Toktok….
“Masuk!”
Tanpa didampingi sekretaris Irawan, Yono masuk ke ruangan pimpinan Sans Media itu.
Ia tersenyum saat melihat lelaki berjas mahal mondar-mandir di depan meja kerja dan terlihat sangat gusar.
Melihat Yono yang masuk ruangannya dengan amplop di tangan, Irawan segera memutari meja kerjanya dan mengambil cek yang sudah ia tanda tangani, meletakkannya di hadapan lelaki itu.
“Oh, hehe … terima kasih. Kalau begitu, saya tidak perlu duduk,” kata Yono dan kembali menegakkan badannya.
“Tunggu! Tetap di sini. Aku lihat dulu,” cegah Irawan dan mengambil amplop yang diulurkan Yono padanya.
Lelaki berkuncir itu mengangguk dan mempersilakan Irawan melakukan yang ia inginkan.
Irawan membuka amplop itu. Warna mukanya perlahan berubah. Foto-foto yang ada di dalam amplop itu membuat gigi-giginya terkatup rapat.
“Kamu! Dari mana kamu dapat fot
Ciiitt….Mobil Irawan terparkir asal di depan kediamannya. Tak seperti biasanya, Irawan mengemudikan mobilnya sendiri.Lelaki itu turun dari mobil dan melangkah lebar masuk ke rumahnya. 2 asisten rumah tangga yang melihat wajah Irawan, beringsut menjauh dan tak jadi menyapa.“WENDY! DI MANA KAMU?! WENDY!!!” teriak Irawan di tengah-tengah ruangan. “WENDY!!”Dalam balutan dress mewah, Wendy menuruni tangga sambil membawa tas jinjingnya. Tampaknya, ia bersiap untuk keluar.“Oh, gak biasanya kamu pulang jam—”Irawan melihat ke tangga. Ia segera naik menghampiri istrinya dan menarik tangan wanita itu dengan kasar lalu membawanya ke kamar.Hmph!Irawan mendorong istrinya ke kasur. Dengan wajah garang, ia melempar amplop coklat di tangannya ke wajah Wendy.Pakk...Adik dari ibunda Xian Lie itu terperanga
“Bob, tolong urus kepulanganku sekarang,” pinta Riana. Boby yang sedang mengupas apel untuk Riana, terkejut. “Pulang? Tapi, Kak. Dokter belum—” “Bob. Aku sudah lebih baik. Aku mau kembali ke Jakarta. Aku punya tanggung jawab di sana,” kekeuh Riana. Boby mengambil napas dalam-dalam. Ia meletakkan apel serta pisau itu ke piring lalu menaruh seluruh perhatiannya pada Riana. “Kak, tolong dengarkan aku. Untuk saat ini, kesehatan Kakak lebih penting. Kakak masih baru saja pulih. Dokter lebih tahu—” “Baiklah, kalau kamu tidak mau membantuku, aku akan melakukannya sendiri,” paksa Riana dan membuka selimutnya. “Kak!” seru Boby seraya menahan Riana yang hendak mencabut selang infusnya. “Oke! Oke! Aku akan bicara dengan dokter supaya boleh pulang hari ini. Kakak tunggu di sini. Oke?” Boby menggeleng melihat Riana yang keras kepala. ‘Menyibukkan diri dengan pekerjaan karena patah hati memang bagus tapi juga bisa mem
Boby melihat Riana yang duduk di sebelahnya tanpa mengatakan sepatah katapun sejak keluar dari rumah sakit. Ia menghela napas dengan berat dan ikut bungkam.Lelaki itu kemudian mengambil ponselnya dan iseng melihat laman pencarian. Matanya seketika membola melihat berita yang muncul paling atas.Boby melirik cemas pada Riana. Ia mematikan ponselnya dan menaruhnya di kantong.“Bob,” panggil Riana.Boby berjingkat kaget layaknya pencuri yang tertangkap basah.“Iya, Kak!” sahut Boby sedikit berteriak karena reflek.Riana mengerutkan alis. Ia melihat ke arah Boby sambil mengerutkan alisnya.“Ada apa? Kenapa kaget seperti itu?” tanya Riana curiga.Boby terkekeh. “Hehe … tidak papa, Kak. Cuma kaget aja.”“Haih …,” desah Riana. “Tolong mampir ke pom bensin, ya. Aku mau ke belakang,” pinta Riana.“Oh, iya. Oke.”
Riana terpaksa memakai kacamata hitam dan masker saat memasuki bandara berjuluk “Bandara Terbersih di Indonesia” itu. Tayangan televisi dan pembicaraan beberapa orang yang ia lewati, hampir semua membahas tentang kabar negatif yang beredar tentang ia dan ibunya. “Kak, jangan dengarkan.” Boby merangkul Riana dan membawanya masuk untuk check-in. Riana menahan air mata dan kegeramannya saat melihat televisi yang ada di ruang tunggu pesawat. Foto masa muda ibunya bersama ayahnya serta foto saat bersama lelaki lain yang wajahnya diburamkan, hampir saja membuatnya emosi bila tak ada Boby yang cepat menahan tangannya. “Kak, sabar.” Riana mengeraskan rahang dan mengepalkan tanganya. "Jangan terpengaruh. Itu akan merugikan Kakak sendiri," tutur Boby. Ibunda Evan itu memejamkan matanya dan mengangguk. “Bob, sebar foto Irawan di Bali.” Boby terkejut. “Hah?” “Kamu dengar aku.” “Tapi, Kak. Ini … ini akan memperkeruh suasana.” Riana menoleh dan dari balik kaca mata hitamnya, Boby tahu
“E-eric … k-kamu—“ Tak … tak … Suara heel sepatu oxford buatan khusus itu menggema. Bagai seorang terdakwa yang menunggu putusan, keringat dingin mulai berlomba keluar dari pori-pori kulit ketiga wanita itu. Glek Heningnya suasana, membuat suara saliva yang ditelan Xian Lie tak teredam. Dengan mata yang memicing tajam, Eric menatap kedua wanita di depannya dengan kedipan lambat. “So ... you're all are the mastermind (Jadi … kalian dalang dibalik semuanya)?” Suara Eric terdengar dalam dan mengerikan. Xian Lie menyeret kakinya ke balik tubuh ibunda Eric. Kepalanya tak berhenti menggeleng. Retinanya bergoyang gugup. “I-itu ka-kami—“ “Kalau benar memangnya kenapa.” Jawaban Lady Henwell mengalihkan tatapan Eric. Mata abu-abu terang dengan garis hitam tajam di bagian luarnya itu memandang tanpa takut pada putranya yang berdiri beberapa di depannya. Rahang Eric semakin tegang. Hidung mancungnya mendengkus kasar dengan bibir mengerat kuat. “Dan kau masih dengan bangganya memakai ge
Berlin, JermanUdara dingin di akhir Desember yang terasa sampai ke tulang, tak lagi dirasakan Riana. Ia berjalan menuju tempat pangkalan taksi bandara tanpa satupun jaket yang menutupi tubuhnya.“Konrad Hospital,” ujarnya pada sopir taksi yang bertanya tujuannya.Riana mengambil ponsel dan mencoba menghubungi nomor Sita, sahabatnya. Namun sayang, ponselnya mati saat ia baru saja menekan tombol panggil.Sampai di rumah sakit milik Konrad Group, Riana segera berlari menuju resepsionis dan tak mengindahkan panggil sopir taksi yang hendak memberikan uang kembalian.“Dokter Farida Lestari. Saya ingin bertemu dokter Farida Lestari,” kata Riana sambil terengah.Dua wanita resepsionis itu saling memandang lalu melihat Riana.“Hei! Aku bilang aku ingin bertemu dokter Farida Lestari!” sentak Riana tak sabar.“Maaf, Nona. Tapi dokter yang Anda maksud ... sudah meninggal seminggu yan
“Apa maksudmu mengakhiri kepemilikan saham Lady Hanwell? Beliau adalah pemegang saham terbesar kedua dari perusahaan ini,” cetus seorang dewan direksi.“Itu benar. Apa alasanmu melakukan ini, Eric?” timpal seorang pemegang saham lainnya.Eric mendengkus. Masih dengan posisi bersandar santai di kursi kebesarannya, Eric menatap satu per per satu orang-orang yang hadir pada rapat luar biasa itu.Demikian juga ayah Xian Lie, Gery Lie alias Derek Schrotz. Mata lelaki itu tak lepas dari Eric.“Kalau CEO Eric Jenkins membuat agenda ini … dia pasti punya alasan yang kuat,” ujar Gery dengan senyum menantang.Eric menaikkan satu sudut bibirnya. Ia mengalihkan perhatiannya pada Gery. Sorotnya yang malas dibarengi seringai iblis, sepersekian detik mampu membuat Gery sedikit cemas.“Correct, Mr. Schortz. I have very clear reason for it ... and you what that is (Benar, Tuan Schortz. Saya punya alasan yang s
Seluruh ruangan mendadak heboh. Mata dan ekspresi Lady Hanwell, Gery juga lelaki bernama Russels itu tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka.“Tante Merry, apa itu berarti aku benar-benar dipecat?” bisik Russels dengan wajah syoknya.Lady Hanwell mengeratkan rahangnya dan menggeleng.“Itu tidak mungkin! Kamu hanya punya 10%! Bagaimana bisa menjadi 58% dalam waktu semalam?!” seru ibunda Eric tak percaya.Eric menaikkan alisnya dan melihat ibunya dengan tatapan remeh dan senyuman misterius.Lady Hanwell menautkan alisnya dan menatap mata hijau putranya. Perlahan, ia sepertinya menyadari sesuatu. Telunjuknya terangkat. Ia menunjuk putra sulungnya yang duduk di kursi pemimpin rapat.“Kau … kau dan adikmu—”“Sepertinya Anda sudah mengerti, Lady Hanwell yang terhormat. Bukan hanya Alicia yang mempercayakan sahamnya padaku tapi juga … butler John"sambar Eric.