"Mas, kamu yakin kita mau tidur seperti ini?"
Untuk ke sekian kalinya Adrian dibuat mendesah. Kenapa Naomi tidak bisa sebentar saja tak mengganggunya? Ia ingin tidur, walaupun belum tentu akan senyenyak biasanya.
Ya, Adrian menahan diri dengan tidur di sofa yang ia bawa dari ruang tamu. Sedangkan Naomi tidur di kasur sendirian.
"Sofa itu kecil, Mas. Kalau kamu bergolek terus jatuh ke lantai, gimana?" Naomi bertanya karena khawatir. Lagipula, masa harus sebegitunya sekali? Hanya karena ia datang bulan, Adrian menjaga jarak darinya.
"Naomi, tidur aja deh, jangan ganggu aku."
Mengerucut bibirnya, Naomi masih memikirkan cara agar supaya Adrian mau berpindah tidur ke kasur.
"Aku bukannya ganggu, tapi aku khawatir sama kamu, Mas. Lagipula aku udah berganti baju kok." Naomi memakai alasan bajunya yang sudah diganti dengan piyama, supaya Adria
"Naomi, kamu bilang tidak bisa jauh-jauh dari aku?" Suara Adrian menahan langkah Naomi yang bergerak menjauhinya.Tadinya mereka sedang duduk sofa ruang tamu menonton acara televisi, sinetron ikan terbang yang judulnya Ku Menangis. Naomi merasa bosan karena tak suka drama dengan tipe-tipe gadis yang teraniaya, tapi anehnya Adrian malah suka. Suaminya itu begitu menikmati, sampai tak berkedip sama sekali.Makanya Naomi memutuskan ingin menggedor kamar Elang, atau kalau pun anak itu tak menyadarinya, dia akan menyelinap masuk ke kamar putra sambungnya itu. Mungkin bercerita dengan Elang lebih asyik. Tapi, Adrian menahan langkahnya."Emang sih, Mas. Tapi aku nggak suka karena kamu nonton sinetron begituan. Aku tuh lebih suka nonton drama yang gadisnya energik, ambisius dan cantik. Kayak aku.""Tapi kan pemeran prianya ganteng, tampan, CEO pula. Kayak suami kamu ini." Adrian menyengir h
Tok... Tok... Tok..."Nyonya, di bawah ada tamu." Wajah Bi Inah tampak tidak biasanya saat dia berbicara dengan Naomi, semacam ada kekhawatiran atau gugup, entahlah.Naomi yang baru bangun siang hari itu, bahkan rambutnya masih acak-acakan, dibuat bingung. Siapa yang dibilang Bi Inah sebagai tamu? Selama ini di rumah mereka memang tak pernah kedatangan tamu."Siapa, Bik?" tanya Naomi. Dia tak punya bayangan sama sekali."Mantan ibu mertuanya Tuan Adrian." Bi Inah menyahut pelan serupa berbisik seraya melirik ke belakang, khawatir kalau tiba-tiba orang yang sedang dia bicarakan muncul tanpa aba-aba.Kening Naomi jadi berkerut. "Ngapain dia ke mari ya, Bik?"Menggeleng pelan. "Bibik juga tidak tau, Nyonya. Ada baiknya temui saja.""Bibik udah telpon Mas Adrian? Kali aja ibu mertuanya sudah janjian mau ke mari?"
"Mas, kata Bi Inah, kamu nggak suka banget sama ibu mertua kamu ya?"Naomi dan Adrian sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Adrian sibuk mengotak-atik sesuatu di laptopnya sedang Naomi hanya jadi penonton sembari otaknya berpikir keras, antara dia mau bilang tentang kedatangan neneknya Elang atau tidak memberitahu saja.Mendengar kata ibu mertua, Adrian langsung menghentikan pekerjaannya di laptop, dan menoleh ke arah Naomi. Selama ini saja dia tak pernah menceritakan tentang masa lalunya bersama mantan istri. Kenapa Bi Inah? Ah, cari masalah saja."Ngapain Bi Inah bilang begitu sama kamu?" tanya Adrian, ada nada geram dalam ucapannya."Aku yang nanya, Mas.""Kenapa kamu tiba-tiba nanya? Selama ini kamu nggak pernah komplain walaupun aku nggak cerita, kan?""Ya, aku nanya, karena ibu mertua kamu tiba-tiba datang ke sini. Aku pikir, dia datang setela
"Cari siapa ya?" Naomi bertanya pada pria yang berdiri membelakanginya.Wajah ayu wanita muda itu dibuat berkerut sana-sini. Heran. Seingatnya, baru 3 hari lalu ibu mertua Adrian yang juga merupakan nenek dari Elang datang ke rumah ini, dan sekarang ada lagi seorang pria yang datang ke rumah tanpa pemberitahuan lebih dulu.Apa dia juga bagian dari keluarga ibu mertua Adrian yang berniat untuk mengambil Elang? Oh iya, soal kemarin itu, Elang sudah bercerita pada Adrian kalau kedatangan neneknya adalah untuk membujuknya menginap di rumah sang nenek, sama artinya dia ingin mengambil alih Elang dari Adrian, bukan?Ah, tidak-tidak. Naomi menggeleng kecil kepalanya menepis pemikiran buruknya.Pria tersebut memutar badannya menghadap Naomi, dan untuk beberapa saat mereka saling pandang dengan pandangan yang sangat dalam. Seolah sedang saling menyelami hati masing-masing. 
Heuuuh.Naomi duduk di pinggir ranjang dengan kedua tangan bersidekap ke dada, dari mulutnya keluar helaan nafas. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa tidak ada satu pun foto mantan istri Adrian yang tersisa di rumah ini. Ia cek kembali di album foto yang ditemuinya kemarin, ia juga sudah menggeledah seisi kamar Adrian, tak juga ketemu.Segitunya Mas Adrian benci dengan wanita itu? Atau aku tanya Elang saja, tidak mungkin kalau dia juga tak menyimpan foto mamanya, kan?Helaan nafas terdengar lagi. Elang sedang asyik bersama dengan si Leo itu, Naomi malas menyela mereka, lebih tepatnya malas bertemu muka dengan Leo."Apa aku telpon Mas Adrian aja?"Bukan untuk bertanya soal foto mantan istrinya ya, cuma mengajak mengobrol karena Naomi merasa sangat bosan, ditambah rasa penasarannya tak berbuah jawaban.Meraih ponselnya, Naomi kemudian men
"Mas, kayaknya kamu punya masalah pribadi ya sama Leo?"Naomi bertanya bukan tanpa alasan. Dia mendengar jelas tadi ucapan Leo yang seolah menyindir Adrian tentang perebut hak milik orang lain.Apa maksudnya? Apa Adrian pernah merebut hak yang seharusnya jadi milik Leo? Apa yang dimaksud Leo adalah mantan istri Adrian? Apa jangan-jangan wanita itu dulunya adalah kekasih Leo yang direbut oleh Adrian? Atau wanita yang lain lagi? Ah, Naomi kepikiran, makanya dia bertanya saja."Kok kamu tau? Memangnya kelihatan banget ya kalau aku tidak suka sama dia?" Adrian yang tadinya menyantap makan siang dengan tak berselera kini memfokuskan pandangan pada sang istri yang duduk berseberangan.Naomi mengangguk mantap seraya balik menatap dalam sang suami. Tentu saja dia tahu, Naomi bukan anak kecil lagi untuk paham hal-hal begituan."Tadi dia juga menyindir kamu, kan? Me
Heuuuh.Lenguhan panjang nan seksi menjadi satu-satunya suara yang mendominasi ruangan kantor Adrian. Ruangan yang dilengkapi dengan fasilitas AC itu pun jadi sangat panas, karena pemiliknya sedang bercumbu mesra dengan sang istri kecilnya.Tubuh ringan Naomi duduk diatas pangkuan Adrian, dress yang panjang sepantaran lutut itu tersingkap sebagian, menampilkan kulit putih mulus pahanya. Bagian dadanya juga terbuka lebar karena Adrian sejak awal tak henti-henti meremasnya. Dada yang tak terlalu besar, juga tak terlalu kecil, cukuplah untuk ukuran telapak tangan Adrian. Ck."Naomi, kamu nakal juga ya. Ahhh." Adrian tersenyum puas mendapati perlakuan manis namun liar sang istri, karena kali ini mereka melakukannya di atas kursi kerjanya. Sesuatu yang berbeda Adrian rasakan ketika mereka sama-sama pelepasan tadi."Nakal sama suami sendiri nggak masalah dong, Mas." Jawab Naomi sama terse
"Aku percayakan semuanya sama kamu, Tris. Jadi jangan sia-siakan kepercayaan ini." Adrian berusaha berbicara tegas dengan Tristan, seperti biasanya, tapi karena insiden kepergok tadi, rasa kepercayaan dirinya seolah terjun bebas ke dasar perut.Walhasil, Adrian tak mampu menatap wajah asisten pribadinya itu lekat. Dia malah melarikan pandangan ke kiri dan kanan, tak tentu arah."Siap, bos. Akan aku usahakan yang terbaik dan semoga tidak mengecewakan hasilnya nanti."Berbeda dengan Adrian, Tristan menyahut santai. Pria itu tau, kalau bosnya sudah tak betah berada di ruangannya, dia dapat merasakan kalau di bawah sana, kaki Adrian sudah bergerak-gerak tak sabaran hendak melarikan diri dari ruangannya.Tristan hanya bisa menahan senyumnya.&nb
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin