Wajah bi Inah sumringah layaknya orang baru menang undian begitu langkah malas Naomi tiba di dapur. Menarik kursi lalu menjatuhkan punggungnya di kursi meja makan, Naomi menoleh ke arah pembantunya itu.
"Kenapa kok kayaknya lagi senang banget, bik?" Naomi bertanya dengan kedua tangan bertopang di dagu.
Melihat wajah sumringah bi Inah, Naomi jadi terkenang dengan bundanya yang selalu berbahagia meskipun sedang dalam masalah. Apalagi, bi Inah juga punya lesung di pipi kiri yang dalam, persis bundanya.
Aish. Kalau Naomi teringat bunda, pasti akan teringat ayah juga. Apa ayah sedang berbahagia sekarang?
Naomi tak yakin.
"Saya senang karena Nyonya akhirnya keluar untuk makan."
"Kan aku udah bilang, aku akan ke dapur kalau lapar."
"Iya, saya ingat kok, Nyonya."
Bi Inah lalu melayani istri dari
"Apa lihat-lihat? Nggak senang, ya udah sana balik ke kamar!" ketus Naomi. Iba? Salah tempat. Kenapa juga Naomi harus iba sama anak yang terang-terangan tidak menyukainya? Tak peduli setampan apa dia, sewangi apa dia, kalau kesal ya kesal aja. "Gue emang mau balik ke kamar kok, hanya masalahnya gue nggak senang lo lihat-lihat album keluarga gue." Elang tak kalah sewotnya, dengan langkah lebar dia menghampiri dan merampas album foto dari tangan Naomi. Nyaris terlena karena kebaikan Naomi tadi, lalu tatapan lembut yang ujung-ujungnya menusuk. "Terserah aku dong ya mau lihat apa aja, mata juga mata aku. Kamu bocah kecil nggak berhak ngatur." Bangkit dari duduknya, Naomi menaruh kedua tangan memeluk dada yang agak dibusungkan ke depan. "Gue nggak suka foto gue dilihat sama orang asing kayak lo
"Halo, aku mau minta izin pulang ke rumah ayah ya."Adrian yang disibuki dengan berkas-berkas di meja kerjanya mengernyit alis mendapati nama bi Inah di layar ponsel. Tidak biasanya pembantunya itu menelpon lebih dulu. Apa ada hal penting?Tapi, Adrian dibuat makin bingung ketika suara Naomi yang terdengar di seberang telpon."Siapa ini yang menelpon?" Adrian merutuki pertanyaan yang keluar dari mulutnya sendiri. Kenapa ditanya lagi sih?Jelas-jelas tadi itu suara Naomi."Ya aku lah, orang aku yang ngomong. Boleh ya? Aku udah pesan ojek online nih, sebentar lagi datang kok."Adrian berdecak, bukan masalah Naomi yang menelponnya dari ponsel bi Inah, melainkan karena wanita itu ingin pulang ke rumah orangtuanya.Adrian tidak suka, mengingat di rumah keluarga itu lebih banyak yang tak menyuka
"Ayah kalian paksa bekerja? Keterlaluan!" Naomi berang, mukanya merah padam karena tidak mendapati sosok sang ayah yang dicintainya di rumah.Masalahnya, belum genap dua Minggu setelah ayah operasi pencangkokan ginjal, masa sekarang sudah berangkat bekerja. Dasar mama dan saudara tiri tidak berguna.Naomi mencengkram kuat pada tali tasnya. Geram."Naomi, ayahmu adalah kepala keluarga, jadi wajar dong kalau dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami." Mama tirinya membela diri dengan tidak tahu dirinya."Kalian memang tidak berguna. Harusnya kalian bisa bekerja, kamu Marsya, juga Abang kamu Ricko, kalian kan sehat dan masih muda. Kenapa hanya berharap dari ayah, hah? Dia sudah menua."Naomi memandang berapi-api pada Marsya."Kalau kamu tidak rela ayah kerja, sebaiknya kamu minta suami kaya raya kamu itu memberikan uang yang banyak
"Apa pernikahan kamu tak bahagia, nak?"Ditanyai soalan seperti itu, putri mana yang akan langsung menjawab yang sebenarnya kalau pernikahannya tidak baik-baik saja?Tidak mungkin. Naomi sama saja menambah beban luka di hati ayahnya kalau sampai dia menjawab begitu.Tidak. Naomi tidak akan tega mengatakan yang sejujurnya. Biarlah dia berbohong saja."Ayah, kita ngomongnya di dalam ruangan ayah aja ya," ajaknya seraya menggandeng lengan sang ayah, menggelayut manja di sana. Sudah lama dia tak mesra dengan ayahnya seperti sekarang ini."Baiklah, ayo.""Nah, gitu dong." Naomi menyengir lebar menampilkan barisan giginya yang kecil. "Masa putri ayah datang nggak disuruh masuk, kasih minum dulu. Naomi juga haus tau." Ia juga sengaja membuat muka kecut.Sesampainya di dalam ruangan sang ayah, Naomi hanya meminta min
"Makasih ya, Tris. Karena kamu, aku jadi nggak bosan keliling pasar malam sendirian."Naomi mengulas senyum hangat dari balik jendela mobil pada Tristan yang dibalas anggukan oleh pria itu. Walau sebenarnya, dalam hati si Tristan berdebar-debar tak karuan, karena dia bisa dikatakan membawa pergi istri bosnya.Mau bagaimana lagi? Toh orangnya sendiri yang mau. Tristan tak bisa menolak. Paling, setelah ini dia akan dapat kecaman dari bos Adrian.Jadi, tadi itu setelah pulang dari kantor ayahnya, mobil yang dikendarai Tristan melewati sebuah pasar malam yang memang mulai buka dari pukul 5 sore. Naomi jadi tertarik untuk berbelanja saat melihat banyak makanan yang dijajakan.Berkeliling sebentar ditemani Tristan, Naomi membeli sate lilit, ayam bakar, es cincau dan tak lupa gulali.Naomi juga menawarkan untuk mentraktir Tristan karena bersedia menemaninya, tapi
"Cuma apa?" tanya Adrian lagi dengan dagu yang terangkat.Susah payah Naomi menahan posisi tubuhnya. Dalam hatinya mengutuk. Dasar Adrian.Aku nggak biasa aja Mas kalau kamu kelamaan di rumah, nggak baik buat kesehatan jantung dan hati aku. Itu aja kok. Tentu saja Naomi hanya mampu mengutarakan dalam hatinya, sebelum akhirnya dia dapat alasan yang masuk untuk menjawab suaminya."Cuma... cuma ini, Mas." Naomi hampir lupa kalau dia menenteng kantong makanan di tangan kanannya. Cepat dia menaikkan kantong kresek hitam tersebut membuat Adrian juga kontan memundurkan tubuhnya."Kalau aja aku tau Mas pulang cepat, pasti aku beli jajanannya agak lebih. Ini aku beli buat aku makan sendirian aja."Naomi menekuk bibirnya sembari memandang kantong kresek, seolah sedih karena harus berbagi jajanannya dengan Adrian.Adrian ikut mendelik
Argghhh! Naomi tidak akan menjerit dalam hati kalau saja dia bangun pagi dengan tubuh yang fresh. Lihatlah kondisinya sekarang. Rambut awut-awutan, sekujur badan terasa pegal, belum lagi bagian itu nya, ahh nyut-nyutan. Lantas, lihatlah kamarnya yang berantakan. Satu set pakaian yang ia kenakan tadi malam berceceran di lantai kamar. Begitu pun dengan milik Adrian. Ampun deh. Naomi meraup wajahnya tak kuasa menahan malu. Bagaimana kalau tiba-tiba ada bi Inah masuk dan melihat semua ini? Yang Naomi lebih aneh lagi, kenapa Adrian masih terlelap di sebelahnya? Tidak berangkat kerjakah dia? Apa dia terlalu lelah? Hei, memangnya jam berapa tepatnya mereka selesai tadi malam? Naomi menggapai ponsel di atas nakas, lalu melebar bola matanya demi melihat angka yang tertera di ponselnya. Sudah jam 8 lewat 15 menit. Tapi, Adrian belum bangun? Haruskah
"Ponsel siapa sih itu yang bunyi? Berisik." Kesal Adrian seraya menutup kedua telinganya, posisi tubuhnya masih berbaring menelungkup.Pada saat itu pula, Naomi menangkap wujud ponsel yang berderit di dekat lemari. Mana mungkin dia berjalan untuk mengambil ponsel tersebut."Itu ponsel kamu, Mas." Naomi berseru dengan muka cemberut. Nggak pasal-pasal, Adrian malah menuduh ponselnya yang berisik pagi-pagi. Menyebalkan."Ponsel Saya?" Sontak Adrian berbalik, menajamkan telinga ke sumber suara, sebelum akhirnya ternampak olehnya bibir Naomi yang manyun ke arah almari.Adrian pun mengikuti arah petunjuk Naomi, lalu mendengkus sebal. Memang ponselnya yang bergetar terus dari tadi. Siapa sih yang menelpon pagi-pagi begini?Adrian mengira masih pagi karena tak menyadari cahaya matahari sudah menembus masuk ke kamarnya. Astaga."Kamu bisa ambilin pon