Seperti anak kecil, Naomi bertepuk-tepuk tangan girang begitu Bi Inah menghidangkan Soto yang tadi dimintanya. Matanya berkilat, lidahnya sampai melet-melet, hanya dengan melihat kuah soto yang masih berasap.
Adrian yang melihat tingkah istrinya itu geleng-geleng kepala. Kontras sekali dengan sikap Naomi beberapa waktu tadi.
Tadi Naomi mendadak marah ketika Adrian mengibas tangan di depan mukanya. Ya, Naomi ketahuan meneguk ludah saat melihat tubuh tanpa busana, karena itu pula Naomi mengomel, bilang buka baju seenaknya. Padahal jelas dia sendiri yang menyuruh buka. Kan aneh.
"Makasih ya, bik," ucap Naomi seraya mengedip matanya manja yang direspon bi Inah dengan senyuman hangat.
Tanpa berlama-lama, Naomi langsung mengeksekusi Soto buatan bi Inah dengan menyeruput kuahnya yang nikmat serta pedas. Lidah Naomi seakan-akan tengah digoyang.
"Kamu yang minta Bi Inah masakin soto ini?" tanya Adrian mengagetkan Naomi dari aksi
Terima kasih bagi siapapun yang udah beri aku gem, maaf kalau aku lambat dalam update babnya🙏🙏🙏
Mau tak mau, Elang mengekori Bi Inah menuju ruang makan, walau pun pada akhirnya dia harus berdepan dengan Naomi. Bagaimana lagi? Memang sejujurnya perut Elang sudah lapar, dia menahan saja tadi. Ditambah, Bi Inah bilang beliau masak Soto yang diminta Naomi.Ah, Elang tak mungkin menahan selera dan perutnya demi tak bertatap muka dengan mama sambungnya itu, kan?Tapi, kenapa Naomi kelihatan peduli banget ya?Rasa penasaran Elang, langsung dijawab dengan celotehan Naomi, begitu saja dia tiba dan mendudukkan pantat di kursi ruang makan."Makan nih, Bi Inah udah buatin soto, banyak. Sayang kalau nggak abisin, mubazir aja."Tck! Jadi dia nyuruh aku makan bukan karena peduli, tapi karena sayang sama soto ini?Elang memandang kesal semangkok soto yang disiapkan bi Inah untuknya, seolah soto itu adalah Naomi. Kenapa juga dia sempat kepikiran
"Ekhem... Ekhem... Ekhem..."Adrian berdehem tiga kali selagi membuka pintu kamar Elang dengan gerakan sepelan mungkin. Antara tidak mau mengganggu putranya yang sedang belajar atau tak ingin kedatangannya diketahui oleh si empunya kamar.Wajar saja, sebelumnya Adrian tak pernah menunjukkan perhatiannya pada Elang. Ini saja atas perintah yang berkedok saran dari Naomi."Eh, Pa? Ada apa ke kamar Elang? Tumben?" Sang putra yang mengetahui kehadiran Adrian di kamarnya, segera membalikkan kursi putarnya, menatap penuh tanda tanya.Kembali berdehem, Adrian sebenarnya sedikit kesal dengan pertanyaan Elang. Memangnya seorang papa tidak boleh masuk kamar anak sendiri seenaknya? Harus minta izin dulu, begitu?"Papa cuma mau memastikan kamu belajar dengan benar," sahut Adrian masih dengan nada datarnya. Sungguh tidak mencerminkan sikap seorang papa yang seharusnya hangat
"Duh, merah-merah banget lagi. Gimana cara ngilanginnya ya?"Selesai mandi, masih menggunakan bathrobe, Naomi duduk di depan kaca dengan perasaan tak menentu. Matanya tak lepas dari memandang bagian leher hingga dadanya yang membekas warna merah."Gimana caranya aku keluar kamar kalau begini? Kelihatan sama Bi Inah kan malu-maluin," desah Naomi.Lalu, tanpa diundang, ingatan tentang kejadian tadi malam yang panas berputar di kepalanya.Adrian menyerang tanpa ampun, tidak pula memberi Naomi kesempatan untuk menjelaskan. Dia sama sekali tidak bermaksud mengatai suaminya keturunan jin, dedemit atau apalah itu. Dia cuma kesal sekaligus heran, semalam itu. Tapi, Adrian tak terima."Kamu harus menanggung akibatnya karena berani mengatai aku seperti itu." Bisikan itu tepat di daun telinga Naomi dan berhasil membuatnya geli dan ngeri sekaligus.
"Kenapa aku malah nggak kepikiran ya, Bik?" Naomi mengerjap beberapa kali sementara menunggu Bi Inah selesai mengolesi krim foundation ke lehernya demi menyamarkan bekas kemerahan.Wanita tua itu tersenyum hangat sebelum akhirnya menjawab, "Nyonya panik sih, makanya nggak kepikiran."Lagi, Naomi mengerjap. Apa iya? Tidak ingin membantah pendapat orangtua itu, Naomi hanya mengangguk. "Oh, iya kali. Padahal mah gampang ya, Bik."Selesai menyamarkan bekas merah yang merupakan tanda kepemilikan dari Adrian, Naomi segera turun dengan pakaian yang sudah pula berganti. Lebih rapi dan sopan."Ayo Mas, kita berangkat!" ajak Naomi, tidak sabaran, seraya menggerakkan badannya ke kiri ke kanan.Adrian bangkit dari sofa dan membiarkan Naomi berjalan lebih dulu. Dan sebagai seorang istri, Naomi ingin Adrian membukakan pintu untuknya, karena kalau diingat-ingat ini adalah kali
"Begini nih jadinya kalau kamu lebih mementingkan kejutan. Dibilang telpon aja Desy biar dia temuin kita di sini. Nggak mau."Adrian mengoceh tanpa menatap Naomi. Kesal sedang menyelimutinya. Sudah bagus dia berbaik hati hari ini mengabulkan keinginan sang istri untuk jalan-jalan karena bosan di rumah. Tapi, apa yang dia dapat? Hampir satu jam, cuma duduk termenung menunggu di parkiran."Sabar dong, Mas. Aku yakin kok, Desy ada di kampus. Itu buktinya motornya masih terparkir di sana.""Iya, sabarnya sampai kapan? Bagaimana kalau sahabat kamu itu sedang ada di kelas dan kelasnya selesai 1 jam lagi? Mau kita menunggu 1 jam lagi di sini?"Sebagai jawaban, Naomi hanya menekuk wajahnya. Jadi serba salah. Kalau dia menelpon Desy, nanti jadinya bukan kejutan. Tapi kalau tidak ditelpon, bisa jadi apa yang dibilang Adrian malah kejadian. Mereka menunggu 1 jam lagi di parkiran.
"Makasih ya Mas, kamu mau menemani aku ketemu ayah sama Desy, terus berbelanja baju, banyak banget lagi."Naomi menunjuk barang belanjaan di pangkuannya dengan ekspresi senang seperti anak kecil habis dibelikan mainan oleh orangtuanya."Hmm...""Makasih juga, karena kamu nggak terlihat seperti suami yang menyebalkan di depan ayahku, sebaliknya kamu bisa berbual hangat dengan beliau.""Memang harusnya seperti itu, kan? Kamu pikir aku mau dikira menantu tak tahu diri oleh ayah kamu?""Hehe." Naomi menyengir kuda. Semoga saja, ini jadi awal yang baik untuk hubungannya dengan Adrian. Naomi senang kalau Adrian mau berbaur dengan ayah juga sahabatnya, dengan begitu dia merasa sang suami sudah benar-benar menerima dan menganggapnya sebagai istri sungguhan."Ya udah, turun
"Tristan, besok pagi langsung ke ruangan saya. Ada yang perlu saya bicarakan sama kamu."Tut. Mematikan panggilan, Adrian lantas memandang kesal ponsel pintarnya seolah ponsel berwarna biru kehitaman dengan merek apel tergigit itu ialah Tristan.Besok dia akan memperingati Tristan yang sudah lancang bersikap baik pada Naomi di belakangnya. Adrian hanya memerintahkan agar Tristan menjemput istrinya, mengantar ke rumah orangtuanya dan menunggu hingga pulang, bukannya berlaku manis pada Naomi. Oh, Adrian juga baru ingat, sewaktu istrinya itu pulang membawa jajanan dari pasar malam. Apa itu artinya Tristan juga menemani Naomi berbelanja?Adrian menampik kalau dia cemburu, tapi dia tak suka Naomi tersenyum karena pria lain, meskipun itu asisten pribadinya sendiri."Dia ke mana sih? K
"Kemarin kesal sama Elang, kok sekarang malah belajar bareng? Akrab banget lagi?"Adrian telah memacu mobil di jalan raya yang padat di jam pulang kantor, layaknya seorang pembalap handal. Gara-gara terlambat bertemu Elang tadi pagi, dia jadi harus buru-buru pulang. Lalu, di sinilah dia sekarang. Berdiri di ujung tangga dengan alis menukik."Ini gimana sih? Dia kesal atau bagaimana?" Adrian bingung sendiri. Mati-matian dia penasaran soal apa yang sebenarnya terjadi antara istri dan anaknya, tapi lihatlah sekarang?Keduanya kedapatan asyik belajar bersama. Elang sebagai pelajar yang tampak menyimak dengan seksama sedangkan Naomi menjadi seorang guru yang menjelaskan di depan, lengkap dengan papan tulis, spidol dan penghapus lagi. Sungguh penampakan yang membuat kerutan di dahi Adrian makin bertambah."Tuan, udah pulang?" Suara Bik Inah dari belakang, membuat Adrian tersentak dan sege