"Saya langsung pulang ya, Nyonya."
Tristan pamit undur diri begitu saja menurunkan Naomi di depan pelataran kediaman Adrian. Bukan tanpa alasan, Tristan tidak ingin bosnya yang curigaan dan cemburuan itu salah menilainya lagi karena mengantarkan Naomi pulang.
Tristan yakin dalam hitungan menit mobil Adrian akan sampai. Dia sudah hapal betul tabiat Adrian kalau sedang marah, bisa mengendarai mobil seperti pembalap handal di sirkuit.
"Makasih ya, Tris. Aku nggak tau nasib aku gimana kalau nggak ada kamu."
Tristan dibuat mengernyit alis mendengar ucapan terima kasih Naomi yang menurutnya berlebihan. Dia cuma mengantar pulang, bukan menolong wanita itu dari kerampokan di jalan atau penculikan.
"Tidak masalah, Nyonya." Mulutnya bisa me
Naomi tidak ikut makan malam, dan baru sekali tidak melihat sang istri bersamanya di meja makan, Adrian jadi tidak berselera. Padahal di depan matanya, telah terhidang bermacam masakan yang menggiurkan dan enak di lidah. Seperti Adrian, Elang juga merasakan hal serupa. Dia menyuap dengan tidak bersemangat, bahkan nasi sepiring belum habis padahal waktu makan mereka sudah berlalu sekitar 15 menit. "Papa sama Naomi ada masalah ya?" tanya Elang membuka pembicaraan. Naomi telah banyak merubah keadaan di rumah, Naomi membuat Elang bisa leluasa berbicara dengan sang papa. Jadi, sekarang, ketidakhadiran Naomi di meja makan, membuat makan malam jelas sekali terasa hampa, seperti tidak bernyawa. Dan seharusnya Elang tidak perlu bertanya, dari ekspresi Adrian,
"Ini dia nggak ke kantor apa gimana sih? Kok jam segini belum bangun juga?"Naomi berkacak pinggang, menatap meja makan yang sudah ia penuhi dengan hidangan sarapan dan jam dinding di ruangan itu bergantian, tapi tidak ada tanda-tanda suaminya turun dari lantai atas.Elang saja sudah berangkat ke sekolah dari 10 menit lalu, itupun pemuda itu bilang kalau dia sudah terlambat, makanya tak menyempatkan menyicip sarapan buatan Naomi. Lantas, bagaimana dengan Adrian?"Apa aku susul ke kamar aja ya?" pikir Naomi. Barangkali memang Adrian terlambat bangun, atau barangkali suaminya itu tak bisa tidur tadi malam karena memikirkan masalah mereka. Walaupun mereka tidur satu ranjang, tapi Naomi tak mempedulikan Adrian, dia tidur ya tidur saja. Apalagi masih dalam mode marah pada suaminya itu. 
"Sial banget sih."Tak pernah terbayangkan oleh Adrian akan bermain solo sekali lagi. Rasanya menyakitkan, tidak ada pria manapun yang mau.Ingatan Adrian waktu pertama kali bermain solo tanpa diundang menari-nari di kepala, waktu itu gara-gara Bi Inah memanggil Naomi dan mengacaukan aktivitasnya. Sekarang, dia harus bermain sendiri lagi karena Naomi datang bulan. Berapa hari wanita datang bulan saja Adrian tidak tau. Sungguh membuatnya frustasi.Dengan tubuh yang masih basah dan bagian intimnya dibaluti handuk, Adrian berdiri menghadap cermin dan menyeka permukaan cermin tersebut yang beruap agar pantulan tubuhnya kelihatan semua dengan jelas.Tampaklah sosok sempurna Adrian yang menjadi incaran setiap wanita, tapi dibalik kesempurnaan itu, sesungguhnya Adrian nol besar soal wanita."Apa aku tanya langsung sama Naomi, berapa hari biasanya dia kedatangan b
Mesin mobil sudah dimatikan dari beberapa menit lalu, tapi Adrian masih duduk dengan gelisah dalam mobilnya yang terparkir di salah satu mini market.Turun... Tidak... Turun... Tidak.Dia seperti orang bodoh yang menghitung kancing baju, sebelum mengambil keputusan untuk turun atau tidak dari mobil. Tapi kalau tidak turun, bagaimana dia akan membelikan pembalut untuk Naomi? Ah, kenapa hari ini dia sial sekali? Tidak ke kantor karena ingin bersenang-senang dengan Naomi seharian, tapi apa yang dia dapat?Menyebalkan.Melihat ada seorang anak laki-laki masuk ke minimarket, Adrian terpikir untuk menyuruh anak itu saja yang membelikan. Tinggal beri dia uang untuk beli pembalut dan upah.Oke, begitu saja.Adrian tersenyum puas. Dia tak perlu mempermalukan dirinya dengan masuk dan membelikan pembalut."Hei Dik. Bole
"Mas, kamu yakin kita mau tidur seperti ini?"Untuk ke sekian kalinya Adrian dibuat mendesah. Kenapa Naomi tidak bisa sebentar saja tak mengganggunya? Ia ingin tidur, walaupun belum tentu akan senyenyak biasanya.Ya, Adrian menahan diri dengan tidur di sofa yang ia bawa dari ruang tamu. Sedangkan Naomi tidur di kasur sendirian."Sofa itu kecil, Mas. Kalau kamu bergolek terus jatuh ke lantai, gimana?" Naomi bertanya karena khawatir. Lagipula, masa harus sebegitunya sekali? Hanya karena ia datang bulan, Adrian menjaga jarak darinya."Naomi, tidur aja deh, jangan ganggu aku."Mengerucut bibirnya, Naomi masih memikirkan cara agar supaya Adrian mau berpindah tidur ke kasur."Aku bukannya ganggu, tapi aku khawatir sama kamu, Mas. Lagipula aku udah berganti baju kok." Naomi memakai alasan bajunya yang sudah diganti dengan piyama, supaya Adria
"Naomi, kamu bilang tidak bisa jauh-jauh dari aku?" Suara Adrian menahan langkah Naomi yang bergerak menjauhinya.Tadinya mereka sedang duduk sofa ruang tamu menonton acara televisi, sinetron ikan terbang yang judulnya Ku Menangis. Naomi merasa bosan karena tak suka drama dengan tipe-tipe gadis yang teraniaya, tapi anehnya Adrian malah suka. Suaminya itu begitu menikmati, sampai tak berkedip sama sekali.Makanya Naomi memutuskan ingin menggedor kamar Elang, atau kalau pun anak itu tak menyadarinya, dia akan menyelinap masuk ke kamar putra sambungnya itu. Mungkin bercerita dengan Elang lebih asyik. Tapi, Adrian menahan langkahnya."Emang sih, Mas. Tapi aku nggak suka karena kamu nonton sinetron begituan. Aku tuh lebih suka nonton drama yang gadisnya energik, ambisius dan cantik. Kayak aku.""Tapi kan pemeran prianya ganteng, tampan, CEO pula. Kayak suami kamu ini." Adrian menyengir h
Tok... Tok... Tok..."Nyonya, di bawah ada tamu." Wajah Bi Inah tampak tidak biasanya saat dia berbicara dengan Naomi, semacam ada kekhawatiran atau gugup, entahlah.Naomi yang baru bangun siang hari itu, bahkan rambutnya masih acak-acakan, dibuat bingung. Siapa yang dibilang Bi Inah sebagai tamu? Selama ini di rumah mereka memang tak pernah kedatangan tamu."Siapa, Bik?" tanya Naomi. Dia tak punya bayangan sama sekali."Mantan ibu mertuanya Tuan Adrian." Bi Inah menyahut pelan serupa berbisik seraya melirik ke belakang, khawatir kalau tiba-tiba orang yang sedang dia bicarakan muncul tanpa aba-aba.Kening Naomi jadi berkerut. "Ngapain dia ke mari ya, Bik?"Menggeleng pelan. "Bibik juga tidak tau, Nyonya. Ada baiknya temui saja.""Bibik udah telpon Mas Adrian? Kali aja ibu mertuanya sudah janjian mau ke mari?"
"Mas, kata Bi Inah, kamu nggak suka banget sama ibu mertua kamu ya?"Naomi dan Adrian sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Adrian sibuk mengotak-atik sesuatu di laptopnya sedang Naomi hanya jadi penonton sembari otaknya berpikir keras, antara dia mau bilang tentang kedatangan neneknya Elang atau tidak memberitahu saja.Mendengar kata ibu mertua, Adrian langsung menghentikan pekerjaannya di laptop, dan menoleh ke arah Naomi. Selama ini saja dia tak pernah menceritakan tentang masa lalunya bersama mantan istri. Kenapa Bi Inah? Ah, cari masalah saja."Ngapain Bi Inah bilang begitu sama kamu?" tanya Adrian, ada nada geram dalam ucapannya."Aku yang nanya, Mas.""Kenapa kamu tiba-tiba nanya? Selama ini kamu nggak pernah komplain walaupun aku nggak cerita, kan?""Ya, aku nanya, karena ibu mertua kamu tiba-tiba datang ke sini. Aku pikir, dia datang setela