"Des, aku mau ngenalin kamu sama seseorang, mau nggak?"
Naomi bersenandung riang sambil menyiapkan rantang berisi nasi putih dan ayam goreng cabe hijau yang dia masak khusus untuk makan siang bersama Adrian.
Sambil menyelam minum air, begitulah kiranya pepatah yang tepat untuk Naomi. Dia ke kantor mengantar makan siang Adrian sekalian menemui Tristan, menunjukkan foto paling cantik Desy pada pria itu, kali aja suka.
"Mau mau mau. Siapa? Teman suami kamu ya? Duda juga? Gantengnya sebelas dua belas, kan?"
Selesai menyiapkan rantang berisi makan siang Adrian, Naomi beralih pada ponselnya yang berdenting. Ia tak sabar membaca balasan dari Desy.
"Bukan duda, perjaka, gantengnya sih sebelas dua belas lah, namanya Tristan."
"Tristan? Dari namanya aja u
Naomi membawa langkah lebarnya meninggalkan ruangan Adrian yang bahkan tak sempat ia masuki. Ia marah, kecewa dan merasa menyedihkan sekaligus.Rupanya Adrian sama sekali tak mencintainya. Menikahinya karena ingin mendapatkan kepuasan batin saja, ingin ada yang melayani setiap malam, mungkin juga karena gerah ditanya-tanya terus sama ketiga sahabatnya. Begitu yang Naomi tangkap dari percakapan tadi."Nyonya Naomi—" Langkah lebar Naomi yang ingin cepat pergi dari kantor Adrian, tertahan oleh suara memanggil namanya.Nyonya? Apa itu Tristan?Cepat Naomi menoleh ke sumber suara, dan tersenyum tipis pada pria berpakaian rapi namun trendi itu. Teringat rencananya hendak mengenalkan Desy ke Tristan, tapi sepertinya tidak bisa sekarang, suasana hatinya sedang kurang baik. "Hei... Tris."Naomi mengikuti arah pandang Tristan yang mengenai rantang bekalnya. "Nyonya tidak jadi m
"Saya langsung pulang ya, Nyonya."Tristan pamit undur diri begitu saja menurunkan Naomi di depan pelataran kediaman Adrian. Bukan tanpa alasan, Tristan tidak ingin bosnya yang curigaan dan cemburuan itu salah menilainya lagi karena mengantarkan Naomi pulang.Tristan yakin dalam hitungan menit mobil Adrian akan sampai. Dia sudah hapal betul tabiat Adrian kalau sedang marah, bisa mengendarai mobil seperti pembalap handal di sirkuit."Makasih ya, Tris. Aku nggak tau nasib aku gimana kalau nggak ada kamu."Tristan dibuat mengernyit alis mendengar ucapan terima kasih Naomi yang menurutnya berlebihan. Dia cuma mengantar pulang, bukan menolong wanita itu dari kerampokan di jalan atau penculikan."Tidak masalah, Nyonya." Mulutnya bisa me
Naomi tidak ikut makan malam, dan baru sekali tidak melihat sang istri bersamanya di meja makan, Adrian jadi tidak berselera. Padahal di depan matanya, telah terhidang bermacam masakan yang menggiurkan dan enak di lidah. Seperti Adrian, Elang juga merasakan hal serupa. Dia menyuap dengan tidak bersemangat, bahkan nasi sepiring belum habis padahal waktu makan mereka sudah berlalu sekitar 15 menit. "Papa sama Naomi ada masalah ya?" tanya Elang membuka pembicaraan. Naomi telah banyak merubah keadaan di rumah, Naomi membuat Elang bisa leluasa berbicara dengan sang papa. Jadi, sekarang, ketidakhadiran Naomi di meja makan, membuat makan malam jelas sekali terasa hampa, seperti tidak bernyawa. Dan seharusnya Elang tidak perlu bertanya, dari ekspresi Adrian,
"Ini dia nggak ke kantor apa gimana sih? Kok jam segini belum bangun juga?"Naomi berkacak pinggang, menatap meja makan yang sudah ia penuhi dengan hidangan sarapan dan jam dinding di ruangan itu bergantian, tapi tidak ada tanda-tanda suaminya turun dari lantai atas.Elang saja sudah berangkat ke sekolah dari 10 menit lalu, itupun pemuda itu bilang kalau dia sudah terlambat, makanya tak menyempatkan menyicip sarapan buatan Naomi. Lantas, bagaimana dengan Adrian?"Apa aku susul ke kamar aja ya?" pikir Naomi. Barangkali memang Adrian terlambat bangun, atau barangkali suaminya itu tak bisa tidur tadi malam karena memikirkan masalah mereka. Walaupun mereka tidur satu ranjang, tapi Naomi tak mempedulikan Adrian, dia tidur ya tidur saja. Apalagi masih dalam mode marah pada suaminya itu. 
"Sial banget sih."Tak pernah terbayangkan oleh Adrian akan bermain solo sekali lagi. Rasanya menyakitkan, tidak ada pria manapun yang mau.Ingatan Adrian waktu pertama kali bermain solo tanpa diundang menari-nari di kepala, waktu itu gara-gara Bi Inah memanggil Naomi dan mengacaukan aktivitasnya. Sekarang, dia harus bermain sendiri lagi karena Naomi datang bulan. Berapa hari wanita datang bulan saja Adrian tidak tau. Sungguh membuatnya frustasi.Dengan tubuh yang masih basah dan bagian intimnya dibaluti handuk, Adrian berdiri menghadap cermin dan menyeka permukaan cermin tersebut yang beruap agar pantulan tubuhnya kelihatan semua dengan jelas.Tampaklah sosok sempurna Adrian yang menjadi incaran setiap wanita, tapi dibalik kesempurnaan itu, sesungguhnya Adrian nol besar soal wanita."Apa aku tanya langsung sama Naomi, berapa hari biasanya dia kedatangan b
Mesin mobil sudah dimatikan dari beberapa menit lalu, tapi Adrian masih duduk dengan gelisah dalam mobilnya yang terparkir di salah satu mini market.Turun... Tidak... Turun... Tidak.Dia seperti orang bodoh yang menghitung kancing baju, sebelum mengambil keputusan untuk turun atau tidak dari mobil. Tapi kalau tidak turun, bagaimana dia akan membelikan pembalut untuk Naomi? Ah, kenapa hari ini dia sial sekali? Tidak ke kantor karena ingin bersenang-senang dengan Naomi seharian, tapi apa yang dia dapat?Menyebalkan.Melihat ada seorang anak laki-laki masuk ke minimarket, Adrian terpikir untuk menyuruh anak itu saja yang membelikan. Tinggal beri dia uang untuk beli pembalut dan upah.Oke, begitu saja.Adrian tersenyum puas. Dia tak perlu mempermalukan dirinya dengan masuk dan membelikan pembalut."Hei Dik. Bole
"Mas, kamu yakin kita mau tidur seperti ini?"Untuk ke sekian kalinya Adrian dibuat mendesah. Kenapa Naomi tidak bisa sebentar saja tak mengganggunya? Ia ingin tidur, walaupun belum tentu akan senyenyak biasanya.Ya, Adrian menahan diri dengan tidur di sofa yang ia bawa dari ruang tamu. Sedangkan Naomi tidur di kasur sendirian."Sofa itu kecil, Mas. Kalau kamu bergolek terus jatuh ke lantai, gimana?" Naomi bertanya karena khawatir. Lagipula, masa harus sebegitunya sekali? Hanya karena ia datang bulan, Adrian menjaga jarak darinya."Naomi, tidur aja deh, jangan ganggu aku."Mengerucut bibirnya, Naomi masih memikirkan cara agar supaya Adrian mau berpindah tidur ke kasur."Aku bukannya ganggu, tapi aku khawatir sama kamu, Mas. Lagipula aku udah berganti baju kok." Naomi memakai alasan bajunya yang sudah diganti dengan piyama, supaya Adria
"Naomi, kamu bilang tidak bisa jauh-jauh dari aku?" Suara Adrian menahan langkah Naomi yang bergerak menjauhinya.Tadinya mereka sedang duduk sofa ruang tamu menonton acara televisi, sinetron ikan terbang yang judulnya Ku Menangis. Naomi merasa bosan karena tak suka drama dengan tipe-tipe gadis yang teraniaya, tapi anehnya Adrian malah suka. Suaminya itu begitu menikmati, sampai tak berkedip sama sekali.Makanya Naomi memutuskan ingin menggedor kamar Elang, atau kalau pun anak itu tak menyadarinya, dia akan menyelinap masuk ke kamar putra sambungnya itu. Mungkin bercerita dengan Elang lebih asyik. Tapi, Adrian menahan langkahnya."Emang sih, Mas. Tapi aku nggak suka karena kamu nonton sinetron begituan. Aku tuh lebih suka nonton drama yang gadisnya energik, ambisius dan cantik. Kayak aku.""Tapi kan pemeran prianya ganteng, tampan, CEO pula. Kayak suami kamu ini." Adrian menyengir h
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin