"Ayah kalian paksa bekerja? Keterlaluan!" Naomi berang, mukanya merah padam karena tidak mendapati sosok sang ayah yang dicintainya di rumah.
Masalahnya, belum genap dua Minggu setelah ayah operasi pencangkokan ginjal, masa sekarang sudah berangkat bekerja. Dasar mama dan saudara tiri tidak berguna.
Naomi mencengkram kuat pada tali tasnya. Geram.
"Naomi, ayahmu adalah kepala keluarga, jadi wajar dong kalau dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami." Mama tirinya membela diri dengan tidak tahu dirinya.
"Kalian memang tidak berguna. Harusnya kalian bisa bekerja, kamu Marsya, juga Abang kamu Ricko, kalian kan sehat dan masih muda. Kenapa hanya berharap dari ayah, hah? Dia sudah menua."
Naomi memandang berapi-api pada Marsya.
"Kalau kamu tidak rela ayah kerja, sebaiknya kamu minta suami kaya raya kamu itu memberikan uang yang banyak
"Apa pernikahan kamu tak bahagia, nak?"Ditanyai soalan seperti itu, putri mana yang akan langsung menjawab yang sebenarnya kalau pernikahannya tidak baik-baik saja?Tidak mungkin. Naomi sama saja menambah beban luka di hati ayahnya kalau sampai dia menjawab begitu.Tidak. Naomi tidak akan tega mengatakan yang sejujurnya. Biarlah dia berbohong saja."Ayah, kita ngomongnya di dalam ruangan ayah aja ya," ajaknya seraya menggandeng lengan sang ayah, menggelayut manja di sana. Sudah lama dia tak mesra dengan ayahnya seperti sekarang ini."Baiklah, ayo.""Nah, gitu dong." Naomi menyengir lebar menampilkan barisan giginya yang kecil. "Masa putri ayah datang nggak disuruh masuk, kasih minum dulu. Naomi juga haus tau." Ia juga sengaja membuat muka kecut.Sesampainya di dalam ruangan sang ayah, Naomi hanya meminta min
"Makasih ya, Tris. Karena kamu, aku jadi nggak bosan keliling pasar malam sendirian."Naomi mengulas senyum hangat dari balik jendela mobil pada Tristan yang dibalas anggukan oleh pria itu. Walau sebenarnya, dalam hati si Tristan berdebar-debar tak karuan, karena dia bisa dikatakan membawa pergi istri bosnya.Mau bagaimana lagi? Toh orangnya sendiri yang mau. Tristan tak bisa menolak. Paling, setelah ini dia akan dapat kecaman dari bos Adrian.Jadi, tadi itu setelah pulang dari kantor ayahnya, mobil yang dikendarai Tristan melewati sebuah pasar malam yang memang mulai buka dari pukul 5 sore. Naomi jadi tertarik untuk berbelanja saat melihat banyak makanan yang dijajakan.Berkeliling sebentar ditemani Tristan, Naomi membeli sate lilit, ayam bakar, es cincau dan tak lupa gulali.Naomi juga menawarkan untuk mentraktir Tristan karena bersedia menemaninya, tapi
"Cuma apa?" tanya Adrian lagi dengan dagu yang terangkat.Susah payah Naomi menahan posisi tubuhnya. Dalam hatinya mengutuk. Dasar Adrian.Aku nggak biasa aja Mas kalau kamu kelamaan di rumah, nggak baik buat kesehatan jantung dan hati aku. Itu aja kok. Tentu saja Naomi hanya mampu mengutarakan dalam hatinya, sebelum akhirnya dia dapat alasan yang masuk untuk menjawab suaminya."Cuma... cuma ini, Mas." Naomi hampir lupa kalau dia menenteng kantong makanan di tangan kanannya. Cepat dia menaikkan kantong kresek hitam tersebut membuat Adrian juga kontan memundurkan tubuhnya."Kalau aja aku tau Mas pulang cepat, pasti aku beli jajanannya agak lebih. Ini aku beli buat aku makan sendirian aja."Naomi menekuk bibirnya sembari memandang kantong kresek, seolah sedih karena harus berbagi jajanannya dengan Adrian.Adrian ikut mendelik
Argghhh! Naomi tidak akan menjerit dalam hati kalau saja dia bangun pagi dengan tubuh yang fresh. Lihatlah kondisinya sekarang. Rambut awut-awutan, sekujur badan terasa pegal, belum lagi bagian itu nya, ahh nyut-nyutan. Lantas, lihatlah kamarnya yang berantakan. Satu set pakaian yang ia kenakan tadi malam berceceran di lantai kamar. Begitu pun dengan milik Adrian. Ampun deh. Naomi meraup wajahnya tak kuasa menahan malu. Bagaimana kalau tiba-tiba ada bi Inah masuk dan melihat semua ini? Yang Naomi lebih aneh lagi, kenapa Adrian masih terlelap di sebelahnya? Tidak berangkat kerjakah dia? Apa dia terlalu lelah? Hei, memangnya jam berapa tepatnya mereka selesai tadi malam? Naomi menggapai ponsel di atas nakas, lalu melebar bola matanya demi melihat angka yang tertera di ponselnya. Sudah jam 8 lewat 15 menit. Tapi, Adrian belum bangun? Haruskah
"Ponsel siapa sih itu yang bunyi? Berisik." Kesal Adrian seraya menutup kedua telinganya, posisi tubuhnya masih berbaring menelungkup.Pada saat itu pula, Naomi menangkap wujud ponsel yang berderit di dekat lemari. Mana mungkin dia berjalan untuk mengambil ponsel tersebut."Itu ponsel kamu, Mas." Naomi berseru dengan muka cemberut. Nggak pasal-pasal, Adrian malah menuduh ponselnya yang berisik pagi-pagi. Menyebalkan."Ponsel Saya?" Sontak Adrian berbalik, menajamkan telinga ke sumber suara, sebelum akhirnya ternampak olehnya bibir Naomi yang manyun ke arah almari.Adrian pun mengikuti arah petunjuk Naomi, lalu mendengkus sebal. Memang ponselnya yang bergetar terus dari tadi. Siapa sih yang menelpon pagi-pagi begini?Adrian mengira masih pagi karena tak menyadari cahaya matahari sudah menembus masuk ke kamarnya. Astaga."Kamu bisa ambilin pon
Sore hari, setelah membiarkan dirinya berdiam diri di kamar, hanya rebahan di kasur, akhirnya Naomi merasa kecapean sendiri. Dia pun mengusahakan untuk bangun dan keluar kamar walaupun masih terasa sekali 5L, lemah letih lesu lelah lunglai.Di luar kamar, Naomi langsung bertemu dengan bi Inah. Wanita tua itu tampak khawatir melihat cara jalan Naomi yang tertatih dan pelan-pelan."Nyonya, kenapa keluar? Kalau butuh apa-apa, kan bisa telpon bi Inah, biar bibik yang antar ke dalam kamar."Cepat Naomi menggeleng kepala dan mengibas tangannya, tanda dia tidak apa-apa. Tidak mau Naomi membuat wanita paruh baya yang baik hati itu khawatir."Aku udah enakan kok, bi." Naomi menyahut lembut.Raut wajah bi Inah yang tadinya cemas kini berangsur-angsur lega. Melihat kondisi Naomi dari ujung rambut hingga ujung kaki, bi Inah pun menawarkan untuk membuat makanan y
"Iya iya, aku diam aja deh." Naomi menyahut seraya mencebik bibirnya.Mau bagaimana lagi? Dari pada ada dedek kecil di bawah sana yang terbangun lalu berubah menjadi besar dan ganas, serta meminta pertanggungjawabannya."Nah, gitu dong." Ujung bibir Adrian terangkat naik, membentuk senyum. Dia berbohong tadi soal ada yang bangun kalau Naomi terus-menerus bergerak sedang posisinya berada dalam gendongan Adrian.Padahal, memang sejak awal, sejak dari kantor lagi, milik Adrian sudah terbangun, kalau bisa miliknya berjalan, pasti sudah keluar dari dalam sana dan mencari-mencari tempat untuk meluahkan laharnya.AHHH. Adrian berdenyut karena tak tahan.Mereka tiba di depan pintu kamar, ketika ada suara langkah kaki yang keluar dari arah kamar Elang. Naomi menilik dari bahu Adrian, dan entah kenapa dia begitu malu karena Elang memang tengah memandang ke arah mere
"Nyonya!" Suara Bi Inah terdengar dari luar. Adrian menyugar rambutnya kasar ke atas, kesal karena tidak bisa mengakhiri aktivitasnya dengan sempurna. Ya, Adrian terpaksa harus bermain sendirian di kamar mandi. Apa kalian tau kalau itu sangat menyakitkan? Dingin lagi. Lagian ngapain sih bi Inah tiba-tiba manggil Naomi? Mengganggu saja. Di luar kamar mandi, Naomi cepat-cepat memakai kembali pakaiannya lalu membuka pintu setengah bagian. Saking buru-burunya, Naomi tak sadar kalau ia memakai baju terbalik. "Maaf lama bik, tadi aku lagi keramas di kamar mandi." Alasan Naomi jelas tak masuk akal. Buktinya saja rambutnya tidak basah sama sekali, yang ada berantakan tak karuan. "Oh ya? Ada apa Bik?" Ia tersenyum canggung, mengetahui kalau bi Inah sadar dia berbohong. Bukannya memasang tampang curiga, bi Inah balas tersenyum, matanya memandang luru