Riana menggeret kopernya menuju resepsionis dan mengurus proses check-outnya. Tak lama, Nisa terlihat menyusul Riana sambil menguap dan berjalan malas.
Ibunda Evan itu menghela napas dan menggeleng, saat melihat sang asisten yang seperti kurang tidur.
“Nis. Tidur jam berapa semalam?” tanya Riana seraya menarik lagi kopernya menuju pintu keluar.
“Jam 2, Bu.”
“Haihh … aku ‘kan sudah bilang. Kita check-out jam 6.”
“Maaf, Bu. Saya belum pernah ke Bali jadi….”
“Ya, sudah. Ayo! Taksinya udah datang,” ajak Riana.
Keduanya berjalan menuju pintu keluar dan memberikan koper mereka pada sopir taksi yang sudah menunggu.
“Pagi-pagi udah seger aja nih. Yang semalam, tenaganya masih kurang besar sepertinya.”
Mendengar suara familiar, Riana hanya berpaling sekilas dan kembali melihat sopir yang sedang menata koper di bagasi.
“Ud
“Mas Dimas?” panggil Riana. Ia menatap heran mantan tunangannya itu dan melihat ke sekeliling pintu kedatangan.Ia tak pernah memberitahu Dimas soal keberangkatan ataupun kapan ia akan kembali. Tapi. lelaki itu kini berdiri di depannya. Di pintu keluar bandara. Menunggunya.“Sini. Aku aja yang bawa kopernya. Capek, ya?” Dimas maju beberapa langkah dan mengambil koper Riana.“Ehm … ya, lumayan,” ucap Riana kaku dan canggung. Ia menelan ludahnya dengan berat dan diam-diam mencuri pandang pada lelaki itu.“Nis, apa kamu mau bareng kita?” tanya Dimas pada asisten Riana, setelah selesai ia memasukkan koper ibunda Evan itu ke dalam mobilnya.Nisa segera melambaikan tangannya dan menggeleng. “Tidak usah! Terima kasih, Pak. Saya … naik taksi aja. Terima kasih, terima kasih,” tolak Nisa cepat. Wanita berparas manis itu lantas mengalihkan perhatiannya pada Riana.“Bu
“SUKA TIDAK SUKA, AYAHMU AKAN MENIKAHINYA!!”Evan berjingkat kaget. Bocah itu segera bangun dan merapatkan tubuhnya pada Diane. Dalam pelukan pengasuhnya itu, Evan mengintip sang nenek yang berjalan mendekatinya dengan angkuh.“Kamu ingin seorang ibu, ‘kan? Xian Lie akan menjadi ibumu. Perempuan yang kamu temui di Jakarta, dia bukan ibumu.Dia hanya perempuan yang kebetulan melahirkanmu. Tapi ... dia BUKAN ibumu! Mengerti?! Kalau kau masih ingin jadi anak ayahmu, dengarkan baik-baik perkataanku. Sekarang, jangan banyak tingkah. Cepat habiskan makanmu!”Bibir Evan bergetar. Ia membenamkan wajahnya pada dada Diane. Sedu sedan perlahan terdengar dan berubah menjadi sebuah raungan ketika putra Eric itu melihat, bahwa sang nenek sudah berjalan ke luar dari kamarnya.“Diane … aku mau mommy … aaa … uaaa….”Diane memeluk erat miniatur Eric itu dan menatap kesal ke arah pintu. Di d
RS. Sans Medica“Apa yang terjadi?”Asisten rumah tangga dan sopir pribadi Wendy itu saling berpandangan. Keduanya ragu untuk berucap dan tak berani menatap suami majikannya.“Apa kalian tidak punya mulut, hah?!” amuk Irawan.“Kau ingin tahu?”Irawan mendongak dan melihat ke pintu. Di mana putrinya berjalan gontai mendekatinya sambil menatapnya datar.“Ellena!”“Jangan berteriak padaku!” bentak Ellena balik dengan mata melotot melihat ayahnya.Irawan menatap tajam sang putri. Ia kemudian memberi kode dengan gerakan kepala pada kedua bawahannya, untuk keluar dari kamar rawat istrinya.“Baik, Tuan. Kami permisi,” pamit mbak Na dan segera keluar.“Jangan membuat Papa marah, Ellena!” kecam Irawan tanpa mengurangi ketajaman sorot matanya pada putrinya.Ellena mendengkus. Ia menyeringai reme
“Aku kembali ke London. Besok ada rapat penting. Kalau kau memaksa menikah dengan lelaki itu … bersiaplah untuk melihat bagaimana dia akan kehilangan semua yang ia miliki.” Klek Pintu kamar kembali tertutup. Riana memejamkan matanya, lalu mengusap wajahnya yang basah dengan selimut dan menarik napas dalam-dalam. “Eric … apa yang harus aku lakukan agar kau tidak lagi mengusik kehidupanku lagi? Aku sudah lelah dengan semua ini." Di dalam gelap, Riana terus meringkuk di atas petidurannya. Memikirkan semua yang telah terjadi di dalam hidupnya. "Evan ... I'm sorry. Mommy tidak bisa memenuhi janji." Malam bertambah larut, tapi Riana tampak baru saja keluar dari kamar mandinya, walau sudah hampir sejam yang lalu ia masuk ke sana untuk memanjakan tubuh lelahnya di dalam bath tub. Ia duduk di meja rias dan menangkap jejak merah yang ada di lehernya. Matanya terpejam erat, saat mengingat apa yang terjadi
“Mas, punya korek?” tanya pak Yono setelah ia mencegat seorang lelaki ber-hoodie hitam yang sedang berjalan dari arah kediaman Irawan.Lelaki itu menggeleng dan hendak kembali berjalan. Namun, tangan pak Yono dengan cepat mencekalnya.“Ayolah, Mas. Pinjamkan saya. Itu Mas-nya punya rokok. Jadi, pasti punya korek, ‘kan?”Lelaki dengan jaket hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada itu, terlihat kesal. Ia menatap datar Yono dan mengambil bungkus rokok yang ia selipkan di kantong celananya.“Aku baru beli ini di toko sana untuk temanku. Kalau kamu butuh korek … itu, di sana ada toko,” tunjuk lelaki itu dengan nada tak suka.Yono melihat arah yang ditunjuk dan menyeringai. “Ini ‘kan perumahan orang-orang kaya, Mas. Masa ada toko kelontong?”“Yang bilang toko kelontong itu siapa? Sono … Mas jalan lurus terus belok kiri. 100-meter ada Alpmart. Mas bisa beli di san
Riana tampak sibuk dengan komputernya. Entah apa yang ia lakukan, hingga tak menyadari ada seorang lelaki sudah berdiri sambil berkacak pinggang di depan mejanya. Toktok…. Lelaki itu mengetuk meja kerja Riana untuk menarik perhatian wanita itu. Benar saja, Riana terkesiap. Ia menoleh dan melihat lelaki yang tengah berdiri itu dan menatapnya. “Mas Dimas? Kok di sini?” “Kenapa? Apa aku gak boleh ke sini?” Riana mengerutkan alis. Ia merasa ada sindiran di balik kalimat yang Dimas ucapkan. “Ya, biasanya Mas Dimas kalau ke sini ‘kan telpon dulu,” sahut Riana, lalu kembali bekerja dengan komputernya. “Trish, apa harus seperti ini? Apa harus, kamu membuat Ellena dipecat dan dipenjara supaya bisa duduk di kursinya ini, hmm?” Tangan Riana yang sedang mengetik sesuatu di komputernya, serta merta terhenti. Perlahan, ia mengalihkan perhatiannya pada Dimas seraya bersandar di kursi kebesarannya.
London, Inggris.Eric melangkah lebar menuju kamar putranya di lantai atas. Wajahnya terlihat sangat dingin dengan kedua tangan yang terkepal kuat di kedua sisi tubuhnya.Brakk“Lepaskan tanganmu dari anakku!” sentak Eric dengan suaranya yang menggelegar memenuhi ruangan.Wanita yang memegang bahu Evan dengan kuat itu, seketika berdiri tegak dan melepas tangannya dari bocah itu.“Daddy! Huhuhu….”“E-eric … ini ti-tid—”Eric mengambil langkah lebar dan mendorong wanita itu menjauh dari putranya, hingga wanita berpakaian seksi itu hampir saja terjatuh.Eric kemudian menggendong bocah yang sedang menangis tergugu itu dan menatap garang wanita yang berdiri melihatnya dengan gemetar.“Berani sekali kau memarahi putraku, Xian Lie!” bentak Eric.“Baby … I, I just (Sayang … aku, aku hanya
Riana segera melihat ponselnya dan menggeser tombol hijau di layar.“Andrew? … Andrew dengarkan aku. Seseorang berhasil mengambil berkasku dari kantor Dr. Ariek. Di sana ada alamat apartemenku dan Ida di Berlin dulu. Aku—”“Shhh ... Ana! Ana! Tenang dulu ... tenang. Pelan-pelan bicaranya. Oke?""Andrew, aku ... tolong aku. Andrew. Aku yakin, aku yakin mereka akan ke apartemenku dan ... dan memeriksa barang-barangku di sana. Mereka pasti akan—""Ssh! Ana, tenanglah. Jangan kuatir. Aku akan mampir ke sana, oke? ... sekarang katakan. Apa yang harus aku lakukan?”“Ada kotak. Di sana isinya ijazah sekolah, foto-fotoku dari kecil dan mama juga. Aku letakkan di bawah tempat tidurku, bisa tolong amankan?” jawab Riana yang berbicara dalam bahasa Jerman yang fasih.“Oke. Ada lagi?”“Ehm … aku rasa hanya itu. Andrew, maaf. Maafkan aku. Aku harus merepotkanmu dan Ida