Ayu menatap sendu wajah Riana yang teduh terpejam. Terbaring di sofa dengan dengan baju clubbing dan rambut acak-acakan, menambah sesak dada Ayu.
“Bu … sebenarnya Ibu cinta sama siapa? … Ayu sudah bilang ‘kan, Bu. Tuan Jenkins sudah punya tunangan. Dan ibu juga … hahh…,” desah Ayu.
Wanita berkulit eksotis memandang layar ponselnya. Di mana berita pengumuman pernikahan Eric yang akan berlansung bulan depan terpampang.
“Baru seminggu pulang ke London dan sekarang … sudah mengumumkan mau nikah. Apa begini cara main orang kaya? Seenaknya aja memainkan perasaan orang lalu mencampakkan begitu saja,” tukas Ayu lirih.
Toktok….
Ayu melihat ke pintu. Ia meletakkan ponselnya di meja dan berjalan untuk melihat siapa yang datang.
Ceklek
Ayu terpaku. Tubuhnya membeku tak dapat bergerak. Demikian pula tamu dia yang ia bukakan pintu.
Lelaki itu juga tampak tertegun. Jakunnya n
Jemari dengan kuku bercat merah yang menyodorkan secangkir kopi, menjadi yang pertama dilihat manik hijau itu, tapi tak lama mata itu kembali pada kertas yang ada di tangannya.“Babe, minum kopi dulu.”Tak ada reaksi dari pemilik cufflink mewah itu. Tangan itu justru bergerak menggoser pena di atas kertas, lalu kembali ke komputernya mengetik sesuatu.“Babe, ibu memanggil kita ke mansion untuk makan malam. Kamu tidak lupa, ‘kan?”Wanita berbalut mini dress itu perlahan melangkah mendekati lelaki yang adalah ayah dari Evan, Eric Fransisco Jenkins.Ia lantas berdiri di belakang kursi besar itu dan menempatkan tangannya di kedua bahu Eric.Srekk….Belum lagi sempat wanita itu memijat, Eric sudah berdiri lalu berbalik dan menatap tajam ke arah si wanita.“KELUAR!!!”“Eric!”“Keluar! Jangan menyuruhku mengulangnya, Xian Lie!&
Keributan yang terjadi di café MoonBuck, antara Ellena dan Riana begitu cepat tersebar. Begitu juga dengan foto-foto Riana yang sedang mabuk dan dipaksa Ayu untuk masuk ke mobil.Tak dijelaskan dengan pasti alasan keduanya bertengkar ataupun mengapa Riana sampai terlihat sangat mabuk.Namun, yang menjadi perhatian laki-laki pemilik manik hijau itu, tertuju pada lelaki yang menjadi penengah di antara kedua wanita itu.Matanya kian lama kian tajam, ketika ia menggulir layar komputernya ke bawah. Di mana, ia melihat bagaimana lelaki di dalam foto merangkul Riana.CeklekWajah yang masih terlihat tegang dan dingin itu, berpaling ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Desahan napas kasar dan rahang yang bergerak malas, menyambut wanita yang baru saja berjalan masuk.“What are you doing here (Apa yang kau lakukan di sini)?” tanya lelaki itu dingin, seraya menatap malas wani
Tok tok….“Bu!”Riana yang baru saja selesai berdandan, segera berdiri dan menuju pintu kamar hotelnya. Ia tersenyum saat mendapati asistennya berdiri di depan pintu.Lain halnya dengan Nisa. Wanita itu membuka lebar mulut dan matanya kala melihat penampilan Riana.Atasannya tampak begitu memesona dalam balutan gaun cocktail berwarna solid hitam berbahan polyster fiber kombinasi brokat transparan pada lengan panjangnya, serta konsep longguete skirt (rok pensil dalam bahasa Italia) di bagian bawahnya.Gaun yang sengaja Riana beli di salah satu mall itu, seakan dibuat khusus untuk Riana. Potongannya sangat pas membentuk lekuk sexy tubuh Riana. Detail V-neck yang diberi sedikit aksen bulu burung unta, memperlihatkan belahan dada Riana yang menggoda. Lalu ada highwaist yang semakin mempertegas body gitar spanyol Riana juga perut ratanya.“Ya, ampuuun! Cantik bangeett!!!” seru Nisa sambil berjingkrak l
Riana menggeret kopernya menuju resepsionis dan mengurus proses check-outnya. Tak lama, Nisa terlihat menyusul Riana sambil menguap dan berjalan malas. Ibunda Evan itu menghela napas dan menggeleng, saat melihat sang asisten yang seperti kurang tidur. “Nis. Tidur jam berapa semalam?” tanya Riana seraya menarik lagi kopernya menuju pintu keluar. “Jam 2, Bu.”“Haihh … aku ‘kan sudah bilang. Kita check-out jam 6.”“Maaf, Bu. Saya belum pernah ke Bali jadi….”“Ya, sudah. Ayo! Taksinya udah datang,” ajak Riana.Keduanya berjalan menuju pintu keluar dan memberikan koper mereka pada sopir taksi yang sudah menunggu. “Pagi-pagi udah seger aja nih. Yang semalam, tenaganya masih kurang besar sepertinya.”Mendengar suara familiar, Riana hanya berpaling sekilas dan kembali melihat sopir yang sedang menata koper di bagasi. “Ud
“Mas Dimas?” panggil Riana. Ia menatap heran mantan tunangannya itu dan melihat ke sekeliling pintu kedatangan.Ia tak pernah memberitahu Dimas soal keberangkatan ataupun kapan ia akan kembali. Tapi. lelaki itu kini berdiri di depannya. Di pintu keluar bandara. Menunggunya.“Sini. Aku aja yang bawa kopernya. Capek, ya?” Dimas maju beberapa langkah dan mengambil koper Riana.“Ehm … ya, lumayan,” ucap Riana kaku dan canggung. Ia menelan ludahnya dengan berat dan diam-diam mencuri pandang pada lelaki itu.“Nis, apa kamu mau bareng kita?” tanya Dimas pada asisten Riana, setelah selesai ia memasukkan koper ibunda Evan itu ke dalam mobilnya.Nisa segera melambaikan tangannya dan menggeleng. “Tidak usah! Terima kasih, Pak. Saya … naik taksi aja. Terima kasih, terima kasih,” tolak Nisa cepat. Wanita berparas manis itu lantas mengalihkan perhatiannya pada Riana.“Bu
“SUKA TIDAK SUKA, AYAHMU AKAN MENIKAHINYA!!”Evan berjingkat kaget. Bocah itu segera bangun dan merapatkan tubuhnya pada Diane. Dalam pelukan pengasuhnya itu, Evan mengintip sang nenek yang berjalan mendekatinya dengan angkuh.“Kamu ingin seorang ibu, ‘kan? Xian Lie akan menjadi ibumu. Perempuan yang kamu temui di Jakarta, dia bukan ibumu.Dia hanya perempuan yang kebetulan melahirkanmu. Tapi ... dia BUKAN ibumu! Mengerti?! Kalau kau masih ingin jadi anak ayahmu, dengarkan baik-baik perkataanku. Sekarang, jangan banyak tingkah. Cepat habiskan makanmu!”Bibir Evan bergetar. Ia membenamkan wajahnya pada dada Diane. Sedu sedan perlahan terdengar dan berubah menjadi sebuah raungan ketika putra Eric itu melihat, bahwa sang nenek sudah berjalan ke luar dari kamarnya.“Diane … aku mau mommy … aaa … uaaa….”Diane memeluk erat miniatur Eric itu dan menatap kesal ke arah pintu. Di d
RS. Sans Medica“Apa yang terjadi?”Asisten rumah tangga dan sopir pribadi Wendy itu saling berpandangan. Keduanya ragu untuk berucap dan tak berani menatap suami majikannya.“Apa kalian tidak punya mulut, hah?!” amuk Irawan.“Kau ingin tahu?”Irawan mendongak dan melihat ke pintu. Di mana putrinya berjalan gontai mendekatinya sambil menatapnya datar.“Ellena!”“Jangan berteriak padaku!” bentak Ellena balik dengan mata melotot melihat ayahnya.Irawan menatap tajam sang putri. Ia kemudian memberi kode dengan gerakan kepala pada kedua bawahannya, untuk keluar dari kamar rawat istrinya.“Baik, Tuan. Kami permisi,” pamit mbak Na dan segera keluar.“Jangan membuat Papa marah, Ellena!” kecam Irawan tanpa mengurangi ketajaman sorot matanya pada putrinya.Ellena mendengkus. Ia menyeringai reme
“Aku kembali ke London. Besok ada rapat penting. Kalau kau memaksa menikah dengan lelaki itu … bersiaplah untuk melihat bagaimana dia akan kehilangan semua yang ia miliki.” Klek Pintu kamar kembali tertutup. Riana memejamkan matanya, lalu mengusap wajahnya yang basah dengan selimut dan menarik napas dalam-dalam. “Eric … apa yang harus aku lakukan agar kau tidak lagi mengusik kehidupanku lagi? Aku sudah lelah dengan semua ini." Di dalam gelap, Riana terus meringkuk di atas petidurannya. Memikirkan semua yang telah terjadi di dalam hidupnya. "Evan ... I'm sorry. Mommy tidak bisa memenuhi janji." Malam bertambah larut, tapi Riana tampak baru saja keluar dari kamar mandinya, walau sudah hampir sejam yang lalu ia masuk ke sana untuk memanjakan tubuh lelahnya di dalam bath tub. Ia duduk di meja rias dan menangkap jejak merah yang ada di lehernya. Matanya terpejam erat, saat mengingat apa yang terjadi