"Duh, kok cantik banget ya istri orang, jadi ngiri nih aku." Desy berseru dengan suara cemprengnya yang tak bisa direm. Alhasil, berpasang-pasang mata kini sontak melirik ke arah tempat mereka berada, lebih tepatnya ke arah Naomi yang saat ini berpenampilan seperti ratu yang memakai jubah dan toga. Ya hari ini adalah hari wisuda Naomi.
Dasar Desy. Kenapa nggak pakai toa aja sekalian? Bikin malu. Orang di kampus kan tidak ada yang tahu kalau Naomi telah menikah.
"Des, kamu mau bikin malu aku ya? Pelan-pelan dong ngomongnya." Naomi protes seraya matanya menjeling tajam dan jari telunjuknya menempel di bibir Desy.
Akan tetapi, bukannya bungkam, Desy malah bicara tanpa rasa bersalah. "Kenapa? Memangnya aku salah omong? Beneran kan kamu cantik? Suami kamu aja sampai lihatin kamu terus dari tadi."
Astaga.
<
"Des, aku mau ngenalin kamu sama seseorang, mau nggak?"Naomi bersenandung riang sambil menyiapkan rantang berisi nasi putih dan ayam goreng cabe hijau yang dia masak khusus untuk makan siang bersama Adrian.Sambil menyelam minum air, begitulah kiranya pepatah yang tepat untuk Naomi. Dia ke kantor mengantar makan siang Adrian sekalian menemui Tristan, menunjukkan foto paling cantik Desy pada pria itu, kali aja suka."Mau mau mau. Siapa? Teman suami kamu ya? Duda juga? Gantengnya sebelas dua belas, kan?"Selesai menyiapkan rantang berisi makan siang Adrian, Naomi beralih pada ponselnya yang berdenting. Ia tak sabar membaca balasan dari Desy."Bukan duda, perjaka, gantengnya sih sebelas dua belas lah, namanya Tristan.""Tristan? Dari namanya aja u
Naomi membawa langkah lebarnya meninggalkan ruangan Adrian yang bahkan tak sempat ia masuki. Ia marah, kecewa dan merasa menyedihkan sekaligus.Rupanya Adrian sama sekali tak mencintainya. Menikahinya karena ingin mendapatkan kepuasan batin saja, ingin ada yang melayani setiap malam, mungkin juga karena gerah ditanya-tanya terus sama ketiga sahabatnya. Begitu yang Naomi tangkap dari percakapan tadi."Nyonya Naomi—" Langkah lebar Naomi yang ingin cepat pergi dari kantor Adrian, tertahan oleh suara memanggil namanya.Nyonya? Apa itu Tristan?Cepat Naomi menoleh ke sumber suara, dan tersenyum tipis pada pria berpakaian rapi namun trendi itu. Teringat rencananya hendak mengenalkan Desy ke Tristan, tapi sepertinya tidak bisa sekarang, suasana hatinya sedang kurang baik. "Hei... Tris."Naomi mengikuti arah pandang Tristan yang mengenai rantang bekalnya. "Nyonya tidak jadi m
"Saya langsung pulang ya, Nyonya."Tristan pamit undur diri begitu saja menurunkan Naomi di depan pelataran kediaman Adrian. Bukan tanpa alasan, Tristan tidak ingin bosnya yang curigaan dan cemburuan itu salah menilainya lagi karena mengantarkan Naomi pulang.Tristan yakin dalam hitungan menit mobil Adrian akan sampai. Dia sudah hapal betul tabiat Adrian kalau sedang marah, bisa mengendarai mobil seperti pembalap handal di sirkuit."Makasih ya, Tris. Aku nggak tau nasib aku gimana kalau nggak ada kamu."Tristan dibuat mengernyit alis mendengar ucapan terima kasih Naomi yang menurutnya berlebihan. Dia cuma mengantar pulang, bukan menolong wanita itu dari kerampokan di jalan atau penculikan."Tidak masalah, Nyonya." Mulutnya bisa me
Naomi tidak ikut makan malam, dan baru sekali tidak melihat sang istri bersamanya di meja makan, Adrian jadi tidak berselera. Padahal di depan matanya, telah terhidang bermacam masakan yang menggiurkan dan enak di lidah. Seperti Adrian, Elang juga merasakan hal serupa. Dia menyuap dengan tidak bersemangat, bahkan nasi sepiring belum habis padahal waktu makan mereka sudah berlalu sekitar 15 menit. "Papa sama Naomi ada masalah ya?" tanya Elang membuka pembicaraan. Naomi telah banyak merubah keadaan di rumah, Naomi membuat Elang bisa leluasa berbicara dengan sang papa. Jadi, sekarang, ketidakhadiran Naomi di meja makan, membuat makan malam jelas sekali terasa hampa, seperti tidak bernyawa. Dan seharusnya Elang tidak perlu bertanya, dari ekspresi Adrian,
"Ini dia nggak ke kantor apa gimana sih? Kok jam segini belum bangun juga?"Naomi berkacak pinggang, menatap meja makan yang sudah ia penuhi dengan hidangan sarapan dan jam dinding di ruangan itu bergantian, tapi tidak ada tanda-tanda suaminya turun dari lantai atas.Elang saja sudah berangkat ke sekolah dari 10 menit lalu, itupun pemuda itu bilang kalau dia sudah terlambat, makanya tak menyempatkan menyicip sarapan buatan Naomi. Lantas, bagaimana dengan Adrian?"Apa aku susul ke kamar aja ya?" pikir Naomi. Barangkali memang Adrian terlambat bangun, atau barangkali suaminya itu tak bisa tidur tadi malam karena memikirkan masalah mereka. Walaupun mereka tidur satu ranjang, tapi Naomi tak mempedulikan Adrian, dia tidur ya tidur saja. Apalagi masih dalam mode marah pada suaminya itu. 
"Sial banget sih."Tak pernah terbayangkan oleh Adrian akan bermain solo sekali lagi. Rasanya menyakitkan, tidak ada pria manapun yang mau.Ingatan Adrian waktu pertama kali bermain solo tanpa diundang menari-nari di kepala, waktu itu gara-gara Bi Inah memanggil Naomi dan mengacaukan aktivitasnya. Sekarang, dia harus bermain sendiri lagi karena Naomi datang bulan. Berapa hari wanita datang bulan saja Adrian tidak tau. Sungguh membuatnya frustasi.Dengan tubuh yang masih basah dan bagian intimnya dibaluti handuk, Adrian berdiri menghadap cermin dan menyeka permukaan cermin tersebut yang beruap agar pantulan tubuhnya kelihatan semua dengan jelas.Tampaklah sosok sempurna Adrian yang menjadi incaran setiap wanita, tapi dibalik kesempurnaan itu, sesungguhnya Adrian nol besar soal wanita."Apa aku tanya langsung sama Naomi, berapa hari biasanya dia kedatangan b
Mesin mobil sudah dimatikan dari beberapa menit lalu, tapi Adrian masih duduk dengan gelisah dalam mobilnya yang terparkir di salah satu mini market.Turun... Tidak... Turun... Tidak.Dia seperti orang bodoh yang menghitung kancing baju, sebelum mengambil keputusan untuk turun atau tidak dari mobil. Tapi kalau tidak turun, bagaimana dia akan membelikan pembalut untuk Naomi? Ah, kenapa hari ini dia sial sekali? Tidak ke kantor karena ingin bersenang-senang dengan Naomi seharian, tapi apa yang dia dapat?Menyebalkan.Melihat ada seorang anak laki-laki masuk ke minimarket, Adrian terpikir untuk menyuruh anak itu saja yang membelikan. Tinggal beri dia uang untuk beli pembalut dan upah.Oke, begitu saja.Adrian tersenyum puas. Dia tak perlu mempermalukan dirinya dengan masuk dan membelikan pembalut."Hei Dik. Bole
"Mas, kamu yakin kita mau tidur seperti ini?"Untuk ke sekian kalinya Adrian dibuat mendesah. Kenapa Naomi tidak bisa sebentar saja tak mengganggunya? Ia ingin tidur, walaupun belum tentu akan senyenyak biasanya.Ya, Adrian menahan diri dengan tidur di sofa yang ia bawa dari ruang tamu. Sedangkan Naomi tidur di kasur sendirian."Sofa itu kecil, Mas. Kalau kamu bergolek terus jatuh ke lantai, gimana?" Naomi bertanya karena khawatir. Lagipula, masa harus sebegitunya sekali? Hanya karena ia datang bulan, Adrian menjaga jarak darinya."Naomi, tidur aja deh, jangan ganggu aku."Mengerucut bibirnya, Naomi masih memikirkan cara agar supaya Adrian mau berpindah tidur ke kasur."Aku bukannya ganggu, tapi aku khawatir sama kamu, Mas. Lagipula aku udah berganti baju kok." Naomi memakai alasan bajunya yang sudah diganti dengan piyama, supaya Adria