin model terbaru yang cocok sekali untuk pernikahan. Model-modelnya simple namun sangat elegant. Cocok dengan Ibu. Misalnya seperti cincin model solitaire ini." Sang pramuniaga mengeluarkan sepasang cincin bermata satu."Atau yang model three-stone seperti ini. Dan yang model bezel ini juga bagus." Sang pramuniaga mengeluarkan masing-masing cincin yang ia sebutkan namanya."Tidak usah dikeluarkan semua, Mbak." Padma buru-buru menolak."Kalau tidak dikeluarkan, bagaimana bisa kamu coba, Ma." Tirta mengangguk ke arah pramuniaga. Memberi kode bahwa ia menyetujui aksi si pramuniaga."Ayo dicoba dulu cincin-cincinnya, Bu. Ketiganya adalah cincin- incin terbaik yang sedang best seller saat ini." Sang pramuniaga meyakinkan Padma."Pilihlah yang terbaik dan sesuai dengan seleramu, Ma. Jangan mengecewakan orang yang akan mengenakannya nanti," bujuk Tirta lembut.Rasa-rasanya malah aku yang kecewa, Mas. Aku seperti mempersembahkan mimpiku untuk orang lain. Eh bangun, M
Setelah hampir enam bulan bekerja di PT Karya Graha Mandiri, untuk pertama kalinya Padma tidak fokus dalam bekerja. Tanpa bisa ia kontrol, benaknya terus menebak-nebak, siapa kiranya perempuan yang akan dinikahi oleh Tirta."Bagaimana menurutmu, Ma?" Tirta tiba-tiba saja bertanya pada Padma."Hah, maksudnya bagaimana, Mas?" Padma kelimpungan. Ia jadi merasa tidak enak karena terkesan tidak cekatan."Bu Jenni ingin mengubah model karpetnya. Dari yang bentuknya persegi panjang ini menjadi oval?" Tirta menunjuk objek di layar laptop."Tambah bagus 'kan, Mbak? Jadinya rasanya lebih hangat dan tidak kaku." Jennifer ikut menunjuk layar laptop."Begini ya, Bu Jenni. Menurut disiplin ilmu interior, karpet berbentuk bulat memang bisa menghadirkan rasa hangat dan intim. Namun, ada beberapa ruangan yang tidak cocok menggunakan karpet jenis ini. Contohnya ya ruangan cluster kita yang type ini." Padma memberi pengertian pada Jennifer. Mendengar sanggahannya, air muka Jennifer seketika berubah keru
"Sebenarnya aku sudah sangat lama menyukaimu. Jauh... jauh sebelum kamu mengenal Dimas. Aku sudah menyukaimu saat kamu masih berseragam putih biru dan aku putih abu-abu. Aku suka memandangimu saat kamu ikut dengan Pak Manan membeli kendaraan. Aku bahkan siap siaga ikut ayahku ke showroom setiap tanggal 5 tiap bulannya. Karena aku tahu, kamu pasti akan datang ke showroom untuk membayar cicilan mobil bersama ayahmu. Kamu adalah cinta monyetku, Ma." Tirta mengungkapkan rahasia masa lalunya.Begitu rupanya."Tapi aku tidak pernah melihat rasa cintamu, baik waktu itu mau pun sekarang, Mas. Yang aku lihat adalah seorang anak remaja tanggung yang kerap mengusili semua urusanku," ungkap Padma apa adanya."Aku jadi kesal padamu, karena aku tidak sempat mengungkapkan rasa cintaku. Aku tertikung oleh Dimas. Padahal aku sudah lama mengumpulkan niat untuk menembakmu, saat seragammu berubah dari putih biru menjadi putih abu-abu." Tirta bersungut-sungut. Ia sekarang tidak gengsi lagi untuk mengaku.
"Kita sudah sampai, Ma." Tirta menghentikan kendaraan di pintu gerbang TB Berkah Sukses Jaya."Kalau hati sedang gembira, waktu rasanya cepat sekali berlalu ya, Ma?" Tirta meringis. Saat tengah kasmaran begini, perasaannya jadi lebih peka. Sekarang ia tidak berani lagi mencibir lagu-lagu cinta yang liriknya dulu ia anggap lebay. Karena sekarang ia mengalami perasaan yang sama persis dengan lagu-lagu itu."Iya, Mas. Karena kita sedang bahagia. Alam bawah sadar kita jadi tidak ingin moment ini berlalu. Makanya waktu jadi terasa singkat." Padma menimpali kata-kata Tirta sambil mengangkat jemarinya. Sedari di kafe tadi, tidak bosan-bosannya ia menatap cincin indah di jari manisnya. Aksi kekanakannya membuat Tirta tersenyum."Kamu senang sekali ya aku beri cincin?" Tirta mengelus sayang ubun-ubun Padma."Senang banget, Mas. Akhirnya ada orang yang membelikan aku sesuatu yang berharga selain orang tuaku." Padma menggoyang-goyangkan jemarinya. Pantulan lampu di depan gerbang membuat kilauan
"Aku khawatir, Mas. Apakah bijaksana kalau Mas mematahkan hatinya." Menelusuri jalan setapak menuju rumah, Padma mengutarakan keraguannya. "Menurutku sudah waktunya, Ma. Nunik sudah terlalu lama hanya memandangku seorang. Sampai-sampai ia tidak bisa melihat kehadiran orang lain. Ia harus segera disadarkan," terang Tirta."Biarkan nanti kami berdua berbincang-bincang. Aku akan menasehatinya pelan-pelan. Kami akan bicara dari hati ke hati." Tirta menjelaskan maksudnya."Ya sudah kalau menurut Mas begitu." Padma pasrah."Ayo masuk, Mas. Kita langsung ke ruang tamu saja." Padma membawa Tirta menuju ruang tamu. Ia akan menemani Tirta sampai Nunik datang."Biar aku saja yang membawanya, Bik. Minumannya juga. Letakkan saja di baki. Nanti aku akan kembali untuk membawanya." Kesibukan Nunik di dapur terdengar hingga ke ruang tamu. Bagaimana hati Padma tidak makin khawatir."Ini Mas pisang goreng coklat kejunya. Masih hangat lho. Ayo dimakan dulu." Ninik menghidangkan makanan kecil dengan mat
Padma memindai jam dinding di dapur. Pukul setengah delapan pagi. Ia tengah menikmati sarapan paginya sendirian. Biasanya ia sarapan pagi bersama dengan Nunik dan Danang sebelum mereka memulai aktivitas. Ayahnya sudah tiga hari ini mengunjungi kerabat yang sedang sakit di luar kota. Sementara Bulik Fatimah berjalan pagi. Sepuluh menit sudah berlalu. Namun ia tidak mendapati sosok Nunik mau pun Danang menghampiri meja makan."Bik, Nunik belum bangun ya?" Penasaran, Padma menanyakan kabar Nunik pada Bik Parni yang tengah mencuci peralatan makan."Sudah kok, Mbak. Bibik rasa Mbak Nunik malah tidak tidur dari semalam." Bik Parni menurunkan nada suaranya menjadi berbisik."Hah, kenapa?" Padma ikut berbisik. Bik Parni mengelap tangan basahnya dulu sebelum menoleh ke lorong. Yakin keadaan aman, barulah ia duduk di sebelah Padma."Bibik nggak tahu pasti kenapanya, Mbak. Yang jelas, Bibik mendengar suara tangisan dari kamar Mbak Nunik setelah Mas Tirta pulang. Terus pukul setengah lima dini ha