"Yeay... Alhamdulillah, aku lulus ."
Naomi tak bisa menahan dirinya untuk tak bersorak girang setelah putusan sidang oleh dosen penguji yang duduk 5 orang berjajar di hadapannya.
Perasaan gugup yang menyelimutinya tadi kini berganti menjadi bungah, seakan ada taman penuh bunga bermekaran di dasar hatinya.
Teman-teman yang menyaksikan sidang pun memberikan ucapan selamat pada Naomi serta empat mahasiswa lain yang melaksanakan sidang hari ini dan Alhamdulillah lulus semuanya.
Bahagia sekali.
Membayangkan bagaimana reaksi ayahnya setelah tahu putri bungsunya berhasil lulus dan bisa mendaftar wisuda tahun ini. Lelah ayahnya selama ini sebentar lagi terbayar, karena Naomi bertekad akan mencari pekerjaan untuk biaya hidup mereka lalu ayah tidak perlu lagi bekerja.
Ya itu janji Naomi pada ayahnya.
"Selamat ya, Naomi sayang." Sahabat paling akrab yang Naomi punya, bernama Desy, sekali lagi memberi ucapan selamat sekaligus pelukan hangat setelah mereka berada di luar ruang sidang.
Naomi yang sedikit kerepotan membawa berkas ujiannya dan sekarung buku yang digunakan sebagai referensi, membuat muka kecut. Begini nih, Desy. Kalau lagi kesenangan sering kelupaan. Masa dia nggak bantuin Naomi bawa buku-buku sama sekali.
"Makasih ya, Des. Aku bisa lulus ini atas bantuan kamu juga loh."
Namun terlepas dari sifat Desy yang sering kelupaan, dia sangat bersyukur memiliki Desy, gadis berhijab dengan gingsul yang manis, sebagai sahabatnya. "Kamu selalu ada saat aku butuh bantuan, nemenin aku waktu nungguin pak Slamet buat bimbingan, kamu rela kelaparan demi nemenin aku di perpustakaan. Semua ini berkat kamu."
"Iya." Desy tersenyum mendengar pujian yang agak berlebihan itu. "Sebagai gantinya, nanti kamu juga harus nemenin aku loh ya mulai dari aku bimbingan sampai aku sidang. Hukumnya wajib. Fardhu Ain." Suara Desy setengah mengancam, namun ditelinga Naomi terdengar seperti rengekan.
"Oke, aku janji." Naomi yang tak bisa menyatukan ibu jarinya dengan telunjuk seperti yang biasa dia lakukan, hanya bisa mengangguk sebagai janjinya.
Ya tentu saja Naomi akan giliran menemani Desy sama seperti yang sahabatnya itu lakukan untuknya. Mereka masuk kuliah bersama, belajar bersama selama hampir empat tahun, walau bisa menyelesaikan sidang lebih dulu, Naomi tidak akan meninggalkan Desy. Dia akan membantu agar Desy juga bisa cepat menyusulnya mendapatkan gelar sarjana.
Keduanya kemudian larut dalam perasaan bahagia, tertawa bersama, hingga akhirnya manik mata Desy lebih dulu menangkap sosok Gema yang berdiri di depan gedung fakultas dengan senyum malu-malu. Pacar Naomi itu memang pemalu anaknya.
"Ekhem, kayaknya ada yang mau ngucapin selamat tuh." Dengan gerakan mulutnya yang dimuncungkan, Desy menunjuk ke arah Gema. "Kalau gitu, aku duluan ya Naomi sayang. Nanti malam kita telponan aja."
"Sip. Hati-hati ya pulangnya." Pesan Naomi setengah berteriak karena Desy melesat pergi dengan sangat cepat.
Ditinggal oleh Desy, Naomi dengan perlahan melangkahkan kakinya menuju tempat Gema berada, hal serupa pun Gema lakukan, memperpendek jarak antara mereka.
Setelah ujung sepatu mereka saling bertemu tanda tak ada lagi jarak antara mereka, Naomi menengadah kepala demi menatap pacarnya yang bertubuh jangkung itu.
Sumpah demi apapun, Naomi merasa lehernya pegal setiap bertemu Gema. Ditambah lagi barang bawaannya sekarang.
Tapi, mau bagaimana lagi, pria itu yang dia suka.
"Bagaimana hasil ujiannya? Lulus?" Gema membuka suara, sambil menyembunyikan kedua tangannya di belakang. Entah hanya perasaan atau harapan Naomi, sepertinya Gema membawakan sesuatu untuknya, semacam hadiah.
"Menurut kamu, kalau dilihat dari ekspresi wajah aku, gimana?" Naomi nyengir, menampilkan barisan giginya kecil dan sedikit bertimpa.
Gema menyungging senyum lebar sebelum akhirnya menjawab, "Kamu pasti lulus."
"Kok kamu kayaknya yakin banget?"
"Yakin lah. Kamu kan pintar, rajin, baik hati."
Naomi mengernyit alis saat kalimat baik hati meluncur dari bibir Gema. Apa hubungannya baik hati dengan lulus sidang skripsi? Kalau begitu, ngapain dia capek-capek nungguin dosen pembimbing hampir tiap hari buat bimbingan terus revisian, ke perpustakaan juga bisa dibilang tiap hari.
Gema kadang ada-ada aja deh.
"Apa hubungannya aku baik hati sama lulus sidang skripsi?" Naomi tetap bertanya.
Giliran Gema yang tampak berpikir. Keningnya berkedut-kedut. "Hmm, ada dong. Karena kamu baik hati, jalan kamu menuju kesuksesan pasti akan dimudahkan. Salah satunya sidang skripsi ini."
"Begitu ya?" Naomi menatap intens Gema, sengaja membuat pacarnya malu hingga mukanya merona seperti kepiting rebus.
Dasar Naomi. Hobi sekali bikin Gema salah tingkah lalu kemudian memerah.
Salah pacarnya itu juga sih, kenapa jadi pria pemalu banget. Padahal tampang ada, postur tubuh juga oke, otak lumayan cemerlang. Bagian mana dari dirinya yang bikin dia malu?
"Jadi, gimana? Kamu mau antar aku pulang atau berdiri terus di sini?" tegur Naomi seraya memperlihatkan barang bawaannya yang berat, hingga Gema tersadar dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Oh ya, ini ada hadiah buat kamu." Gema sepertinya juga kelupaan kalau dia membawakan sebuket bunga coklat, hehe, bermacam jenis makanan coklat yang dibentuk seperti buket bunga. Menggiurkan sekali.
Naomi menerimanya dengan senang hati.
"Hmm..." Gema ber'hmm' panjang seperti tengah memikirkan sesuatu. "Gimana kalau kita makan siang dulu? Habis ujian, pasti perut kamu laper, kan? Sekalian kita rayakan kelulusan kamu." Gema menaikkan alis sembari memandang Naomi, menunggu jawaban pacarnya itu.
"Nggak bisa." Cepat Naomi menjawab.
Gema terheran. Tidak biasanya Naomi menolak ajakannya. "Kenapa?"
"Aku kan baru selesai ujian skripsi dan Alhamdulillah lulus. Tentu aku bersemangat sekali ingin memberitahu langsung sama ayah. Kan kamu tahu sendiri, aku cuma punya ayah sebagai keluargaku. Lagipula, masa aku mampir ke tempat makan dengan bawaan sebanyak ini." Naomi kembali mengingatkan Gema tentang bawaannya.
Berat woy. Mana dari tadi bukannya dibantuin, malah dilihatin doang.
"Oh, iya juga ya. Kalau begitu, aku antar kamu pulang aja." Dengan sedikit rasa bersalah, Gema lalu mengambil alih barang bawaan Naomi, menyisakan berkas yang dibawa di tangan kirinya dan buket pemberiannya tadi.
"Nah, gitu dong. Dari tadi kek," rungut Naomi.
Naomi Diajeng Ayu. Gadis dengan tinggi 160 centimeter itu memiliki mata berbentuk bulan sabit yang merupakan turunan dari sang bunda. Naomi sangat menyayangi bundanya, namun sayang dia tak bisa melihat wajah ayu beliau lagi karena sudah meninggalkannya 5 tahun lalu.
Kalau diingat-ingat waktu 5 tahun lalu itu, hati Naomi terasa seperti diiris-iris. Dia masih di sekolah, sedang ulangan juga, ketika tiba-tiba ayahnya menelpon pihak sekolah memberitahu tentang kecelakaan sang bunda. Dan parahnya, Naomi belum sampai ke rumah sakit saat bundanya menghembuskan nafas terakhir.
Kini, Naomi hanya punya ayah yang sudah menikah lagi dengan seorang wanita yang juga memiliki anak lebih tua darinya. Namun, Naomi tidak terlalu akrab dengan mama dan saudara tirinya itu.
Pasalnya, bukan membantu perekonomian keluarga, mama dan saudara tirinya hanya hidup berhura-hura hinggalah sekarang mereka hidup serba kekurangan. Mungkin juga, tanpa sepengetahuan Naomi, mereka sudah terlilit banyak hutang.
Ckiiit...
Naomi terdorong ke depan sampai dadanya menempel di punggung Gema ketika motor satria Fu itu direm mendadak oleh sang empunya. Sontak Naomi mencubit punggung bidang itu.
"Jangan bilang kamu sengaja?"
"Nggak kok, aku kelewatan aja, makanya ngerem mendadak gini."
"Kelewatan? Maksud kamu kita udah sampai?"
Membuka kaca helmnya, Naomi lalu memandangi area sekitar yang memang mirip dengan area dekat rumahnya. Itu rumah Bu Juminten si tukang gosip, dan yang itu rumah pak Sujiwo, pak RT di lingkungannya.
Oh benar.
Ia pun turun dari motor.
"Mau aku bantuin bawa ke dalam?" Gema yang melihat Naomi kesusahan, menawarkan bantuan. Harusnya nggak perlu nanya juga ya, kalau mau bantu ya bantu aja.
"Nggak usah, aku bisa kok. Ini mah kecil."
Setelah Gema pamit pulang dan motornya hilang di balik tikungan, Naomi bergegas membawa barang-barangnya menuju rumah. Perasaannya bahagia sekali, tak sabar hendak memberitahu ayah yang dia telah lulus sidang skripsi.
Namun, begitu masuk melewati pintu rumah, Naomi merasakan sedikit kejanggalan, ada sepatu pria bermerek tergeletak rapi di sana. Itu jelas bukan sepatu Rendy, Abang tirinya.
Lalu siapa? Apa sedang ada tamu di rumahnya?
"Ayah, ada apa ini?" Bola mata Naomi melebar begitu manik matanya menangkap sosok sang ayah sedang berlutut di hadapan seorang pria.
Siapa dia? Berani-beraninya.
***
Satu hari sebelumnya. "Dasar jalang." Adrian mengumpat seraya tangannya melonggarkan simpul dasi dengan sekali sentakan kasar. Sekilas lihat saja, orang akan tahu kalau duda satu anak, berparas tampan dengan kumis tipis itu tengah diselimuti amarah. Gertakan giginya bahkan terdengar sampai keluar ruangan. Bagaimana dia tak kesal, saat rapat penting sedang berlangsung tadi, ponselnya berdering hebat. Telpon dari sekolah yang mengabarkan kalau putranya terlibat perkelahian dengan sesama murid. Karena itu pula, Adrian terpaksa menunda rapat dan tancap gas ke sekolahan. Sebagai orang tua tunggal, Adrian paham betul kalau putranya kekurangan kasih sayang, mengingat dirinya yang workaholic banget. Namun, kali ini penyebab baku tumbuk putranya bukan karenanya melainkan gosip miring tentang mantan istri. Bagaimana dia tidak marah coba. &nbs
Keadaan di ruang tamu rumah keluarga itu seketika kacau balau. Bukan barang-barangnya, tapi orangnya. Semua orang telah berkumpul di sana dengan kepala yang memanas bahkan hampir mendidih, terlebih lagi Arya Satya. Rupanya, Marsya — putri tirinya telah melakukan kesalahan fatal tanpa sepengetahuan dia sebagai ayah dan juga ibunya. Namun, sang ibu tetap saja membela putrinya. Pantas saja, belakangan ini Marsya terlihat memakai pakaian dan barang-barang mewah, rupanya itu hasil memakai kartu kredit dengan sangat berlebihan. Sekarang, debt kolektor mengejarnya untuk meminta bayaran. "Lihat, apa yang sudah dilakukan putrimu, Ma! Ini akibat dari kamu yang terlalu memanjakan dia." Arya Satya yang telah kehilangan akal jadi memarahi sang istri, tapi memang begitu adanya kok. Bahkan yang membuat ekonomi keluarga mereka menurun, itu pun karena sikap sok kaya mereka yang hidup berfoya-foya. Pria yang m
"Saya terima nikah dan kawinnya Naomi Diajeng Ayu dengan mas kawin tersebut tunai."Begitu kalimat sakral itu meluncur mulus dari bibir Adrian, lalu kata 'sah' sebagai tanda pengesahan oleh kedua saksi, detik itu pula Naomi resmi menjadi istri dari seorang Adrian Kelana. Untuk pertama kalinya juga dia mencium telapak tangan pria lain selain ayahnya.Hati Naomi porak-poranda tatkala bertentang mata dengan sang ayah tadi. Raut kesedihan jelas terpancar. Ayah mana yang ingin menjual putrinya demi menebus hutang. Akan tetapi, pada siapa pula Naomi bisa meminta pertolongan saat ayahnya mendadak masuk rumah sakit dan harus operasi pencangkokan ginjal yang biayanya sangat mahal.Asal ayah sembuh, apapun akan Naomi lakukan, termasuk menikah dengan tuan Adrian."Naomi, tamu undangan sudah berdatangan, ayo aku bantu kamu menuju pelaminan. Suamimu sudah menunggu di sana. Astaga! Kenapa kau tidak bilang, kalau d
Adrian baru selesai telponan dengan Tristan yang ia tugaskan mengikuti Elang, ketika matanya menangkap siluet Naomi. Gadis yang sudah berganti berstatus menjadi wanitanya itu berlari keluar dari ballroom hotel tempat resepsi pernikahan mereka berlangsung tadi.Naomi? Kenapa dia terburu-buru sekali?Adrian tak ingin peduli soal Naomi yang berlari keluar dengan buru-buru, toh ia yakin wanitanya itu tak akan berani melarikan diri darinya.Namun, sepersekian detik berikutnya, langkah Adrian malah bergerak membuntuti Naomi. Sungguh, cepat sekali berubah pikiran.Langkah cepat dan panjang Adrian terhenti tepat di ujung lorong yang berbelok, menyandar punggungnya di tembok sembari sesekali mengintai karena di hadapan sana dia mendapati Naomi berdua dengan seorang pemuda. Dan anehnya lagi, pemuda tersebut tengah menangis.Sekali lagi, Adrian tak mau penasaran hal yang menyangkut istri ba
"Ganti gaun kamu! Kita pulang ke rumah. Malam pertamanya di rumah aja," ucap Adrian dengan tersenyum miring tepat di daun telinga Naomi, mencipta rasa geli hingga meremang bulu tengkuk.Njirrr.Mati-matian Naomi pikir Adrian bakal menurunkan resleting gaun pengantinnya lalu mereka akan melakukan yang dibilang suaminya itu tadi, —kegiatan pengantin baru saat malam pertama.Mengerjap matanya, Naomi berusaha menetralisir debar di dadanya, jangan sampai kedengaran sama Adrian. Entahlah, walau ada sedikit rasa syukur karena suaminya itu menunda meminta jatah, tapi ada juga sepercik api kekesalan.Hei, Naomi, apa yang kamu harapkan sih? Malam pertama? Memangnya kamu sudah rela milikmu diambil sama suami menyebalkan itu?"T—tapi, aku mau mandi dulu." Naomi menunjuk badannya yang lengket dan bau. Bukan hanya itu, berdekatan dengan Adrian dalam waktu beberapa detik saja rupany
"K—kamu mau ngapain, Mas?"Pertanyaan Naomi dibalas Adrian dengan pagutan kasar pada bibirnya. Adrian sama sekali tak memberinya kesempatan untuk melihat kamar, atau menarik nafas lega karena memiliki ruang kamar yang besar mewah. Pria itu malah memberondongnya dengan ciuman bertubi-tubi.Butuh waktu beberapa detik hingga Naomi sadar kalau Adrian sedang menciumnya. Bola matanya sontak membelalak dengan nafas yang ngos-ngosan.Astaga!Ini pertama kalinya bagi Naomi. Bibir polosnya disentuh oleh pria. Bukan cuma sentuhan biasa, tapi pagutan kasar, lumatan, sesapan layaknya gula yang diserbu oleh ribuan semut. Rasanya bibir tipis Naomi akan bengkak sekejap lagi. Mana asupan udara tinggal sedikit di paru-parunya."Humfff—" Naomi mendorong dada bidang Adrian agar menjauh dan melepas pagutannya, jika tidak ingin ia mati kehabisan nafas. Tapi, semua itu sia-sia karena suamin
"Heuh! Bosan juga ya di kamar terus."Naomi yang masih bergumul di kasur, mengeluh seraya mengedarkan pandangan berkeliling ruang kamar yang luas dengan nuansa putih susu. Ini kamar Adrian, yang mungkin akan jadi kamarnya juga.Meski ruangannya luas, kamar Adrian tertata rapi dan bersih. Ada dua lemari pakaian besar di sudut kamar, lemari sepatu dan aksesoris penunjang penampilan lainnya. Kamar mandinya juga luas dan ada bath up-nya. Yang paling Naomi suka ialah adalah jendela kaca besar yang menghadap langsung ke halaman rumah, di sebelahnya ada pintu menuju balkon. Naomi yakin, dia akan sering menghabiskan waktu di balkon selama Adrian tidak di rumah.Selain itu, ada juga foto Adrian berukuran besar terpajang di dinding di atas ranjang tidur. Foto Adrian beberapa tahun lalu, saat dia masih muda dan wajahnya sedikit lebih tirus. Memiliki mata yang tajam dengan bulu mata lentik, Adrian begitu mempesona. Tak bisa dipungki
Jadi, wanita ini istri baru papa? Kenapa masih muda sekali? Cantik sih, tapi ahh, gue tetap tidak setuju. Suara hati Elang ketika bertatapan langsung dengan istri baru papanya. Pertama lihat tadi, Elang juga kaget plus heran. Wanita mana pula yang dibawa papanya ke rumah. Sempat terbersit kemungkinan papanya juga punya anak sambung seorang wanita yang seumuran dengannya. Tapi begitu melihat cara berjalan si wanita, Elang langsung nangkap, kalau yang berbadan kurus di hadapannya ini ibu sambungnya. Lihat apa itu? Dia bawa remote tv buat nimpukin gue karena dikira maling? Enak aja. Tck! Tanpa mempedulikan ocehan si mama sambung alias Naomi, Elang berlalu membawa langkahnya menuju kamar, tapi lagi-lagi wanita itu meneriakinya. Mana suaranya melengking pula, nggak sepadan sama ukuran badannya. Tck! kalau dengar dia teriak ngoceh-ngoceh tiap hari bisa pecah kuping gue.