Intan sempat terkejut karena bibi Anita sedikit berteriak dengan apa yang dikatakannya. Bibi Anita tidak percaya kalau Indra memohon untuk disetujui menikahi Mellisa dalam waktu dekat. Bagaimana juga dengan ayahnya Abraham, pastilah lebih terkejut."Jangan meremehkan anak ingusan, jaman sekarang anak ingusan lebih cepat dewasa loh. Buktinya mereka memang sudah merasa sanggup untuk menikah.""Sanggup sih sanggup, tapi menikah itu bukannya senang di awal saja? Setelah punya anak maka tanggung jawabnya lebih sangat besar. Kalau cuma bikin anak, kurasa secara alami juga bisa. Tapi kedewasaan itu bisa dilihat dari usianya," celoteh Anita karena merasa kurang setuju dengan berita itu yang mengatakan Indra pengen menikah."Ah sudahlah, ayo kita ke rumah sakit. Aku berharap sungguh bisa menemani Indra ke turnamen di Thailand tanpa memikirkan apapun. Bagiku Indra adalah satu satunya keluargaku, jadi aku berharap dia tidak mengecewakan ayahnya."Merekapun berangkat menuju rumah sakit untuk peme
Intan masih melihat momen itu dari balik kaca. Ia merasa ada yang salah dalam hubungan segitiga ini. Yusac terlihat sangat menyayangi dan sangat perhatian terhadap orang tua Mellisa. Iapun akhirnya pergi dari tempat itu dengan hati bimbang."Nyonya Intan," kata seseorang dari arah belakang.Intan menoleh, melihat dokter Yusac dengan pakaian medisnya berdiri tak jauh darinya."Oh, Dokter. Maaf, saya mengganggu aktivitas anda.""Tidak, masih banyak yang ingin saya katakan, tapi kalau ada hal lain mungkin lain waktu saja."Intan tersenyum, ia juga banyak hal yang akan dibicarakan. Masalah Indra dan Mellisa masih menjadi ganjalan di hati dan pikirannya. Lalu mereka mengobrol di sudut ruangan rumah sakit."Dokter Yusac menjadi dokter pribadi ayah Mellisa, sepertinya sangat wajar kalau Mellisa berbaik sangka dan membalas budi dengan apa yang dokter lakukan," Intan memulai percakapan."Andai dikatakan membalas budi, bukankah itu terlalu egois untuk Mellisa. Apa jadinya kalau Mellisa mengang
Mellisa masih menunggu apa yang dikatakan Intan, akan tetapi terlihat wajah Intan menatapnya sedih."Ceritakan saja, aku siap mendengarkan kak.""Baik, sebenarnya kalian sungguh tidak siap untuk menikah di saat seperti ini, Mellisa. Bukankah keadaan kadang memaksa kita untuk tidak mendapatkan apa yang kita inginkan? Begitu banyak hal di dunia ini yang membuat kita menerima begitu saja takdir ini. Apalagi seorang wanita seperti kita, tapi...kita tidak akan tahu kemana takdir pada akhirnya menempatkan kita," kata Intan penuh kelembutan.Mellisa merasakan firasat tidak mengenakkan dalam hatinya. Seolah Intan tidak memberikan dukungan untuknya. Mellisa menitikkan air matanya, ia seakan menemui jalan buntu.Ia sungguh penasaran, apa yang sebenarnya Intan dan Yusac bicarakan tentang hubungan mereka ini. Entah mengapa ia menjadi marah pada dokter itu.Bergegas ia mencari keberadaan Yusac. Ia berjalan dengan tergesa gesa ke ruangan praktek, tapi tak melihatnya di sana. Lalu iapun berjalan men
Mellisa melihat ekspresi Dokter Yusac yang tampak tersenyum. Tidak terlihat ada sesuatu yang mengganggu."Tapi, apa yang kalian bicarakan sebenarnya. adakah sesuatu yang penting untuk dibicarakan?"Dokter Yusac memiringkan kepalanya, menatap lekat pada Mellisa yang gelisah."Mellisa, apakah saat ini ada yang lebih penting dari keadaan ayahmu? Aku bahkan tidak bisa tidur dengan kondisi ayahmu ini. Ah, baiklah, tidak mengapa jika kau ingin tahu. Sebenarnya, tidak ada apapun yang kami bicarakan kemarin. Ia hanya ingin berkenalan denganku, lalu berbincang sedikit soal perjodohan keluarga.""Lalu...apa.dia mengatakan sesuatu?""Tidak, dia hanya mengatakan kau tidak bisa menerima perjodohan ini dan aku bukanlah orang yang memaksakan kehendak."Mellisa menelan ludah. Sisi dokter Yusac yang lain yang bisa ia kagumi adalah kedewasaan dan kematangan berpikir. Yah...selain profesinya yang juga sebagai seorang dokter."Apakah itu berarti...kau sungguh tidak keberatan dengan hubungan kami dan bers
Mellisa kikuk sendiri, ia membicarakan Dokter Yusac pelan, bagaimana bisa dokter itu mendengar ucapannya. Wajahnya memerah seketika. Langkah kakinya dipercepat agar bisa lepas dari suasana itu.Ia mulai meresapi kejadian ini sedikit demi sedikit. Sudah jelas apa yang dilakukan pria itu sangat menolong hidupnya, ia tak bisa mengingkari. Akan tetapi apakah ia kan menerima keputusan ini?Mellisa masih belum bisa memutuskan.#Baskoro bersama Intan menyiapkan perbekalan yang akan dibawa ke Thailand. Merekalah orang yang paling sibuk dal momen seperti ini. Putri sulung andalan Tuan Abraham ini menangani hampir seluruh tanggung jawab keluarga. Mereka terengah karena sangat letih setelah mengepak banyak sekali barang bawaan. Lalu mereka duduk berdampingan di ruang tengah."Bisa nggak sih pijat punggung aku sebentar," rengek Intan pada Baskoro."Pijat punggungku dulu nanti baru punggungmu," jawab Baskoro tak mau kalah.""Mana bisa, kau suka berkelit kalau sudah enakan, pake alasan ngantuk seg
"Humm, kau sungguh akan memijitku setelah lewat tengah malam? lupakan saja, sudah tidak berminat lagi," ujar Intan dengan cemberut."Hei, maafkan aku. Oke, aku akan membayarmu besok."Intan mengangguk, dan Baskoro melanjutkan tidurnya di sofa ruang tamu.Tak lama kemudian setelah Intan beranjak menuju kamarnya, dering panggilan ponsel berbunyi lagi. Baskoro segera mengambil ponsel itu dan mengangkat panggilan."Malam malam begini, ngapain sih?" ujarnya dan duduk dari tidurnya, terkejut karena ada panggilan di malam hari."Halo, ada apa?" katanya berbisik seolah tak mau ada yang mendengar. Melihat gelagat Baskoro, Intan malah berdiri di balik dinding untuk mencuri dengar."Mas, kapan mas pulang ke desa? Ayah sakit dan ingin bertemu denganmu. Bisakah kau menemui ayahku? Kau tahu sendiri kalau ayah selalu saja bertanya tentangmu.""Uhmm, baiklah...aku akan menemui ayahmu segera, oke?" jawab Baskoro masih dengan suara lirih lalu memutuskan panggilan. Sepasang mata yang melihatnya, memend
Intan sedikit terpekik saat melihat darah keluar dari kening Bastian setelah kejadian ia menekan pedal rem mendadak. Ia tak menyangka putranya tidak memakai sabuk pengaman. Lebih tepatnya, ia sama sekali tidak perhatian dengan Bastian saat naik kendaraan tadi. Pikirannya sedang kacau, bahkan dalam masalah yang belum pasti."Maafkan Mommy, sayang. Ini memang salah Mommy," ujarnya dengan menyapu aliran darah itu perlahan dengan menggunakan tissue.Iapun segera melaju menuju apotek terdekat untuk membeli plester dan juga obat yang dibutuhkan."Apakah sakit?" tanya Intan kemudian. Pikirkan yang sejak tadi berfokus pada Baskoro sekarang tiba tiba lenyap, tergantikan dengan rasa khawatir pada Bastian yang terluka akibat kecerobohan yang ia lakukan.Di apotek, setelah membeli beberapa obat, Intan melihat Mellisa yang duduk termenung seorang diri. Gadis itu menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong, seolah memikirkan sesuatu.Bahkan setelah lama Intan melihatnya, gadis itu masih tidak
Mellisa membalas tatapan tajam mata Intan. Ia sungguh kehabisan kata kata untuk membalas apa yang Intan ucapkan.Tentu saja, mengambil resiko semacam ini sungguh tidak mungkin ia lakukan. Yang paling mungkin adalah, ia harus menahan semua keinginan hatinya demi ayahnya."Bagaimana? Apakah kau bersedia?" katanya dengan melonggarkan cekalannya pada gadis itu."Mellisa, kau bahkan seorang perawat kesehatan yang paling tahu kondisi seorang pasien. Paling mengerti betapa pentingnya kondisi psikologis seorang pasien untuk bisa sembuh dari apa yang ia derita. Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau sungguh sudah dibutakan?" bisik Intan di telinga Mellisa. Ia sungguh ingin membuka mata hati Mellisa demi untuk hari hari yang tidak akan membuatnya menyesal.Setelah berkata demikian, Intan melangkah pergi meninggalkan Mellisa berdiri terpaku melihatnya pergi.Mellisa mulai ingin memahami dirinya, apakah sungguh ia sudah dibutakan atas cinta seorang Indra?Mellisa meremas telapak tangannya, dan merem