Di sekolah SMA Garuda.
Elang tampak mengetuk-ngetuk lantai dengan kedua kakinya, gelisah menunggu Naomi yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Mana dari tadi teman-temannya sudah pada tidak sabar hendak melihat rupa mama barunya itu.
"Mana sih, Naomi? Katanya akan datang tepat waktu?" Berkali-kali pula Elang melirik jam di pergelangan tangannya.
"Elang, mana nih mama lo? Kenapa belum datang juga? Gue kepo nih. Dia masih muda kan ya? Siapa namanya? Naomi?" tanya salah satu teman Elang yang memang sifatnya super duper kepo, membuat Elang mendecak lidahnya.
"Apaan sih lo? Sabar kenapa?" Elang menyuruh temannya itu sabar, sementara dia sendiri hampir hilang kesabaran.
Pasalnya, wali kelas sudah mulai membagikan rapot untuk siswa lainnya. Bagaimana kalau sampai namanya dipanggil dan Naomi tak juga datang?
Sementara itu, mobil
"Aku udah selesai mengambil rapot kamu, sekarang aku pulang. Nih rapotnya."Naomi memberikan rapot bersampul biru dengan lambang burung Garuda itu ke tangan Elang. Acara pengambilan rapor telah pula selesai, sekarang mereka berada di luar kelas.Elang mengambil rapotnya dengan raut kebingungan. Ada sesuatu yang mau dia katakan pada Naomi, tapi sepertinya itu memalukan sekali. Di belakangnya juga teman-temannya sudah tak sabaran."Hmm, Naomi, ada yang mau aku katakan," ucap Elang ragu, kemudian menoleh ke belakang.Alis Naomi berkerut, lalu kepalanya bergerak mengikuti arah pandang Elang pada teman-temannya di belakang sana. "Kenapa?""Mereka ... mau bersalaman sama kamu," ungkap Elang dengan malu-malu."Oh, begitu, ya udah sini salaman."Apalagi yang bisa Naomi lakukan selain menerimanya? Daripada nanti dibilang so
"Bagaimana hasil rapotnya?" tanya Adrian pada makan malam setelah hari pengambilan rapot.Tidak bisa datang dan meminta Naomi mewakilinya, mungkin saja membuat Elang sedikit berkecil hati. Jadi, sebelum Naomi yang memaksanya, Adrian sudah lebih dulu bertanya dengan tujuan memberikan perhatian."Sedikit ada peningkatan, Pa." Elang menyahut setelah kunyahannya selesai."Bagus dong. Pasti ini karena papa yang ngajarin kamu ekonomi kemarin." Tak diduga, Adrian membanggakan dirinya sendiri seraya menyengir, Naomi yang mengamatinya sampai menggeleng kepala.Percaya diri banget dia?"Bukan karena kamu, Mas," tampik Naomi yang langsung mendapat tatapan tak senang dari Adrian, tapi ia tak peduli, masih melanjutkan bicaranya dengan kepercayaan diri yang lebih. "Melainkan karena aku yang ngajarin dia. Lihat aja di rapotnya, nilai pelajaran apa yang paling
"Duh, kok cantik banget ya istri orang, jadi ngiri nih aku." Desy berseru dengan suara cemprengnya yang tak bisa direm. Alhasil, berpasang-pasang mata kini sontak melirik ke arah tempat mereka berada, lebih tepatnya ke arah Naomi yang saat ini berpenampilan seperti ratu yang memakai jubah dan toga. Ya hari ini adalah hari wisuda Naomi.Dasar Desy. Kenapa nggak pakai toa aja sekalian? Bikin malu. Orang di kampus kan tidak ada yang tahu kalau Naomi telah menikah."Des, kamu mau bikin malu aku ya? Pelan-pelan dong ngomongnya." Naomi protes seraya matanya menjeling tajam dan jari telunjuknya menempel di bibir Desy.Akan tetapi, bukannya bungkam, Desy malah bicara tanpa rasa bersalah. "Kenapa? Memangnya aku salah omong? Beneran kan kamu cantik? Suami kamu aja sampai lihatin kamu terus dari tadi."Astaga.
"Des, aku mau ngenalin kamu sama seseorang, mau nggak?"Naomi bersenandung riang sambil menyiapkan rantang berisi nasi putih dan ayam goreng cabe hijau yang dia masak khusus untuk makan siang bersama Adrian.Sambil menyelam minum air, begitulah kiranya pepatah yang tepat untuk Naomi. Dia ke kantor mengantar makan siang Adrian sekalian menemui Tristan, menunjukkan foto paling cantik Desy pada pria itu, kali aja suka."Mau mau mau. Siapa? Teman suami kamu ya? Duda juga? Gantengnya sebelas dua belas, kan?"Selesai menyiapkan rantang berisi makan siang Adrian, Naomi beralih pada ponselnya yang berdenting. Ia tak sabar membaca balasan dari Desy."Bukan duda, perjaka, gantengnya sih sebelas dua belas lah, namanya Tristan.""Tristan? Dari namanya aja u
Naomi membawa langkah lebarnya meninggalkan ruangan Adrian yang bahkan tak sempat ia masuki. Ia marah, kecewa dan merasa menyedihkan sekaligus.Rupanya Adrian sama sekali tak mencintainya. Menikahinya karena ingin mendapatkan kepuasan batin saja, ingin ada yang melayani setiap malam, mungkin juga karena gerah ditanya-tanya terus sama ketiga sahabatnya. Begitu yang Naomi tangkap dari percakapan tadi."Nyonya Naomi—" Langkah lebar Naomi yang ingin cepat pergi dari kantor Adrian, tertahan oleh suara memanggil namanya.Nyonya? Apa itu Tristan?Cepat Naomi menoleh ke sumber suara, dan tersenyum tipis pada pria berpakaian rapi namun trendi itu. Teringat rencananya hendak mengenalkan Desy ke Tristan, tapi sepertinya tidak bisa sekarang, suasana hatinya sedang kurang baik. "Hei... Tris."Naomi mengikuti arah pandang Tristan yang mengenai rantang bekalnya. "Nyonya tidak jadi m
"Saya langsung pulang ya, Nyonya."Tristan pamit undur diri begitu saja menurunkan Naomi di depan pelataran kediaman Adrian. Bukan tanpa alasan, Tristan tidak ingin bosnya yang curigaan dan cemburuan itu salah menilainya lagi karena mengantarkan Naomi pulang.Tristan yakin dalam hitungan menit mobil Adrian akan sampai. Dia sudah hapal betul tabiat Adrian kalau sedang marah, bisa mengendarai mobil seperti pembalap handal di sirkuit."Makasih ya, Tris. Aku nggak tau nasib aku gimana kalau nggak ada kamu."Tristan dibuat mengernyit alis mendengar ucapan terima kasih Naomi yang menurutnya berlebihan. Dia cuma mengantar pulang, bukan menolong wanita itu dari kerampokan di jalan atau penculikan."Tidak masalah, Nyonya." Mulutnya bisa me
Naomi tidak ikut makan malam, dan baru sekali tidak melihat sang istri bersamanya di meja makan, Adrian jadi tidak berselera. Padahal di depan matanya, telah terhidang bermacam masakan yang menggiurkan dan enak di lidah. Seperti Adrian, Elang juga merasakan hal serupa. Dia menyuap dengan tidak bersemangat, bahkan nasi sepiring belum habis padahal waktu makan mereka sudah berlalu sekitar 15 menit. "Papa sama Naomi ada masalah ya?" tanya Elang membuka pembicaraan. Naomi telah banyak merubah keadaan di rumah, Naomi membuat Elang bisa leluasa berbicara dengan sang papa. Jadi, sekarang, ketidakhadiran Naomi di meja makan, membuat makan malam jelas sekali terasa hampa, seperti tidak bernyawa. Dan seharusnya Elang tidak perlu bertanya, dari ekspresi Adrian,
"Ini dia nggak ke kantor apa gimana sih? Kok jam segini belum bangun juga?"Naomi berkacak pinggang, menatap meja makan yang sudah ia penuhi dengan hidangan sarapan dan jam dinding di ruangan itu bergantian, tapi tidak ada tanda-tanda suaminya turun dari lantai atas.Elang saja sudah berangkat ke sekolah dari 10 menit lalu, itupun pemuda itu bilang kalau dia sudah terlambat, makanya tak menyempatkan menyicip sarapan buatan Naomi. Lantas, bagaimana dengan Adrian?"Apa aku susul ke kamar aja ya?" pikir Naomi. Barangkali memang Adrian terlambat bangun, atau barangkali suaminya itu tak bisa tidur tadi malam karena memikirkan masalah mereka. Walaupun mereka tidur satu ranjang, tapi Naomi tak mempedulikan Adrian, dia tidur ya tidur saja. Apalagi masih dalam mode marah pada suaminya itu. 
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin