Sore hari, setelah membiarkan dirinya berdiam diri di kamar, hanya rebahan di kasur, akhirnya Naomi merasa kecapean sendiri. Dia pun mengusahakan untuk bangun dan keluar kamar walaupun masih terasa sekali 5L, lemah letih lesu lelah lunglai.
Di luar kamar, Naomi langsung bertemu dengan bi Inah. Wanita tua itu tampak khawatir melihat cara jalan Naomi yang tertatih dan pelan-pelan.
"Nyonya, kenapa keluar? Kalau butuh apa-apa, kan bisa telpon bi Inah, biar bibik yang antar ke dalam kamar."
Cepat Naomi menggeleng kepala dan mengibas tangannya, tanda dia tidak apa-apa. Tidak mau Naomi membuat wanita paruh baya yang baik hati itu khawatir.
"Aku udah enakan kok, bi." Naomi menyahut lembut.
Raut wajah bi Inah yang tadinya cemas kini berangsur-angsur lega. Melihat kondisi Naomi dari ujung rambut hingga ujung kaki, bi Inah pun menawarkan untuk membuat makanan y
"Iya iya, aku diam aja deh." Naomi menyahut seraya mencebik bibirnya.Mau bagaimana lagi? Dari pada ada dedek kecil di bawah sana yang terbangun lalu berubah menjadi besar dan ganas, serta meminta pertanggungjawabannya."Nah, gitu dong." Ujung bibir Adrian terangkat naik, membentuk senyum. Dia berbohong tadi soal ada yang bangun kalau Naomi terus-menerus bergerak sedang posisinya berada dalam gendongan Adrian.Padahal, memang sejak awal, sejak dari kantor lagi, milik Adrian sudah terbangun, kalau bisa miliknya berjalan, pasti sudah keluar dari dalam sana dan mencari-mencari tempat untuk meluahkan laharnya.AHHH. Adrian berdenyut karena tak tahan.Mereka tiba di depan pintu kamar, ketika ada suara langkah kaki yang keluar dari arah kamar Elang. Naomi menilik dari bahu Adrian, dan entah kenapa dia begitu malu karena Elang memang tengah memandang ke arah mere
"Nyonya!" Suara Bi Inah terdengar dari luar. Adrian menyugar rambutnya kasar ke atas, kesal karena tidak bisa mengakhiri aktivitasnya dengan sempurna. Ya, Adrian terpaksa harus bermain sendirian di kamar mandi. Apa kalian tau kalau itu sangat menyakitkan? Dingin lagi. Lagian ngapain sih bi Inah tiba-tiba manggil Naomi? Mengganggu saja. Di luar kamar mandi, Naomi cepat-cepat memakai kembali pakaiannya lalu membuka pintu setengah bagian. Saking buru-burunya, Naomi tak sadar kalau ia memakai baju terbalik. "Maaf lama bik, tadi aku lagi keramas di kamar mandi." Alasan Naomi jelas tak masuk akal. Buktinya saja rambutnya tidak basah sama sekali, yang ada berantakan tak karuan. "Oh ya? Ada apa Bik?" Ia tersenyum canggung, mengetahui kalau bi Inah sadar dia berbohong. Bukannya memasang tampang curiga, bi Inah balas tersenyum, matanya memandang luru
"Mas, gimana? Udah enakan?" Adrian keluar dari kamar mandi dengan muka merah. Setelah apa yang terjadi padanya, bagai ada yang berputar-putar dalam perutnya, lalu seluruh isi perutnya yang belum makan seharian ini terpaksa dikeluarkan, Naomi masih berani nanya 'udah enakan?' Tck! "Mas?" tanya Naomi lagi dengan raut kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya. Bi Inah telah cerita padanya tadi, kalau Adrian tak pernah sekalipun makan rujak. Tapi kenapa Adrian degil sekali masih makan? "Nggak usah nanya-nanya boleh, kan?" jawab Adrian sembari menahan sakit. Naomi mencebik. Dia bertanya karena khawatir. Alih-alih senang dikhawatirkan, Adrian malah bersikap jutek. Rasakan aja sakitnya sendiri. "Ya udah sih Mas, kalau nggak boleh nanya-nanya." Dalam hati Naomi berpikir kalau Adrian sebenarnya tengah kena karma terhadap keluarganya,
Seperti anak kecil, Naomi bertepuk-tepuk tangan girang begitu Bi Inah menghidangkan Soto yang tadi dimintanya. Matanya berkilat, lidahnya sampai melet-melet, hanya dengan melihat kuah soto yang masih berasap. Adrian yang melihat tingkah istrinya itu geleng-geleng kepala. Kontras sekali dengan sikap Naomi beberapa waktu tadi. Tadi Naomi mendadak marah ketika Adrian mengibas tangan di depan mukanya. Ya, Naomi ketahuan meneguk ludah saat melihat tubuh tanpa busana, karena itu pula Naomi mengomel, bilang buka baju seenaknya. Padahal jelas dia sendiri yang menyuruh buka. Kan aneh. "Makasih ya, bik," ucap Naomi seraya mengedip matanya manja yang direspon bi Inah dengan senyuman hangat. Tanpa berlama-lama, Naomi langsung mengeksekusi Soto buatan bi Inah dengan menyeruput kuahnya yang nikmat serta pedas. Lidah Naomi seakan-akan tengah digoyang. "Kamu yang minta Bi Inah masakin soto ini?" tanya Adrian mengagetkan Naomi dari aksi
Mau tak mau, Elang mengekori Bi Inah menuju ruang makan, walau pun pada akhirnya dia harus berdepan dengan Naomi. Bagaimana lagi? Memang sejujurnya perut Elang sudah lapar, dia menahan saja tadi. Ditambah, Bi Inah bilang beliau masak Soto yang diminta Naomi.Ah, Elang tak mungkin menahan selera dan perutnya demi tak bertatap muka dengan mama sambungnya itu, kan?Tapi, kenapa Naomi kelihatan peduli banget ya?Rasa penasaran Elang, langsung dijawab dengan celotehan Naomi, begitu saja dia tiba dan mendudukkan pantat di kursi ruang makan."Makan nih, Bi Inah udah buatin soto, banyak. Sayang kalau nggak abisin, mubazir aja."Tck! Jadi dia nyuruh aku makan bukan karena peduli, tapi karena sayang sama soto ini?Elang memandang kesal semangkok soto yang disiapkan bi Inah untuknya, seolah soto itu adalah Naomi. Kenapa juga dia sempat kepikiran
"Ekhem... Ekhem... Ekhem..."Adrian berdehem tiga kali selagi membuka pintu kamar Elang dengan gerakan sepelan mungkin. Antara tidak mau mengganggu putranya yang sedang belajar atau tak ingin kedatangannya diketahui oleh si empunya kamar.Wajar saja, sebelumnya Adrian tak pernah menunjukkan perhatiannya pada Elang. Ini saja atas perintah yang berkedok saran dari Naomi."Eh, Pa? Ada apa ke kamar Elang? Tumben?" Sang putra yang mengetahui kehadiran Adrian di kamarnya, segera membalikkan kursi putarnya, menatap penuh tanda tanya.Kembali berdehem, Adrian sebenarnya sedikit kesal dengan pertanyaan Elang. Memangnya seorang papa tidak boleh masuk kamar anak sendiri seenaknya? Harus minta izin dulu, begitu?"Papa cuma mau memastikan kamu belajar dengan benar," sahut Adrian masih dengan nada datarnya. Sungguh tidak mencerminkan sikap seorang papa yang seharusnya hangat
"Duh, merah-merah banget lagi. Gimana cara ngilanginnya ya?"Selesai mandi, masih menggunakan bathrobe, Naomi duduk di depan kaca dengan perasaan tak menentu. Matanya tak lepas dari memandang bagian leher hingga dadanya yang membekas warna merah."Gimana caranya aku keluar kamar kalau begini? Kelihatan sama Bi Inah kan malu-maluin," desah Naomi.Lalu, tanpa diundang, ingatan tentang kejadian tadi malam yang panas berputar di kepalanya.Adrian menyerang tanpa ampun, tidak pula memberi Naomi kesempatan untuk menjelaskan. Dia sama sekali tidak bermaksud mengatai suaminya keturunan jin, dedemit atau apalah itu. Dia cuma kesal sekaligus heran, semalam itu. Tapi, Adrian tak terima."Kamu harus menanggung akibatnya karena berani mengatai aku seperti itu." Bisikan itu tepat di daun telinga Naomi dan berhasil membuatnya geli dan ngeri sekaligus.
"Kenapa aku malah nggak kepikiran ya, Bik?" Naomi mengerjap beberapa kali sementara menunggu Bi Inah selesai mengolesi krim foundation ke lehernya demi menyamarkan bekas kemerahan.Wanita tua itu tersenyum hangat sebelum akhirnya menjawab, "Nyonya panik sih, makanya nggak kepikiran."Lagi, Naomi mengerjap. Apa iya? Tidak ingin membantah pendapat orangtua itu, Naomi hanya mengangguk. "Oh, iya kali. Padahal mah gampang ya, Bik."Selesai menyamarkan bekas merah yang merupakan tanda kepemilikan dari Adrian, Naomi segera turun dengan pakaian yang sudah pula berganti. Lebih rapi dan sopan."Ayo Mas, kita berangkat!" ajak Naomi, tidak sabaran, seraya menggerakkan badannya ke kiri ke kanan.Adrian bangkit dari sofa dan membiarkan Naomi berjalan lebih dulu. Dan sebagai seorang istri, Naomi ingin Adrian membukakan pintu untuknya, karena kalau diingat-ingat ini adalah kali