"Heuh! Bosan juga ya di kamar terus."
Naomi yang masih bergumul di kasur, mengeluh seraya mengedarkan pandangan berkeliling ruang kamar yang luas dengan nuansa putih susu. Ini kamar Adrian, yang mungkin akan jadi kamarnya juga.
Meski ruangannya luas, kamar Adrian tertata rapi dan bersih. Ada dua lemari pakaian besar di sudut kamar, lemari sepatu dan aksesoris penunjang penampilan lainnya. Kamar mandinya juga luas dan ada bath up-nya. Yang paling Naomi suka ialah adalah jendela kaca besar yang menghadap langsung ke halaman rumah, di sebelahnya ada pintu menuju balkon. Naomi yakin, dia akan sering menghabiskan waktu di balkon selama Adrian tidak di rumah.
Selain itu, ada juga foto Adrian berukuran besar terpajang di dinding di atas ranjang tidur. Foto Adrian beberapa tahun lalu, saat dia masih muda dan wajahnya sedikit lebih tirus. Memiliki mata yang tajam dengan bulu mata lentik, Adrian begitu mempesona. Tak bisa dipungkiri, Naomi pun membenarkannya, karena ia sempat terpesona saat tadi malam Adrian memandangnya lekat dari atas tubuhnya. Ingatan tentang Gema yang menangis bahkan pudar dalam sekejap dikarenakan Adrian.
"Tapi, kenapa tidak ada foto anak-anak? Bukannya Adrian duda anak satu?"
Bergerak turun dari ranjang, perlahan Naomi menyeret langkahnya menuju nakas kecil di mana ada beberapa foto juga terpajang dengan frame berukuran kecil.
Ada foto Adrian bersama remaja pria yang sama tampannya. Tinggi keduanya juga sama. Apa dia adiknya Adrian? Kok nggak hadir waktu pernikahan kemarin? Naomi ingat, tidak ada seorang pun keluarga dari Adrian yang hadir di pernikahannya. Tamu yang datang hanyalah rekan kerja Adrian dan bos-bos perusahaan yang pernah bekerjasama dengannya.
Banyak pertanyaan yang mendadak timbul di benak Naomi. Selain tentang anak, juga alasan Adrian mendatangi keluarganya hingga memintanya menjadi istri. Jika dilihat seorang Adrian, siapa yang tak mau menjadi istri seorang pria tampan kaya raya, kan? Tapi, kenapa Adrian memilihnya? Apakah tidak ada alasan tertentu?
Krukkk...
Pikiran Naomi seketika ambyar begitu terdengar suara cacing dalam perutnya berdemo. Ia pun memutuskan untuk membawa langkahnya keluar kamar, menuruni anak tangga lalu menuju dapur. Meski perih masih terasa, tapi Naomi suntuk jika berada dalam kamar seharian.
"Nyonya, kenapa keluar? Kan bibi bilang telpon aja kalau perlu sesuatu." Suara terkejut bi Inah begitu melihat istri dari tuannya itu berjalan tertatih menuju dapur. Wanita tua itu pun tergopoh menghampiri Naomi dan membantu dengan membimbing Naomi hingga duduk di meja makan. "Pelan-pelan, Nyonya!" Tak lupa bi Inah mengingatkan.
"Nggak apa-apa bi. Saya bosan di kamar."
"Tapi kan Nyonya masih sakit?"
Ish, bi Inah kenapa juga ditanyain sih? Kan Naomi jadinya malu.
Mengalihkan pertanyaan bi Inah, Naomi tersenyum kecut sembari memegang perutnya yang kempes. "Saya lapar, bik."
"Silakan makan, Nyonya. Kebetulan bibi udah siapkan makan siangnya." Bi Inah menyendokkan nasi ke piring kemudian memberikan ke hadapan Naomi membiarkan majikannya mengambil sendiri lauk pauk yang ingin dimakan. Di meja makan besar itu, memang sudah tersedia beberapa macam lauk, mulai dari berkuah hingga goreng kering. "Nyonya makan aja ya, kalau udah selesai, piringnya dibiarkan saja, nanti bibi yang beresin. Bibi mau ke belakang dulu. Sama... Kalau Nyonya mau gerak itu pelan-pelan ya, hati-hati."
Naomi tersenyum mendapati perhatian bi Inah. "Iya bi, makasih ya."
Begitu bi Inah berlalu pergi, Naomi baru teringat kalau dia tadi sempat ingin bertanya soal anak Adrian. Bi Inah pasti tahu banyak tentang majikannya itu. Apa mungkin anak Adrian ikut sama mantan istrinya atau gimana, Naomi sedikit penasaran. Ya udah, nanti aja deh.
Setelah mengisi perutnya dengan makanan yang enak, sumpah, masakan bi Inah mengingatkan ia dengan masakan bundanya, Naomi inisiatif berkeliling melihat-lihat rumah.
Akan tetapi, tak berapa lama berkeliling, indra pendengaran Naomi seperti mendeteksi adanya langkah kaki seseorang dari arah tangga. Apa Adrian yang pulang?
Perlahan Naomi pun menyeret langkah kecilnya menuju tangga. Tidak ada pikiran buruk apapun di kepalanya perihal mungkin maling yang masuk rumah, mengingat di depan ada security yang berjaga. Tapi begitu ternampak di matanya seorang pemuda tak dikenal muncul di ujung tangga, mata Naomi terbelalak, dia pun siap dengan pose hendak mengusir sang pemuda.
"Siapa kamu? Ngapain di sini? Dan bagaimana kamu bisa masuk ke rumah ini? Heh?"
Tidak ada batang sapu, remote tv pun jadi. Naomi mengacung remote itu ke depan muka si pemuda bermaksud mengusirnya pergi.
Bukannya menjawab, si pemuda malah balas memandang tidak senang ke arah Naomi. Jadi, wanita ini istri baru papa? Kenapa masih muda sekali? Cantik sih, tapi ahh, gue tetap tidak setuju. Si pemuda berkata dalam hati sambil berlalu pergi dari hadapan Naomi.
"Heh, kamu mau kemana? Enak aja masuk rumah orang sembarangan." Naomi mengayun langkah lebar, kalau bisa ingin berlari saja agar bisa memberi pelajaran pada si pemuda yang tak tahu diri dan pura-pura budeg itu, tapi bagian intinya masih sakit sekali. Tck!
Yang ia heran, kenapa si pemuda bisa lolos masuk ke rumah tanpa ketahuan. Pasti bapak security-nya di post lagi tidur nih.
"Heh, sini kamu. Kalau aja aku nggak lagi susah jalan begini, udah aku kejar dan timpukin kamu pakai sandal."
Suara teriak-teriak Naomi di lantai dua membuat seisi rumah jadi berisik. Bi Inah yang tengah bersih-bersih di halaman belakang pun sampai kedengaran, lalu beliau berlari tergesa masuk ke rumah.
"Nyonya, ada apa berisik sekali?"
Melihat bi Inah, Naomi lalu menunjuk ke arah si pemuda berdiri, berharap bi Inah juga sama dengannya, dan memutuskan menelpon pihak berwajib atau paling tidak security deh. "Itu bi, ada orang asing masuk ke rumah, pasti dia mau maling."
Bi Inah mengikuti arah telunjuk Naomi, kemudian seperti melihat pelangi setelah hujan, wanita itu malah berseru kegirangan. "Alhamdulillah, den Elang akhirnya pulang ke rumah. Bapak pasti senang."
"Loh? Kok bibik malah girang? Dia ini pasti mau maling bik."
"Nyonya, maaf bibi lupa kasih tau. Ini den Elang, putranya Tuan Adrian, yang artinya anak sambungnya Nyonya."
"A—apa? Anaknya Mas Adrian?" Remote tv di tangan Naomi nyaris terlepas saking kaget dan tidak percayanya.
Astaga! Udah segede ini? Apa yang dalam foto tadi itu dia? Anaknya Adrian? Sungguh? Kok bisa?
Diserang pertanyaan bertubi-tubi oleh dirinya sendiri, Naomi rasa kepalanya nyut-nyutan. Dengan dibantu bi Inah, Naomi meluruskan badan di sofa yang menghadap langsung ke halaman rumah yang luas.
"Nyonya nggak apa-apa? Mau bibik antar ke kamar aja?"
"Nggak usah bi, saya mau di sini aja dulu."
Membiarkan bi Inah repot dengan urusan anak sambungnya, Naomi coba memejamkan mata, ketiduran di sofa juga sepertinya enak, empuk. Daripada pusing memikirkan siapa Adrian sebenarnya dan bagaimana masa lalunya.
Begitu, Naomi mulai terlelap, sayup-sayup dia mendengar suara.
"Bi, ini istri saya kenapa?"
***
Jadi, wanita ini istri baru papa? Kenapa masih muda sekali? Cantik sih, tapi ahh, gue tetap tidak setuju. Suara hati Elang ketika bertatapan langsung dengan istri baru papanya. Pertama lihat tadi, Elang juga kaget plus heran. Wanita mana pula yang dibawa papanya ke rumah. Sempat terbersit kemungkinan papanya juga punya anak sambung seorang wanita yang seumuran dengannya. Tapi begitu melihat cara berjalan si wanita, Elang langsung nangkap, kalau yang berbadan kurus di hadapannya ini ibu sambungnya. Lihat apa itu? Dia bawa remote tv buat nimpukin gue karena dikira maling? Enak aja. Tck! Tanpa mempedulikan ocehan si mama sambung alias Naomi, Elang berlalu membawa langkahnya menuju kamar, tapi lagi-lagi wanita itu meneriakinya. Mana suaranya melengking pula, nggak sepadan sama ukuran badannya. Tck! kalau dengar dia teriak ngoceh-ngoceh tiap hari bisa pecah kuping gue.
Tin... Tiiin...Dengan tidak sabaran, Adrian membunyikan klakson mobil di depan pagar rumahnya. Biarlah Mang Diman akan terkejut sampai terlatah-latah di pos jaga, yang penting pintu segera dibuka.Tidak. Adrian ingin cepat pulang bukan karena tak sabar hendak mengulang yang tadi malam, walau sebenarnya dia terus terbayang-bayang dengan tubuh polos Naomi. Adrian pulang karena putranya sudah pulang ke rumah. Tristan tadi melapor padanya.Adrian, walau bagaimanapun dia harus mengenalkan Elang secara formal pada Naomi. Bukankah yang Naomi tahu dia seorang duda dengan anak satu? Jadi Naomi harus tahu kalau Elang, remaja pria itu adalah putranya.Tapi, mengingat Elang tidak menyetujui pernikahannya, Adrian khawatir Elang akan bersikap tidak sopan dengan Naomi. Walaupun mereka menikah tidak atas dasar cinta, melainkan Adrian tidak ingin terus-terusan diperolok karena kelamaan menduda, tapi tida
"Kamu lagi ngomong sama aku ya, Mas?"Sengaja, Naomi cuek pada Adrian yang tengah mengenalkan Elang padanya. Ia kesal tingkat maha dewa sama suaminya, kekesalan yang berlapis-lapis.Lagipula, tidak perlu dikenalkan, ia juga sudah tahu kok dari bi Inah. Cuma masalahnya, kenapa bisa Adrian punya anak yang umurnya belasan tahun, nyaris dewasa.Apa Adrian menikah muda? Atau...?Dijawab dengan cuek oleh Naomi, Adrian sontak mengetap bibirnya. Beraninya wanita ini. Tapi, Adrian harus sedikit meredam kesalnya karena bi Inah sedang berada di dapur sekarang, di pantri entah tengah ngapain."Ya, aku bicara sama kamu lah, istri aku kan kamu, yang artinya kamu sekarang adalah mama sambung dari anak aku." Adrian menjelaskan dengan banyak menahan sabar.Tapi, tidak dengan Elang, dia begitu frontal menyatakan ketidaksukaan pada Naomi."Ngapa
Adrian ini sama sekali bukan tipe yang peka apalagi romantis kayaknya. Pantas saja istrinya dulu mencari pria lain untuk minta belaian kehangatan.Masa Naomi jalan kaki sendiri sih dari dapur ke kamar, bukannya dibantuin. Kan Adrian tau Naomi tengah kesusahan berjalan. Tadi pagi saja, perintahkan bi Inah bawa sarapan ke kamar, sok perhatian, tapi sekarang dianya malah tidak perhatian.Digendong atau paling tidak dipimpin berjalan ke kamar, Naomi pasti berpikir sekali lagi untuk menghapus sedikit perasaan gondoknya.Ngeselin.Naomi duduk di kepala ranjang dengan kedua tangan melipat di dada membuat tonjolan kecil dadanya mencuat.Sesuai rencana, ia ingin terus merajuk, sampai Adrian menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Walaupun yah, belum tentu dia akan dapat kata maaf dari pria itu.Palingan juga 'sorry' yang terdengar
Adrian sarapan pagi seorang diri. Tanpa kehadiran Naomi, juga Elang. Hanya ditemani bi Inah yang berlalu lalang di ruang dapur.Roti tawar dan segelas besar susu panas adalah menu sarapan rutinnya. Namun, Adrian tidak sepenuhnya menikmati sarapan tersebut, asal masuk ke perut saja. Pasalnya, kepalanya dipenuhi dengan kejadian tadi malam setelah Naomi memutuskan untuk tidak tidur di kamar bersamanya."Mau tidur lah, Mas. Tapi tidak di kamar ini, tidak dengan kamu. Aku tidur sendirian saja."Dia marah sebegitunya karena malam pertama? Bukankah lumrah, wanita yang masih segel merasakan kesakitan itu? Kenapa aku harus minta maaf? Lagipula, dia terlihat menikmati permainanku kok.Memang begitu tugas seorang istri juga, kan?Adrian memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut, seraya memandang lurus punggung Naomi yang berjalan menjauhinya.
"Halo, Des. Kamu lagi apa? Aku kangen banget tau." Mata Naomi seketika berbinar begitu menangkap nama Desy di layar ponselnya. Rupanya benda pipih miliknya itu tadi menyempil di bawah bantal kepalanya. Ia berbicara dengan bersemangat seolah Desy bisa melihat wajahnya dari seberang sana. Padahal bukan video call. "Aku juga kangen dong. Baru beberapa hari aja, rasanya udah kayak sebulan nggak bertemu." Desy sama bahagianya, terdengar jelas dari suaranya yang ceria. "Jadi, kapan nih ada rencana honeymoon? Ajak-ajak aku dong," sambung Desy lagi. Desahan berat lolos dari bibir tipis Naomi. Apa-apaan sih Desy? Katanya kangen, bukannya bertanya kabar atau ngajak bertemu, malah bertanya soal honeymoon. Naomi yang menikah saja sama sekali tak kepikiran soal berbulan madu. Adrian juga sepertinya begitu. Tidak memikirkan berbulan madu karena banyak kerjaan
Wajah bi Inah sumringah layaknya orang baru menang undian begitu langkah malas Naomi tiba di dapur. Menarik kursi lalu menjatuhkan punggungnya di kursi meja makan, Naomi menoleh ke arah pembantunya itu."Kenapa kok kayaknya lagi senang banget, bik?" Naomi bertanya dengan kedua tangan bertopang di dagu.Melihat wajah sumringah bi Inah, Naomi jadi terkenang dengan bundanya yang selalu berbahagia meskipun sedang dalam masalah. Apalagi, bi Inah juga punya lesung di pipi kiri yang dalam, persis bundanya.Aish. Kalau Naomi teringat bunda, pasti akan teringat ayah juga. Apa ayah sedang berbahagia sekarang?Naomi tak yakin."Saya senang karena Nyonya akhirnya keluar untuk makan.""Kan aku udah bilang, aku akan ke dapur kalau lapar.""Iya, saya ingat kok, Nyonya."Bi Inah lalu melayani istri dari
"Apa lihat-lihat? Nggak senang, ya udah sana balik ke kamar!" ketus Naomi. Iba? Salah tempat. Kenapa juga Naomi harus iba sama anak yang terang-terangan tidak menyukainya? Tak peduli setampan apa dia, sewangi apa dia, kalau kesal ya kesal aja. "Gue emang mau balik ke kamar kok, hanya masalahnya gue nggak senang lo lihat-lihat album keluarga gue." Elang tak kalah sewotnya, dengan langkah lebar dia menghampiri dan merampas album foto dari tangan Naomi. Nyaris terlena karena kebaikan Naomi tadi, lalu tatapan lembut yang ujung-ujungnya menusuk. "Terserah aku dong ya mau lihat apa aja, mata juga mata aku. Kamu bocah kecil nggak berhak ngatur." Bangkit dari duduknya, Naomi menaruh kedua tangan memeluk dada yang agak dibusungkan ke depan. "Gue nggak suka foto gue dilihat sama orang asing kayak lo