Berlin, Jerman
Udara dingin di akhir Desember yang terasa sampai ke tulang, tak lagi dirasakan Riana. Ia berjalan menuju tempat pangkalan taksi bandara tanpa satupun jaket yang menutupi tubuhnya.
“Konrad Hospital,” ujarnya pada sopir taksi yang bertanya tujuannya.
Riana mengambil ponsel dan mencoba menghubungi nomor Sita, sahabatnya. Namun sayang, ponselnya mati saat ia baru saja menekan tombol panggil.
Sampai di rumah sakit milik Konrad Group, Riana segera berlari menuju resepsionis dan tak mengindahkan panggil sopir taksi yang hendak memberikan uang kembalian.
“Dokter Farida Lestari. Saya ingin bertemu dokter Farida Lestari,” kata Riana sambil terengah.
Dua wanita resepsionis itu saling memandang lalu melihat Riana.
“Hei! Aku bilang aku ingin bertemu dokter Farida Lestari!” sentak Riana tak sabar.
“Maaf, Nona. Tapi dokter yang Anda maksud ... sudah meninggal seminggu yan
“Apa maksudmu mengakhiri kepemilikan saham Lady Hanwell? Beliau adalah pemegang saham terbesar kedua dari perusahaan ini,” cetus seorang dewan direksi.“Itu benar. Apa alasanmu melakukan ini, Eric?” timpal seorang pemegang saham lainnya.Eric mendengkus. Masih dengan posisi bersandar santai di kursi kebesarannya, Eric menatap satu per per satu orang-orang yang hadir pada rapat luar biasa itu.Demikian juga ayah Xian Lie, Gery Lie alias Derek Schrotz. Mata lelaki itu tak lepas dari Eric.“Kalau CEO Eric Jenkins membuat agenda ini … dia pasti punya alasan yang kuat,” ujar Gery dengan senyum menantang.Eric menaikkan satu sudut bibirnya. Ia mengalihkan perhatiannya pada Gery. Sorotnya yang malas dibarengi seringai iblis, sepersekian detik mampu membuat Gery sedikit cemas.“Correct, Mr. Schortz. I have very clear reason for it ... and you what that is (Benar, Tuan Schortz. Saya punya alasan yang s
Seluruh ruangan mendadak heboh. Mata dan ekspresi Lady Hanwell, Gery juga lelaki bernama Russels itu tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka.“Tante Merry, apa itu berarti aku benar-benar dipecat?” bisik Russels dengan wajah syoknya.Lady Hanwell mengeratkan rahangnya dan menggeleng.“Itu tidak mungkin! Kamu hanya punya 10%! Bagaimana bisa menjadi 58% dalam waktu semalam?!” seru ibunda Eric tak percaya.Eric menaikkan alisnya dan melihat ibunya dengan tatapan remeh dan senyuman misterius.Lady Hanwell menautkan alisnya dan menatap mata hijau putranya. Perlahan, ia sepertinya menyadari sesuatu. Telunjuknya terangkat. Ia menunjuk putra sulungnya yang duduk di kursi pemimpin rapat.“Kau … kau dan adikmu—”“Sepertinya Anda sudah mengerti, Lady Hanwell yang terhormat. Bukan hanya Alicia yang mempercayakan sahamnya padaku tapi juga … butler John"sambar Eric.
Konrad Hospital, Berlin, Jerman.Sebuah suara yang begitu dingin masuk ke telinga Riana. Ia memutar kepalanya ke arah pintu dan ternganga.Seorang lelaki brewok dengan jaket coklat, kemeja putih kusut serta rambut acak-acakkan, berdiri menatap Riana dengan mata cekung dan lingkaran hitam di bawahnya. “Andrew? Why you’re here (Andrew? Kenapa kau di sini)? Kau masih harus istirahat,” ujar Sita sambil mendekati lelaki itu dan memegang lengannya.Andrew memutar tangannya, menepis tangan Sita lalu berjalan perlahan menghampiri bed Riana.“A-andrew?”“Why? Why you ruin my life, huh (Kenapa? Kenapa kau menghancurkan hidupku, hah)?! Ini … ini adalah hasil balas dendammu itu. Apa kau puas sekarang? Hmm? PUAS?!” lontar Andrew.Layaknya panah yang menusuk tepat di jantungnya, Riana merasakan sakit yang luar biasa. Matanya berkedip cepat. Bibir pasinya bergetar. Tatapan dan waj
“MINGGIR! AKU HARUS BERTEMU ERIC! SINGKIRKAN TANGAN KOTORMU ITU DARIKU!” Eric yang melangkah cepat menuju mobilnya yang terparkir di depan lobby, berhenti. Ia menatap datar dua orang petugas keamanan yang tampak menahan Xian Lie mendekati lobby perusahaannya. "Tuan," panggil Derek cemas seraya melihat pada Xian Lie dan atasannya bergantian. 'Aduh, kenapa dia ke sini? Bisa ribut ini,' batin Derek panik. Xian Lie mendongak. Tatapannya berhenti pada figur yang berdiri tak jauh darinya. “ERIC! AKU MAU BICARA DENGANMU! ERIC!” Eric menghela napas. Ia mengangguk pada dua petugas keamanan yang menghalangi jalan Xian Lie. Setelah memberi tatapan tajam pada dua petugas keamanan itu, Xian Lie kemudian melangkah cepat mendekati Eric. “Eric, apa yang—” Eric menepis tangan Xian Lie yang tiba-tiba memegangnya. Wanita itu terkejut namun menarik bibirnya untuk membuat lengkungan. Menahan rasa malu dan kesal yang membuncah. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Suara dalam Eric terdengar dingin da
Jakarta, Indonesia.“Anda tidak bisa mengelak lagi, Pak Irawan! Semua bukti mengarah pada Anda. Sebaiknya Anda mengaku sekarang juga!”Irawan megacak rambutnya yang sudah terlihat berantakan. Ia menatap kesal pengacaranya yang sejak tadi hanya diam dan tak membantunya.“Pak, saya sudah bilang berulang kali. Saya tidak bersalah! Bukti? Semua itu palsu!” sangkal Irawan.Brakk…2 polisi yang bertugas menginterogasi Irawan mulai kehilangan kesabaran dan menggebrak meja di depan mereka.“Pak Irawan! Jangan membuang-buang waktu kami! Sebaiknya Anda mengaku! Kami sudah mendapat bukti kalau Anda-lah pelaku pembunuhan berencana terhadap ibu Marisa, mengambil alih aset pak Iwan Santosa tanpa izin, merencanakan pembunuhan terhadap Trisha Meriana alias Anandita, keponakan Anda sendiri serta menjadi dalang pembunuhan dr. Farida Lestari di Berlin!”Mata Irawan terb
Di sebuah basement yang lembab dengan cahaya temaram, 4 orang lelaki berpakaian hitam berjalan masuk dan menghadap seorang lelaki berkuncir yang tengah berdiri menghadap dinding sambil mengelap sebuah pistol.3 orang bodyguard dengan badan kekar, berdiri di pintu dan di sisi lelaki berkuncir itu sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan, seolah menutupi bagian sensitif mereka.“Bagaimana?”“Tuan Lie, kami berhasil menembaknya. Dia tertembak di dada dan jatuh ke jurang.”Lelaki berkuncir dengan pakaian serba putih itu berbalik. Matanya yang tajam memicing pada anak buahnya yang terlihat menggigil karena baju dan jaketnya yang basah.“Kau sudah berhasil menembaknya. Lalu mana mayatnya!!” sentak Gery Lie.Keempat lelaki itu menunduk dan saling melirik temannya.“Eh, Ka-kami tidak sempat membawanya karena … orang itu melempar sarang lebah pada kami, Boss.”
“Apa?! Sudah berapa jam dia menghilang?”Lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi itu terburu-buru mencari pakaiannya sambil terus memegang ponselnya.“5 jam lalu, Pak. Kami sudah berusaha mencarinya tapi tidak ketemu. Apa yang harus kami lakukan, Pak Iwan?” sahut suara di seberang.“Aku ke Berlin sekarang,” sahutnya kemudian.Ia kemudian menutup panggilan itu dan beralih menelepon seseorang.Tuttt … tuttt….Ia mengaktifkan speaker dan memakai pakaiannya.“Hallo, Pa,” sahut seorang lelaki di seberang telepon.“Bob, kakakmu menghilang. Tolong booking tiket ke Berlin untuk Papa sekarang,” titah lelaki itu.“Hah?! Menghilang? Oke, oke. Aku juga baru menangkap orang yang membunuh Ida, Pa.”Iwan terdiam sejenak. Ia mengambil ponsel yang ia letakkan di kasur dan menonaktifkan speaker lalu menaruhnya di
Berlin, Jerman.Langkah tegap seorang lelaki berjas lengkap dengan jaket panjang sebetis ditambah wajahnya yang tampan dan berwibawa, menarik perhatian banyak mata di rumah sakit Konrad itu.Lelaki itu berdiri di tengah lobby rumah sakit dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tak acuh dengan pandangan para wanita yang melihatnya dengan tatapan mendamba.“Tuan, nyonya Ana sudah tidak ada di sini,” lapor Derek sambil melihat resepsionis itu sejenak.Alis Eric menukik tajam. “Apa maksudmu? Jelas-jelas di video itu Ana ada di sini. Bagaimana mungkin dia tidak ada?”“Iya, tapi itu kejadian 8 jam lalu, Tuan. Kata perawat kita diminta untuk bertemu dengan dokter Sita kalau ingin tahu kejelasannya.”“Kalau begitu kita ke dokter Sita.”Eric melihat papan penunjuk dan mulai melangkah.“Tuan! Dokter Sita tidak ada di sini. Dia pergi dengan suaminya.”Eri