Boby melihat Riana yang duduk di sebelahnya tanpa mengatakan sepatah katapun sejak keluar dari rumah sakit. Ia menghela napas dengan berat dan ikut bungkam.
Lelaki itu kemudian mengambil ponselnya dan iseng melihat laman pencarian. Matanya seketika membola melihat berita yang muncul paling atas.
Boby melirik cemas pada Riana. Ia mematikan ponselnya dan menaruhnya di kantong.
“Bob,” panggil Riana.
Boby berjingkat kaget layaknya pencuri yang tertangkap basah.
“Iya, Kak!” sahut Boby sedikit berteriak karena reflek.
Riana mengerutkan alis. Ia melihat ke arah Boby sambil mengerutkan alisnya.
“Ada apa? Kenapa kaget seperti itu?” tanya Riana curiga.
Boby terkekeh. “Hehe … tidak papa, Kak. Cuma kaget aja.”
“Haih …,” desah Riana. “Tolong mampir ke pom bensin, ya. Aku mau ke belakang,” pinta Riana.
“Oh, iya. Oke.”
Riana terpaksa memakai kacamata hitam dan masker saat memasuki bandara berjuluk “Bandara Terbersih di Indonesia” itu. Tayangan televisi dan pembicaraan beberapa orang yang ia lewati, hampir semua membahas tentang kabar negatif yang beredar tentang ia dan ibunya. “Kak, jangan dengarkan.” Boby merangkul Riana dan membawanya masuk untuk check-in. Riana menahan air mata dan kegeramannya saat melihat televisi yang ada di ruang tunggu pesawat. Foto masa muda ibunya bersama ayahnya serta foto saat bersama lelaki lain yang wajahnya diburamkan, hampir saja membuatnya emosi bila tak ada Boby yang cepat menahan tangannya. “Kak, sabar.” Riana mengeraskan rahang dan mengepalkan tanganya. "Jangan terpengaruh. Itu akan merugikan Kakak sendiri," tutur Boby. Ibunda Evan itu memejamkan matanya dan mengangguk. “Bob, sebar foto Irawan di Bali.” Boby terkejut. “Hah?” “Kamu dengar aku.” “Tapi, Kak. Ini … ini akan memperkeruh suasana.” Riana menoleh dan dari balik kaca mata hitamnya, Boby tahu
“E-eric … k-kamu—“ Tak … tak … Suara heel sepatu oxford buatan khusus itu menggema. Bagai seorang terdakwa yang menunggu putusan, keringat dingin mulai berlomba keluar dari pori-pori kulit ketiga wanita itu. Glek Heningnya suasana, membuat suara saliva yang ditelan Xian Lie tak teredam. Dengan mata yang memicing tajam, Eric menatap kedua wanita di depannya dengan kedipan lambat. “So ... you're all are the mastermind (Jadi … kalian dalang dibalik semuanya)?” Suara Eric terdengar dalam dan mengerikan. Xian Lie menyeret kakinya ke balik tubuh ibunda Eric. Kepalanya tak berhenti menggeleng. Retinanya bergoyang gugup. “I-itu ka-kami—“ “Kalau benar memangnya kenapa.” Jawaban Lady Henwell mengalihkan tatapan Eric. Mata abu-abu terang dengan garis hitam tajam di bagian luarnya itu memandang tanpa takut pada putranya yang berdiri beberapa di depannya. Rahang Eric semakin tegang. Hidung mancungnya mendengkus kasar dengan bibir mengerat kuat. “Dan kau masih dengan bangganya memakai ge
Berlin, JermanUdara dingin di akhir Desember yang terasa sampai ke tulang, tak lagi dirasakan Riana. Ia berjalan menuju tempat pangkalan taksi bandara tanpa satupun jaket yang menutupi tubuhnya.“Konrad Hospital,” ujarnya pada sopir taksi yang bertanya tujuannya.Riana mengambil ponsel dan mencoba menghubungi nomor Sita, sahabatnya. Namun sayang, ponselnya mati saat ia baru saja menekan tombol panggil.Sampai di rumah sakit milik Konrad Group, Riana segera berlari menuju resepsionis dan tak mengindahkan panggil sopir taksi yang hendak memberikan uang kembalian.“Dokter Farida Lestari. Saya ingin bertemu dokter Farida Lestari,” kata Riana sambil terengah.Dua wanita resepsionis itu saling memandang lalu melihat Riana.“Hei! Aku bilang aku ingin bertemu dokter Farida Lestari!” sentak Riana tak sabar.“Maaf, Nona. Tapi dokter yang Anda maksud ... sudah meninggal seminggu yan
“Apa maksudmu mengakhiri kepemilikan saham Lady Hanwell? Beliau adalah pemegang saham terbesar kedua dari perusahaan ini,” cetus seorang dewan direksi.“Itu benar. Apa alasanmu melakukan ini, Eric?” timpal seorang pemegang saham lainnya.Eric mendengkus. Masih dengan posisi bersandar santai di kursi kebesarannya, Eric menatap satu per per satu orang-orang yang hadir pada rapat luar biasa itu.Demikian juga ayah Xian Lie, Gery Lie alias Derek Schrotz. Mata lelaki itu tak lepas dari Eric.“Kalau CEO Eric Jenkins membuat agenda ini … dia pasti punya alasan yang kuat,” ujar Gery dengan senyum menantang.Eric menaikkan satu sudut bibirnya. Ia mengalihkan perhatiannya pada Gery. Sorotnya yang malas dibarengi seringai iblis, sepersekian detik mampu membuat Gery sedikit cemas.“Correct, Mr. Schortz. I have very clear reason for it ... and you what that is (Benar, Tuan Schortz. Saya punya alasan yang s
Seluruh ruangan mendadak heboh. Mata dan ekspresi Lady Hanwell, Gery juga lelaki bernama Russels itu tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka.“Tante Merry, apa itu berarti aku benar-benar dipecat?” bisik Russels dengan wajah syoknya.Lady Hanwell mengeratkan rahangnya dan menggeleng.“Itu tidak mungkin! Kamu hanya punya 10%! Bagaimana bisa menjadi 58% dalam waktu semalam?!” seru ibunda Eric tak percaya.Eric menaikkan alisnya dan melihat ibunya dengan tatapan remeh dan senyuman misterius.Lady Hanwell menautkan alisnya dan menatap mata hijau putranya. Perlahan, ia sepertinya menyadari sesuatu. Telunjuknya terangkat. Ia menunjuk putra sulungnya yang duduk di kursi pemimpin rapat.“Kau … kau dan adikmu—”“Sepertinya Anda sudah mengerti, Lady Hanwell yang terhormat. Bukan hanya Alicia yang mempercayakan sahamnya padaku tapi juga … butler John"sambar Eric.
Konrad Hospital, Berlin, Jerman.Sebuah suara yang begitu dingin masuk ke telinga Riana. Ia memutar kepalanya ke arah pintu dan ternganga.Seorang lelaki brewok dengan jaket coklat, kemeja putih kusut serta rambut acak-acakkan, berdiri menatap Riana dengan mata cekung dan lingkaran hitam di bawahnya. “Andrew? Why you’re here (Andrew? Kenapa kau di sini)? Kau masih harus istirahat,” ujar Sita sambil mendekati lelaki itu dan memegang lengannya.Andrew memutar tangannya, menepis tangan Sita lalu berjalan perlahan menghampiri bed Riana.“A-andrew?”“Why? Why you ruin my life, huh (Kenapa? Kenapa kau menghancurkan hidupku, hah)?! Ini … ini adalah hasil balas dendammu itu. Apa kau puas sekarang? Hmm? PUAS?!” lontar Andrew.Layaknya panah yang menusuk tepat di jantungnya, Riana merasakan sakit yang luar biasa. Matanya berkedip cepat. Bibir pasinya bergetar. Tatapan dan waj
“MINGGIR! AKU HARUS BERTEMU ERIC! SINGKIRKAN TANGAN KOTORMU ITU DARIKU!” Eric yang melangkah cepat menuju mobilnya yang terparkir di depan lobby, berhenti. Ia menatap datar dua orang petugas keamanan yang tampak menahan Xian Lie mendekati lobby perusahaannya. "Tuan," panggil Derek cemas seraya melihat pada Xian Lie dan atasannya bergantian. 'Aduh, kenapa dia ke sini? Bisa ribut ini,' batin Derek panik. Xian Lie mendongak. Tatapannya berhenti pada figur yang berdiri tak jauh darinya. “ERIC! AKU MAU BICARA DENGANMU! ERIC!” Eric menghela napas. Ia mengangguk pada dua petugas keamanan yang menghalangi jalan Xian Lie. Setelah memberi tatapan tajam pada dua petugas keamanan itu, Xian Lie kemudian melangkah cepat mendekati Eric. “Eric, apa yang—” Eric menepis tangan Xian Lie yang tiba-tiba memegangnya. Wanita itu terkejut namun menarik bibirnya untuk membuat lengkungan. Menahan rasa malu dan kesal yang membuncah. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Suara dalam Eric terdengar dingin da
Jakarta, Indonesia.“Anda tidak bisa mengelak lagi, Pak Irawan! Semua bukti mengarah pada Anda. Sebaiknya Anda mengaku sekarang juga!”Irawan megacak rambutnya yang sudah terlihat berantakan. Ia menatap kesal pengacaranya yang sejak tadi hanya diam dan tak membantunya.“Pak, saya sudah bilang berulang kali. Saya tidak bersalah! Bukti? Semua itu palsu!” sangkal Irawan.Brakk…2 polisi yang bertugas menginterogasi Irawan mulai kehilangan kesabaran dan menggebrak meja di depan mereka.“Pak Irawan! Jangan membuang-buang waktu kami! Sebaiknya Anda mengaku! Kami sudah mendapat bukti kalau Anda-lah pelaku pembunuhan berencana terhadap ibu Marisa, mengambil alih aset pak Iwan Santosa tanpa izin, merencanakan pembunuhan terhadap Trisha Meriana alias Anandita, keponakan Anda sendiri serta menjadi dalang pembunuhan dr. Farida Lestari di Berlin!”Mata Irawan terb