Jadi, wanita ini istri baru papa? Kenapa masih muda sekali? Cantik sih, tapi ahh, gue tetap tidak setuju.
Suara hati Elang ketika bertatapan langsung dengan istri baru papanya.
Pertama lihat tadi, Elang juga kaget plus heran. Wanita mana pula yang dibawa papanya ke rumah. Sempat terbersit kemungkinan papanya juga punya anak sambung seorang wanita yang seumuran dengannya. Tapi begitu melihat cara berjalan si wanita, Elang langsung nangkap, kalau yang berbadan kurus di hadapannya ini ibu sambungnya.
Lihat apa itu? Dia bawa remote tv buat nimpukin gue karena dikira maling? Enak aja. Tck!
Tanpa mempedulikan ocehan si mama sambung alias Naomi, Elang berlalu membawa langkahnya menuju kamar, tapi lagi-lagi wanita itu meneriakinya. Mana suaranya melengking pula, nggak sepadan sama ukuran badannya.
Tck! kalau dengar dia teriak ngoceh-ngoceh tiap hari bisa pecah kuping gue.
"Den, nggak perlu diladenin Nyonya ya, dia kan lagi nggak enak badan hari ini." Bi Inah menghampiri bermaksud menenangkan Elang.
Nggak enak badan apanya? Segar bugar gitu kok. Cuma ya ... Paham-paham sendirilah, kalau orang habis malam pertama. Elang juga bukan remaja pasif untuk tahu apa kegiatan orang dewasa di malam pertama pernikahan, kan?
Tapi, apa motif papanya tiba-tiba menikah lagi? Semua serba dadakan pula.
"Bik, aku lapar, tapi anterin ke kamar ya. Malas ketemu sama wanita itu." Dengan ekor matanya, Elang menunjuk ke arah sofa di mana Naomi sudah pula merebahkan punggungnya dibantu oleh bi Inah.
"Baiklah den. Bibik ambilkan dulu ya."
Elang, remaja 17 tahun yang ketampanannya turunan dari sang papa masuk ke kamar yang di pintunya bertuliskan 'Do not Disturb' lalu menutup pintu dengan membanting keras hingga menimbulkan bunyi 'BAM'.
Bibik yang masih berada dalam jarak beberapa langkah dari sana sampai mengurut dada. Beruntung jantung orang tua itu masih sehat wal'afiat, jika tidak pasti sudah lama masuk rumah sakit akibat serangan jantung.
Setibanya di kamar, Elang langsung menghempas tubuh ke kasur empuknya. Kangen pula dengan ranjang tidurnya itu karena beberapa hari ini dia tidak pulang dan tidur di rumah teman. Sebagai bentuk protes pada papanya yang menikah lagi, Elang memutuskan pergi dari rumah, tidak menghadiri pesta pernikahan.
Namun Elang harus menelan pil pahit, karena temannya malah mengejeknya yang akan punya mama baru, bla bla bla ejekan tak enak lainnya yang membuatnya geram.
Kampret si Aldo.
"Den, bibik datang bawa makan siangnya."
Suara Bi Inah dari luar kamarnya.
"Masuk aja bik, nggak dikunci kok."
Elang menegakkan kembali punggungnya begitu bi Inah masuk membawa nampan berisi makan siang untuknya. Perutnya udah keroncongan banget. Elang pun tak menunggu lama untuk menyantap makan siangnya.
"Den, kenapa nggak ikut hadir di pesta pernikahan Tuan? Pasti Tuan kecewa sekali."
Alih-alih keluar, bi Inah malah berdiri di samping ranjang, memperhatikan Elang yang sedang makan. Elang sih tidak masalah bi Inah masih betah berada di kamarnya, karena orang tua itu juga yang banyak membantu merawatnya selama ini, sudah Elang anggap seperti nenek sendiri.
"Bibik tau Elang nggak suka papa nikah lagi, kan? Ngapain nanya?" Ia menjawab dengan acuh.
Ngapain sih bi Inah bahas ini?
"Nyonya Naomi baik kok, Den. Orangnya juga sopan dan kelihatannya nggak neko-neko. Kalau nggak, mana mungkin Tuan mau menikahinya. Den Elang tau sendiri, Tuan gimana orangnya."
Oh, jadi Naomi namanya? Yakin tuh orangnya baik, sopan dan nggak neko-neko? Dari namanya aja udah bisa ditebak orangnya kecentilan. Pasti dia yang lebih dulu menggoda papa.
Elang dipenuhi pikiran buruk seolah ada sekumpulan awan hitam mengerubungi di atas kepalanya.
"Tetap aja bik, Elang nggak suka. Apalagi masih muda banget gitu. Terus, Elang mau panggil dia apa? Mama? Kakak? Apa Tante sekalian?"
"Ya... Panggil mama dong, den." Bi Inah menjawabnya dengan tersenyum.
"Udah deh bik, jangan ngomong wanita itu lagi, ntar jadi hilang selera makan Elang. Betewe, papa mana bik? Kok nggak kelihatan?"
"Tuan kerja, den."
Ugh! Sama halnya dengan Naomi yang terbelalak kaget, Elang refleks tersedak makanannya. Mana lauknya ada sambal merah pedas lagi, tenggorokan rasanya mau terbakar, namun Elang beruntung karena bi Inah cepat tanggap menyodorkan minum buatnya.
Gulp... gulp... gulp.
Elang menenggak gelas minumnya sampai tuntas.
"Pelan-pelan dong, den." Bi Inah menasehati.
Kenyataan bahwa papanya langsung pergi bekerja bahkan saat pernikahan belum terhitung dua hari, membuat asumsi Elang soal Naomi yang kecentilan dan menggoda papanya makin kuat. Dia pun makin tak menyukai mama sambungnya itu.
Beberapa saat kemudian.
"Udah bik, makasih ya makanannya, selalu enak kalau bi Inah yang masak, makanya Elang pulang karena kangen masakan bibik."
Seperti anak kecil, Elang begitu akrab dan manja pada bi Inah yang telah merawatnya sejak kecil hingga besar tinggi kini. Lihatlah sekarang, dia bahkan bermain mata menggoda wanita tua itu sembari menyungging senyum yang menawan.
Bi Inah sampai tersenyum kikuk karenanya.
"Kalau gitu, den Elang istirahat, bibik keluar dulu ya."
"Sip, makasih bik."
Seperti kata bi Inah, menyuruh Elang beristirahat, remaja tanggung itu pun kembali menghempas badannya ke kasur dengan posisi menelungkup dan terbalik kepalanya di ujung ranjang. Harapnya bisa tidur menghilangkan beban pikiran soal papa yang menikah lagi, ejekan teman-temannya soal mama kandungnya, tapi ponsel pintarnya malah mengganggu dengan berdenting secara beruntun.
Pesan chat masuk bertubi-tubi dari si kampret Aldo.
Woy, udah sampai rumah?
Gimana mama baru lo?
Cantik, bahenol apa biasa aja?
Woy, balas woy!
Kampret banget, kan? Salah satu contoh teman nggak ada akhlak. Teman yang harusnya ikut bersuka cita karena Elang dapat mama baru, ada mama tempat berbagi keluh kesah, tapi Aldo malah kepo soal seperti apa rupa mama barunya.
Mana Elang tidak 'sreg' dengan wanita itu.
"Berisik banget lo, Do." Elang mengetik pesan balasan dengan jemari yang menekan kesal layar keyboard ponselnya, seolah ponsel itu ialah Aldo.
Setelah memastikan ponselnya di non aktifkan, Elang menutup kepalanya dengan bantal masih pada posisi menelungkup, kepalanya di ujung ranjang.
Beberapa menit, Elang mulai tenggelam dalam tidur siangnya, kembali mencoba merehatkan badan serta pikiran. Masih ingin berharap semua yang terjadi dalam hidupnya mimpi belaka, dan begitu dia bangun, tidak ada wanita itu di rumah dan status papanya masihlah seorang duda.
Tapi, memang kita tak boleh terlalu banyak berharap, karena jika harapan tak berbuah kenyataan, akan menyebalkan bahkan menyedihkan.
Ya, Elang samar-samar mendengar suara langkah kaki tergesa dari lantai bawah. Sungguh mengganggu rencana tidur siangnya.
Apa itu papa Adrian yang pulang? Apa dia baru nyadar kalau pengantin baru tak seharusnya berangkat kerja? Atau, karena ada alasan lainnya?
"Bi, ini istri saya kenapa?"
Walau kesal tengah menyelimuti, tapi Elang tetap menguping pembicaraan papanya di luar sana.
***
Tin... Tiiin...Dengan tidak sabaran, Adrian membunyikan klakson mobil di depan pagar rumahnya. Biarlah Mang Diman akan terkejut sampai terlatah-latah di pos jaga, yang penting pintu segera dibuka.Tidak. Adrian ingin cepat pulang bukan karena tak sabar hendak mengulang yang tadi malam, walau sebenarnya dia terus terbayang-bayang dengan tubuh polos Naomi. Adrian pulang karena putranya sudah pulang ke rumah. Tristan tadi melapor padanya.Adrian, walau bagaimanapun dia harus mengenalkan Elang secara formal pada Naomi. Bukankah yang Naomi tahu dia seorang duda dengan anak satu? Jadi Naomi harus tahu kalau Elang, remaja pria itu adalah putranya.Tapi, mengingat Elang tidak menyetujui pernikahannya, Adrian khawatir Elang akan bersikap tidak sopan dengan Naomi. Walaupun mereka menikah tidak atas dasar cinta, melainkan Adrian tidak ingin terus-terusan diperolok karena kelamaan menduda, tapi tida
"Kamu lagi ngomong sama aku ya, Mas?"Sengaja, Naomi cuek pada Adrian yang tengah mengenalkan Elang padanya. Ia kesal tingkat maha dewa sama suaminya, kekesalan yang berlapis-lapis.Lagipula, tidak perlu dikenalkan, ia juga sudah tahu kok dari bi Inah. Cuma masalahnya, kenapa bisa Adrian punya anak yang umurnya belasan tahun, nyaris dewasa.Apa Adrian menikah muda? Atau...?Dijawab dengan cuek oleh Naomi, Adrian sontak mengetap bibirnya. Beraninya wanita ini. Tapi, Adrian harus sedikit meredam kesalnya karena bi Inah sedang berada di dapur sekarang, di pantri entah tengah ngapain."Ya, aku bicara sama kamu lah, istri aku kan kamu, yang artinya kamu sekarang adalah mama sambung dari anak aku." Adrian menjelaskan dengan banyak menahan sabar.Tapi, tidak dengan Elang, dia begitu frontal menyatakan ketidaksukaan pada Naomi."Ngapa
Adrian ini sama sekali bukan tipe yang peka apalagi romantis kayaknya. Pantas saja istrinya dulu mencari pria lain untuk minta belaian kehangatan.Masa Naomi jalan kaki sendiri sih dari dapur ke kamar, bukannya dibantuin. Kan Adrian tau Naomi tengah kesusahan berjalan. Tadi pagi saja, perintahkan bi Inah bawa sarapan ke kamar, sok perhatian, tapi sekarang dianya malah tidak perhatian.Digendong atau paling tidak dipimpin berjalan ke kamar, Naomi pasti berpikir sekali lagi untuk menghapus sedikit perasaan gondoknya.Ngeselin.Naomi duduk di kepala ranjang dengan kedua tangan melipat di dada membuat tonjolan kecil dadanya mencuat.Sesuai rencana, ia ingin terus merajuk, sampai Adrian menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Walaupun yah, belum tentu dia akan dapat kata maaf dari pria itu.Palingan juga 'sorry' yang terdengar
Adrian sarapan pagi seorang diri. Tanpa kehadiran Naomi, juga Elang. Hanya ditemani bi Inah yang berlalu lalang di ruang dapur.Roti tawar dan segelas besar susu panas adalah menu sarapan rutinnya. Namun, Adrian tidak sepenuhnya menikmati sarapan tersebut, asal masuk ke perut saja. Pasalnya, kepalanya dipenuhi dengan kejadian tadi malam setelah Naomi memutuskan untuk tidak tidur di kamar bersamanya."Mau tidur lah, Mas. Tapi tidak di kamar ini, tidak dengan kamu. Aku tidur sendirian saja."Dia marah sebegitunya karena malam pertama? Bukankah lumrah, wanita yang masih segel merasakan kesakitan itu? Kenapa aku harus minta maaf? Lagipula, dia terlihat menikmati permainanku kok.Memang begitu tugas seorang istri juga, kan?Adrian memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut, seraya memandang lurus punggung Naomi yang berjalan menjauhinya.
"Halo, Des. Kamu lagi apa? Aku kangen banget tau." Mata Naomi seketika berbinar begitu menangkap nama Desy di layar ponselnya. Rupanya benda pipih miliknya itu tadi menyempil di bawah bantal kepalanya. Ia berbicara dengan bersemangat seolah Desy bisa melihat wajahnya dari seberang sana. Padahal bukan video call. "Aku juga kangen dong. Baru beberapa hari aja, rasanya udah kayak sebulan nggak bertemu." Desy sama bahagianya, terdengar jelas dari suaranya yang ceria. "Jadi, kapan nih ada rencana honeymoon? Ajak-ajak aku dong," sambung Desy lagi. Desahan berat lolos dari bibir tipis Naomi. Apa-apaan sih Desy? Katanya kangen, bukannya bertanya kabar atau ngajak bertemu, malah bertanya soal honeymoon. Naomi yang menikah saja sama sekali tak kepikiran soal berbulan madu. Adrian juga sepertinya begitu. Tidak memikirkan berbulan madu karena banyak kerjaan
Wajah bi Inah sumringah layaknya orang baru menang undian begitu langkah malas Naomi tiba di dapur. Menarik kursi lalu menjatuhkan punggungnya di kursi meja makan, Naomi menoleh ke arah pembantunya itu."Kenapa kok kayaknya lagi senang banget, bik?" Naomi bertanya dengan kedua tangan bertopang di dagu.Melihat wajah sumringah bi Inah, Naomi jadi terkenang dengan bundanya yang selalu berbahagia meskipun sedang dalam masalah. Apalagi, bi Inah juga punya lesung di pipi kiri yang dalam, persis bundanya.Aish. Kalau Naomi teringat bunda, pasti akan teringat ayah juga. Apa ayah sedang berbahagia sekarang?Naomi tak yakin."Saya senang karena Nyonya akhirnya keluar untuk makan.""Kan aku udah bilang, aku akan ke dapur kalau lapar.""Iya, saya ingat kok, Nyonya."Bi Inah lalu melayani istri dari
"Apa lihat-lihat? Nggak senang, ya udah sana balik ke kamar!" ketus Naomi. Iba? Salah tempat. Kenapa juga Naomi harus iba sama anak yang terang-terangan tidak menyukainya? Tak peduli setampan apa dia, sewangi apa dia, kalau kesal ya kesal aja. "Gue emang mau balik ke kamar kok, hanya masalahnya gue nggak senang lo lihat-lihat album keluarga gue." Elang tak kalah sewotnya, dengan langkah lebar dia menghampiri dan merampas album foto dari tangan Naomi. Nyaris terlena karena kebaikan Naomi tadi, lalu tatapan lembut yang ujung-ujungnya menusuk. "Terserah aku dong ya mau lihat apa aja, mata juga mata aku. Kamu bocah kecil nggak berhak ngatur." Bangkit dari duduknya, Naomi menaruh kedua tangan memeluk dada yang agak dibusungkan ke depan. "Gue nggak suka foto gue dilihat sama orang asing kayak lo
"Halo, aku mau minta izin pulang ke rumah ayah ya."Adrian yang disibuki dengan berkas-berkas di meja kerjanya mengernyit alis mendapati nama bi Inah di layar ponsel. Tidak biasanya pembantunya itu menelpon lebih dulu. Apa ada hal penting?Tapi, Adrian dibuat makin bingung ketika suara Naomi yang terdengar di seberang telpon."Siapa ini yang menelpon?" Adrian merutuki pertanyaan yang keluar dari mulutnya sendiri. Kenapa ditanya lagi sih?Jelas-jelas tadi itu suara Naomi."Ya aku lah, orang aku yang ngomong. Boleh ya? Aku udah pesan ojek online nih, sebentar lagi datang kok."Adrian berdecak, bukan masalah Naomi yang menelponnya dari ponsel bi Inah, melainkan karena wanita itu ingin pulang ke rumah orangtuanya.Adrian tidak suka, mengingat di rumah keluarga itu lebih banyak yang tak menyuka
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin