Riana segera melihat ponselnya dan menggeser tombol hijau di layar.
“Andrew? … Andrew dengarkan aku. Seseorang berhasil mengambil berkasku dari kantor Dr. Ariek. Di sana ada alamat apartemenku dan Ida di Berlin dulu. Aku—”
“Shhh ... Ana! Ana! Tenang dulu ... tenang. Pelan-pelan bicaranya. Oke?"
"Andrew, aku ... tolong aku. Andrew. Aku yakin, aku yakin mereka akan ke apartemenku dan ... dan memeriksa barang-barangku di sana. Mereka pasti akan—"
"Ssh! Ana, tenanglah. Jangan kuatir. Aku akan mampir ke sana, oke? ... sekarang katakan. Apa yang harus aku lakukan?”
“Ada kotak. Di sana isinya ijazah sekolah, foto-fotoku dari kecil dan mama juga. Aku letakkan di bawah tempat tidurku, bisa tolong amankan?” jawab Riana yang berbicara dalam bahasa Jerman yang fasih.
“Oke. Ada lagi?”
“Ehm … aku rasa hanya itu. Andrew, maaf. Maafkan aku. Aku harus merepotkanmu dan Ida
“P-pak Dimas? Da-dari mana Pak Dimas rumah saya?”Mata Ayu membulat sempurna, ketika ia melihat Dimas berdiri didepan pintu kontrakannya.“Boleh aku masuk? Aku ingin bicara denganmu.”Ayu yang masih terkejut karena kedatangan lelaki yang ingin hindari itu, secara tak sadar mengangguk dan mempersilakan lelaki itu masuk.“Rumahmu cukup nyaman. Sudah lama kamu tinggal di sini?” tanya Dimas seraya melihat sekeliling rumah petak yang tak seberapa luas itu.Ayu yang masih tak mempecayai matanya, terhenyak dari lamunannya setelah mendengar pertanyaan Dimas. Ia kemudian mengangguk dan menunjuk sofa tamunya.“Si-silakan duduk,” ucap Ayu terbata. “Mau minum apa, Pak?”Dimas menggeleng. Ia kemudian menunjuk sofa single dan mengisyaratkan Ayu yang masih saja berdiri untuk duduk.“Oh, baik.”Dengan canggung Ayu duduk di sofanya, namun ia tak berani untuk me
Gedung The Royal Group, London, Inggris.“Tuan! Tuan Jenkins! Anda tidak bisa ke Jakarta sekarang!” seru Derek yang mengerti tujuan Eric yang tiba-tiba saja keluar dari kantornya dan berjalan cepat menuju lift.Eric berbalik. Matanya yang tajam terarah pada asisten pribadinya itu.“Siapa kamu berani melarangku, hah?! Hubungi pilot sekarang!” titah Eric.“Maaf, tidak bisa, Tuan!”Alis Eric menukik tajam. Ia mengeratkan giginya dan menarik kerah Derek.“Kalau masih ingin pekerjaan ini, TURUTI PERINTAHKU!”“I’m sorry, Young Master. I can’t (Maaf, Tuan Muda. Saya tidak bisa).”Bibir Eric kian erat terkatup. Sorotnya menghujam sang asisten, seolah dengan matanya ia sanggup membunuh pengganti Dave itu.“You-are-fire (kau-di-pecat)!” desis Eric lalu mendorong kasar asistennya itu dan menuju lift.“MIRANDA! HUBUNGI COOP
Riana terdiam mendengarkan penjelasan Ayu. Di dalam hati, ia merasa lucu karena lelaki sudah "mengkhianati"-nya lagi lagi.Memang tak ada niat di dalam hatinya untuk menikahi Dimas ataupun ia mencintai lelaki itu. Tapi tetap, rasa kecewa itu ada. Lelaki yang berkata mencintainya dan teman yang sudah ia anggap saudara, mengkhianatinya.‘Apakah aku memang layak diperlakukan seperti ini? Apa yang sudah kulakukan, sampai semua orang dengan mudahnya menusukku dari belakang?’Rasa sakit itu menusuk batin Riana. Dulu, Eric dengan mudahnya mencampakkannya bahkan setelah ia bertaruh nyawa demi buah hati mereka dan sekarang …“Bu’, ma-maafkan saya. Saya, saya dan pak Dimas waktu itu mabuk. Kami, kami tidak—““Yu’, aku mengerti. Tapi maaf, aku tetap tidak bisa mencabut tuntutannya. Jangan campur adukkan pekerjaan dan urusan pribadi,” ujar Riana seraya berdiri tanpa melihat Ayu yang duduk di sisinya
Eric membulatkan matanya. Ia mendengus, tersenyum cemooh. Ia seperti mendengar lelucon tak lucu dari bibir tua ayahnya itu.Sir Edmund tersenyum tipis. Ia tahu putranya tak akan percaya padanya. Sejak putranya berumur 12 tahun hingga sekarang 35 tahun, mantan istrinya selalu mengisi otak anaknya itu dengan hal negatif tentangnya.Tak akan mudah baginya, mengembalikan kepercayaan Eric padanya sesingkat itu.“Tidak berselingkuh? Sungguh lucu,” celetuk Eric seraya memperbaiki duduknya.“Untuk lebih jelasnya, mengapa kamu tidak tanyakan pada ayah Xian Lie apa yang sudah ia lakukan pada istri butler John?”Eric dan Xian Lie seketika saling menatap. Xian Lie kemudian menggeleng cepat. Ia menoleh melihat Sir Edmund dengan mata yang melotot tajam.“Apa maksud Anda? Sir Edmund, saya menghormati Anda sebagai ayah dari calon suami saya. Tapi bukan berarti Anda bisa—“Sir Edmund mengangkat tangannya, meng
Irawan keluar dari ruangannya dengan tergesa. Baru beberapa langkah ia melewati meja kerja sekretarisnya, ia tiba-tiba berhenti.“Kamu! Pesankan tiket untukku malam ini juga Berlin!”“Tapi, Pak. Ini sudah jam 10 malam.”Irawan mengeratkan rahangnya. Ia menunjuk-nunjuk sekretarisnya itu, namun akhirnya menghempaskan tangannya sendiri.“Pesan untuk besok! Yang paling pagi!” titahnya sambil berbalik dan melangkah pergi.Dalam perjalanan pulang, Irawan tampak gelisah. “Buono … apa dia putri Rahmat Buono?” gumamnya. “Kalau benar, bagaimana mereka bisa saling kenal?”Kilasan tatapan tajam lelaki bernama Rahmat Buono padanya, saat ditarik petugas kejaksaan keluar dari ruang sidang setelah mendapatkan vonis hakim, masih tak hilang dari ingatannya. Semuanya masih jelas tergambar di benaknya.“Kenapa berhenti?!” sentak Irawan, ketika beberapa saat ia merasakan mobiln
Riana mendesah. Ia mengusap wajahnya frustasi dan menatap lelah sosok yang menghalangi jalannya. "Ada apa lagi?" "Trish, tolong ... tolong beri aku kesempatan sekali lagi. Sekali lagi aja, please," pinta lelaki itu dengan jari telunjuk yang ia angkat di depan Riana. "Mas Dimas, Mas mau aku menutup sebelah mata dan menganggap tidak terjadi apa-apa? Mas ... ingat Ayu, Mas! Dia lagi hamil anakmu!" "Trish ... tapi aku tidak mencintai Ayu! Aku mencintaimu! Sangat mencintaimu. Beri aku kesempatan sekaliii lagi ini saja, Sayang. Aku mohon," ucap Dimas memelas seraya mencoba memegang tangan Riana. Riana memundurkan langkahnya dan menghindari tangan Dimas. "Maaf, Mas. Aku tidak bisa." Riana menyingkir dari hadapan Dimas, lalu menekan tombol lift. Tak lagi menghiraukan Dimas yang masih berdiri menatapnya sendu. Saat pintu lift terbuka dan Riana hendak melangkah masuk, dua tangan tiba-tiba saja mendorong dan merangkulnya masuk.
Farida menghela napasnya dengan berat. Matanya berkedip cepat dan membasahi bibirnya. Ia lantas memberanikan diri menatap lurus ayah Ellena itu.“Pak … Santosa?” panggil Farida seraya berpura-pura melihat kartu pasien di tangannya, di mana nama Irawan tercantum. “Anda datang ke mari untuk menginterogasi saya atau konsul masalah bedah?”Irawan menaikkan alisnya dan terkekeh. Namun beberapa saat kemudian, wajahnya berubah dingin dan bengis. Lelaki itu kemudian berdiri dan membungkuk.Brakk….Irawan menggebrak meja Farida dengan kedua tangan, yang sekaligus dijadikannya sebagai penumpu badannya. Pelan namun pasti, ia mendekatkan wajahnya pada istri Andrew itu.“Farida … aku ingat, kalau kau adalah teman main anakku, Ellena … karena itu, aku akan melepaskanmu kalau kau bicara jujur.Tapi … kalau sampai aku tahu kau membohongiku … percayalah, kau j
London, InggrisToktok….CeklekTanpa menunggu persetujuan dari dalam ruangan, Derek segera membuka pintu ruangan Eric dan berlari mendapatkan atasannya yang sedang berbicara dengan salah satu anggota dewan direksi di sofa tamunya.Alis Eric menukik tajam, melihat asistennya memasuki kantornya tanpa izin.“Derek! Where’s your manner (Mana sopan santumu)?!”Derek membungkukkan badannya dan mengusap ujung hidungnya dengan cepat.“Maaf, Tuan. Tapi ada hal penting yang harus segera saya laporkan.”“Hal penting apa sampai kau masuk ruanganku tanpa izin!” sentak Eric.Derek menghapus keringat yang tak tampak. Lelaki itu melihat sekilas pada anggota dewan direksi yang duduk di sofa panjang di sisi Eric.“Ehm, maafkan saya. Permisi.”Derek memajukan langkahnya dan berbisik di telinga Eric. Mata Eric seketika terbu
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat