Home / Romansa / Mama Muda / Hutang Penjelasan

Share

Hutang Penjelasan

Tin... Tiiin...

Dengan tidak sabaran, Adrian membunyikan klakson mobil di depan pagar rumahnya. Biarlah Mang Diman akan terkejut sampai terlatah-latah di pos jaga, yang penting pintu segera dibuka. 

Tidak. Adrian ingin cepat pulang bukan karena tak sabar hendak mengulang yang tadi malam, walau sebenarnya dia terus terbayang-bayang dengan tubuh polos Naomi. Adrian pulang karena putranya sudah pulang ke rumah. Tristan tadi melapor padanya. 

Adrian, walau bagaimanapun dia harus mengenalkan Elang secara formal pada Naomi. Bukankah yang Naomi tahu dia seorang duda dengan anak satu? Jadi Naomi harus tahu kalau Elang, remaja pria itu adalah putranya.

Tapi, mengingat Elang tidak menyetujui pernikahannya, Adrian khawatir Elang akan bersikap tidak sopan dengan Naomi. Walaupun mereka menikah tidak atas dasar cinta, melainkan Adrian tidak ingin terus-terusan diperolok karena kelamaan menduda, tapi tidak boleh ada yang tahu alasan sebenarnya. 

Adrian akan menyimpan rahasia itu rapat-rapat, bahkan dari Elang sekalipun. Makanya, dia tetap harus mengenalkan Naomi pada Elang pun sebaliknya. Meski umur keduanya lebih cocok untuk menjadi kakak adik. 

"Silakan masuk, Tuan!" Mang Diman berseru, seraya menaruh telapak tangan sejajar dahi, membuat sikap hormat. Tak lupa tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang tak rata, ada gigi emasnya pula. 

Melirik sekilas Mang Diman, Adrian lantas membawa mobilnya memasuki carport. 

Masuk ke rumah, Adrian langsung berlari menaiki tangga ke lantai dua dan disambut kesunyian. Ke mana semua orang? Bi Inah, Naomi dan juga Elang? Dengan tangan bercekak di pinggang, Adrian mengedar pandangan berkeliling. 

Apa wanita itu benar-benar tidak bisa jalan? Hingga dia memerap di kamar?

Beberapa langkah berjalan, Adrian baru menangkap ada tubuh yang berbaring menyamping di sofa. Dengan langkah lebar, Adrian mendekat dan agak mencondongkan badannya ke depan karena posisi berbaring Naomi yang membelakanginya. 

"Bi, ini istri saya kenapa?" Teriak Adrian kencang hingga bi Inah yang tengah berkemas di dalam kamarnya di lantai satu terkejut. Ditambah beliau tidak tahu majikannya itu pulang. 

Buru-buru Bi Inah keluar dan ke lantai atas menemui Adrian. 

"Nyonya sedang istirahat, Tuan. Kecapean dari tadi keliling rumah. Maklum aja lah," jawabnya. 

Mendengar jawaban bi Inah, Adrian jadi salah tingkah, dia sempat berpikir kalau Naomi kenapa-kenapa. Ia lalu berdehem, demi menetralisir rasa malunya. Untung saja, bi Inah bukan tipe orang tua yang kepo, melainkan pengertian, jadi beliau paham atas keterkejutan dan alasan teriak-teriak Adrian tadi. 

"Kalau kecapean, kenapa nggak dianterin tidur di kamar aja, bik?" Sekarang, kan jadi Adrian yang repot harus ngeluarin tenaga gendong Naomi ke kamar. 

"Nyonya maunya di sini aja, sumpek katanya dalam kamar terus." 

Sumpek? Itu kamar, bukan gudang, pakai sumpek segala. 

"Begitu? Terus, tadi Naomi ketemu sama Elang nggak? Kata Tristan, Elang ada pulang." 

"Ketemu, Tuan." Bi Inah mengangguk, tapi dia merasa tidak perlu bercerita soal Naomi yang teriak-teriak mengira Elang maling. 

"Gimana?" Pertanyaan Adrian ambigu, namun lagi-lagi Bi Inah paham maksud pertanyaan tersebut. 

"Sepertinya den Elang belum terima, Tuan. Tapi, bibi yakin kok, nanti pasti dia akan menerima dengan ikhlas. Toh, Nyonya Naomi orangnya baik, cantik lagi." 

Adrian dibuat berdecak karena pujian berlebihan bi Inah. Pasalnya, otak idealisnya mendadak konslet saat kata cantik disebut pembantunya itu begitu mendeskripsikan istrinya. 

Bayang-bayang tubuh polos Naomi sekilas berkelibat di otak. 

Hush... Hush... Adrian menepis bayangan itu. Dia tak boleh kepikiran Naomi terus, kehadiran Naomi dalam rumahnya hanya sebagai status istri agar para cecunguk tak mengejeknya lagi. Begitu, kan? 

Kemudian, tanpa sepatah kata, Adrian berlalu dari hadapan bi Inah. Pertama, dia menuju kamar Elang, menguping tidak ada bunyi-bunyi dari dalam sana, Adrian beranggapan kalau Elang sedang tidur. 

Setelah itu, Adrian membawa langkah tegap menuju kamarnya. Tidak ada sama sekali keinginan untuk membawa Naomi ke kamar. Biarlah, wanita itu tidur di sofa. Toh dia sendiri yang mau, pikir Adrian. 

"Tuan, nggak mau makan siang dulu?" Langkah Adrian tinggal separuh menuju kamar saat suara bi Inah bertanya padanya. Adrian sontak menoleh. "Boleh, bik." 

Kalau bi Inah tidak bertanya, ia pasti akan kelupaan makan. Melahap Naomi membuatnya kenyang. 

Tck. Naomi lagi... Naomi lagi. 

Adrian memutar langkah menuruni anak tangga yang diikuti oleh bi Inah di belakangnya. 

"Nanti pas makan malam aja saya kenalin Elang sama wanita itu bik," ujar Adrian seraya mengambil lauk ke dalam piringnya.

Bi Inah tidak bertanya, tapi Adrian merasa perlu memberitahu wanita tua itu.

"Nyonya Naomi, maksudnya tuan." Bi Inah membenarkan. 

"Ya... Maksud saya Naomi." 

Dan sepertinya ia harus ekstra berakting jika di depan bi Inah. Wanita tua itu taunya ia benar-benar menikah karena 'ingin', bukan karena 'terpaksa'. 

"Naomi juga kaget pas ketemu Elang, kan, bi?" tanya Adrian lagi.

Bi Inah menjawabnya dengan anggukan. 

Sudah Adrian duga. Ia pun melanjutkan makan siangnya.

Sementara itu di lantai atas, tepatnya di sofa, Naomi perlahan berusaha bangkit demi menguping apa yang dibicarakan Adrian dengan bi Inah. Sampai harus melongok hati-hati dari atas, tapi tidak terlalu kedengaran. 

"Keterlaluan banget dia. Udah pulang, bukannya ngurusin aku, minta maaf soal tadi malam atau jelasin soal anaknya, malah enak-enakan makan. Tck!" rungut Naomi dengan bibirnya yang mengerucut sebal. 

Bayangkan saja, dia bukan sekadar jadi istri muda dari seorang Adrian Kelana, tapi sekaligus mama muda, mama sambung dengan anak cowok yang sudah berusia belasan tahun. 

Anak SMA woy. 

Kalau balita alias anak bawah lima tahun sih masih sesuai. Ini sekitar 17 belas tahun. Lebih cocok jadi adik seharusnya, kan? 

Di tempat lain, Elang juga tengah mengintip dari pintunya yang terbuka sedikit. 

Lihat noh. Kelakuannya aja kayak gitu, masih kekanakan banget, kecentilan juga. Tadi itu dia pasti pura-pura ketiduran biar papa iba.

Untung aja papa nggak gendong dia ke kamar, kalau nggak bisa besar kepala dia, udah merasa jadi nyonya besar di rumah ini. 

Pikiran jelek tentang Naomi bertebaran di atas kepala Elang. 

Hingga waktu berlalu menjadi gelap, dan makan malam siap di santap, saat itu pula Adrian buka suara. Sebelumnya dia sudah meminta bi Inah memanggil Elang untuk makan malam bersama di meja makan.

"Sayang, ini anak aku, Elang namanya. Dia memang nggak bisa hadir waktu kita menikah kemarin. Sorry, karena terlambat kasih tahu, kamu pasti kaget sekali tadi, kan?" 

Adrian mati-matian nurunin gengsinya demi mengenalkan Elang yang duduk di hadapannya, namun yang ia dapat, Naomi malah menyibukkan diri dengan makanannya. Sengaja. 

Bukan Naomi tak mendengarkan Adrian, dia cuma tak mau meladeni pria itu. 

Tapi, terakhir Adrian bilang sorry? Hei, susah banget ya ngomong maaf? Kenapa pakai bahasa bule segala sih? Terdengarnya nggak tulus banget. 

"Kamu lagi ngomong sama aku ya, Mas?" tanya Naomi, dengan muka tembok, jelas sekali disengaja.

Sontak Adrian mengetap bibirnya. Wanita ini, beraninya dia.

                                ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status