Kantor Sans Media, Jakarta.
Irawan meletakkan kopernya begitu saja di lantai ruangannya. Dengan cepat, Hilman membereskannya dan memberikannya pada sekretaris Irawan untuk mengurusnya.
“Bagaimana 3 hari ini? Apa ada masalah? Kamu sudah katakan pada Dimas kalau aku mau bicara padanya?” cecar Irawan sambil berjalan menuju kursi kerjanya.
Hilman melihat atasannya dan menipiskan bibir. Lelaki itu hanya bergeming di tempatnya sambil menunduk dan memegang tabletnya.
Irawan yang mulai mengambil map di salah tumpukan di mejanya, mengerutkan alis karena tak mendengar suara sang asisten.
“Kenapa diam saja? Apa tugasmu itu terlalu sulit untuk dikerjakan?”
“Eh, bukan begitu, Pak. Hanya saya pak Dimas dia….”
Irawan mengangkat kepalanya. Ia menatap dingin asistennya itu.
“Kenapa lagi? Dia masih sibuk dengan perempuan itu?”
“Pak Dimas ditahan di kantor polisi, P
“Pokoknya, kamu harus cari jalan buat bantu Dimas sama Ellena. Mereka anak-anakmu, Irawan!”Irawan menipiskan bibirnya. Ia lantas berdiri dan menatap sang istri yang melihatnya dengan geram. Sudah lebih dari 5 menit istrinya itu terus mengomel tak jelas. Dan sekarang, wanita itu membentaknya seolah ia tak berusaha membantu anak-anaknya yang terancam dipenjara.“Kamu kira selama ini aku diam saja?! Aku juga lagi cari jalan supaya mereka bisa keluar!”“Halah … tidak usah alasan! Aku tahu kamu masih ena-ena di luar sana!” tukas Wendy sambil melotot tajam.“Apa kamu bilang?! Siapa yang ena-ena? Mending kalau aku bisa ena-ena. Bikin kepala dan badan jadi rileks. Daripada tinggal di rumah tapi seperti berada di neraka!”“Irawan! Kurang ajar kamu!!” amuk Wendy dan mulai melempar barang-barang yang ada di dekatnya kepada Irawan."Siapa yang bikin aku seperti ini, hah?! SIAPA?!"
“Bu’ … maafkan Ayu, Bu’. Seandainya saja waktu itu Ayu tidak mabuk … mungkin … hubungan ibu dan pak Dimas akan baik-baik saja. Hiks … hiks....”Alex menyentuh pundak model orbitannya itu, lalu merangkulnya. Memberi ketenangan.“Mas Alex, aku … aku—”“Sshh! Ini bukan salahmu, Yu’. Semua ini karena Dimas memang berengsek!”Huhuhu….Tangis Ayu pecah. Ia tak menyangka bahwa tindakan impulsive-nya memberitahu Dimas bahwa ia hamil, akan membawa malapetaka pada mantan atasannya itu.Sore sebelum peristiwa itu terjadi, karena ia sudah tak tahan dengan sikap Dimas yang terus-terusan mempertanyakan apa yang ia lakukan di rumah Riana waktu itu, akhirnya ia memberitahu lelaki itu segalanya.“Bapak ingin tahu apa yang saya katakan pada bu Trisha? Oke! Saya kasih tahu … Saya hamil! Saya hamil anak Bapak! Say
Toktok….“Masuk!”Tanpa didampingi sekretaris Irawan, Yono masuk ke ruangan pimpinan Sans Media itu.Ia tersenyum saat melihat lelaki berjas mahal mondar-mandir di depan meja kerja dan terlihat sangat gusar.Melihat Yono yang masuk ruangannya dengan amplop di tangan, Irawan segera memutari meja kerjanya dan mengambil cek yang sudah ia tanda tangani, meletakkannya di hadapan lelaki itu.“Oh, hehe … terima kasih. Kalau begitu, saya tidak perlu duduk,” kata Yono dan kembali menegakkan badannya.“Tunggu! Tetap di sini. Aku lihat dulu,” cegah Irawan dan mengambil amplop yang diulurkan Yono padanya.Lelaki berkuncir itu mengangguk dan mempersilakan Irawan melakukan yang ia inginkan.Irawan membuka amplop itu. Warna mukanya perlahan berubah. Foto-foto yang ada di dalam amplop itu membuat gigi-giginya terkatup rapat.“Kamu! Dari mana kamu dapat fot
Ciiitt….Mobil Irawan terparkir asal di depan kediamannya. Tak seperti biasanya, Irawan mengemudikan mobilnya sendiri.Lelaki itu turun dari mobil dan melangkah lebar masuk ke rumahnya. 2 asisten rumah tangga yang melihat wajah Irawan, beringsut menjauh dan tak jadi menyapa.“WENDY! DI MANA KAMU?! WENDY!!!” teriak Irawan di tengah-tengah ruangan. “WENDY!!”Dalam balutan dress mewah, Wendy menuruni tangga sambil membawa tas jinjingnya. Tampaknya, ia bersiap untuk keluar.“Oh, gak biasanya kamu pulang jam—”Irawan melihat ke tangga. Ia segera naik menghampiri istrinya dan menarik tangan wanita itu dengan kasar lalu membawanya ke kamar.Hmph!Irawan mendorong istrinya ke kasur. Dengan wajah garang, ia melempar amplop coklat di tangannya ke wajah Wendy.Pakk...Adik dari ibunda Xian Lie itu terperanga
“Bob, tolong urus kepulanganku sekarang,” pinta Riana. Boby yang sedang mengupas apel untuk Riana, terkejut. “Pulang? Tapi, Kak. Dokter belum—” “Bob. Aku sudah lebih baik. Aku mau kembali ke Jakarta. Aku punya tanggung jawab di sana,” kekeuh Riana. Boby mengambil napas dalam-dalam. Ia meletakkan apel serta pisau itu ke piring lalu menaruh seluruh perhatiannya pada Riana. “Kak, tolong dengarkan aku. Untuk saat ini, kesehatan Kakak lebih penting. Kakak masih baru saja pulih. Dokter lebih tahu—” “Baiklah, kalau kamu tidak mau membantuku, aku akan melakukannya sendiri,” paksa Riana dan membuka selimutnya. “Kak!” seru Boby seraya menahan Riana yang hendak mencabut selang infusnya. “Oke! Oke! Aku akan bicara dengan dokter supaya boleh pulang hari ini. Kakak tunggu di sini. Oke?” Boby menggeleng melihat Riana yang keras kepala. ‘Menyibukkan diri dengan pekerjaan karena patah hati memang bagus tapi juga bisa mem
Boby melihat Riana yang duduk di sebelahnya tanpa mengatakan sepatah katapun sejak keluar dari rumah sakit. Ia menghela napas dengan berat dan ikut bungkam.Lelaki itu kemudian mengambil ponselnya dan iseng melihat laman pencarian. Matanya seketika membola melihat berita yang muncul paling atas.Boby melirik cemas pada Riana. Ia mematikan ponselnya dan menaruhnya di kantong.“Bob,” panggil Riana.Boby berjingkat kaget layaknya pencuri yang tertangkap basah.“Iya, Kak!” sahut Boby sedikit berteriak karena reflek.Riana mengerutkan alis. Ia melihat ke arah Boby sambil mengerutkan alisnya.“Ada apa? Kenapa kaget seperti itu?” tanya Riana curiga.Boby terkekeh. “Hehe … tidak papa, Kak. Cuma kaget aja.”“Haih …,” desah Riana. “Tolong mampir ke pom bensin, ya. Aku mau ke belakang,” pinta Riana.“Oh, iya. Oke.”
Riana terpaksa memakai kacamata hitam dan masker saat memasuki bandara berjuluk “Bandara Terbersih di Indonesia” itu. Tayangan televisi dan pembicaraan beberapa orang yang ia lewati, hampir semua membahas tentang kabar negatif yang beredar tentang ia dan ibunya. “Kak, jangan dengarkan.” Boby merangkul Riana dan membawanya masuk untuk check-in. Riana menahan air mata dan kegeramannya saat melihat televisi yang ada di ruang tunggu pesawat. Foto masa muda ibunya bersama ayahnya serta foto saat bersama lelaki lain yang wajahnya diburamkan, hampir saja membuatnya emosi bila tak ada Boby yang cepat menahan tangannya. “Kak, sabar.” Riana mengeraskan rahang dan mengepalkan tanganya. "Jangan terpengaruh. Itu akan merugikan Kakak sendiri," tutur Boby. Ibunda Evan itu memejamkan matanya dan mengangguk. “Bob, sebar foto Irawan di Bali.” Boby terkejut. “Hah?” “Kamu dengar aku.” “Tapi, Kak. Ini … ini akan memperkeruh suasana.” Riana menoleh dan dari balik kaca mata hitamnya, Boby tahu
“E-eric … k-kamu—“ Tak … tak … Suara heel sepatu oxford buatan khusus itu menggema. Bagai seorang terdakwa yang menunggu putusan, keringat dingin mulai berlomba keluar dari pori-pori kulit ketiga wanita itu. Glek Heningnya suasana, membuat suara saliva yang ditelan Xian Lie tak teredam. Dengan mata yang memicing tajam, Eric menatap kedua wanita di depannya dengan kedipan lambat. “So ... you're all are the mastermind (Jadi … kalian dalang dibalik semuanya)?” Suara Eric terdengar dalam dan mengerikan. Xian Lie menyeret kakinya ke balik tubuh ibunda Eric. Kepalanya tak berhenti menggeleng. Retinanya bergoyang gugup. “I-itu ka-kami—“ “Kalau benar memangnya kenapa.” Jawaban Lady Henwell mengalihkan tatapan Eric. Mata abu-abu terang dengan garis hitam tajam di bagian luarnya itu memandang tanpa takut pada putranya yang berdiri beberapa di depannya. Rahang Eric semakin tegang. Hidung mancungnya mendengkus kasar dengan bibir mengerat kuat. “Dan kau masih dengan bangganya memakai ge