Keadaan di ruang tamu rumah keluarga itu seketika kacau balau. Bukan barang-barangnya, tapi orangnya. Semua orang telah berkumpul di sana dengan kepala yang memanas bahkan hampir mendidih, terlebih lagi Arya Satya.
Rupanya, Marsya — putri tirinya telah melakukan kesalahan fatal tanpa sepengetahuan dia sebagai ayah dan juga ibunya. Namun, sang ibu tetap saja membela putrinya. Pantas saja, belakangan ini Marsya terlihat memakai pakaian dan barang-barang mewah, rupanya itu hasil memakai kartu kredit dengan sangat berlebihan.
Sekarang, debt kolektor mengejarnya untuk meminta bayaran.
"Lihat, apa yang sudah dilakukan putrimu, Ma! Ini akibat dari kamu yang terlalu memanjakan dia." Arya Satya yang telah kehilangan akal jadi memarahi sang istri, tapi memang begitu adanya kok.
Bahkan yang membuat ekonomi keluarga mereka menurun, itu pun karena sikap sok kaya mereka yang hidup berfoya-foya. Pria yang merupakan kepala keluarga itu sengaja tak ingin mengungkit, mengingat mereka juga bagian dari keluarganya.
"Kamu nyalahin Marsya, Pa?"
"Lalu, siapa lagi yang harus disalahkan? Memang dia kan yang menggunakan uang itu? Papa sama sekali tidak tahu kok."
"Kamu memang keterlaluan, Pa. Marsya seperti itu karena dia tidak mau dianggap remeh oleh teman-temannya. Kalau kamu tidak mau dia sampai terlilit hutang, harusnya kamu bekerja keras dan menghasilkan uang yang banyak."
Suara sang istri lantang, terdengar seperti genderang perang di telinga Arya Satya. Bisa-bisanya istrinya berbicara begitu.
Lalu, kedua anak tirinya, Marsya dan Ricko duduk dengan menatap nyalang ke arah Arya Satya.
Menggeram, mengepal erat buku tangannya, Arya Satya ingin mengamuk. Bukan bermaksud membedakan anak tiri dan anak kandungnya, tapi memang selama ini, Naomi sama sekali tak menyusahkannya. Harusnya sebagai anak paling bungsu, Naomi yang manja, minta dibelikan barang-barang bagus serta mahal.
Arya Satya seketika kepikiran dengan Naomi. Hari ini, bungsunya itu sedang sidang sarjana. Senyum getir sekilas terbit di bibir pria dengan rambut klimis yang mulai bermunculan uban itu.
"Lalu, apa yang bisa kami lakukan untuk membayar tagihan kartu kredit itu, tuan? Apa bisa kami mencicilnya tiap bulan?" Arya Satya memandang penuh harap ke arah Adrian yang duduk di kursi sendiri seperti tamu agung, sementara anggota keluarga itu berdiri menghadapnya.
Adrian memandang satu persatu wajah yang ada di ruang tamu itu dengan senyum puas. Rupanya, dia tidak salah pilih. Keluarga ini memiliki hubungan yang rumit, sehingga Adrian bisa memanfaatkan keadaan.
Wanita bernama Marsya itu, tidak jelek-jelek amat kok, cantik malah. Hanya kemungkinan besar, Adrian akan sedikit kewalahan karena Marsya mata duitan.
Tapi, dia tidak akan berkutik kalau Adrian mengancam akan membawanya ke penjara, kan?
"Mencicil? Anda pikir bos saya kekurangan uang? Bos saya orang kaya raya, hartanya nggak akan habis tujuh turunan." Pandai sekali Adrian berakting, cocok nih jadi aktor. Senyum miring bertengger di bibirnya manakala melihat reaksi mereka. "Bos saya akan senang kalau kalian menerima tawarannya."
"Tawaran?" Marsya seketika menimpali, mendengar kata tawaran. Entahlah, apa dia akan berbinar bahkan berkilat matanya setelah ucapan Adrian selanjutnya.
"Ya, tawaran." Adrian sengaja memfokuskan pandangnya ke arah Marsya, ingin tahu reaksi wanita itu. "Bos saya akan menganggap hutang kalian lunas, jika Marsya bersedia menjadi istrinya. Bos saya adalah duda dengan satu anak."
Tentu saja, Adrian tidak mengatakan yang sebenarnya soal identitasnya.
"Apa?" Marsya terkejut setengah mati, matanya melotot seperti ingin terkeluar dari kelopaknya, mulutnya terbuka lebar, seperti ingin membantah, namun beberapa detik dia hanya diam dengan muka memberengut masam.
Melihat reaksi Marsya, mamanya angkat bicara, tak terima. Wanita itu juga tak kalah terkejutnya. Sementara Ricko diam membisu.
"Memangnya tidak ada cara lain ya? Putri saya ini masih perawan, berpendidikan, cantik, masa harus menikah dengan duda, punya anak satu lagi."
"Mama, pokoknya Marsya nggak mau ya. Masa iya Marsya menikah dengan duda. Pasti dudanya sudah tua, perut buncit. Ih ogah." Rengek Marsya pada mamanya, meminta perlindungan. Selama ini mamanya selalu bisa melindungi setiap kelakuan buruknya.
"Tuan, tolong berikan tawaran lain saja, tidak mungkin putri saya—"
"Bagaimana kalau Naomi saja?" Ricko tiba-tiba berceletuk, membuat wajah mama dan Marsya yang tadinya murung karena bingung plus takut, berubah cemerlang, lalu tersenyum miring.
Ricko memang benar-benar membantu.
"Iya, Naomi saja. Dia yang akan jadi istri dari bos anda." Marsya dan mamanya kompak menjawab. Sepertinya senang sekali, telah melimpahkan beban pada si Naomi itu.
Siapa Naomi? Apa mereka punya anak perempuan satu lagi? Ah, Adrian jadi makin penasaran.
"Jangan Naomi." Tolak Arya Satya. "Dia tidak tahu apa-apa. Tuan, tolonglah, berikan saya waktu, saya akan mencari uang untuk membayar hutang itu."
"Pa, kenapa sih? Biarkan saja Naomi yang menikah dengan bos itu, toh nanti dia yang akan hidup senang, hutang kita pun lunas." Mama menyanggah permohonan Arya Satya pada Adrian.
"Dasar kalian tidak tahu malu, sudah anakmu yang membuat ulah, kenapa harus Naomi yang bertanggung jawab?" Arya Satya berang, mukanya memerah. Sudah cukup dia diam selama ini, hingga begini pula balasan anak tirinya itu padanya.
"Tuan, saya memohon, biarkan saya melunasi hutang itu, tidak perlu meminta Naomi untuk menjadi istri dari bos, tuan. Lagipula, bungsu saya hanya gadis muda biasa, bisa saja dia bukan tipe gadis yang diidamkan oleh bosnya tuan." Arya Satya mendekat dan berlutut di hadapan Adrian. Tidak ada cara lain, beliau tak ingin putrinya menderita akibat ulah sang kakak tiri.
Dari tempat duduknya, Adrian menyungging senyum licik. Sungguh sebuah keluarga yang harmonis sekaligus menggelikan. Bisa-bisanya mereka menyerahkan Naomi sebagai tumbal, sedang yang bersalah adalah Marsya.
"Ayah, ada apa ini?" Suara lembut tiba-tiba menelisik gendang telinga Adrian, bersamaan dengan tiupan angin segar yang menerpa wajahnya.
Lembut dan segar.
Adrian tak bisa menahan gerak kepalanya untuk segera menoleh. Manik matanya sontak melebar mendapati seorang gadis yang dibilang Arya Satya tadi sebagai gadis muda biasa.
Jadi, ini yang namanya Naomi?
"Ayah, apa yang sedang lakukan? Kenapa berlutut di depan orang ini?"
Orang ini? Rahang Adrian mengeras. Berani sekali gadis itu menyebutnya dengan 'orang ini'. Hei, dia punya nama, dan dia seorang kaya raya. Rumah yang kalian tempati ini bisa dia beli puluhan hingga ratusan unit. Beli rumah udah kayak beli gorengan.
Naomi, gadis itu berjongkok demi memaksa ayahnya berdiri. Tidak. Naomi tidak suka melihat sang ayah tertindas apalagi merendah di hadapan orang lain. Apa salah ayahnya? Di mata Naomi, ayahnya orang baik, sangat baik.
Setelah membantu ayahnya bangkit, Naomi giliran memandang ke arah Adrian, dengan tatapan tajam tentunya. Harusnya sang ayah berbahagia mendapat kabar kelulusannya, tapi yang terjadi kini—
Orang ini, yang duduk santai dengan kaki menyilang dan kedua tangan memeluk dada, telah mengganggu hari bahagia Naomi dan ayahnya.
"Anda siapa? Kenapa semua wajah tampak tegang seolah takut dengan anda?"
Mendengar pertanyaan Naomi, Adrian malah tersenyum miring. "Aku calon suamimu."
"Apa?"
Bukan hanya Naomi yang terkejut, tapi semua orang di dalam rumah itu terlebih lagi Marsya. Dia yang tadi menolak menikah karena mengira duda beranak satu itu seorang pria tua yang buncit.
Kini, nama Marsya sudah Adrian coret dari daftar calon istrinya.
Mengabaikan wajah keterkejutan orang lain di rumah itu, Adrian terus saja berbicara dengan Naomi.
"Tidak perlu terkejut begitu. Keluargamu telah sepakat untuk menjualmu padaku karena mereka berhutang yang sangat banyak. Mana mungkin bisa di bayar dengan bekerja seumur hidup sekalipun."
Naomi tak percaya, dia menoleh sang ayah meminta penjelasan. "Benar begitu ayah?"
Ayah diam dengan mulut yang bergetar hebat. Tak sanggup hendak mengiyakan pertanyaan bungsunya.
"Ayahmu diam itu tandanya benar."
"Diamlah! Saya tidak bicara dengan anda."
"Ups." Adrian sontak mengatup mulut namun tetap menyungging seringainya. Rupanya gadis ini bukan gadis biasa. Begitu batinnya.
"Ayah, jawab Naomi, yang dikatakan orang ini tidak benar, kan?" Naomi mendesak ayahnya, suaranya sedikit meninggi.
Lagi, Adrian menggertak gigi saat Naomi menyebutnya dengan sebutan 'orang ini'. Hei, tidakkah di matanya aku terlihat sangat tampan? Marsya sampai menyesal sudah menolakku tadi.
Awas saja, setelah menjadi istriku nanti, akan kubuat kau menyesal pernah menyebutku dengan orang ini. Apa-apaan? Tck.
"Ayah, Naomi tidak mau menikah dengan dia."
Seketika itu, wajah Adrian mengeras.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Naomi Diajeng Ayu dengan mas kawin tersebut tunai."Begitu kalimat sakral itu meluncur mulus dari bibir Adrian, lalu kata 'sah' sebagai tanda pengesahan oleh kedua saksi, detik itu pula Naomi resmi menjadi istri dari seorang Adrian Kelana. Untuk pertama kalinya juga dia mencium telapak tangan pria lain selain ayahnya.Hati Naomi porak-poranda tatkala bertentang mata dengan sang ayah tadi. Raut kesedihan jelas terpancar. Ayah mana yang ingin menjual putrinya demi menebus hutang. Akan tetapi, pada siapa pula Naomi bisa meminta pertolongan saat ayahnya mendadak masuk rumah sakit dan harus operasi pencangkokan ginjal yang biayanya sangat mahal.Asal ayah sembuh, apapun akan Naomi lakukan, termasuk menikah dengan tuan Adrian."Naomi, tamu undangan sudah berdatangan, ayo aku bantu kamu menuju pelaminan. Suamimu sudah menunggu di sana. Astaga! Kenapa kau tidak bilang, kalau d
Adrian baru selesai telponan dengan Tristan yang ia tugaskan mengikuti Elang, ketika matanya menangkap siluet Naomi. Gadis yang sudah berganti berstatus menjadi wanitanya itu berlari keluar dari ballroom hotel tempat resepsi pernikahan mereka berlangsung tadi.Naomi? Kenapa dia terburu-buru sekali?Adrian tak ingin peduli soal Naomi yang berlari keluar dengan buru-buru, toh ia yakin wanitanya itu tak akan berani melarikan diri darinya.Namun, sepersekian detik berikutnya, langkah Adrian malah bergerak membuntuti Naomi. Sungguh, cepat sekali berubah pikiran.Langkah cepat dan panjang Adrian terhenti tepat di ujung lorong yang berbelok, menyandar punggungnya di tembok sembari sesekali mengintai karena di hadapan sana dia mendapati Naomi berdua dengan seorang pemuda. Dan anehnya lagi, pemuda tersebut tengah menangis.Sekali lagi, Adrian tak mau penasaran hal yang menyangkut istri ba
"Ganti gaun kamu! Kita pulang ke rumah. Malam pertamanya di rumah aja," ucap Adrian dengan tersenyum miring tepat di daun telinga Naomi, mencipta rasa geli hingga meremang bulu tengkuk.Njirrr.Mati-matian Naomi pikir Adrian bakal menurunkan resleting gaun pengantinnya lalu mereka akan melakukan yang dibilang suaminya itu tadi, —kegiatan pengantin baru saat malam pertama.Mengerjap matanya, Naomi berusaha menetralisir debar di dadanya, jangan sampai kedengaran sama Adrian. Entahlah, walau ada sedikit rasa syukur karena suaminya itu menunda meminta jatah, tapi ada juga sepercik api kekesalan.Hei, Naomi, apa yang kamu harapkan sih? Malam pertama? Memangnya kamu sudah rela milikmu diambil sama suami menyebalkan itu?"T—tapi, aku mau mandi dulu." Naomi menunjuk badannya yang lengket dan bau. Bukan hanya itu, berdekatan dengan Adrian dalam waktu beberapa detik saja rupany
"K—kamu mau ngapain, Mas?"Pertanyaan Naomi dibalas Adrian dengan pagutan kasar pada bibirnya. Adrian sama sekali tak memberinya kesempatan untuk melihat kamar, atau menarik nafas lega karena memiliki ruang kamar yang besar mewah. Pria itu malah memberondongnya dengan ciuman bertubi-tubi.Butuh waktu beberapa detik hingga Naomi sadar kalau Adrian sedang menciumnya. Bola matanya sontak membelalak dengan nafas yang ngos-ngosan.Astaga!Ini pertama kalinya bagi Naomi. Bibir polosnya disentuh oleh pria. Bukan cuma sentuhan biasa, tapi pagutan kasar, lumatan, sesapan layaknya gula yang diserbu oleh ribuan semut. Rasanya bibir tipis Naomi akan bengkak sekejap lagi. Mana asupan udara tinggal sedikit di paru-parunya."Humfff—" Naomi mendorong dada bidang Adrian agar menjauh dan melepas pagutannya, jika tidak ingin ia mati kehabisan nafas. Tapi, semua itu sia-sia karena suamin
"Heuh! Bosan juga ya di kamar terus."Naomi yang masih bergumul di kasur, mengeluh seraya mengedarkan pandangan berkeliling ruang kamar yang luas dengan nuansa putih susu. Ini kamar Adrian, yang mungkin akan jadi kamarnya juga.Meski ruangannya luas, kamar Adrian tertata rapi dan bersih. Ada dua lemari pakaian besar di sudut kamar, lemari sepatu dan aksesoris penunjang penampilan lainnya. Kamar mandinya juga luas dan ada bath up-nya. Yang paling Naomi suka ialah adalah jendela kaca besar yang menghadap langsung ke halaman rumah, di sebelahnya ada pintu menuju balkon. Naomi yakin, dia akan sering menghabiskan waktu di balkon selama Adrian tidak di rumah.Selain itu, ada juga foto Adrian berukuran besar terpajang di dinding di atas ranjang tidur. Foto Adrian beberapa tahun lalu, saat dia masih muda dan wajahnya sedikit lebih tirus. Memiliki mata yang tajam dengan bulu mata lentik, Adrian begitu mempesona. Tak bisa dipungki
Jadi, wanita ini istri baru papa? Kenapa masih muda sekali? Cantik sih, tapi ahh, gue tetap tidak setuju. Suara hati Elang ketika bertatapan langsung dengan istri baru papanya. Pertama lihat tadi, Elang juga kaget plus heran. Wanita mana pula yang dibawa papanya ke rumah. Sempat terbersit kemungkinan papanya juga punya anak sambung seorang wanita yang seumuran dengannya. Tapi begitu melihat cara berjalan si wanita, Elang langsung nangkap, kalau yang berbadan kurus di hadapannya ini ibu sambungnya. Lihat apa itu? Dia bawa remote tv buat nimpukin gue karena dikira maling? Enak aja. Tck! Tanpa mempedulikan ocehan si mama sambung alias Naomi, Elang berlalu membawa langkahnya menuju kamar, tapi lagi-lagi wanita itu meneriakinya. Mana suaranya melengking pula, nggak sepadan sama ukuran badannya. Tck! kalau dengar dia teriak ngoceh-ngoceh tiap hari bisa pecah kuping gue.
Tin... Tiiin...Dengan tidak sabaran, Adrian membunyikan klakson mobil di depan pagar rumahnya. Biarlah Mang Diman akan terkejut sampai terlatah-latah di pos jaga, yang penting pintu segera dibuka.Tidak. Adrian ingin cepat pulang bukan karena tak sabar hendak mengulang yang tadi malam, walau sebenarnya dia terus terbayang-bayang dengan tubuh polos Naomi. Adrian pulang karena putranya sudah pulang ke rumah. Tristan tadi melapor padanya.Adrian, walau bagaimanapun dia harus mengenalkan Elang secara formal pada Naomi. Bukankah yang Naomi tahu dia seorang duda dengan anak satu? Jadi Naomi harus tahu kalau Elang, remaja pria itu adalah putranya.Tapi, mengingat Elang tidak menyetujui pernikahannya, Adrian khawatir Elang akan bersikap tidak sopan dengan Naomi. Walaupun mereka menikah tidak atas dasar cinta, melainkan Adrian tidak ingin terus-terusan diperolok karena kelamaan menduda, tapi tida
"Kamu lagi ngomong sama aku ya, Mas?"Sengaja, Naomi cuek pada Adrian yang tengah mengenalkan Elang padanya. Ia kesal tingkat maha dewa sama suaminya, kekesalan yang berlapis-lapis.Lagipula, tidak perlu dikenalkan, ia juga sudah tahu kok dari bi Inah. Cuma masalahnya, kenapa bisa Adrian punya anak yang umurnya belasan tahun, nyaris dewasa.Apa Adrian menikah muda? Atau...?Dijawab dengan cuek oleh Naomi, Adrian sontak mengetap bibirnya. Beraninya wanita ini. Tapi, Adrian harus sedikit meredam kesalnya karena bi Inah sedang berada di dapur sekarang, di pantri entah tengah ngapain."Ya, aku bicara sama kamu lah, istri aku kan kamu, yang artinya kamu sekarang adalah mama sambung dari anak aku." Adrian menjelaskan dengan banyak menahan sabar.Tapi, tidak dengan Elang, dia begitu frontal menyatakan ketidaksukaan pada Naomi."Ngapa
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin