Riana merasa sakit di sekujur tubuhnya. 3 orang lelaki yang menculiknya baru saja menghajar dan menendangnya karena apa yang terjadi di dermaga beberapa jam lalu.
“Kau hampir saja membuat kami tertangkap, perempuan sialan!” geram lelaki itu.
Buk … buk….
Lelaki itu menambah tendangan ke punggungnya. Sakit. Teramat sakit. Darah di ujung bibir Riana serta lebam di pipi, dahi dan bibirnya, menjadi bukti kebrutalan mereka.
“Cukup, Bro! Jangan sampai dia mati. Bos bisa membunuh kita nanti,” ucap seorang lelaki berjenggot sambil menepuk bahu lelaki berjaket kulit hitam itu.
“Dia benar-benar hampir membuatku kencing berdiri tadi. Aku sungguh ingin membunuh wanita ini!” ucap kesal lelaki berjenggot.
“Aku tahu. Ini jadi pelajaran buat kita. Kalau kita harus memindahkannya, kita harus membiusnya dengan suntikan.”
Usul lelaki berjaket hitam itu diangguki lelaki berjenggot. Keduanya memandang Riana sekali lagi.
Eric menunggu dengan gelisah di kantornya. Putra semata wayangnya dan wanita yang ia cintai, sama-sama diculik dan sampai detik ini, ia masih belum menerima kabar tentang keduanya. 15 jam bagai selama-lamanya bagi lelaki itu.Tok … tok….Sorot mata berharap tersirat di mata lelaki itu kala mendengar pintu ruangannya diketuk.“Masuk!” ucapnya cepat.Dave berjalan cepat mendekati Eric. Napasnya terengah seolah habis berlari ribuan kilometer.“Ini, minum,” suruh Eric sambil menyodorkan gelasnya sendiri pada Dave dan terus menatap mantan asisten sekaligus sahabatnya itu.Membutuhkan air untuk melegakan napasnya, Dave segera menerima gelas itu dari tangan Eric dan menegaknya habis.“Dylan...." Ucapan Dave tersendat. Ia menghapus sisa air yang hampir jatuh dari bibirnya lalu kembali melanjutkan perkataannya, "Dylan baru saja memberi kabar. Ana, dia ada di Denmark.
Dylan tersentak kaget dan berbalik. Matanya membola melihat wajah asing di depannya. Alisnya berkerut, memindai lelaki yang berani masuk ruangannya tanpa permisi. Lelaki setengah baya itu menangguk-anggukkan kepalanya. Ia sepertinya mengerti dan maklum mengapa Dylan bersikap waspada padanya. “Tuan Konrad, perkenalkan. Saya Iwan. Iwan Santosa,” ujar lelaki itu memperkenalkan diri. “Iwan Santosa? Ayah Riana?” Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia menunjuk sofa tamu Dylan dan suami Sita itu mengangguk mempersilakan. “Silakan,” ucap Dylan. Matanya tak lepas memandang ayah kandung Riana itu. Ia tahu siapa Iwan. Tapi semua dari cerita istrinya dan Farida. Ia tak pernah bertemu atau pun mendengar suaranya. “Tunggu! Apa yang Anda lakukan?” seru Dylan terkejut. Matanya membelalak. Lelaki itu tiba-tiba melepas kacamata dan menarik kulit dari lehernya. “Ini kulit prostetik,” jelas lelaki itu santai sambil terus manarik
“Iwan! Akhirnya kau menerima pesanku! Hahaha ….”Mendengar suara cempreng lelaki yang telah menculik putrinya itu, emosi di dalam diri Iwan terpancing. Darahnya mendidih dan ingin rasanya ia membunuh lelaki itu saat ini juga.“Lepaskan putriku! Brengsek!”“Oh … hahaha … ternyata kau bisa marah juga. Waktu iparku meracuni istrimu, kamu diam saja. Aku kira kamu benar-benar sudah mati sampai tidak muncul di pemakamannya. Ternyata, kelemahanmu adalah putrimu. Hahaha….”“GERYYYY!!! Ternyata kau juga yang membunuh istriku! KAU BAJINGAN!!!”“Hei-hei … jangan teriak. Aku tidak tuli, Kawan,” sahut Gery dengan suaranya yang terdengar enteng dan sepertinya sedang memakan sesuatu.“Istriku tidak tahu apa-apa, kenapa kau membunuhnya?!!”“Hei … bukan aku yang membunuhnya. Aku hanya membantu saudara iparku mengganti obatnya. Itu sa
“Aku dengar … kau bersikeras ingin bertemu denganku, Manis? Sampai kau tidak mau makan?”Riana mengangkat matanya yang sudah terlihat sayu. Wajah cantiknya berpoles debu. Lingkaran hitam menghias bawah matanya dan bibirnya sedikit membengkak karena terlalu banyak ia gigit sendiri demi membuat dirinya tetap terjaga.“Oh, lihatlah tubuhmu. Kenapa menyiksa diri sendiri, hmm? Kau harusnya berterima kasih pada kami, karena masih memberimu makan. Di luar sana untuk mendapat 1 roti ini saja, mereka rela membunuh,” sambung lelaki itu seraya menggerak-gerakkan roti kering di tangannya, yang ia ambil dari piring stainless di depan Riana.“Kau … apa sebenarnya … maumu? Siapa kau?” tanya Riana dengan napas terengah. Tubuh wanita itu terlihat lemah. Bahkan untuk duduk pun, ia menggunakan jerami untuk bersandar.Alis lelaki itu terangkat. Ia membuang roti di tangannya, lalu berdiri dan menyempilkan kedua tanganny
Alis Gery menukik. Ia melihat bawahannya sejenak, lalu kembali menatap seorang wanita yang berlari ke arahnya dan menyipitkan matanya. “Ada apa? Kenapa ke mari?” ‘Xian-Lie?’ batin Riana. Riana mengeryit. Ia memandang lelaki berwajah oriental di depannya dan ke arah wanita yang sangat mirip Xian Lie itu bergantian. Ia memejam dan membuka matanya. Berusaha memfokuskan matanya untuk melihat wanita yang berdiri beberapa langkah darinya itu. Lampu yang tak begitu terang menyulitkannya. “Pa, Victor … Victor ada di sini. Mereka … hah hahh … mereka mengambil … anak itu! Kita harus … pergi dari sini sekarang!” Mata Riana melebar. Itu benar Xian Lie! Suara khas tunangan Eric itu, akhirnya mengkonfirmasi dugaannya. ‘Me-mereka … jadi, dia ayah Xian Lie? Mereka yang menculikku?' Riana tak beralih menatap putri tunggal Gery itu. Giginya mengerat menahan amarah. Hidungnya berkerut layaknya banteng yang terganggu. Gery se
Gery tersentak. ia melihat ke belakang. Suara tembakan di dalam gudang kian keras terdengar. Tangan kanan putranya sudah mendekat!“Hahh hahh … Tuan, ke arah sini!” seru seorang anak buah Gery yang datang dari arah hutan. Lelaki itu menunjuk sebuah jalan setapak yang cukup gelap.“Saya sudah membuat jejak palsu. Dalam 10 menit, boat akan sampai di pantai. Kita harus bergegas, Tuan,” imbuh anak buah Gery itu ketika sudah mendekati atasannya.“Hmm. Bagus!” puji Gery. Lelaki itu kemudian beralih pada anak buahnya yang lain.“Kau! Suruh Ron bergegas membawa wanita itu. Cepat!”Salah satu anak buah Gery itu mengangguk. Ia berlari kembali ke arah gudang.Drap drap drapDerap sepatu boot ber-sol tebal terdengar mendekat. Beberapa anak buah Gery yang bertahan di dalam gudang, terpaksa mundur ke bagian belakang gudang.Dorr dorrr!&nb
Shoot….Ahh!Klakk….Tangan Gery terasa terbakar. Timah panas yang ditembakkan entah dari mana dan tanpa suara, tepat menembus beberapa centi di atas pergelangannya. Darah segar mengalir. Pistol di tangannya terlepas dan jatuh ke tanah.Gery membelalakkan mata. Semua terjadi begitu cepat. Ia melihat ke sana ke mari sambil berdesis memegangi tangannya. Tak melihat siapapun, lelaki itu memutar badannya. Siap untuk melarikan diri. Tapi….Klek klek….Bunyi kokangan senjata, menghentikan langkah kakinya. Sembari mengangkat kedua tangannya, ia membalikkan badan.“J-jangan tembak. T-tolong jangan tembak,” mohon Gery. Suaranya terdengar terbata dan bergetar. Berulang kali lelaki itu menelan ludahnya karena takut yang melanda.Drap ... drap ... drap...Langkah pelan sepatu boot terdengar mendek
London, Inggris.“Oh, dinginnya. Fuhhh….”Seorang wanita yang duduk di lorong pejalan kaki di pinggiran kota London, tampak menggosok telapak tangannya dan mengembuskan hawa.Uap yang keluar di setiap wanita itu mengembuskan napas, menunjukkan betapa rendahnya suhu udara saat itu. Ia menarik kardus dan memeluk dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya yang mengigil. Sarung tangan yang membungkus serta jaket yang menyelimuti, sepertinya masih tak mampu mengusir dingin.Beralas koran, ia duduk bersama para gelandangan dan pengemis. Wanita itu meringis melihat keadaan sekitarnya. Tak menyangka bahwa ia akan berada dalam situasi seperti ini. Tak memiliki tempat berteduh ataupun uang untuk mengisi perutnya yang lapar.Beberapa hari lalu, ia baru saja mendarat di Bandara Heathrow. Ia menghubungi keponakannya, namun hanya sebuah pesan penolakan yang ia terima.Ia berusaha menelepon temannya, tapi juga tak mendapa