Share

Bab 3

"Bu Diana, mobil suamimu ada di parkiran kantor!"

"Diana, taman hiburan kota sudah minta bantuan teman-teman driver ojek online, tapi belum ada tanda-tanda."

"Diana, Olivia nggak ada di kantor. Katanya dia sedang perjalanan kerja di luar kota dengan laki-laki entah siapa."

"Bantu aku cari tahu mobilnya!" Aku hampir berteriak.

"Rara masih di dalam mobil!"

Pemandangan di depanku berbayang-bayang fatamorgana karena cahaya matahari terik.

Aku merasa seperti terjebak dalam fatamorgana juga. Aku sudah melaju kencang, tidak peduli pada apa pun.

Jangan khawatir, sayangku.

Mobilku semakin mendekati kota.

Tapi aku tidak santai sama sekali.

Ponsel Bisma masih mati.

Sama seperti dia tidak pulang di malam hari.

Rara tidak bisa tidur dan menangis ingin dipeluk ayahnya.

"Mungkin Ayah tersesat? Ma, ayo kita cari Ayah?"

Aku tidak tega mengatakan padanya bahwa ayahnya sedang berada di rumah orang lain saat ini ....

Aku mengelabuinya, mengatakan bahwa ayahnya bekerja lembur.

Dia lalu menangis-nangis ingin pergi ke kantor ayahnya untuk menemani ayahnya.

Ketika Bisma pulang keesokan paginya dan mengetahui kami sedang mencari-cari di luar, dia langsung marah.

"Bukannya sudah kubilang jangan bawa-bawa Rara dalam urusan kita?"

"Diana, bisakah kamu lebih dewasa."

Tangan kecil putriku memegangi wajahku yang kuyu.

"Mama, Rara sayang mama, jangan merokok lagi!"

Semenjak mengetahui tentang perubahan sikap Bisma, aku mulai merokok diam-diam di balkon.

Pergi atau bertahan, sebuah pertanyaan yang rumit.

Putriku seperti orang dewasa, diam-diam menyembunyikan rokokku.

Aku mencoba untuk tidak menunjukkan kesedihanku, tapi matanya tajam dan tetap bisa melihatnya.

Dia memegang kepalaku dan meniup untuk menghilangkan sakitku.

"Fuh, fuh, sakit Mama hilang."

Dia hanyalah seorang gadis kecil yang masih perlu perawatan orang lain.

Sebelum aku pergi dalam perjalanan kerjaku kali ini, dia bahkan berjinjit untuk memelukku.

"Rara sayang Mama!"

"Jangan lama-lama ya, ayo kita ke taman hiburan dan beri kejutan untuk Ayah."

...

Bruk!

Aku baru sadar bahwa mobilku menyerempet pagar pembatas.

Karena takut, aku mengabaikan kerusakan pada mobilku.

Lajuku tidak melambat.

Telepon berdering lagi.

Jantungku berdebar kencang saat melihat nama Bisma dan aku buru-buru menjawabnya.

Dia memberondongiku dengan pertanyaan.

Aku tidak peduli sama sekali.

"Bisma, dengarkan aku. Di mana kamu sekarang?"

"Di mana Rara?"

"Dia terkunci di dalam mobil. Kamu harus cepat-cepat menyelamatkannya ...."

Namun, dia seperti tidak mendengarkan sama sekali dan masih marah-marah.

"Diana, apa maksudmu?"

"Kamu ingin memata-matai kegiatanku?"

"Apa perlu sampai sejauh ini?"

Gadis kecil di sebelah juga tertawa. "Aku nggak suka Rara, dia rebut es krim Mama dariku."

Aku menahan amarah dan membendung teriakanku.

"Bisma, periksa Rara sebentar."

Pria itu terdiam sejenak.

"Kenapa bawa-bawa Rara lagi?"

"Lintang sedang ngambek, aku cuma menemaninya main di taman hiburan sebentar. Kamu malah bersekongkol dengan Rara cari-cari masalah?"

"Kamu terlalu memanjakan Rara."

Suara gadis sialan itu terdengar lagi.

"Rara jahat."

"Dia sedang nonton kartun di mobil!"

"Tidur seperti babi, ngok ngok."

Aku akhirnya mengerti.

Ternyata dia meninggalkan putrinya di dalam mobil dan memberinya tontonan kartun agar tidak mengganggu waktunya bersama putri pujaan hatinya.

Tapi Rara tidak suka karun sedikit pun. Dia hanya ingin ditemani mama dan ayahnya.

Tidak, tidak. Bisma kali ini mengunci Rara di dalam mobil saat Rara sedang tidur.

Aku ngeri membayangkan kepanikan Rara saat dia terbangun.

Suara teriakannya meminta tolong sekali lagi berputar-putar di kepalaku.

"Bisma, aku ulangi lagi, pergilah ke mobil sekarang juga dan keluarkan anakmu."

"Aku mohon padamu. Aku akan setuju bercerai, ambil semua hartanya."

"Aku nggak berharap apa-apa. Aku nggak peduli kamu ingin bersama Olivia."

"Aku cuma ingin Rara ...."

Tak disangka, bisikanku dan kerendahan diriku tidak membuatnya sadar.

"Kamu ingin memanfaatkan Rara untuk memaksaku lagi? Nggak bisakah kamu perhatian sedikit kepada Lintang?"

"Dia sudah kehilangan ayahnya ...."

"Olivia berjuang keras membesarkan Lintang ...."

Aku berteriak dengan suara terisak, "Aku sedang membicarakan Rara sekarang. Hidup dan mati Rara."

Dia juga tidak sabar. "Lagi-lagi Rara lagi. Kamu cuma peduli dengan Rara. Lintang menutup diri karena kehilangan ayahnya ...."

"Rara baik-baik saja di dalam mobil nonton kartun. AC-nya nyala."

Aku gemetar karena marah.

"Beraninya kamu meninggalkan dia sendirian di mobil!"

"Aku cuma mohon satu hal, beri tahu aku pelat nomornya."

Dia hanya mendengus.

"Lalu apa? Apa menurutmu aku nggak tahu niat jahatmu?"

"Memanfaatkan nama Rara lagi. Berhenti cari gara-gara."

"Kamu bahkan keterlaluan sampai menyuruh orang untuk mencari keberadaanku. Ya sudah, lanjut cari."

Telepon ditutup tanpa basa-basi lagi.

Ponselnya dimatikan lagi.

Aku sangat marah dan sangat menyesal, hanya bisa berteriak di dalam mobil.

Tanganku menghantam setir mobil dengan keras.

Aku benar-benar sudah tidak tahan. Aku hanya ingin lokasi Rara.

Ponselku tiba-tiba berdering. Suara rekan kerjaku, Vena.

"Diana, menepi dulu!"

"Cepat katakan!"

"Diana, tenangkan diri dulu. Kita sudah menemukan Rara, tapi ..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status