“Iwan! Akhirnya kau menerima pesanku! Hahaha ….”
Mendengar suara cempreng lelaki yang telah menculik putrinya itu, emosi di dalam diri Iwan terpancing. Darahnya mendidih dan ingin rasanya ia membunuh lelaki itu saat ini juga.
“Lepaskan putriku! Brengsek!”
“Oh … hahaha … ternyata kau bisa marah juga. Waktu iparku meracuni istrimu, kamu diam saja. Aku kira kamu benar-benar sudah mati sampai tidak muncul di pemakamannya. Ternyata, kelemahanmu adalah putrimu. Hahaha….”
“GERYYYY!!! Ternyata kau juga yang membunuh istriku! KAU BAJINGAN!!!”
“Hei-hei … jangan teriak. Aku tidak tuli, Kawan,” sahut Gery dengan suaranya yang terdengar enteng dan sepertinya sedang memakan sesuatu.
“Istriku tidak tahu apa-apa, kenapa kau membunuhnya?!!”
“Hei … bukan aku yang membunuhnya. Aku hanya membantu saudara iparku mengganti obatnya. Itu sa
“Aku dengar … kau bersikeras ingin bertemu denganku, Manis? Sampai kau tidak mau makan?”Riana mengangkat matanya yang sudah terlihat sayu. Wajah cantiknya berpoles debu. Lingkaran hitam menghias bawah matanya dan bibirnya sedikit membengkak karena terlalu banyak ia gigit sendiri demi membuat dirinya tetap terjaga.“Oh, lihatlah tubuhmu. Kenapa menyiksa diri sendiri, hmm? Kau harusnya berterima kasih pada kami, karena masih memberimu makan. Di luar sana untuk mendapat 1 roti ini saja, mereka rela membunuh,” sambung lelaki itu seraya menggerak-gerakkan roti kering di tangannya, yang ia ambil dari piring stainless di depan Riana.“Kau … apa sebenarnya … maumu? Siapa kau?” tanya Riana dengan napas terengah. Tubuh wanita itu terlihat lemah. Bahkan untuk duduk pun, ia menggunakan jerami untuk bersandar.Alis lelaki itu terangkat. Ia membuang roti di tangannya, lalu berdiri dan menyempilkan kedua tanganny
Alis Gery menukik. Ia melihat bawahannya sejenak, lalu kembali menatap seorang wanita yang berlari ke arahnya dan menyipitkan matanya. “Ada apa? Kenapa ke mari?” ‘Xian-Lie?’ batin Riana. Riana mengeryit. Ia memandang lelaki berwajah oriental di depannya dan ke arah wanita yang sangat mirip Xian Lie itu bergantian. Ia memejam dan membuka matanya. Berusaha memfokuskan matanya untuk melihat wanita yang berdiri beberapa langkah darinya itu. Lampu yang tak begitu terang menyulitkannya. “Pa, Victor … Victor ada di sini. Mereka … hah hahh … mereka mengambil … anak itu! Kita harus … pergi dari sini sekarang!” Mata Riana melebar. Itu benar Xian Lie! Suara khas tunangan Eric itu, akhirnya mengkonfirmasi dugaannya. ‘Me-mereka … jadi, dia ayah Xian Lie? Mereka yang menculikku?' Riana tak beralih menatap putri tunggal Gery itu. Giginya mengerat menahan amarah. Hidungnya berkerut layaknya banteng yang terganggu. Gery se
Gery tersentak. ia melihat ke belakang. Suara tembakan di dalam gudang kian keras terdengar. Tangan kanan putranya sudah mendekat!“Hahh hahh … Tuan, ke arah sini!” seru seorang anak buah Gery yang datang dari arah hutan. Lelaki itu menunjuk sebuah jalan setapak yang cukup gelap.“Saya sudah membuat jejak palsu. Dalam 10 menit, boat akan sampai di pantai. Kita harus bergegas, Tuan,” imbuh anak buah Gery itu ketika sudah mendekati atasannya.“Hmm. Bagus!” puji Gery. Lelaki itu kemudian beralih pada anak buahnya yang lain.“Kau! Suruh Ron bergegas membawa wanita itu. Cepat!”Salah satu anak buah Gery itu mengangguk. Ia berlari kembali ke arah gudang.Drap drap drapDerap sepatu boot ber-sol tebal terdengar mendekat. Beberapa anak buah Gery yang bertahan di dalam gudang, terpaksa mundur ke bagian belakang gudang.Dorr dorrr!&nb
Shoot….Ahh!Klakk….Tangan Gery terasa terbakar. Timah panas yang ditembakkan entah dari mana dan tanpa suara, tepat menembus beberapa centi di atas pergelangannya. Darah segar mengalir. Pistol di tangannya terlepas dan jatuh ke tanah.Gery membelalakkan mata. Semua terjadi begitu cepat. Ia melihat ke sana ke mari sambil berdesis memegangi tangannya. Tak melihat siapapun, lelaki itu memutar badannya. Siap untuk melarikan diri. Tapi….Klek klek….Bunyi kokangan senjata, menghentikan langkah kakinya. Sembari mengangkat kedua tangannya, ia membalikkan badan.“J-jangan tembak. T-tolong jangan tembak,” mohon Gery. Suaranya terdengar terbata dan bergetar. Berulang kali lelaki itu menelan ludahnya karena takut yang melanda.Drap ... drap ... drap...Langkah pelan sepatu boot terdengar mendek
London, Inggris.“Oh, dinginnya. Fuhhh….”Seorang wanita yang duduk di lorong pejalan kaki di pinggiran kota London, tampak menggosok telapak tangannya dan mengembuskan hawa.Uap yang keluar di setiap wanita itu mengembuskan napas, menunjukkan betapa rendahnya suhu udara saat itu. Ia menarik kardus dan memeluk dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya yang mengigil. Sarung tangan yang membungkus serta jaket yang menyelimuti, sepertinya masih tak mampu mengusir dingin.Beralas koran, ia duduk bersama para gelandangan dan pengemis. Wanita itu meringis melihat keadaan sekitarnya. Tak menyangka bahwa ia akan berada dalam situasi seperti ini. Tak memiliki tempat berteduh ataupun uang untuk mengisi perutnya yang lapar.Beberapa hari lalu, ia baru saja mendarat di Bandara Heathrow. Ia menghubungi keponakannya, namun hanya sebuah pesan penolakan yang ia terima.Ia berusaha menelepon temannya, tapi juga tak mendapa
“XIAN LIEEE!!” Eric berteriak murka. Wajahnya merah padam. Tangannya yang menggenggam senjata bergetar hebat. “Tidak perlu berteriak padaku! Pilih! Riana atau … anak harammu ini!” Bakk Bukk…. Gery tiba-tiba merampas senjata Iwan. Ia menendang jatuh ayah Riana hingga terjengkang. Lelaki itu bergelung di tanah dan berjongkok mengarahkan senjata laras panjang yang ia rebut dari Iwan pada Evan. Klek klek “Kalian diam di tempat! Atau kutarik pelatuk ini pada anak itu!” ancam Gery. Ia sudah mengokang senjatanya. Bahkan jari telunjuk sudah berada di pelatuk. Semua berlangsung begitu cepat. Saat semua orang menaruh perhatian pada Xian Lie. Eric menatap geram para bodyguard Konrad yang masih berdiri di sekitar mereka. Para Bodyguard itu masih menodongkan senjata ke arah Gery dan Xian Lie tapi mereka bisa kecolongan seperti ini? Mata Eric tak terla
“Anakku sudah ada pada mereka, kau mau aku juga menyerahkan istriku? Tidak akan!” kekeuh Eric dengan mata tajamnya pada polisi itu.“Eric! E-van anakku … a-ku tidak a-kan mem-biarkan di-a begitu sa-ja!”Riana kembali berusaha melepas tangan Eric. Eric menggeleng. Ia memandang memohon pada Riana. Hati kecilnya berkata bahwa ia akan kehilangan wanita ini jika ia melepasnya. Tidak bisa. Tidak akan!“E-ric!”“Tidak! Aku tidak mau!”“Eric! Kau lebih menyayangi perempuan itu rupanya!” seru Xian Lie. Dada putri Gery itu naik turun dengan cepat. Matanya tajam menunjukkan keseriusannya.Ia menodongkan senjata ke kepala Evan. Eric dan Riana terkesiap. Begitu juga yang lain.“Tidak! Jangan! A-aku yang akan membawanya! Yang kau inginkan adalah aku, Xian Lie! Bukan Riana! Aku, aku akan membawa barangnya!” seru Eric.Lelaki itu melihat Dave dan mengangguk padanya.
“Huaaaa … Mommy! Dad! I’m scared! Huaa ( … Mama! Papa! Aku takut!)….”Tangis Evan seketika pecah. Bocah itu menatap horor ke sisinya. Jauh di bawah sana, ia bisa melihat karang dan deburan ombak yang silih berganti menampar jajaran karang.“Kurang ajaarr!” geram Eric sambil menggegat gigi-giginya.Dave menelan ludah. Evan dalam posisi menjorok 40 derajat dari tebing. Tanah dan batu kapur di kakinya sesekali terjatuh saat Evan ingin menapak dengan benar.“T-tenang, Eric. Jangan gegabah. Kita justru akan kehilangan mereka berdua kalau kau membuat kesalahan!” Dalam ketidakpastian, Dave mencoba memberi nasehat.“Dengar, Eric! Aku tidak akan kehilangan apapun kalau kau menembakku saat ini. Tapi … kau bisa ucapkan selamat tinggal pada mereka berdua kalau kau berani berbuat macam-macam!” ancam Xian Lie.Gery menggeram. Siapa bilang tidak akan kehilangan apapun? Aku ti