Satu hari sebelumnya.
"Dasar jalang." Adrian mengumpat seraya tangannya melonggarkan simpul dasi dengan sekali sentakan kasar.
Sekilas lihat saja, orang akan tahu kalau duda satu anak, berparas tampan dengan kumis tipis itu tengah diselimuti amarah. Gertakan giginya bahkan terdengar sampai keluar ruangan.
Bagaimana dia tak kesal, saat rapat penting sedang berlangsung tadi, ponselnya berdering hebat. Telpon dari sekolah yang mengabarkan kalau putranya terlibat perkelahian dengan sesama murid. Karena itu pula, Adrian terpaksa menunda rapat dan tancap gas ke sekolahan.
Sebagai orang tua tunggal, Adrian paham betul kalau putranya kekurangan kasih sayang, mengingat dirinya yang workaholic banget. Namun, kali ini penyebab baku tumbuk putranya bukan karenanya melainkan gosip miring tentang mantan istri.
Bagaimana dia tidak marah coba.
Ya, setelah bercerai dengannya, Adrian dapat kabar kalau mantan istrinya menikah dengan pria lain, pria yang waktu itu kepergok bercinta dengannya, tak lama kemudian bercerai, lalu sekarang digosipkan merebut suami orang.
Apa kurang Adrian dahulu, hingga wanita itu mencari kehangatan dari ranjang pria lain. Kalau dibandingkan soal uang, tentu jauh lebih mapan dia dibanding laki-laki itu, mungkin sedikit lebih muda saja. Soal ketampanan apalagi, tidak ada pria yang menyainginya. Sekarang, Adrian bahkan dinobatkan sebagai most wanted alias pria yang paling diincar untuk dijadikan suami oleh wanita dari kalangan atas.
Adrian saja yang tak mau. Belum tergerak hatinya untuk memiliki wanita lain dalam hidupnya.
"Beruntung Elang memilih tinggal bersamaku."
Adrian Kelana baru saja menghempas punggungnya ke kursi kebesaran ketika pintu ruangannya dibuka lebar dari luar tanpa izin. Siapa gerangan yang berani masuk tanpa seizinnya?
Tidak mungkin Zivanya, sekretarisnya tidak selancang itu.
Lalu detik berikutnya, ekor mata Adrian menangkap sosok lebih tepatnya tiga orang yang telah berani menerobos ruangannya bahkan tanpa memberi kabar lewat chat grup terlebih dahulu. Paling ngeselinnya, ketiganya menebar senyum lebar tanpa rasa bersalah.
"Hollaaa brother, lama nggak ketemu, makin kasep pisan." Marvin menyapa dengan gaya khasnya menaruh telapak tangan sejajar dahi seperti sikap hormat bendera.
Bagaimanapun, Adrian tetap yang tertua dalam grup dan memang ialah ketua grupnya.
Adriana, wanita yang ngaku-ngaku jadi adik kembar Adrian, ikut menyapa. "Hai Abang gue, iya nih, makin cakep aja." Padahal cuma mirip nama saja. Hehe. Wajahnya sih cakep, anggun, incaran pria hidung belang banget, tapi entah kenapa lebih senang bergaul dengan Adrian cs.
Berbeda dengan Donny, dia yang paling kalem di grup, hanya memberikan anggukan dan kernyitan alis sebagai tanda menyapa.
Adrian yang sudah hapal betul tabiat ketiga karibnya tersebut, dibuat berdecak sebal. Tck. Palingan juga mau ngerusuhin. Mana dia lagi kesal banget begini.
"Kalian nggak bisa ya, sehari aja nggak muncul depan muka aku? Enek tau." Adrian terang-terangan menolak kehadiran Marvin, Adriana dan Donny di ruangannya.
Perasaan belum genap 24 jam mereka terpisah, sekarang sudah berkumpul lagi. Pasalnya, Adrian lagi bad mood untuk meladeni mereka.
Memangnya mereka bertiga nggak ada kerjaan lain, sampai-sampai punya waktu buat merusuh di kantornya? Bisa barengan lagi.
"Wah wah wah, ada apaan nih? Masa kita baru tiba udah kena semprot? Jangan bilang kalau lo gagal pelepasan tadi malam?"
Mendengar ledekan Marvin, Adrian sontak melempar tatapan mematikannya seraya mendengkus kesal. "Dasar ya, otak kamu tuh isinya selangkangan doang."
Adrian teringat perihal tadi malam. Memang Marvin membawakan seorang teman wanita untuknya, sekaligus menyewakan kamar untuk Adrian bersenang-senang, tapi bukannya melewati malam dengan penuh gairah seperti yang ada dalam bayangan kotor Marvin, Adrian pulang tanpa menyentuh secuilpun tubuh si wanita.
Dan kalau tebakannya tak meleset, si wanita pasti melapor pada Marvin.
"Emang iya, letak kenikmatan para pria kan memang dari sana. Hehe." Marvin menyeringai tanpa dosa.
"Jadi beneran, Abang nggak kikuk-kikuk sama wanita semalam?" Adriana bertanya untuk memastikan. Dia baru dengar dari Marvin soalnya.
Ini lagi Adriana. Ngeselin banget kan?
Adrian tak perlu menjawab untuk Adriana tau jawabannya, lalu wanita itu mendesah.
"Abang gimana sih? Hati-hati, cairan itu bisa busuk loh kalau nggak segera dikeluarin. Ibarat besi, bisa berkarat kalau lama nggak dilumuri oli."
Entah, ini bisa dibilang nasehat atau ledekan, namun Adrian merespon dengan mengetap bibirnya, geram. Kalau bukan sahabat, pasti sudah dia seret Adriana keluar dari ruangannya.
"Apa yang kemarin itu kurang hot ya menurut lo? Dari penampilan oke, body gitar spanyol, gue yakin servisenya juga memuaskan. Lo sih nggak coba dulu." Marvin berujar lagi dengan muka lempengnya seolah membicarakan hal yang tabu tersebut sudah biasa.
"Gue bukan lo ya, Vin."
Tegas Adrian dengan meniru gaya bicara Marvin 'lo gue'.
"Tapi, lo juga butuh pelepasan, Ad. Benar apa kata Adriana, seperma juga bisa busuk. Atau lo mau keluarin sendiri aja di kamar mandi? Bisa sih, tapi dimana letak enaknya?"
Donny yang diam, hanya menjadi pendengar sedari tadi, angkat bicara. Mual pula dia lama-lama dengar ocehan kotor Marvin. Ya memang, tipe pendengar yang baik biasanya juga bisa jadi penasehat yang baik pula. Dia pun tahu betul kalau Adrian bukan pria sembarangan yang bisa bercinta dengan wanita mana saja. Mungkin sarannya ini terdengar lebih masuk akal. "Kayaknya lo butuh istri baru, bro."
Adrian memutar bola mata, tak percaya akan pendengarannya, tapi dia belum budeg kok. Dan ternyata, bukan cuma dia, Marvin dan Adriana pun ikut terkejut mendengar saran Donny yang tiba-tiba sekali.
Tumben.
Sebagai pria beristri, Donny pasti menyarankan sahabatnya untuk memiliki istri, bukan sekadar wanita yang bisa dipakai saat ingin saja. Beda dengan Marvin yang otak selangkangan, celup sana sini. Dan pertemuan mereka berakhir dengan Adrian yang mengusir ketiganya pulang. Bukannya ringan, melainkan tambah berat kepalanya mendengar ledekan demi ledekan dari Marvin dan Adriana.
Hampir satu jam setelah ketiga sahabatnya hengkang dari ruangannya, Adrian terus saja kepikiran soal saran dari Donny. Berkas yang terbuka di meja kerjanya, tak ia baca sama sekali.
Istri baru?
Bukan lagi pasal trauma karena diselingkuhi, Adrian hanya belum siap menerima wanita baru masuk ke dalam hidupnya.
Belum lagi Elang. Putranya pasti menolak keras. Sama seperti dirinya, Elang menjadi sangat anti dengan yang namanya perempuan. Tapi, kalau tidak begitu, Adrian harus tahan kupingnya untuk menerima ejekan terus menerus dari Marvin juga Adriana.
Berdiam dengan kedua tangan bertumpu di dagu, Adrian memikirkan jalan keluar.
"Tristan, aku ada tugas penting untukmu."
***
Jadi, tadi siang itu, Adrian menugaskan Tristan — asisten pribadinya untuk mencari wanita dari kalangan ekonomi rendah yang bisa dibeli kehormatan juga harga dirinya dengan uang.
Kenapa Adrian kedengarannya begitu kejam? Ya, dia punya alasan yang cukup kuat. Adrian tidak ingin kisah lama terulang kembali.
Tidak butuh berhari-hari, malamnya setelah makan malam, Tristan langsung menemui Adrian. Dia menyerahkan sebuah amplop yang di dalamnya ada beberapa lembar foto wanita yang sama dan lembar informasi pribadi.
Jangan tanya bagaimana Tristan mendapatkannya.
Wanita dalam foto tersebut tampak ketakutan, dan dalam lembar lain menampilkan foto si wanita sedang dikejar-kejar oleh dua orang berbadan tegap. Sepertinya anak buah debt kolektor. Usut punya usut, si wanita ternyata terlilit hutang kartu kredit.
"Apa dia wanita yang cocok?" Adrian bergumam, sembari memandang lembar foto itu, menaikkan alisnya. Tak lupa, dia juga menatap Tristan, seakan meminta pendapat asistennya itu.
"Kalau bos tidak yakin, saya akan carikan yang lain saja."
Ia menggeleng.
"Tidak perlu. Aku coba dulu yang ini."
Lalu keesokan harinya, di sinilah Adrian berada. Sebuah rumah bertingkat dua cukup bersih dan lengkap furniturenya tatkala Adrian masuk ke dalam ruang tamu.
Apa ini termasuk ekonomi rendah? Lalu kenapa wanita dalam foto itu dikejar-kejar kaki tangan debt kolektor?
"Hei, siapa anda? Bagaimana anda masuk? Lalu, apa yang anda lakukan di rumah saya?" Seorang wanita paruh baya memakai dress rumahan tampak terperangah melihat kehadiran Adrian di ruang tamu rumahnya.
"Saya ingin bertemu dengan Marsya. Apa dia ada di rumah?"
"Marsya? Ada perlu apa dengan putri saya?"
"Putri anda punya hutang yang sangat banyak dengan bos saya. Jadi, saya datang ke mari untuk meminta pertanggungjawaban." Adrian menyungging senyum saat mengucapkan kalimatnya. Dia dapat melihat pancaran ketakutan di raut wajah wanita yang merupakan mama dari Marsya.
Entah kenapa, Adrian makin bersemangat dan merasa aktingnya lumayan bagus.
***
Keadaan di ruang tamu rumah keluarga itu seketika kacau balau. Bukan barang-barangnya, tapi orangnya. Semua orang telah berkumpul di sana dengan kepala yang memanas bahkan hampir mendidih, terlebih lagi Arya Satya. Rupanya, Marsya — putri tirinya telah melakukan kesalahan fatal tanpa sepengetahuan dia sebagai ayah dan juga ibunya. Namun, sang ibu tetap saja membela putrinya. Pantas saja, belakangan ini Marsya terlihat memakai pakaian dan barang-barang mewah, rupanya itu hasil memakai kartu kredit dengan sangat berlebihan. Sekarang, debt kolektor mengejarnya untuk meminta bayaran. "Lihat, apa yang sudah dilakukan putrimu, Ma! Ini akibat dari kamu yang terlalu memanjakan dia." Arya Satya yang telah kehilangan akal jadi memarahi sang istri, tapi memang begitu adanya kok. Bahkan yang membuat ekonomi keluarga mereka menurun, itu pun karena sikap sok kaya mereka yang hidup berfoya-foya. Pria yang m
"Saya terima nikah dan kawinnya Naomi Diajeng Ayu dengan mas kawin tersebut tunai."Begitu kalimat sakral itu meluncur mulus dari bibir Adrian, lalu kata 'sah' sebagai tanda pengesahan oleh kedua saksi, detik itu pula Naomi resmi menjadi istri dari seorang Adrian Kelana. Untuk pertama kalinya juga dia mencium telapak tangan pria lain selain ayahnya.Hati Naomi porak-poranda tatkala bertentang mata dengan sang ayah tadi. Raut kesedihan jelas terpancar. Ayah mana yang ingin menjual putrinya demi menebus hutang. Akan tetapi, pada siapa pula Naomi bisa meminta pertolongan saat ayahnya mendadak masuk rumah sakit dan harus operasi pencangkokan ginjal yang biayanya sangat mahal.Asal ayah sembuh, apapun akan Naomi lakukan, termasuk menikah dengan tuan Adrian."Naomi, tamu undangan sudah berdatangan, ayo aku bantu kamu menuju pelaminan. Suamimu sudah menunggu di sana. Astaga! Kenapa kau tidak bilang, kalau d
Adrian baru selesai telponan dengan Tristan yang ia tugaskan mengikuti Elang, ketika matanya menangkap siluet Naomi. Gadis yang sudah berganti berstatus menjadi wanitanya itu berlari keluar dari ballroom hotel tempat resepsi pernikahan mereka berlangsung tadi.Naomi? Kenapa dia terburu-buru sekali?Adrian tak ingin peduli soal Naomi yang berlari keluar dengan buru-buru, toh ia yakin wanitanya itu tak akan berani melarikan diri darinya.Namun, sepersekian detik berikutnya, langkah Adrian malah bergerak membuntuti Naomi. Sungguh, cepat sekali berubah pikiran.Langkah cepat dan panjang Adrian terhenti tepat di ujung lorong yang berbelok, menyandar punggungnya di tembok sembari sesekali mengintai karena di hadapan sana dia mendapati Naomi berdua dengan seorang pemuda. Dan anehnya lagi, pemuda tersebut tengah menangis.Sekali lagi, Adrian tak mau penasaran hal yang menyangkut istri ba
"Ganti gaun kamu! Kita pulang ke rumah. Malam pertamanya di rumah aja," ucap Adrian dengan tersenyum miring tepat di daun telinga Naomi, mencipta rasa geli hingga meremang bulu tengkuk.Njirrr.Mati-matian Naomi pikir Adrian bakal menurunkan resleting gaun pengantinnya lalu mereka akan melakukan yang dibilang suaminya itu tadi, —kegiatan pengantin baru saat malam pertama.Mengerjap matanya, Naomi berusaha menetralisir debar di dadanya, jangan sampai kedengaran sama Adrian. Entahlah, walau ada sedikit rasa syukur karena suaminya itu menunda meminta jatah, tapi ada juga sepercik api kekesalan.Hei, Naomi, apa yang kamu harapkan sih? Malam pertama? Memangnya kamu sudah rela milikmu diambil sama suami menyebalkan itu?"T—tapi, aku mau mandi dulu." Naomi menunjuk badannya yang lengket dan bau. Bukan hanya itu, berdekatan dengan Adrian dalam waktu beberapa detik saja rupany
"K—kamu mau ngapain, Mas?"Pertanyaan Naomi dibalas Adrian dengan pagutan kasar pada bibirnya. Adrian sama sekali tak memberinya kesempatan untuk melihat kamar, atau menarik nafas lega karena memiliki ruang kamar yang besar mewah. Pria itu malah memberondongnya dengan ciuman bertubi-tubi.Butuh waktu beberapa detik hingga Naomi sadar kalau Adrian sedang menciumnya. Bola matanya sontak membelalak dengan nafas yang ngos-ngosan.Astaga!Ini pertama kalinya bagi Naomi. Bibir polosnya disentuh oleh pria. Bukan cuma sentuhan biasa, tapi pagutan kasar, lumatan, sesapan layaknya gula yang diserbu oleh ribuan semut. Rasanya bibir tipis Naomi akan bengkak sekejap lagi. Mana asupan udara tinggal sedikit di paru-parunya."Humfff—" Naomi mendorong dada bidang Adrian agar menjauh dan melepas pagutannya, jika tidak ingin ia mati kehabisan nafas. Tapi, semua itu sia-sia karena suamin
"Heuh! Bosan juga ya di kamar terus."Naomi yang masih bergumul di kasur, mengeluh seraya mengedarkan pandangan berkeliling ruang kamar yang luas dengan nuansa putih susu. Ini kamar Adrian, yang mungkin akan jadi kamarnya juga.Meski ruangannya luas, kamar Adrian tertata rapi dan bersih. Ada dua lemari pakaian besar di sudut kamar, lemari sepatu dan aksesoris penunjang penampilan lainnya. Kamar mandinya juga luas dan ada bath up-nya. Yang paling Naomi suka ialah adalah jendela kaca besar yang menghadap langsung ke halaman rumah, di sebelahnya ada pintu menuju balkon. Naomi yakin, dia akan sering menghabiskan waktu di balkon selama Adrian tidak di rumah.Selain itu, ada juga foto Adrian berukuran besar terpajang di dinding di atas ranjang tidur. Foto Adrian beberapa tahun lalu, saat dia masih muda dan wajahnya sedikit lebih tirus. Memiliki mata yang tajam dengan bulu mata lentik, Adrian begitu mempesona. Tak bisa dipungki
Jadi, wanita ini istri baru papa? Kenapa masih muda sekali? Cantik sih, tapi ahh, gue tetap tidak setuju. Suara hati Elang ketika bertatapan langsung dengan istri baru papanya. Pertama lihat tadi, Elang juga kaget plus heran. Wanita mana pula yang dibawa papanya ke rumah. Sempat terbersit kemungkinan papanya juga punya anak sambung seorang wanita yang seumuran dengannya. Tapi begitu melihat cara berjalan si wanita, Elang langsung nangkap, kalau yang berbadan kurus di hadapannya ini ibu sambungnya. Lihat apa itu? Dia bawa remote tv buat nimpukin gue karena dikira maling? Enak aja. Tck! Tanpa mempedulikan ocehan si mama sambung alias Naomi, Elang berlalu membawa langkahnya menuju kamar, tapi lagi-lagi wanita itu meneriakinya. Mana suaranya melengking pula, nggak sepadan sama ukuran badannya. Tck! kalau dengar dia teriak ngoceh-ngoceh tiap hari bisa pecah kuping gue.
Tin... Tiiin...Dengan tidak sabaran, Adrian membunyikan klakson mobil di depan pagar rumahnya. Biarlah Mang Diman akan terkejut sampai terlatah-latah di pos jaga, yang penting pintu segera dibuka.Tidak. Adrian ingin cepat pulang bukan karena tak sabar hendak mengulang yang tadi malam, walau sebenarnya dia terus terbayang-bayang dengan tubuh polos Naomi. Adrian pulang karena putranya sudah pulang ke rumah. Tristan tadi melapor padanya.Adrian, walau bagaimanapun dia harus mengenalkan Elang secara formal pada Naomi. Bukankah yang Naomi tahu dia seorang duda dengan anak satu? Jadi Naomi harus tahu kalau Elang, remaja pria itu adalah putranya.Tapi, mengingat Elang tidak menyetujui pernikahannya, Adrian khawatir Elang akan bersikap tidak sopan dengan Naomi. Walaupun mereka menikah tidak atas dasar cinta, melainkan Adrian tidak ingin terus-terusan diperolok karena kelamaan menduda, tapi tida
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin