“Huaaaa … Mommy! Dad! I’m scared! Huaa ( … Mama! Papa! Aku takut!)….”
Tangis Evan seketika pecah. Bocah itu menatap horor ke sisinya. Jauh di bawah sana, ia bisa melihat karang dan deburan ombak yang silih berganti menampar jajaran karang.
“Kurang ajaarr!” geram Eric sambil menggegat gigi-giginya.
Dave menelan ludah. Evan dalam posisi menjorok 40 derajat dari tebing. Tanah dan batu kapur di kakinya sesekali terjatuh saat Evan ingin menapak dengan benar.
“T-tenang, Eric. Jangan gegabah. Kita justru akan kehilangan mereka berdua kalau kau membuat kesalahan!” Dalam ketidakpastian, Dave mencoba memberi nasehat.
“Dengar, Eric! Aku tidak akan kehilangan apapun kalau kau menembakku saat ini. Tapi … kau bisa ucapkan selamat tinggal pada mereka berdua kalau kau berani berbuat macam-macam!” ancam Xian Lie.
Gery menggeram. Siapa bilang tidak akan kehilangan apapun? Aku ti
Dave mendekati bocah yang masih setia menutup mata, lalu memegang jemari kecilnya.“Evan, your mom sacrifices her life for you again. Please, get well soon. You are your daddy’s only strength now (Evan, ibumu mengorbankan hidupnya untukmu. Aku mohon, cepatlah membaik. Hanya kau kekuatan ayahmu sekarang),” lirih Dave.Sementara itu di tebing Mont Klint, Eric ikut menyusur pantai penuh karang itu untuk mencari jejak Riana. Ia tahu, kecil harapan bahwa wanitanya akan selamat. Tapi, sekecil apapun itu, ia ingin tetap memegangnya.“Tuan Jenkins, makanlah dulu.” Seorang lelaki yang Eric ketahui adalah kepala polisi mengulurkannya sebuah roti.Eric hanya melirik roti itu dan kembali berjalan menapaki bebatuan.“Haihh … Tuan, kalau seandainya istri Anda tahu, dia pasti tidak akan senang melihat Anda menyiksa diri sendiri seperti ini. Saya juga kehilangan istri saya beberapa tahun lalu. Seperti Anda,
2 tahun kemudianSeorang wanita duduk di kursi roda di halaman sebuah rumah khas Skandinavia. Dengan palet di tangannya, ia mengabadikan pemandangan laut lepas di depannya dengan perahu dan boat beraneka jenis yang ada di sana.Kuncir ekor kudanya melambai karena tiupan angin laut yang menyegarkan. Wanita itu tak berhenti tersenyum karena suguhan indah yang menyegarkan matanya.Srak … srakk….Suara langkah kaki di atas rerumputan di belakangnya, membuat wanita itu menoleh. Senyum yang terurai di bibirnya bertambah lebar saat melihat seorang lelaki dengan rambut yang sudah mulai ditumbuhi uban, berjalan mendekatinya.“Ana, di sini sangat dingin. Ayo masuk,” ajak lelaki itu lembut.Riana menggeleng. Ia menunjuk goresan kanvas yang ada di depannya lalu kembali mempertegas warna-warna untuk gambarnya dengan kuas.Lelaki itu melihat hasil gambar Riana dan kembali memandang
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.