"Ekhem... Ekhem... Ekhem..."
Adrian berdehem tiga kali selagi membuka pintu kamar Elang dengan gerakan sepelan mungkin. Antara tidak mau mengganggu putranya yang sedang belajar atau tak ingin kedatangannya diketahui oleh si empunya kamar.
Wajar saja, sebelumnya Adrian tak pernah menunjukkan perhatiannya pada Elang. Ini saja atas perintah yang berkedok saran dari Naomi.
"Eh, Pa? Ada apa ke kamar Elang? Tumben?" Sang putra yang mengetahui kehadiran Adrian di kamarnya, segera membalikkan kursi putarnya, menatap penuh tanda tanya.
Kembali berdehem, Adrian sebenarnya sedikit kesal dengan pertanyaan Elang. Memangnya seorang papa tidak boleh masuk kamar anak sendiri seenaknya? Harus minta izin dulu, begitu?
"Papa cuma mau memastikan kamu belajar dengan benar," sahut Adrian masih dengan nada datarnya. Sungguh tidak mencerminkan sikap seorang papa yang seharusnya hangat
"Duh, merah-merah banget lagi. Gimana cara ngilanginnya ya?"Selesai mandi, masih menggunakan bathrobe, Naomi duduk di depan kaca dengan perasaan tak menentu. Matanya tak lepas dari memandang bagian leher hingga dadanya yang membekas warna merah."Gimana caranya aku keluar kamar kalau begini? Kelihatan sama Bi Inah kan malu-maluin," desah Naomi.Lalu, tanpa diundang, ingatan tentang kejadian tadi malam yang panas berputar di kepalanya.Adrian menyerang tanpa ampun, tidak pula memberi Naomi kesempatan untuk menjelaskan. Dia sama sekali tidak bermaksud mengatai suaminya keturunan jin, dedemit atau apalah itu. Dia cuma kesal sekaligus heran, semalam itu. Tapi, Adrian tak terima."Kamu harus menanggung akibatnya karena berani mengatai aku seperti itu." Bisikan itu tepat di daun telinga Naomi dan berhasil membuatnya geli dan ngeri sekaligus.
"Kenapa aku malah nggak kepikiran ya, Bik?" Naomi mengerjap beberapa kali sementara menunggu Bi Inah selesai mengolesi krim foundation ke lehernya demi menyamarkan bekas kemerahan.Wanita tua itu tersenyum hangat sebelum akhirnya menjawab, "Nyonya panik sih, makanya nggak kepikiran."Lagi, Naomi mengerjap. Apa iya? Tidak ingin membantah pendapat orangtua itu, Naomi hanya mengangguk. "Oh, iya kali. Padahal mah gampang ya, Bik."Selesai menyamarkan bekas merah yang merupakan tanda kepemilikan dari Adrian, Naomi segera turun dengan pakaian yang sudah pula berganti. Lebih rapi dan sopan."Ayo Mas, kita berangkat!" ajak Naomi, tidak sabaran, seraya menggerakkan badannya ke kiri ke kanan.Adrian bangkit dari sofa dan membiarkan Naomi berjalan lebih dulu. Dan sebagai seorang istri, Naomi ingin Adrian membukakan pintu untuknya, karena kalau diingat-ingat ini adalah kali
"Begini nih jadinya kalau kamu lebih mementingkan kejutan. Dibilang telpon aja Desy biar dia temuin kita di sini. Nggak mau."Adrian mengoceh tanpa menatap Naomi. Kesal sedang menyelimutinya. Sudah bagus dia berbaik hati hari ini mengabulkan keinginan sang istri untuk jalan-jalan karena bosan di rumah. Tapi, apa yang dia dapat? Hampir satu jam, cuma duduk termenung menunggu di parkiran."Sabar dong, Mas. Aku yakin kok, Desy ada di kampus. Itu buktinya motornya masih terparkir di sana.""Iya, sabarnya sampai kapan? Bagaimana kalau sahabat kamu itu sedang ada di kelas dan kelasnya selesai 1 jam lagi? Mau kita menunggu 1 jam lagi di sini?"Sebagai jawaban, Naomi hanya menekuk wajahnya. Jadi serba salah. Kalau dia menelpon Desy, nanti jadinya bukan kejutan. Tapi kalau tidak ditelpon, bisa jadi apa yang dibilang Adrian malah kejadian. Mereka menunggu 1 jam lagi di parkiran.
"Makasih ya Mas, kamu mau menemani aku ketemu ayah sama Desy, terus berbelanja baju, banyak banget lagi."Naomi menunjuk barang belanjaan di pangkuannya dengan ekspresi senang seperti anak kecil habis dibelikan mainan oleh orangtuanya."Hmm...""Makasih juga, karena kamu nggak terlihat seperti suami yang menyebalkan di depan ayahku, sebaliknya kamu bisa berbual hangat dengan beliau.""Memang harusnya seperti itu, kan? Kamu pikir aku mau dikira menantu tak tahu diri oleh ayah kamu?""Hehe." Naomi menyengir kuda. Semoga saja, ini jadi awal yang baik untuk hubungannya dengan Adrian. Naomi senang kalau Adrian mau berbaur dengan ayah juga sahabatnya, dengan begitu dia merasa sang suami sudah benar-benar menerima dan menganggapnya sebagai istri sungguhan."Ya udah, turun
"Tristan, besok pagi langsung ke ruangan saya. Ada yang perlu saya bicarakan sama kamu."Tut. Mematikan panggilan, Adrian lantas memandang kesal ponsel pintarnya seolah ponsel berwarna biru kehitaman dengan merek apel tergigit itu ialah Tristan.Besok dia akan memperingati Tristan yang sudah lancang bersikap baik pada Naomi di belakangnya. Adrian hanya memerintahkan agar Tristan menjemput istrinya, mengantar ke rumah orangtuanya dan menunggu hingga pulang, bukannya berlaku manis pada Naomi. Oh, Adrian juga baru ingat, sewaktu istrinya itu pulang membawa jajanan dari pasar malam. Apa itu artinya Tristan juga menemani Naomi berbelanja?Adrian menampik kalau dia cemburu, tapi dia tak suka Naomi tersenyum karena pria lain, meskipun itu asisten pribadinya sendiri."Dia ke mana sih? K
"Kemarin kesal sama Elang, kok sekarang malah belajar bareng? Akrab banget lagi?"Adrian telah memacu mobil di jalan raya yang padat di jam pulang kantor, layaknya seorang pembalap handal. Gara-gara terlambat bertemu Elang tadi pagi, dia jadi harus buru-buru pulang. Lalu, di sinilah dia sekarang. Berdiri di ujung tangga dengan alis menukik."Ini gimana sih? Dia kesal atau bagaimana?" Adrian bingung sendiri. Mati-matian dia penasaran soal apa yang sebenarnya terjadi antara istri dan anaknya, tapi lihatlah sekarang?Keduanya kedapatan asyik belajar bersama. Elang sebagai pelajar yang tampak menyimak dengan seksama sedangkan Naomi menjadi seorang guru yang menjelaskan di depan, lengkap dengan papan tulis, spidol dan penghapus lagi. Sungguh penampakan yang membuat kerutan di dahi Adrian makin bertambah."Tuan, udah pulang?" Suara Bik Inah dari belakang, membuat Adrian tersentak dan sege
"Karena aku udah ngomong jujur soal perasaan aku, sekarang giliran kamu. Sebenarnya kamu itu udah ada rasa nggak sih sama aku, Mas?"Kedua bola mata indah milik Naomi mengerjap berulangkali, sengaja menggoda sang suami yang berada di bawahnya.Mereka baru menyelesaikan ronde pertama dengan Naomi yang berada di atas menjadi penunggangnya. Meski malu-malu, namun wanita yang kini bersimbah peluh itu merasa tidak ada salahnya untuk mencoba, biar Adrian tidak berpaling darinya. Walaupun jawaban Adrian nanti, belum mencintainya.Belum kan, masih ada harapan."Kenapa kamu diam, Mas? Kamu benar-benar belum ada rasa sama aku, setelah apa yang kita lakuin selama ini?" Tatapan Naomi memelas, tapi tidak dengan semangatnya. Dia tidak siap jadi janda, jadi apapun akan Naomi lakukan untuk menarik perhatian Adrian.Adrian masih diam. Dia sendiri tak paham dengan perasaann
Seminggu sudah berlalu. Naomi menjalani hari-harinya seperti biasa, tapi tidak lagi membosankan karena dia lebih sering menghabiskan waktu siangnya dengan memasak atau bikin kue. Malam harinya dia akan melayani Adrian di ranjang, tanpa sekalipun mengucapkan kata lelah.Elang pula, sudah menyelesaikan ujiannya dan akan mengambil rapor besok lalu orangtuanya diminta datang ke sekolah."Pa, besok datang ya ke sekolah aku untuk mengambil rapor," pinta Elang.Adrian memijit pelipisnya. Agenda mengambil rapot besok bertepatan dengan meeting bersama klien dari luar negeri. Adrian mana mungkin tidak menghadirinya."Bagaimana kalau kamu saja yang datang ke sekolah Elang besok?" Adrian menoleh pada Naomi yang direspon istrinya itu dengan delikan."Kok jadi aku, Mas? Elang kan minta kamu yang datang?""Kamu kan mamanya. Apa salahnya kalau kamu ya