London, Inggris.
“Oh, dinginnya. Fuhhh….”
Seorang wanita yang duduk di lorong pejalan kaki di pinggiran kota London, tampak menggosok telapak tangannya dan mengembuskan hawa.
Uap yang keluar di setiap wanita itu mengembuskan napas, menunjukkan betapa rendahnya suhu udara saat itu. Ia menarik kardus dan memeluk dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya yang mengigil. Sarung tangan yang membungkus serta jaket yang menyelimuti, sepertinya masih tak mampu mengusir dingin.
Beralas koran, ia duduk bersama para gelandangan dan pengemis. Wanita itu meringis melihat keadaan sekitarnya. Tak menyangka bahwa ia akan berada dalam situasi seperti ini. Tak memiliki tempat berteduh ataupun uang untuk mengisi perutnya yang lapar.
Beberapa hari lalu, ia baru saja mendarat di Bandara Heathrow. Ia menghubungi keponakannya, namun hanya sebuah pesan penolakan yang ia terima.
Ia berusaha menelepon temannya, tapi juga tak mendapa
“XIAN LIEEE!!” Eric berteriak murka. Wajahnya merah padam. Tangannya yang menggenggam senjata bergetar hebat. “Tidak perlu berteriak padaku! Pilih! Riana atau … anak harammu ini!” Bakk Bukk…. Gery tiba-tiba merampas senjata Iwan. Ia menendang jatuh ayah Riana hingga terjengkang. Lelaki itu bergelung di tanah dan berjongkok mengarahkan senjata laras panjang yang ia rebut dari Iwan pada Evan. Klek klek “Kalian diam di tempat! Atau kutarik pelatuk ini pada anak itu!” ancam Gery. Ia sudah mengokang senjatanya. Bahkan jari telunjuk sudah berada di pelatuk. Semua berlangsung begitu cepat. Saat semua orang menaruh perhatian pada Xian Lie. Eric menatap geram para bodyguard Konrad yang masih berdiri di sekitar mereka. Para Bodyguard itu masih menodongkan senjata ke arah Gery dan Xian Lie tapi mereka bisa kecolongan seperti ini? Mata Eric tak terla
“Anakku sudah ada pada mereka, kau mau aku juga menyerahkan istriku? Tidak akan!” kekeuh Eric dengan mata tajamnya pada polisi itu.“Eric! E-van anakku … a-ku tidak a-kan mem-biarkan di-a begitu sa-ja!”Riana kembali berusaha melepas tangan Eric. Eric menggeleng. Ia memandang memohon pada Riana. Hati kecilnya berkata bahwa ia akan kehilangan wanita ini jika ia melepasnya. Tidak bisa. Tidak akan!“E-ric!”“Tidak! Aku tidak mau!”“Eric! Kau lebih menyayangi perempuan itu rupanya!” seru Xian Lie. Dada putri Gery itu naik turun dengan cepat. Matanya tajam menunjukkan keseriusannya.Ia menodongkan senjata ke kepala Evan. Eric dan Riana terkesiap. Begitu juga yang lain.“Tidak! Jangan! A-aku yang akan membawanya! Yang kau inginkan adalah aku, Xian Lie! Bukan Riana! Aku, aku akan membawa barangnya!” seru Eric.Lelaki itu melihat Dave dan mengangguk padanya.
“Huaaaa … Mommy! Dad! I’m scared! Huaa ( … Mama! Papa! Aku takut!)….”Tangis Evan seketika pecah. Bocah itu menatap horor ke sisinya. Jauh di bawah sana, ia bisa melihat karang dan deburan ombak yang silih berganti menampar jajaran karang.“Kurang ajaarr!” geram Eric sambil menggegat gigi-giginya.Dave menelan ludah. Evan dalam posisi menjorok 40 derajat dari tebing. Tanah dan batu kapur di kakinya sesekali terjatuh saat Evan ingin menapak dengan benar.“T-tenang, Eric. Jangan gegabah. Kita justru akan kehilangan mereka berdua kalau kau membuat kesalahan!” Dalam ketidakpastian, Dave mencoba memberi nasehat.“Dengar, Eric! Aku tidak akan kehilangan apapun kalau kau menembakku saat ini. Tapi … kau bisa ucapkan selamat tinggal pada mereka berdua kalau kau berani berbuat macam-macam!” ancam Xian Lie.Gery menggeram. Siapa bilang tidak akan kehilangan apapun? Aku ti
Dave mendekati bocah yang masih setia menutup mata, lalu memegang jemari kecilnya.“Evan, your mom sacrifices her life for you again. Please, get well soon. You are your daddy’s only strength now (Evan, ibumu mengorbankan hidupnya untukmu. Aku mohon, cepatlah membaik. Hanya kau kekuatan ayahmu sekarang),” lirih Dave.Sementara itu di tebing Mont Klint, Eric ikut menyusur pantai penuh karang itu untuk mencari jejak Riana. Ia tahu, kecil harapan bahwa wanitanya akan selamat. Tapi, sekecil apapun itu, ia ingin tetap memegangnya.“Tuan Jenkins, makanlah dulu.” Seorang lelaki yang Eric ketahui adalah kepala polisi mengulurkannya sebuah roti.Eric hanya melirik roti itu dan kembali berjalan menapaki bebatuan.“Haihh … Tuan, kalau seandainya istri Anda tahu, dia pasti tidak akan senang melihat Anda menyiksa diri sendiri seperti ini. Saya juga kehilangan istri saya beberapa tahun lalu. Seperti Anda,
2 tahun kemudianSeorang wanita duduk di kursi roda di halaman sebuah rumah khas Skandinavia. Dengan palet di tangannya, ia mengabadikan pemandangan laut lepas di depannya dengan perahu dan boat beraneka jenis yang ada di sana.Kuncir ekor kudanya melambai karena tiupan angin laut yang menyegarkan. Wanita itu tak berhenti tersenyum karena suguhan indah yang menyegarkan matanya.Srak … srakk….Suara langkah kaki di atas rerumputan di belakangnya, membuat wanita itu menoleh. Senyum yang terurai di bibirnya bertambah lebar saat melihat seorang lelaki dengan rambut yang sudah mulai ditumbuhi uban, berjalan mendekatinya.“Ana, di sini sangat dingin. Ayo masuk,” ajak lelaki itu lembut.Riana menggeleng. Ia menunjuk goresan kanvas yang ada di depannya lalu kembali mempertegas warna-warna untuk gambarnya dengan kuas.Lelaki itu melihat hasil gambar Riana dan kembali memandang
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat