"Mas, gimana? Udah enakan?"
Adrian keluar dari kamar mandi dengan muka merah. Setelah apa yang terjadi padanya, bagai ada yang berputar-putar dalam perutnya, lalu seluruh isi perutnya yang belum makan seharian ini terpaksa dikeluarkan, Naomi masih berani nanya 'udah enakan?' Tck!
"Mas?" tanya Naomi lagi dengan raut kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya.
Bi Inah telah cerita padanya tadi, kalau Adrian tak pernah sekalipun makan rujak. Tapi kenapa Adrian degil sekali masih makan?
"Nggak usah nanya-nanya boleh, kan?" jawab Adrian sembari menahan sakit.
Naomi mencebik. Dia bertanya karena khawatir. Alih-alih senang dikhawatirkan, Adrian malah bersikap jutek. Rasakan aja sakitnya sendiri.
"Ya udah sih Mas, kalau nggak boleh nanya-nanya." Dalam hati Naomi berpikir kalau Adrian sebenarnya tengah kena karma terhadap keluarganya,
Makasih ya bagi kalian yang udah baca cerita receh aku. Semoga menghibur.
Seperti anak kecil, Naomi bertepuk-tepuk tangan girang begitu Bi Inah menghidangkan Soto yang tadi dimintanya. Matanya berkilat, lidahnya sampai melet-melet, hanya dengan melihat kuah soto yang masih berasap. Adrian yang melihat tingkah istrinya itu geleng-geleng kepala. Kontras sekali dengan sikap Naomi beberapa waktu tadi. Tadi Naomi mendadak marah ketika Adrian mengibas tangan di depan mukanya. Ya, Naomi ketahuan meneguk ludah saat melihat tubuh tanpa busana, karena itu pula Naomi mengomel, bilang buka baju seenaknya. Padahal jelas dia sendiri yang menyuruh buka. Kan aneh. "Makasih ya, bik," ucap Naomi seraya mengedip matanya manja yang direspon bi Inah dengan senyuman hangat. Tanpa berlama-lama, Naomi langsung mengeksekusi Soto buatan bi Inah dengan menyeruput kuahnya yang nikmat serta pedas. Lidah Naomi seakan-akan tengah digoyang. "Kamu yang minta Bi Inah masakin soto ini?" tanya Adrian mengagetkan Naomi dari aksi
Mau tak mau, Elang mengekori Bi Inah menuju ruang makan, walau pun pada akhirnya dia harus berdepan dengan Naomi. Bagaimana lagi? Memang sejujurnya perut Elang sudah lapar, dia menahan saja tadi. Ditambah, Bi Inah bilang beliau masak Soto yang diminta Naomi.Ah, Elang tak mungkin menahan selera dan perutnya demi tak bertatap muka dengan mama sambungnya itu, kan?Tapi, kenapa Naomi kelihatan peduli banget ya?Rasa penasaran Elang, langsung dijawab dengan celotehan Naomi, begitu saja dia tiba dan mendudukkan pantat di kursi ruang makan."Makan nih, Bi Inah udah buatin soto, banyak. Sayang kalau nggak abisin, mubazir aja."Tck! Jadi dia nyuruh aku makan bukan karena peduli, tapi karena sayang sama soto ini?Elang memandang kesal semangkok soto yang disiapkan bi Inah untuknya, seolah soto itu adalah Naomi. Kenapa juga dia sempat kepikiran
"Ekhem... Ekhem... Ekhem..."Adrian berdehem tiga kali selagi membuka pintu kamar Elang dengan gerakan sepelan mungkin. Antara tidak mau mengganggu putranya yang sedang belajar atau tak ingin kedatangannya diketahui oleh si empunya kamar.Wajar saja, sebelumnya Adrian tak pernah menunjukkan perhatiannya pada Elang. Ini saja atas perintah yang berkedok saran dari Naomi."Eh, Pa? Ada apa ke kamar Elang? Tumben?" Sang putra yang mengetahui kehadiran Adrian di kamarnya, segera membalikkan kursi putarnya, menatap penuh tanda tanya.Kembali berdehem, Adrian sebenarnya sedikit kesal dengan pertanyaan Elang. Memangnya seorang papa tidak boleh masuk kamar anak sendiri seenaknya? Harus minta izin dulu, begitu?"Papa cuma mau memastikan kamu belajar dengan benar," sahut Adrian masih dengan nada datarnya. Sungguh tidak mencerminkan sikap seorang papa yang seharusnya hangat
"Duh, merah-merah banget lagi. Gimana cara ngilanginnya ya?"Selesai mandi, masih menggunakan bathrobe, Naomi duduk di depan kaca dengan perasaan tak menentu. Matanya tak lepas dari memandang bagian leher hingga dadanya yang membekas warna merah."Gimana caranya aku keluar kamar kalau begini? Kelihatan sama Bi Inah kan malu-maluin," desah Naomi.Lalu, tanpa diundang, ingatan tentang kejadian tadi malam yang panas berputar di kepalanya.Adrian menyerang tanpa ampun, tidak pula memberi Naomi kesempatan untuk menjelaskan. Dia sama sekali tidak bermaksud mengatai suaminya keturunan jin, dedemit atau apalah itu. Dia cuma kesal sekaligus heran, semalam itu. Tapi, Adrian tak terima."Kamu harus menanggung akibatnya karena berani mengatai aku seperti itu." Bisikan itu tepat di daun telinga Naomi dan berhasil membuatnya geli dan ngeri sekaligus.
"Kenapa aku malah nggak kepikiran ya, Bik?" Naomi mengerjap beberapa kali sementara menunggu Bi Inah selesai mengolesi krim foundation ke lehernya demi menyamarkan bekas kemerahan.Wanita tua itu tersenyum hangat sebelum akhirnya menjawab, "Nyonya panik sih, makanya nggak kepikiran."Lagi, Naomi mengerjap. Apa iya? Tidak ingin membantah pendapat orangtua itu, Naomi hanya mengangguk. "Oh, iya kali. Padahal mah gampang ya, Bik."Selesai menyamarkan bekas merah yang merupakan tanda kepemilikan dari Adrian, Naomi segera turun dengan pakaian yang sudah pula berganti. Lebih rapi dan sopan."Ayo Mas, kita berangkat!" ajak Naomi, tidak sabaran, seraya menggerakkan badannya ke kiri ke kanan.Adrian bangkit dari sofa dan membiarkan Naomi berjalan lebih dulu. Dan sebagai seorang istri, Naomi ingin Adrian membukakan pintu untuknya, karena kalau diingat-ingat ini adalah kali
"Begini nih jadinya kalau kamu lebih mementingkan kejutan. Dibilang telpon aja Desy biar dia temuin kita di sini. Nggak mau."Adrian mengoceh tanpa menatap Naomi. Kesal sedang menyelimutinya. Sudah bagus dia berbaik hati hari ini mengabulkan keinginan sang istri untuk jalan-jalan karena bosan di rumah. Tapi, apa yang dia dapat? Hampir satu jam, cuma duduk termenung menunggu di parkiran."Sabar dong, Mas. Aku yakin kok, Desy ada di kampus. Itu buktinya motornya masih terparkir di sana.""Iya, sabarnya sampai kapan? Bagaimana kalau sahabat kamu itu sedang ada di kelas dan kelasnya selesai 1 jam lagi? Mau kita menunggu 1 jam lagi di sini?"Sebagai jawaban, Naomi hanya menekuk wajahnya. Jadi serba salah. Kalau dia menelpon Desy, nanti jadinya bukan kejutan. Tapi kalau tidak ditelpon, bisa jadi apa yang dibilang Adrian malah kejadian. Mereka menunggu 1 jam lagi di parkiran.
"Makasih ya Mas, kamu mau menemani aku ketemu ayah sama Desy, terus berbelanja baju, banyak banget lagi."Naomi menunjuk barang belanjaan di pangkuannya dengan ekspresi senang seperti anak kecil habis dibelikan mainan oleh orangtuanya."Hmm...""Makasih juga, karena kamu nggak terlihat seperti suami yang menyebalkan di depan ayahku, sebaliknya kamu bisa berbual hangat dengan beliau.""Memang harusnya seperti itu, kan? Kamu pikir aku mau dikira menantu tak tahu diri oleh ayah kamu?""Hehe." Naomi menyengir kuda. Semoga saja, ini jadi awal yang baik untuk hubungannya dengan Adrian. Naomi senang kalau Adrian mau berbaur dengan ayah juga sahabatnya, dengan begitu dia merasa sang suami sudah benar-benar menerima dan menganggapnya sebagai istri sungguhan."Ya udah, turun
"Tristan, besok pagi langsung ke ruangan saya. Ada yang perlu saya bicarakan sama kamu."Tut. Mematikan panggilan, Adrian lantas memandang kesal ponsel pintarnya seolah ponsel berwarna biru kehitaman dengan merek apel tergigit itu ialah Tristan.Besok dia akan memperingati Tristan yang sudah lancang bersikap baik pada Naomi di belakangnya. Adrian hanya memerintahkan agar Tristan menjemput istrinya, mengantar ke rumah orangtuanya dan menunggu hingga pulang, bukannya berlaku manis pada Naomi. Oh, Adrian juga baru ingat, sewaktu istrinya itu pulang membawa jajanan dari pasar malam. Apa itu artinya Tristan juga menemani Naomi berbelanja?Adrian menampik kalau dia cemburu, tapi dia tak suka Naomi tersenyum karena pria lain, meskipun itu asisten pribadinya sendiri."Dia ke mana sih? K
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin