RS. Sans Medica
“Apa yang terjadi?”
Asisten rumah tangga dan sopir pribadi Wendy itu saling berpandangan. Keduanya ragu untuk berucap dan tak berani menatap suami majikannya.
“Apa kalian tidak punya mulut, hah?!” amuk Irawan.
“Kau ingin tahu?”
Irawan mendongak dan melihat ke pintu. Di mana putrinya berjalan gontai mendekatinya sambil menatapnya datar.
“Ellena!”
“Jangan berteriak padaku!” bentak Ellena balik dengan mata melotot melihat ayahnya.
Irawan menatap tajam sang putri. Ia kemudian memberi kode dengan gerakan kepala pada kedua bawahannya, untuk keluar dari kamar rawat istrinya.
“Baik, Tuan. Kami permisi,” pamit mbak Na dan segera keluar.
“Jangan membuat Papa marah, Ellena!” kecam Irawan tanpa mengurangi ketajaman sorot matanya pada putrinya.
Ellena mendengkus. Ia menyeringai reme
“Aku kembali ke London. Besok ada rapat penting. Kalau kau memaksa menikah dengan lelaki itu … bersiaplah untuk melihat bagaimana dia akan kehilangan semua yang ia miliki.” Klek Pintu kamar kembali tertutup. Riana memejamkan matanya, lalu mengusap wajahnya yang basah dengan selimut dan menarik napas dalam-dalam. “Eric … apa yang harus aku lakukan agar kau tidak lagi mengusik kehidupanku lagi? Aku sudah lelah dengan semua ini." Di dalam gelap, Riana terus meringkuk di atas petidurannya. Memikirkan semua yang telah terjadi di dalam hidupnya. "Evan ... I'm sorry. Mommy tidak bisa memenuhi janji." Malam bertambah larut, tapi Riana tampak baru saja keluar dari kamar mandinya, walau sudah hampir sejam yang lalu ia masuk ke sana untuk memanjakan tubuh lelahnya di dalam bath tub. Ia duduk di meja rias dan menangkap jejak merah yang ada di lehernya. Matanya terpejam erat, saat mengingat apa yang terjadi
“Mas, punya korek?” tanya pak Yono setelah ia mencegat seorang lelaki ber-hoodie hitam yang sedang berjalan dari arah kediaman Irawan.Lelaki itu menggeleng dan hendak kembali berjalan. Namun, tangan pak Yono dengan cepat mencekalnya.“Ayolah, Mas. Pinjamkan saya. Itu Mas-nya punya rokok. Jadi, pasti punya korek, ‘kan?”Lelaki dengan jaket hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada itu, terlihat kesal. Ia menatap datar Yono dan mengambil bungkus rokok yang ia selipkan di kantong celananya.“Aku baru beli ini di toko sana untuk temanku. Kalau kamu butuh korek … itu, di sana ada toko,” tunjuk lelaki itu dengan nada tak suka.Yono melihat arah yang ditunjuk dan menyeringai. “Ini ‘kan perumahan orang-orang kaya, Mas. Masa ada toko kelontong?”“Yang bilang toko kelontong itu siapa? Sono … Mas jalan lurus terus belok kiri. 100-meter ada Alpmart. Mas bisa beli di san
Riana tampak sibuk dengan komputernya. Entah apa yang ia lakukan, hingga tak menyadari ada seorang lelaki sudah berdiri sambil berkacak pinggang di depan mejanya. Toktok…. Lelaki itu mengetuk meja kerja Riana untuk menarik perhatian wanita itu. Benar saja, Riana terkesiap. Ia menoleh dan melihat lelaki yang tengah berdiri itu dan menatapnya. “Mas Dimas? Kok di sini?” “Kenapa? Apa aku gak boleh ke sini?” Riana mengerutkan alis. Ia merasa ada sindiran di balik kalimat yang Dimas ucapkan. “Ya, biasanya Mas Dimas kalau ke sini ‘kan telpon dulu,” sahut Riana, lalu kembali bekerja dengan komputernya. “Trish, apa harus seperti ini? Apa harus, kamu membuat Ellena dipecat dan dipenjara supaya bisa duduk di kursinya ini, hmm?” Tangan Riana yang sedang mengetik sesuatu di komputernya, serta merta terhenti. Perlahan, ia mengalihkan perhatiannya pada Dimas seraya bersandar di kursi kebesarannya.
London, Inggris.Eric melangkah lebar menuju kamar putranya di lantai atas. Wajahnya terlihat sangat dingin dengan kedua tangan yang terkepal kuat di kedua sisi tubuhnya.Brakk“Lepaskan tanganmu dari anakku!” sentak Eric dengan suaranya yang menggelegar memenuhi ruangan.Wanita yang memegang bahu Evan dengan kuat itu, seketika berdiri tegak dan melepas tangannya dari bocah itu.“Daddy! Huhuhu….”“E-eric … ini ti-tid—”Eric mengambil langkah lebar dan mendorong wanita itu menjauh dari putranya, hingga wanita berpakaian seksi itu hampir saja terjatuh.Eric kemudian menggendong bocah yang sedang menangis tergugu itu dan menatap garang wanita yang berdiri melihatnya dengan gemetar.“Berani sekali kau memarahi putraku, Xian Lie!” bentak Eric.“Baby … I, I just (Sayang … aku, aku hanya
Riana segera melihat ponselnya dan menggeser tombol hijau di layar.“Andrew? … Andrew dengarkan aku. Seseorang berhasil mengambil berkasku dari kantor Dr. Ariek. Di sana ada alamat apartemenku dan Ida di Berlin dulu. Aku—”“Shhh ... Ana! Ana! Tenang dulu ... tenang. Pelan-pelan bicaranya. Oke?""Andrew, aku ... tolong aku. Andrew. Aku yakin, aku yakin mereka akan ke apartemenku dan ... dan memeriksa barang-barangku di sana. Mereka pasti akan—""Ssh! Ana, tenanglah. Jangan kuatir. Aku akan mampir ke sana, oke? ... sekarang katakan. Apa yang harus aku lakukan?”“Ada kotak. Di sana isinya ijazah sekolah, foto-fotoku dari kecil dan mama juga. Aku letakkan di bawah tempat tidurku, bisa tolong amankan?” jawab Riana yang berbicara dalam bahasa Jerman yang fasih.“Oke. Ada lagi?”“Ehm … aku rasa hanya itu. Andrew, maaf. Maafkan aku. Aku harus merepotkanmu dan Ida
“P-pak Dimas? Da-dari mana Pak Dimas rumah saya?”Mata Ayu membulat sempurna, ketika ia melihat Dimas berdiri didepan pintu kontrakannya.“Boleh aku masuk? Aku ingin bicara denganmu.”Ayu yang masih terkejut karena kedatangan lelaki yang ingin hindari itu, secara tak sadar mengangguk dan mempersilakan lelaki itu masuk.“Rumahmu cukup nyaman. Sudah lama kamu tinggal di sini?” tanya Dimas seraya melihat sekeliling rumah petak yang tak seberapa luas itu.Ayu yang masih tak mempecayai matanya, terhenyak dari lamunannya setelah mendengar pertanyaan Dimas. Ia kemudian mengangguk dan menunjuk sofa tamunya.“Si-silakan duduk,” ucap Ayu terbata. “Mau minum apa, Pak?”Dimas menggeleng. Ia kemudian menunjuk sofa single dan mengisyaratkan Ayu yang masih saja berdiri untuk duduk.“Oh, baik.”Dengan canggung Ayu duduk di sofanya, namun ia tak berani untuk me
Gedung The Royal Group, London, Inggris.“Tuan! Tuan Jenkins! Anda tidak bisa ke Jakarta sekarang!” seru Derek yang mengerti tujuan Eric yang tiba-tiba saja keluar dari kantornya dan berjalan cepat menuju lift.Eric berbalik. Matanya yang tajam terarah pada asisten pribadinya itu.“Siapa kamu berani melarangku, hah?! Hubungi pilot sekarang!” titah Eric.“Maaf, tidak bisa, Tuan!”Alis Eric menukik tajam. Ia mengeratkan giginya dan menarik kerah Derek.“Kalau masih ingin pekerjaan ini, TURUTI PERINTAHKU!”“I’m sorry, Young Master. I can’t (Maaf, Tuan Muda. Saya tidak bisa).”Bibir Eric kian erat terkatup. Sorotnya menghujam sang asisten, seolah dengan matanya ia sanggup membunuh pengganti Dave itu.“You-are-fire (kau-di-pecat)!” desis Eric lalu mendorong kasar asistennya itu dan menuju lift.“MIRANDA! HUBUNGI COOP
Riana terdiam mendengarkan penjelasan Ayu. Di dalam hati, ia merasa lucu karena lelaki sudah "mengkhianati"-nya lagi lagi.Memang tak ada niat di dalam hatinya untuk menikahi Dimas ataupun ia mencintai lelaki itu. Tapi tetap, rasa kecewa itu ada. Lelaki yang berkata mencintainya dan teman yang sudah ia anggap saudara, mengkhianatinya.‘Apakah aku memang layak diperlakukan seperti ini? Apa yang sudah kulakukan, sampai semua orang dengan mudahnya menusukku dari belakang?’Rasa sakit itu menusuk batin Riana. Dulu, Eric dengan mudahnya mencampakkannya bahkan setelah ia bertaruh nyawa demi buah hati mereka dan sekarang …“Bu’, ma-maafkan saya. Saya, saya dan pak Dimas waktu itu mabuk. Kami, kami tidak—““Yu’, aku mengerti. Tapi maaf, aku tetap tidak bisa mencabut tuntutannya. Jangan campur adukkan pekerjaan dan urusan pribadi,” ujar Riana seraya berdiri tanpa melihat Ayu yang duduk di sisinya
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat