Eric membulatkan matanya. Ia mendengus, tersenyum cemooh. Ia seperti mendengar lelucon tak lucu dari bibir tua ayahnya itu.
Sir Edmund tersenyum tipis. Ia tahu putranya tak akan percaya padanya. Sejak putranya berumur 12 tahun hingga sekarang 35 tahun, mantan istrinya selalu mengisi otak anaknya itu dengan hal negatif tentangnya.
Tak akan mudah baginya, mengembalikan kepercayaan Eric padanya sesingkat itu.
“Tidak berselingkuh? Sungguh lucu,” celetuk Eric seraya memperbaiki duduknya.
“Untuk lebih jelasnya, mengapa kamu tidak tanyakan pada ayah Xian Lie apa yang sudah ia lakukan pada istri butler John?”
Eric dan Xian Lie seketika saling menatap. Xian Lie kemudian menggeleng cepat. Ia menoleh melihat Sir Edmund dengan mata yang melotot tajam.
“Apa maksud Anda? Sir Edmund, saya menghormati Anda sebagai ayah dari calon suami saya. Tapi bukan berarti Anda bisa—“
Sir Edmund mengangkat tangannya, meng
Irawan keluar dari ruangannya dengan tergesa. Baru beberapa langkah ia melewati meja kerja sekretarisnya, ia tiba-tiba berhenti.“Kamu! Pesankan tiket untukku malam ini juga Berlin!”“Tapi, Pak. Ini sudah jam 10 malam.”Irawan mengeratkan rahangnya. Ia menunjuk-nunjuk sekretarisnya itu, namun akhirnya menghempaskan tangannya sendiri.“Pesan untuk besok! Yang paling pagi!” titahnya sambil berbalik dan melangkah pergi.Dalam perjalanan pulang, Irawan tampak gelisah. “Buono … apa dia putri Rahmat Buono?” gumamnya. “Kalau benar, bagaimana mereka bisa saling kenal?”Kilasan tatapan tajam lelaki bernama Rahmat Buono padanya, saat ditarik petugas kejaksaan keluar dari ruang sidang setelah mendapatkan vonis hakim, masih tak hilang dari ingatannya. Semuanya masih jelas tergambar di benaknya.“Kenapa berhenti?!” sentak Irawan, ketika beberapa saat ia merasakan mobiln
Riana mendesah. Ia mengusap wajahnya frustasi dan menatap lelah sosok yang menghalangi jalannya. "Ada apa lagi?" "Trish, tolong ... tolong beri aku kesempatan sekali lagi. Sekali lagi aja, please," pinta lelaki itu dengan jari telunjuk yang ia angkat di depan Riana. "Mas Dimas, Mas mau aku menutup sebelah mata dan menganggap tidak terjadi apa-apa? Mas ... ingat Ayu, Mas! Dia lagi hamil anakmu!" "Trish ... tapi aku tidak mencintai Ayu! Aku mencintaimu! Sangat mencintaimu. Beri aku kesempatan sekaliii lagi ini saja, Sayang. Aku mohon," ucap Dimas memelas seraya mencoba memegang tangan Riana. Riana memundurkan langkahnya dan menghindari tangan Dimas. "Maaf, Mas. Aku tidak bisa." Riana menyingkir dari hadapan Dimas, lalu menekan tombol lift. Tak lagi menghiraukan Dimas yang masih berdiri menatapnya sendu. Saat pintu lift terbuka dan Riana hendak melangkah masuk, dua tangan tiba-tiba saja mendorong dan merangkulnya masuk.
Farida menghela napasnya dengan berat. Matanya berkedip cepat dan membasahi bibirnya. Ia lantas memberanikan diri menatap lurus ayah Ellena itu.“Pak … Santosa?” panggil Farida seraya berpura-pura melihat kartu pasien di tangannya, di mana nama Irawan tercantum. “Anda datang ke mari untuk menginterogasi saya atau konsul masalah bedah?”Irawan menaikkan alisnya dan terkekeh. Namun beberapa saat kemudian, wajahnya berubah dingin dan bengis. Lelaki itu kemudian berdiri dan membungkuk.Brakk….Irawan menggebrak meja Farida dengan kedua tangan, yang sekaligus dijadikannya sebagai penumpu badannya. Pelan namun pasti, ia mendekatkan wajahnya pada istri Andrew itu.“Farida … aku ingat, kalau kau adalah teman main anakku, Ellena … karena itu, aku akan melepaskanmu kalau kau bicara jujur.Tapi … kalau sampai aku tahu kau membohongiku … percayalah, kau j
London, InggrisToktok….CeklekTanpa menunggu persetujuan dari dalam ruangan, Derek segera membuka pintu ruangan Eric dan berlari mendapatkan atasannya yang sedang berbicara dengan salah satu anggota dewan direksi di sofa tamunya.Alis Eric menukik tajam, melihat asistennya memasuki kantornya tanpa izin.“Derek! Where’s your manner (Mana sopan santumu)?!”Derek membungkukkan badannya dan mengusap ujung hidungnya dengan cepat.“Maaf, Tuan. Tapi ada hal penting yang harus segera saya laporkan.”“Hal penting apa sampai kau masuk ruanganku tanpa izin!” sentak Eric.Derek menghapus keringat yang tak tampak. Lelaki itu melihat sekilas pada anggota dewan direksi yang duduk di sofa panjang di sisi Eric.“Ehm, maafkan saya. Permisi.”Derek memajukan langkahnya dan berbisik di telinga Eric. Mata Eric seketika terbu
Kantor Sans Media, Jakarta.Irawan meletakkan kopernya begitu saja di lantai ruangannya. Dengan cepat, Hilman membereskannya dan memberikannya pada sekretaris Irawan untuk mengurusnya.“Bagaimana 3 hari ini? Apa ada masalah? Kamu sudah katakan pada Dimas kalau aku mau bicara padanya?” cecar Irawan sambil berjalan menuju kursi kerjanya.Hilman melihat atasannya dan menipiskan bibir. Lelaki itu hanya bergeming di tempatnya sambil menunduk dan memegang tabletnya.Irawan yang mulai mengambil map di salah tumpukan di mejanya, mengerutkan alis karena tak mendengar suara sang asisten.“Kenapa diam saja? Apa tugasmu itu terlalu sulit untuk dikerjakan?”“Eh, bukan begitu, Pak. Hanya saya pak Dimas dia….”Irawan mengangkat kepalanya. Ia menatap dingin asistennya itu.“Kenapa lagi? Dia masih sibuk dengan perempuan itu?”“Pak Dimas ditahan di kantor polisi, P
“Pokoknya, kamu harus cari jalan buat bantu Dimas sama Ellena. Mereka anak-anakmu, Irawan!”Irawan menipiskan bibirnya. Ia lantas berdiri dan menatap sang istri yang melihatnya dengan geram. Sudah lebih dari 5 menit istrinya itu terus mengomel tak jelas. Dan sekarang, wanita itu membentaknya seolah ia tak berusaha membantu anak-anaknya yang terancam dipenjara.“Kamu kira selama ini aku diam saja?! Aku juga lagi cari jalan supaya mereka bisa keluar!”“Halah … tidak usah alasan! Aku tahu kamu masih ena-ena di luar sana!” tukas Wendy sambil melotot tajam.“Apa kamu bilang?! Siapa yang ena-ena? Mending kalau aku bisa ena-ena. Bikin kepala dan badan jadi rileks. Daripada tinggal di rumah tapi seperti berada di neraka!”“Irawan! Kurang ajar kamu!!” amuk Wendy dan mulai melempar barang-barang yang ada di dekatnya kepada Irawan."Siapa yang bikin aku seperti ini, hah?! SIAPA?!"
“Bu’ … maafkan Ayu, Bu’. Seandainya saja waktu itu Ayu tidak mabuk … mungkin … hubungan ibu dan pak Dimas akan baik-baik saja. Hiks … hiks....”Alex menyentuh pundak model orbitannya itu, lalu merangkulnya. Memberi ketenangan.“Mas Alex, aku … aku—”“Sshh! Ini bukan salahmu, Yu’. Semua ini karena Dimas memang berengsek!”Huhuhu….Tangis Ayu pecah. Ia tak menyangka bahwa tindakan impulsive-nya memberitahu Dimas bahwa ia hamil, akan membawa malapetaka pada mantan atasannya itu.Sore sebelum peristiwa itu terjadi, karena ia sudah tak tahan dengan sikap Dimas yang terus-terusan mempertanyakan apa yang ia lakukan di rumah Riana waktu itu, akhirnya ia memberitahu lelaki itu segalanya.“Bapak ingin tahu apa yang saya katakan pada bu Trisha? Oke! Saya kasih tahu … Saya hamil! Saya hamil anak Bapak! Say
Toktok….“Masuk!”Tanpa didampingi sekretaris Irawan, Yono masuk ke ruangan pimpinan Sans Media itu.Ia tersenyum saat melihat lelaki berjas mahal mondar-mandir di depan meja kerja dan terlihat sangat gusar.Melihat Yono yang masuk ruangannya dengan amplop di tangan, Irawan segera memutari meja kerjanya dan mengambil cek yang sudah ia tanda tangani, meletakkannya di hadapan lelaki itu.“Oh, hehe … terima kasih. Kalau begitu, saya tidak perlu duduk,” kata Yono dan kembali menegakkan badannya.“Tunggu! Tetap di sini. Aku lihat dulu,” cegah Irawan dan mengambil amplop yang diulurkan Yono padanya.Lelaki berkuncir itu mengangguk dan mempersilakan Irawan melakukan yang ia inginkan.Irawan membuka amplop itu. Warna mukanya perlahan berubah. Foto-foto yang ada di dalam amplop itu membuat gigi-giginya terkatup rapat.“Kamu! Dari mana kamu dapat fot