Keributan yang terjadi di café MoonBuck, antara Ellena dan Riana begitu cepat tersebar. Begitu juga dengan foto-foto Riana yang sedang mabuk dan dipaksa Ayu untuk masuk ke mobil.
Tak dijelaskan dengan pasti alasan keduanya bertengkar ataupun mengapa Riana sampai terlihat sangat mabuk.
Namun, yang menjadi perhatian laki-laki pemilik manik hijau itu, tertuju pada lelaki yang menjadi penengah di antara kedua wanita itu.
Matanya kian lama kian tajam, ketika ia menggulir layar komputernya ke bawah. Di mana, ia melihat bagaimana lelaki di dalam foto merangkul Riana.
Ceklek
Wajah yang masih terlihat tegang dan dingin itu, berpaling ke arah pintu ruangannya yang terbuka. Desahan napas kasar dan rahang yang bergerak malas, menyambut wanita yang baru saja berjalan masuk.
“What are you doing here (Apa yang kau lakukan di sini)?” tanya lelaki itu dingin, seraya menatap malas wani
Tok tok….“Bu!”Riana yang baru saja selesai berdandan, segera berdiri dan menuju pintu kamar hotelnya. Ia tersenyum saat mendapati asistennya berdiri di depan pintu.Lain halnya dengan Nisa. Wanita itu membuka lebar mulut dan matanya kala melihat penampilan Riana.Atasannya tampak begitu memesona dalam balutan gaun cocktail berwarna solid hitam berbahan polyster fiber kombinasi brokat transparan pada lengan panjangnya, serta konsep longguete skirt (rok pensil dalam bahasa Italia) di bagian bawahnya.Gaun yang sengaja Riana beli di salah satu mall itu, seakan dibuat khusus untuk Riana. Potongannya sangat pas membentuk lekuk sexy tubuh Riana. Detail V-neck yang diberi sedikit aksen bulu burung unta, memperlihatkan belahan dada Riana yang menggoda. Lalu ada highwaist yang semakin mempertegas body gitar spanyol Riana juga perut ratanya.“Ya, ampuuun! Cantik bangeett!!!” seru Nisa sambil berjingkrak l
Riana menggeret kopernya menuju resepsionis dan mengurus proses check-outnya. Tak lama, Nisa terlihat menyusul Riana sambil menguap dan berjalan malas. Ibunda Evan itu menghela napas dan menggeleng, saat melihat sang asisten yang seperti kurang tidur. “Nis. Tidur jam berapa semalam?” tanya Riana seraya menarik lagi kopernya menuju pintu keluar. “Jam 2, Bu.”“Haihh … aku ‘kan sudah bilang. Kita check-out jam 6.”“Maaf, Bu. Saya belum pernah ke Bali jadi….”“Ya, sudah. Ayo! Taksinya udah datang,” ajak Riana.Keduanya berjalan menuju pintu keluar dan memberikan koper mereka pada sopir taksi yang sudah menunggu. “Pagi-pagi udah seger aja nih. Yang semalam, tenaganya masih kurang besar sepertinya.”Mendengar suara familiar, Riana hanya berpaling sekilas dan kembali melihat sopir yang sedang menata koper di bagasi. “Ud
“Mas Dimas?” panggil Riana. Ia menatap heran mantan tunangannya itu dan melihat ke sekeliling pintu kedatangan.Ia tak pernah memberitahu Dimas soal keberangkatan ataupun kapan ia akan kembali. Tapi. lelaki itu kini berdiri di depannya. Di pintu keluar bandara. Menunggunya.“Sini. Aku aja yang bawa kopernya. Capek, ya?” Dimas maju beberapa langkah dan mengambil koper Riana.“Ehm … ya, lumayan,” ucap Riana kaku dan canggung. Ia menelan ludahnya dengan berat dan diam-diam mencuri pandang pada lelaki itu.“Nis, apa kamu mau bareng kita?” tanya Dimas pada asisten Riana, setelah selesai ia memasukkan koper ibunda Evan itu ke dalam mobilnya.Nisa segera melambaikan tangannya dan menggeleng. “Tidak usah! Terima kasih, Pak. Saya … naik taksi aja. Terima kasih, terima kasih,” tolak Nisa cepat. Wanita berparas manis itu lantas mengalihkan perhatiannya pada Riana.“Bu
“SUKA TIDAK SUKA, AYAHMU AKAN MENIKAHINYA!!”Evan berjingkat kaget. Bocah itu segera bangun dan merapatkan tubuhnya pada Diane. Dalam pelukan pengasuhnya itu, Evan mengintip sang nenek yang berjalan mendekatinya dengan angkuh.“Kamu ingin seorang ibu, ‘kan? Xian Lie akan menjadi ibumu. Perempuan yang kamu temui di Jakarta, dia bukan ibumu.Dia hanya perempuan yang kebetulan melahirkanmu. Tapi ... dia BUKAN ibumu! Mengerti?! Kalau kau masih ingin jadi anak ayahmu, dengarkan baik-baik perkataanku. Sekarang, jangan banyak tingkah. Cepat habiskan makanmu!”Bibir Evan bergetar. Ia membenamkan wajahnya pada dada Diane. Sedu sedan perlahan terdengar dan berubah menjadi sebuah raungan ketika putra Eric itu melihat, bahwa sang nenek sudah berjalan ke luar dari kamarnya.“Diane … aku mau mommy … aaa … uaaa….”Diane memeluk erat miniatur Eric itu dan menatap kesal ke arah pintu. Di d
RS. Sans Medica“Apa yang terjadi?”Asisten rumah tangga dan sopir pribadi Wendy itu saling berpandangan. Keduanya ragu untuk berucap dan tak berani menatap suami majikannya.“Apa kalian tidak punya mulut, hah?!” amuk Irawan.“Kau ingin tahu?”Irawan mendongak dan melihat ke pintu. Di mana putrinya berjalan gontai mendekatinya sambil menatapnya datar.“Ellena!”“Jangan berteriak padaku!” bentak Ellena balik dengan mata melotot melihat ayahnya.Irawan menatap tajam sang putri. Ia kemudian memberi kode dengan gerakan kepala pada kedua bawahannya, untuk keluar dari kamar rawat istrinya.“Baik, Tuan. Kami permisi,” pamit mbak Na dan segera keluar.“Jangan membuat Papa marah, Ellena!” kecam Irawan tanpa mengurangi ketajaman sorot matanya pada putrinya.Ellena mendengkus. Ia menyeringai reme
“Aku kembali ke London. Besok ada rapat penting. Kalau kau memaksa menikah dengan lelaki itu … bersiaplah untuk melihat bagaimana dia akan kehilangan semua yang ia miliki.” Klek Pintu kamar kembali tertutup. Riana memejamkan matanya, lalu mengusap wajahnya yang basah dengan selimut dan menarik napas dalam-dalam. “Eric … apa yang harus aku lakukan agar kau tidak lagi mengusik kehidupanku lagi? Aku sudah lelah dengan semua ini." Di dalam gelap, Riana terus meringkuk di atas petidurannya. Memikirkan semua yang telah terjadi di dalam hidupnya. "Evan ... I'm sorry. Mommy tidak bisa memenuhi janji." Malam bertambah larut, tapi Riana tampak baru saja keluar dari kamar mandinya, walau sudah hampir sejam yang lalu ia masuk ke sana untuk memanjakan tubuh lelahnya di dalam bath tub. Ia duduk di meja rias dan menangkap jejak merah yang ada di lehernya. Matanya terpejam erat, saat mengingat apa yang terjadi
“Mas, punya korek?” tanya pak Yono setelah ia mencegat seorang lelaki ber-hoodie hitam yang sedang berjalan dari arah kediaman Irawan.Lelaki itu menggeleng dan hendak kembali berjalan. Namun, tangan pak Yono dengan cepat mencekalnya.“Ayolah, Mas. Pinjamkan saya. Itu Mas-nya punya rokok. Jadi, pasti punya korek, ‘kan?”Lelaki dengan jaket hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada itu, terlihat kesal. Ia menatap datar Yono dan mengambil bungkus rokok yang ia selipkan di kantong celananya.“Aku baru beli ini di toko sana untuk temanku. Kalau kamu butuh korek … itu, di sana ada toko,” tunjuk lelaki itu dengan nada tak suka.Yono melihat arah yang ditunjuk dan menyeringai. “Ini ‘kan perumahan orang-orang kaya, Mas. Masa ada toko kelontong?”“Yang bilang toko kelontong itu siapa? Sono … Mas jalan lurus terus belok kiri. 100-meter ada Alpmart. Mas bisa beli di san
Riana tampak sibuk dengan komputernya. Entah apa yang ia lakukan, hingga tak menyadari ada seorang lelaki sudah berdiri sambil berkacak pinggang di depan mejanya. Toktok…. Lelaki itu mengetuk meja kerja Riana untuk menarik perhatian wanita itu. Benar saja, Riana terkesiap. Ia menoleh dan melihat lelaki yang tengah berdiri itu dan menatapnya. “Mas Dimas? Kok di sini?” “Kenapa? Apa aku gak boleh ke sini?” Riana mengerutkan alis. Ia merasa ada sindiran di balik kalimat yang Dimas ucapkan. “Ya, biasanya Mas Dimas kalau ke sini ‘kan telpon dulu,” sahut Riana, lalu kembali bekerja dengan komputernya. “Trish, apa harus seperti ini? Apa harus, kamu membuat Ellena dipecat dan dipenjara supaya bisa duduk di kursinya ini, hmm?” Tangan Riana yang sedang mengetik sesuatu di komputernya, serta merta terhenti. Perlahan, ia mengalihkan perhatiannya pada Dimas seraya bersandar di kursi kebesarannya.