Tin... Tiiin...
Dengan tidak sabaran, Adrian membunyikan klakson mobil di depan pagar rumahnya. Biarlah Mang Diman akan terkejut sampai terlatah-latah di pos jaga, yang penting pintu segera dibuka.
Tidak. Adrian ingin cepat pulang bukan karena tak sabar hendak mengulang yang tadi malam, walau sebenarnya dia terus terbayang-bayang dengan tubuh polos Naomi. Adrian pulang karena putranya sudah pulang ke rumah. Tristan tadi melapor padanya.
Adrian, walau bagaimanapun dia harus mengenalkan Elang secara formal pada Naomi. Bukankah yang Naomi tahu dia seorang duda dengan anak satu? Jadi Naomi harus tahu kalau Elang, remaja pria itu adalah putranya.
Tapi, mengingat Elang tidak menyetujui pernikahannya, Adrian khawatir Elang akan bersikap tidak sopan dengan Naomi. Walaupun mereka menikah tidak atas dasar cinta, melainkan Adrian tidak ingin terus-terusan diperolok karena kelamaan menduda, tapi tidak boleh ada yang tahu alasan sebenarnya.
Adrian akan menyimpan rahasia itu rapat-rapat, bahkan dari Elang sekalipun. Makanya, dia tetap harus mengenalkan Naomi pada Elang pun sebaliknya. Meski umur keduanya lebih cocok untuk menjadi kakak adik.
"Silakan masuk, Tuan!" Mang Diman berseru, seraya menaruh telapak tangan sejajar dahi, membuat sikap hormat. Tak lupa tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang tak rata, ada gigi emasnya pula.
Melirik sekilas Mang Diman, Adrian lantas membawa mobilnya memasuki carport.
Masuk ke rumah, Adrian langsung berlari menaiki tangga ke lantai dua dan disambut kesunyian. Ke mana semua orang? Bi Inah, Naomi dan juga Elang? Dengan tangan bercekak di pinggang, Adrian mengedar pandangan berkeliling.
Apa wanita itu benar-benar tidak bisa jalan? Hingga dia memerap di kamar?
Beberapa langkah berjalan, Adrian baru menangkap ada tubuh yang berbaring menyamping di sofa. Dengan langkah lebar, Adrian mendekat dan agak mencondongkan badannya ke depan karena posisi berbaring Naomi yang membelakanginya.
"Bi, ini istri saya kenapa?" Teriak Adrian kencang hingga bi Inah yang tengah berkemas di dalam kamarnya di lantai satu terkejut. Ditambah beliau tidak tahu majikannya itu pulang.
Buru-buru Bi Inah keluar dan ke lantai atas menemui Adrian.
"Nyonya sedang istirahat, Tuan. Kecapean dari tadi keliling rumah. Maklum aja lah," jawabnya.
Mendengar jawaban bi Inah, Adrian jadi salah tingkah, dia sempat berpikir kalau Naomi kenapa-kenapa. Ia lalu berdehem, demi menetralisir rasa malunya. Untung saja, bi Inah bukan tipe orang tua yang kepo, melainkan pengertian, jadi beliau paham atas keterkejutan dan alasan teriak-teriak Adrian tadi.
"Kalau kecapean, kenapa nggak dianterin tidur di kamar aja, bik?" Sekarang, kan jadi Adrian yang repot harus ngeluarin tenaga gendong Naomi ke kamar.
"Nyonya maunya di sini aja, sumpek katanya dalam kamar terus."
Sumpek? Itu kamar, bukan gudang, pakai sumpek segala.
"Begitu? Terus, tadi Naomi ketemu sama Elang nggak? Kata Tristan, Elang ada pulang."
"Ketemu, Tuan." Bi Inah mengangguk, tapi dia merasa tidak perlu bercerita soal Naomi yang teriak-teriak mengira Elang maling.
"Gimana?" Pertanyaan Adrian ambigu, namun lagi-lagi Bi Inah paham maksud pertanyaan tersebut.
"Sepertinya den Elang belum terima, Tuan. Tapi, bibi yakin kok, nanti pasti dia akan menerima dengan ikhlas. Toh, Nyonya Naomi orangnya baik, cantik lagi."
Adrian dibuat berdecak karena pujian berlebihan bi Inah. Pasalnya, otak idealisnya mendadak konslet saat kata cantik disebut pembantunya itu begitu mendeskripsikan istrinya.
Bayang-bayang tubuh polos Naomi sekilas berkelibat di otak.
Hush... Hush... Adrian menepis bayangan itu. Dia tak boleh kepikiran Naomi terus, kehadiran Naomi dalam rumahnya hanya sebagai status istri agar para cecunguk tak mengejeknya lagi. Begitu, kan?
Kemudian, tanpa sepatah kata, Adrian berlalu dari hadapan bi Inah. Pertama, dia menuju kamar Elang, menguping tidak ada bunyi-bunyi dari dalam sana, Adrian beranggapan kalau Elang sedang tidur.
Setelah itu, Adrian membawa langkah tegap menuju kamarnya. Tidak ada sama sekali keinginan untuk membawa Naomi ke kamar. Biarlah, wanita itu tidur di sofa. Toh dia sendiri yang mau, pikir Adrian.
"Tuan, nggak mau makan siang dulu?" Langkah Adrian tinggal separuh menuju kamar saat suara bi Inah bertanya padanya. Adrian sontak menoleh. "Boleh, bik."
Kalau bi Inah tidak bertanya, ia pasti akan kelupaan makan. Melahap Naomi membuatnya kenyang.
Tck. Naomi lagi... Naomi lagi.
Adrian memutar langkah menuruni anak tangga yang diikuti oleh bi Inah di belakangnya.
"Nanti pas makan malam aja saya kenalin Elang sama wanita itu bik," ujar Adrian seraya mengambil lauk ke dalam piringnya.
Bi Inah tidak bertanya, tapi Adrian merasa perlu memberitahu wanita tua itu.
"Nyonya Naomi, maksudnya tuan." Bi Inah membenarkan.
"Ya... Maksud saya Naomi."
Dan sepertinya ia harus ekstra berakting jika di depan bi Inah. Wanita tua itu taunya ia benar-benar menikah karena 'ingin', bukan karena 'terpaksa'.
"Naomi juga kaget pas ketemu Elang, kan, bi?" tanya Adrian lagi.
Bi Inah menjawabnya dengan anggukan.
Sudah Adrian duga. Ia pun melanjutkan makan siangnya.
Sementara itu di lantai atas, tepatnya di sofa, Naomi perlahan berusaha bangkit demi menguping apa yang dibicarakan Adrian dengan bi Inah. Sampai harus melongok hati-hati dari atas, tapi tidak terlalu kedengaran.
"Keterlaluan banget dia. Udah pulang, bukannya ngurusin aku, minta maaf soal tadi malam atau jelasin soal anaknya, malah enak-enakan makan. Tck!" rungut Naomi dengan bibirnya yang mengerucut sebal.
Bayangkan saja, dia bukan sekadar jadi istri muda dari seorang Adrian Kelana, tapi sekaligus mama muda, mama sambung dengan anak cowok yang sudah berusia belasan tahun.
Anak SMA woy.
Kalau balita alias anak bawah lima tahun sih masih sesuai. Ini sekitar 17 belas tahun. Lebih cocok jadi adik seharusnya, kan?
Di tempat lain, Elang juga tengah mengintip dari pintunya yang terbuka sedikit.
Lihat noh. Kelakuannya aja kayak gitu, masih kekanakan banget, kecentilan juga. Tadi itu dia pasti pura-pura ketiduran biar papa iba.
Untung aja papa nggak gendong dia ke kamar, kalau nggak bisa besar kepala dia, udah merasa jadi nyonya besar di rumah ini.
Pikiran jelek tentang Naomi bertebaran di atas kepala Elang.
Hingga waktu berlalu menjadi gelap, dan makan malam siap di santap, saat itu pula Adrian buka suara. Sebelumnya dia sudah meminta bi Inah memanggil Elang untuk makan malam bersama di meja makan.
"Sayang, ini anak aku, Elang namanya. Dia memang nggak bisa hadir waktu kita menikah kemarin. Sorry, karena terlambat kasih tahu, kamu pasti kaget sekali tadi, kan?"
Adrian mati-matian nurunin gengsinya demi mengenalkan Elang yang duduk di hadapannya, namun yang ia dapat, Naomi malah menyibukkan diri dengan makanannya. Sengaja.
Bukan Naomi tak mendengarkan Adrian, dia cuma tak mau meladeni pria itu.
Tapi, terakhir Adrian bilang sorry? Hei, susah banget ya ngomong maaf? Kenapa pakai bahasa bule segala sih? Terdengarnya nggak tulus banget.
"Kamu lagi ngomong sama aku ya, Mas?" tanya Naomi, dengan muka tembok, jelas sekali disengaja.
Sontak Adrian mengetap bibirnya. Wanita ini, beraninya dia.
***
"Kamu lagi ngomong sama aku ya, Mas?"Sengaja, Naomi cuek pada Adrian yang tengah mengenalkan Elang padanya. Ia kesal tingkat maha dewa sama suaminya, kekesalan yang berlapis-lapis.Lagipula, tidak perlu dikenalkan, ia juga sudah tahu kok dari bi Inah. Cuma masalahnya, kenapa bisa Adrian punya anak yang umurnya belasan tahun, nyaris dewasa.Apa Adrian menikah muda? Atau...?Dijawab dengan cuek oleh Naomi, Adrian sontak mengetap bibirnya. Beraninya wanita ini. Tapi, Adrian harus sedikit meredam kesalnya karena bi Inah sedang berada di dapur sekarang, di pantri entah tengah ngapain."Ya, aku bicara sama kamu lah, istri aku kan kamu, yang artinya kamu sekarang adalah mama sambung dari anak aku." Adrian menjelaskan dengan banyak menahan sabar.Tapi, tidak dengan Elang, dia begitu frontal menyatakan ketidaksukaan pada Naomi."Ngapa
Adrian ini sama sekali bukan tipe yang peka apalagi romantis kayaknya. Pantas saja istrinya dulu mencari pria lain untuk minta belaian kehangatan.Masa Naomi jalan kaki sendiri sih dari dapur ke kamar, bukannya dibantuin. Kan Adrian tau Naomi tengah kesusahan berjalan. Tadi pagi saja, perintahkan bi Inah bawa sarapan ke kamar, sok perhatian, tapi sekarang dianya malah tidak perhatian.Digendong atau paling tidak dipimpin berjalan ke kamar, Naomi pasti berpikir sekali lagi untuk menghapus sedikit perasaan gondoknya.Ngeselin.Naomi duduk di kepala ranjang dengan kedua tangan melipat di dada membuat tonjolan kecil dadanya mencuat.Sesuai rencana, ia ingin terus merajuk, sampai Adrian menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Walaupun yah, belum tentu dia akan dapat kata maaf dari pria itu.Palingan juga 'sorry' yang terdengar
Adrian sarapan pagi seorang diri. Tanpa kehadiran Naomi, juga Elang. Hanya ditemani bi Inah yang berlalu lalang di ruang dapur.Roti tawar dan segelas besar susu panas adalah menu sarapan rutinnya. Namun, Adrian tidak sepenuhnya menikmati sarapan tersebut, asal masuk ke perut saja. Pasalnya, kepalanya dipenuhi dengan kejadian tadi malam setelah Naomi memutuskan untuk tidak tidur di kamar bersamanya."Mau tidur lah, Mas. Tapi tidak di kamar ini, tidak dengan kamu. Aku tidur sendirian saja."Dia marah sebegitunya karena malam pertama? Bukankah lumrah, wanita yang masih segel merasakan kesakitan itu? Kenapa aku harus minta maaf? Lagipula, dia terlihat menikmati permainanku kok.Memang begitu tugas seorang istri juga, kan?Adrian memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut, seraya memandang lurus punggung Naomi yang berjalan menjauhinya.
"Halo, Des. Kamu lagi apa? Aku kangen banget tau." Mata Naomi seketika berbinar begitu menangkap nama Desy di layar ponselnya. Rupanya benda pipih miliknya itu tadi menyempil di bawah bantal kepalanya. Ia berbicara dengan bersemangat seolah Desy bisa melihat wajahnya dari seberang sana. Padahal bukan video call. "Aku juga kangen dong. Baru beberapa hari aja, rasanya udah kayak sebulan nggak bertemu." Desy sama bahagianya, terdengar jelas dari suaranya yang ceria. "Jadi, kapan nih ada rencana honeymoon? Ajak-ajak aku dong," sambung Desy lagi. Desahan berat lolos dari bibir tipis Naomi. Apa-apaan sih Desy? Katanya kangen, bukannya bertanya kabar atau ngajak bertemu, malah bertanya soal honeymoon. Naomi yang menikah saja sama sekali tak kepikiran soal berbulan madu. Adrian juga sepertinya begitu. Tidak memikirkan berbulan madu karena banyak kerjaan
Wajah bi Inah sumringah layaknya orang baru menang undian begitu langkah malas Naomi tiba di dapur. Menarik kursi lalu menjatuhkan punggungnya di kursi meja makan, Naomi menoleh ke arah pembantunya itu."Kenapa kok kayaknya lagi senang banget, bik?" Naomi bertanya dengan kedua tangan bertopang di dagu.Melihat wajah sumringah bi Inah, Naomi jadi terkenang dengan bundanya yang selalu berbahagia meskipun sedang dalam masalah. Apalagi, bi Inah juga punya lesung di pipi kiri yang dalam, persis bundanya.Aish. Kalau Naomi teringat bunda, pasti akan teringat ayah juga. Apa ayah sedang berbahagia sekarang?Naomi tak yakin."Saya senang karena Nyonya akhirnya keluar untuk makan.""Kan aku udah bilang, aku akan ke dapur kalau lapar.""Iya, saya ingat kok, Nyonya."Bi Inah lalu melayani istri dari
"Apa lihat-lihat? Nggak senang, ya udah sana balik ke kamar!" ketus Naomi. Iba? Salah tempat. Kenapa juga Naomi harus iba sama anak yang terang-terangan tidak menyukainya? Tak peduli setampan apa dia, sewangi apa dia, kalau kesal ya kesal aja. "Gue emang mau balik ke kamar kok, hanya masalahnya gue nggak senang lo lihat-lihat album keluarga gue." Elang tak kalah sewotnya, dengan langkah lebar dia menghampiri dan merampas album foto dari tangan Naomi. Nyaris terlena karena kebaikan Naomi tadi, lalu tatapan lembut yang ujung-ujungnya menusuk. "Terserah aku dong ya mau lihat apa aja, mata juga mata aku. Kamu bocah kecil nggak berhak ngatur." Bangkit dari duduknya, Naomi menaruh kedua tangan memeluk dada yang agak dibusungkan ke depan. "Gue nggak suka foto gue dilihat sama orang asing kayak lo
"Halo, aku mau minta izin pulang ke rumah ayah ya."Adrian yang disibuki dengan berkas-berkas di meja kerjanya mengernyit alis mendapati nama bi Inah di layar ponsel. Tidak biasanya pembantunya itu menelpon lebih dulu. Apa ada hal penting?Tapi, Adrian dibuat makin bingung ketika suara Naomi yang terdengar di seberang telpon."Siapa ini yang menelpon?" Adrian merutuki pertanyaan yang keluar dari mulutnya sendiri. Kenapa ditanya lagi sih?Jelas-jelas tadi itu suara Naomi."Ya aku lah, orang aku yang ngomong. Boleh ya? Aku udah pesan ojek online nih, sebentar lagi datang kok."Adrian berdecak, bukan masalah Naomi yang menelponnya dari ponsel bi Inah, melainkan karena wanita itu ingin pulang ke rumah orangtuanya.Adrian tidak suka, mengingat di rumah keluarga itu lebih banyak yang tak menyuka
"Ayah kalian paksa bekerja? Keterlaluan!" Naomi berang, mukanya merah padam karena tidak mendapati sosok sang ayah yang dicintainya di rumah.Masalahnya, belum genap dua Minggu setelah ayah operasi pencangkokan ginjal, masa sekarang sudah berangkat bekerja. Dasar mama dan saudara tiri tidak berguna.Naomi mencengkram kuat pada tali tasnya. Geram."Naomi, ayahmu adalah kepala keluarga, jadi wajar dong kalau dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami." Mama tirinya membela diri dengan tidak tahu dirinya."Kalian memang tidak berguna. Harusnya kalian bisa bekerja, kamu Marsya, juga Abang kamu Ricko, kalian kan sehat dan masih muda. Kenapa hanya berharap dari ayah, hah? Dia sudah menua."Naomi memandang berapi-api pada Marsya."Kalau kamu tidak rela ayah kerja, sebaiknya kamu minta suami kaya raya kamu itu memberikan uang yang banyak