"Karena aku udah ngomong jujur soal perasaan aku, sekarang giliran kamu. Sebenarnya kamu itu udah ada rasa nggak sih sama aku, Mas?"
Kedua bola mata indah milik Naomi mengerjap berulangkali, sengaja menggoda sang suami yang berada di bawahnya.
Mereka baru menyelesaikan ronde pertama dengan Naomi yang berada di atas menjadi penunggangnya. Meski malu-malu, namun wanita yang kini bersimbah peluh itu merasa tidak ada salahnya untuk mencoba, biar Adrian tidak berpaling darinya. Walaupun jawaban Adrian nanti, belum mencintainya.
Belum kan, masih ada harapan.
"Kenapa kamu diam, Mas? Kamu benar-benar belum ada rasa sama aku, setelah apa yang kita lakuin selama ini?" Tatapan Naomi memelas, tapi tidak dengan semangatnya. Dia tidak siap jadi janda, jadi apapun akan Naomi lakukan untuk menarik perhatian Adrian.
Adrian masih diam. Dia sendiri tak paham dengan perasaann
Seminggu sudah berlalu. Naomi menjalani hari-harinya seperti biasa, tapi tidak lagi membosankan karena dia lebih sering menghabiskan waktu siangnya dengan memasak atau bikin kue. Malam harinya dia akan melayani Adrian di ranjang, tanpa sekalipun mengucapkan kata lelah.Elang pula, sudah menyelesaikan ujiannya dan akan mengambil rapor besok lalu orangtuanya diminta datang ke sekolah."Pa, besok datang ya ke sekolah aku untuk mengambil rapor," pinta Elang.Adrian memijit pelipisnya. Agenda mengambil rapot besok bertepatan dengan meeting bersama klien dari luar negeri. Adrian mana mungkin tidak menghadirinya."Bagaimana kalau kamu saja yang datang ke sekolah Elang besok?" Adrian menoleh pada Naomi yang direspon istrinya itu dengan delikan."Kok jadi aku, Mas? Elang kan minta kamu yang datang?""Kamu kan mamanya. Apa salahnya kalau kamu ya
Di sekolah SMA Garuda.Elang tampak mengetuk-ngetuk lantai dengan kedua kakinya, gelisah menunggu Naomi yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Mana dari tadi teman-temannya sudah pada tidak sabar hendak melihat rupa mama barunya itu."Mana sih, Naomi? Katanya akan datang tepat waktu?" Berkali-kali pula Elang melirik jam di pergelangan tangannya."Elang, mana nih mama lo? Kenapa belum datang juga? Gue kepo nih. Dia masih muda kan ya? Siapa namanya? Naomi?" tanya salah satu teman Elang yang memang sifatnya super duper kepo, membuat Elang mendecak lidahnya."Apaan sih lo? Sabar kenapa?" Elang menyuruh temannya itu sabar, sementara dia sendiri hampir hilang kesabaran.Pasalnya, wali kelas sudah mulai membagikan rapot untuk siswa lainnya. Bagaimana kalau sampai namanya dipanggil dan Naomi tak juga datang?Sementara itu, mobil
"Aku udah selesai mengambil rapot kamu, sekarang aku pulang. Nih rapotnya."Naomi memberikan rapot bersampul biru dengan lambang burung Garuda itu ke tangan Elang. Acara pengambilan rapor telah pula selesai, sekarang mereka berada di luar kelas.Elang mengambil rapotnya dengan raut kebingungan. Ada sesuatu yang mau dia katakan pada Naomi, tapi sepertinya itu memalukan sekali. Di belakangnya juga teman-temannya sudah tak sabaran."Hmm, Naomi, ada yang mau aku katakan," ucap Elang ragu, kemudian menoleh ke belakang.Alis Naomi berkerut, lalu kepalanya bergerak mengikuti arah pandang Elang pada teman-temannya di belakang sana. "Kenapa?""Mereka ... mau bersalaman sama kamu," ungkap Elang dengan malu-malu."Oh, begitu, ya udah sini salaman."Apalagi yang bisa Naomi lakukan selain menerimanya? Daripada nanti dibilang so
"Bagaimana hasil rapotnya?" tanya Adrian pada makan malam setelah hari pengambilan rapot.Tidak bisa datang dan meminta Naomi mewakilinya, mungkin saja membuat Elang sedikit berkecil hati. Jadi, sebelum Naomi yang memaksanya, Adrian sudah lebih dulu bertanya dengan tujuan memberikan perhatian."Sedikit ada peningkatan, Pa." Elang menyahut setelah kunyahannya selesai."Bagus dong. Pasti ini karena papa yang ngajarin kamu ekonomi kemarin." Tak diduga, Adrian membanggakan dirinya sendiri seraya menyengir, Naomi yang mengamatinya sampai menggeleng kepala.Percaya diri banget dia?"Bukan karena kamu, Mas," tampik Naomi yang langsung mendapat tatapan tak senang dari Adrian, tapi ia tak peduli, masih melanjutkan bicaranya dengan kepercayaan diri yang lebih. "Melainkan karena aku yang ngajarin dia. Lihat aja di rapotnya, nilai pelajaran apa yang paling
"Duh, kok cantik banget ya istri orang, jadi ngiri nih aku." Desy berseru dengan suara cemprengnya yang tak bisa direm. Alhasil, berpasang-pasang mata kini sontak melirik ke arah tempat mereka berada, lebih tepatnya ke arah Naomi yang saat ini berpenampilan seperti ratu yang memakai jubah dan toga. Ya hari ini adalah hari wisuda Naomi.Dasar Desy. Kenapa nggak pakai toa aja sekalian? Bikin malu. Orang di kampus kan tidak ada yang tahu kalau Naomi telah menikah."Des, kamu mau bikin malu aku ya? Pelan-pelan dong ngomongnya." Naomi protes seraya matanya menjeling tajam dan jari telunjuknya menempel di bibir Desy.Akan tetapi, bukannya bungkam, Desy malah bicara tanpa rasa bersalah. "Kenapa? Memangnya aku salah omong? Beneran kan kamu cantik? Suami kamu aja sampai lihatin kamu terus dari tadi."Astaga.
"Des, aku mau ngenalin kamu sama seseorang, mau nggak?"Naomi bersenandung riang sambil menyiapkan rantang berisi nasi putih dan ayam goreng cabe hijau yang dia masak khusus untuk makan siang bersama Adrian.Sambil menyelam minum air, begitulah kiranya pepatah yang tepat untuk Naomi. Dia ke kantor mengantar makan siang Adrian sekalian menemui Tristan, menunjukkan foto paling cantik Desy pada pria itu, kali aja suka."Mau mau mau. Siapa? Teman suami kamu ya? Duda juga? Gantengnya sebelas dua belas, kan?"Selesai menyiapkan rantang berisi makan siang Adrian, Naomi beralih pada ponselnya yang berdenting. Ia tak sabar membaca balasan dari Desy."Bukan duda, perjaka, gantengnya sih sebelas dua belas lah, namanya Tristan.""Tristan? Dari namanya aja u
Naomi membawa langkah lebarnya meninggalkan ruangan Adrian yang bahkan tak sempat ia masuki. Ia marah, kecewa dan merasa menyedihkan sekaligus.Rupanya Adrian sama sekali tak mencintainya. Menikahinya karena ingin mendapatkan kepuasan batin saja, ingin ada yang melayani setiap malam, mungkin juga karena gerah ditanya-tanya terus sama ketiga sahabatnya. Begitu yang Naomi tangkap dari percakapan tadi."Nyonya Naomi—" Langkah lebar Naomi yang ingin cepat pergi dari kantor Adrian, tertahan oleh suara memanggil namanya.Nyonya? Apa itu Tristan?Cepat Naomi menoleh ke sumber suara, dan tersenyum tipis pada pria berpakaian rapi namun trendi itu. Teringat rencananya hendak mengenalkan Desy ke Tristan, tapi sepertinya tidak bisa sekarang, suasana hatinya sedang kurang baik. "Hei... Tris."Naomi mengikuti arah pandang Tristan yang mengenai rantang bekalnya. "Nyonya tidak jadi m
"Saya langsung pulang ya, Nyonya."Tristan pamit undur diri begitu saja menurunkan Naomi di depan pelataran kediaman Adrian. Bukan tanpa alasan, Tristan tidak ingin bosnya yang curigaan dan cemburuan itu salah menilainya lagi karena mengantarkan Naomi pulang.Tristan yakin dalam hitungan menit mobil Adrian akan sampai. Dia sudah hapal betul tabiat Adrian kalau sedang marah, bisa mengendarai mobil seperti pembalap handal di sirkuit."Makasih ya, Tris. Aku nggak tau nasib aku gimana kalau nggak ada kamu."Tristan dibuat mengernyit alis mendengar ucapan terima kasih Naomi yang menurutnya berlebihan. Dia cuma mengantar pulang, bukan menolong wanita itu dari kerampokan di jalan atau penculikan."Tidak masalah, Nyonya." Mulutnya bisa me