"Ganti gaun kamu! Kita pulang ke rumah. Malam pertamanya di rumah aja," ucap Adrian dengan tersenyum miring tepat di daun telinga Naomi, mencipta rasa geli hingga meremang bulu tengkuk.
Njirrr.
Mati-matian Naomi pikir Adrian bakal menurunkan resleting gaun pengantinnya lalu mereka akan melakukan yang dibilang suaminya itu tadi, —kegiatan pengantin baru saat malam pertama.
Mengerjap matanya, Naomi berusaha menetralisir debar di dadanya, jangan sampai kedengaran sama Adrian. Entahlah, walau ada sedikit rasa syukur karena suaminya itu menunda meminta jatah, tapi ada juga sepercik api kekesalan.
Hei, Naomi, apa yang kamu harapkan sih? Malam pertama? Memangnya kamu sudah rela milikmu diambil sama suami menyebalkan itu?
"T—tapi, aku mau mandi dulu." Naomi menunjuk badannya yang lengket dan bau. Bukan hanya itu, berdekatan dengan Adrian dalam waktu beberapa detik saja rupanya bikin gerah alias panas dingin. Harus segera disirami sekolam air biar adem.
"Nggak perlu mandi." Adrian menjawab santai, tapi respon Naomi sudah kayak orang habis makan mie goreng pedas level 5.
Apaan sih? Naomi membelalakkan matanya. Nggak perlu mandi gimana maksudnya? Jadi biarkan saja badan ini lengket bau setelah seharian berjibaku dengan prosesi akad nikah lalu resepsi serta menyalami para tamu undangan? Begitu?
"Nggak ah. Aku mau mandi dulu. Gerah begini kok." Naomi kekeh dengan keputusannya, lalu dengan gerakan cepat membawa langkahnya menuju kamar mandi. Sebelum suaminya menghadang.
"Mandinya bisa ntar di rumah aja. Cepat ganti, atau mau aku yang gantikan?"
"A—apa?" Naomi terperangah, meski kegugupan menyelimutinya. Tentu dia tak ingin Adrian membantu menurunkan resleting gaunnya, apalagi sampai melihat bagian penting dari tubuhnya yang berharga.
Tidak!
"Iya... iya. Aku ganti baju, tapi Mas Adrian Sayang, bisa tunggu di luar kamar dulu?" Naomi meniru ucapan suaminya memanggil Mas Adrian Sayang dengan gaya sok kecentilan.
Uek.
"Kenapa harus keluar?"
"Ya, kan kata kamu, aku harus ganti baju." Pandangan Naomi menyorot ke badannya lalu beralih ke Adrian dengan muka tidak senang, seolah menyiratkan pesan kalau dia tak ingin dilihat, lebih tepatnya malu kalau dilihat.
"Aku suami kamu sekarang."
"Tetap saja, kita baru menikah beberapa jam lalu, aku masih belum terbiasa."
"Baiklah." Meski mencebik bibirnya, Adrian mau juga disuruh keluar oleh Naomi. Tidak apa-apa. Ini baru permulaan, Ad. Tidak perlu terlalu mengekang apalagi memaksanya. Adrian meyakinkan diri dalam hati. Toh, wanita itu telah jadi miliknya dan berjanji akan menjadi istri sesungguhnya.
Nanti malam di rumah. Ck!
Adrian berdecak sendiri hanya dengan membayangkan kegiatan pengantin baru saat malam pertama. Apa segitunya dia kurang pelepasan seperti ejekan Marvin kemarin? Apa benar miliknya sudah berkarat bahkan busuk? Cih.
Adrian sampai melupakan niat awalnya mencari istri baru.
***
Selesai berganti pakaian, ya meski agak ribet harus melepas gaun pengantin itu sendirian, Naomi beranjak keluar dari kamar hotel mengenakan dress sederhana dipadu dengan rok berbahan senada plus satu tas jinjing di tangannya.
Baru satu langkah keluar dari pintu, Naomi dikagetkan dengan kehadiran seorang pria yang memakai seragam petugas hotel.
Bukan Adrian. Ke mana suaminya itu?
"Ayo Nyonya, suami anda sudah menunggu di mobil." Petugas hotel tersebut berujar dengan sopan seraya mengulurkan tangan untuk mengambil dan bantu membawakan barang-barang Naomi.
Walau enggan, Naomi membiarkan barangnya diambil alih. Setelah menuruni lantai hotel dengan lift, Naomi berjalan perlahan mengekori pria petugas hotel yang kelihatan sebaya dengannya.
Saat keluar dari lift dan menuju lobi, Naomi harus membiarkan banyak pasang mata melirik padanya, dengan pandangan yang, entahlah, ada semacam rasa takjub, ada juga pandangan iri. Agaknya orang-orang itu tahu, kalau Naomi adalah istri baru dari seorang Adrian. Ah, mungkin juga mereka iri, seorang gadis biasa sepertinya bisa menjadi istri Adrian yang kaya raya itu? Iya, kan? Tapi, apa istimewanya menjadi istri Adrian?
Langkah Naomi sampai di pelataran hotel, di mana sebuah mobil sedan hitam mengkilap tanpa embel-embel bunga seperti mobil pengantin pada umumnya, berada.
Di dalamnya, Adrian tampak duduk di belakang kemudi. Tidak ada sopir pribadi. Pria yang juga sudah mengganti pakaian dengan kemeja biasa itu sama sekali tak menyambut apalagi menoleh padanya. Serius sekali. Ck!
"Silakan masuk Nyonya." Malah petugas hotel itu yang membukakan pintu untuk Naomi. Apa ini istimewanya jadi istri Adrian?
"Terima kasih ya." Seulas senyum manis agaknya wajar sebagai hadiah karena petugas pria itu melayaninya dengan baik. Ganteng pula.
Naomi pun masuk di kursi belakang karena petugas hotel membukakan pintunya bagian itu. Sementara Adrian duduk di depan sendirian. Duduk beberapa menit, mobil tidak juga bergerak. Tampak Adrian meremas stir. Naomi yang sadar dengan kondisi ini bertanya, dengan maksud mengejek.
"Kenapa belum jalan juga? Katanya mau pulang." Susah payah Naomi menahan ketawanya.
"Kamu pikir aku sopir?"
"Ya terus, apa namanya kalau duduk di belakang kemudi? Lagipula nggak ada orang lain di sini. Aku juga nggak bisa nyetir."
"Pindah duduk di depan!" perintah Adrian.
Cekikikan kecil akhirnya lolos dari mulut Naomi. Lucu juga, seorang Adrian yang pertama dilihatnya keras tegas plus bermuka garang, rupanya bisa terkena karma hingga berada dalam kondisi konyol seperti saat ini. Tidak ada sopir pribadi, lalu istri yang baru dinikahinya malah duduk santai di bangku belakang membiarkan dia sendirian di depan bertugas sebagai sopir.
Njirrr.
Mendapati dirinya ditertawai oleh Naomi, Adrian merasa panas pada telinga dan ubunnya.
"Pindah duduk di depan atau kamu setuju kita akan melakukan malam pertama di dalam mobil?!" Perintah Adrian yang terdengar seperti ancaman di telinga Naomi.
Seketika itu juga, Naomi menyeruak maju di antara kursi mobil dan duduk di sebelah Adrian. Untung pula punya badan mungil bisa nyempil di mana-mana tempat yang sempit. Dasar Adrian! Kelamaan duda emang begini ya? Masa malam pertama di mobil? Sudah nggak waras?!
Adrian pula sedikit kaget melihat istrinya itu tiba-tiba sudah duduk manis di kursi samping, sebelum akhirnya tersenyum miring sembari mulai menjalankan mobil meninggalkan area hotel.
Bisa juga dia kayak gitu. Kirain polos-polos aja anaknya.
Selama hampir setengah jam perjalanan, akhirnya mobil yang dikendarai Adrian tiba di rumah yang oleh Naomi lebih mirip istana. Ini kedua kalinya ia datang ke istana Adrian, setelah yang pertama kali kemarin, saat dia meminta tolong Adrian untuk membiayai pengobatan dan operasi sang ayah. Saat dia berikrar di depan pria itu akan melakukan apapun demi kesembuhan ayah, termasuk bersedia menjadi istri dari seorang Adrian.
Naomi masih saja memandang takjub rumah yang memiliki banyak jendela kaca di setiap ruangan. Entah di kamar sebelah mana dia akan tinggal nanti. Satu kamar atau pisah kamar dengan Adrian? Akankah nasibnya serupa putri Rapunzel dalam Beauty and The Beast, yang dikurung oleh penyihir jahat yang dalam hal ini Adrian Kelana?
"Cepat masuk. Di luar dingin." Perintah Adrian lagi karena dilihatnya Naomi masih betah berdiri mematut visual istana yang akan dia tinggali, malam hari begini dengan lampu kristal mewah di setiap sudut rumah, sangat indah.
Bahkan sampai langkah kakinya tiba di lantai dua rumah itu, Naomi masih seperti berada dalam mimpi, antara takjub dan tak menyangka. Tapi, rasa takjubnya itu harus berganti menjadi keterkejutan sampai jantung mau copot dari kedudukannya, darah berdesir hebat, karena Adrian tiba-tiba saja menarik tubuhnya masuk ke salah satu kamar.
"K—kamu mau ngapain, Mas?" tanya Naomi dengan tenggorokan nyaris tercekat.
***
"K—kamu mau ngapain, Mas?"Pertanyaan Naomi dibalas Adrian dengan pagutan kasar pada bibirnya. Adrian sama sekali tak memberinya kesempatan untuk melihat kamar, atau menarik nafas lega karena memiliki ruang kamar yang besar mewah. Pria itu malah memberondongnya dengan ciuman bertubi-tubi.Butuh waktu beberapa detik hingga Naomi sadar kalau Adrian sedang menciumnya. Bola matanya sontak membelalak dengan nafas yang ngos-ngosan.Astaga!Ini pertama kalinya bagi Naomi. Bibir polosnya disentuh oleh pria. Bukan cuma sentuhan biasa, tapi pagutan kasar, lumatan, sesapan layaknya gula yang diserbu oleh ribuan semut. Rasanya bibir tipis Naomi akan bengkak sekejap lagi. Mana asupan udara tinggal sedikit di paru-parunya."Humfff—" Naomi mendorong dada bidang Adrian agar menjauh dan melepas pagutannya, jika tidak ingin ia mati kehabisan nafas. Tapi, semua itu sia-sia karena suamin
"Heuh! Bosan juga ya di kamar terus."Naomi yang masih bergumul di kasur, mengeluh seraya mengedarkan pandangan berkeliling ruang kamar yang luas dengan nuansa putih susu. Ini kamar Adrian, yang mungkin akan jadi kamarnya juga.Meski ruangannya luas, kamar Adrian tertata rapi dan bersih. Ada dua lemari pakaian besar di sudut kamar, lemari sepatu dan aksesoris penunjang penampilan lainnya. Kamar mandinya juga luas dan ada bath up-nya. Yang paling Naomi suka ialah adalah jendela kaca besar yang menghadap langsung ke halaman rumah, di sebelahnya ada pintu menuju balkon. Naomi yakin, dia akan sering menghabiskan waktu di balkon selama Adrian tidak di rumah.Selain itu, ada juga foto Adrian berukuran besar terpajang di dinding di atas ranjang tidur. Foto Adrian beberapa tahun lalu, saat dia masih muda dan wajahnya sedikit lebih tirus. Memiliki mata yang tajam dengan bulu mata lentik, Adrian begitu mempesona. Tak bisa dipungki
Jadi, wanita ini istri baru papa? Kenapa masih muda sekali? Cantik sih, tapi ahh, gue tetap tidak setuju. Suara hati Elang ketika bertatapan langsung dengan istri baru papanya. Pertama lihat tadi, Elang juga kaget plus heran. Wanita mana pula yang dibawa papanya ke rumah. Sempat terbersit kemungkinan papanya juga punya anak sambung seorang wanita yang seumuran dengannya. Tapi begitu melihat cara berjalan si wanita, Elang langsung nangkap, kalau yang berbadan kurus di hadapannya ini ibu sambungnya. Lihat apa itu? Dia bawa remote tv buat nimpukin gue karena dikira maling? Enak aja. Tck! Tanpa mempedulikan ocehan si mama sambung alias Naomi, Elang berlalu membawa langkahnya menuju kamar, tapi lagi-lagi wanita itu meneriakinya. Mana suaranya melengking pula, nggak sepadan sama ukuran badannya. Tck! kalau dengar dia teriak ngoceh-ngoceh tiap hari bisa pecah kuping gue.
Tin... Tiiin...Dengan tidak sabaran, Adrian membunyikan klakson mobil di depan pagar rumahnya. Biarlah Mang Diman akan terkejut sampai terlatah-latah di pos jaga, yang penting pintu segera dibuka.Tidak. Adrian ingin cepat pulang bukan karena tak sabar hendak mengulang yang tadi malam, walau sebenarnya dia terus terbayang-bayang dengan tubuh polos Naomi. Adrian pulang karena putranya sudah pulang ke rumah. Tristan tadi melapor padanya.Adrian, walau bagaimanapun dia harus mengenalkan Elang secara formal pada Naomi. Bukankah yang Naomi tahu dia seorang duda dengan anak satu? Jadi Naomi harus tahu kalau Elang, remaja pria itu adalah putranya.Tapi, mengingat Elang tidak menyetujui pernikahannya, Adrian khawatir Elang akan bersikap tidak sopan dengan Naomi. Walaupun mereka menikah tidak atas dasar cinta, melainkan Adrian tidak ingin terus-terusan diperolok karena kelamaan menduda, tapi tida
"Kamu lagi ngomong sama aku ya, Mas?"Sengaja, Naomi cuek pada Adrian yang tengah mengenalkan Elang padanya. Ia kesal tingkat maha dewa sama suaminya, kekesalan yang berlapis-lapis.Lagipula, tidak perlu dikenalkan, ia juga sudah tahu kok dari bi Inah. Cuma masalahnya, kenapa bisa Adrian punya anak yang umurnya belasan tahun, nyaris dewasa.Apa Adrian menikah muda? Atau...?Dijawab dengan cuek oleh Naomi, Adrian sontak mengetap bibirnya. Beraninya wanita ini. Tapi, Adrian harus sedikit meredam kesalnya karena bi Inah sedang berada di dapur sekarang, di pantri entah tengah ngapain."Ya, aku bicara sama kamu lah, istri aku kan kamu, yang artinya kamu sekarang adalah mama sambung dari anak aku." Adrian menjelaskan dengan banyak menahan sabar.Tapi, tidak dengan Elang, dia begitu frontal menyatakan ketidaksukaan pada Naomi."Ngapa
Adrian ini sama sekali bukan tipe yang peka apalagi romantis kayaknya. Pantas saja istrinya dulu mencari pria lain untuk minta belaian kehangatan.Masa Naomi jalan kaki sendiri sih dari dapur ke kamar, bukannya dibantuin. Kan Adrian tau Naomi tengah kesusahan berjalan. Tadi pagi saja, perintahkan bi Inah bawa sarapan ke kamar, sok perhatian, tapi sekarang dianya malah tidak perhatian.Digendong atau paling tidak dipimpin berjalan ke kamar, Naomi pasti berpikir sekali lagi untuk menghapus sedikit perasaan gondoknya.Ngeselin.Naomi duduk di kepala ranjang dengan kedua tangan melipat di dada membuat tonjolan kecil dadanya mencuat.Sesuai rencana, ia ingin terus merajuk, sampai Adrian menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Walaupun yah, belum tentu dia akan dapat kata maaf dari pria itu.Palingan juga 'sorry' yang terdengar
Adrian sarapan pagi seorang diri. Tanpa kehadiran Naomi, juga Elang. Hanya ditemani bi Inah yang berlalu lalang di ruang dapur.Roti tawar dan segelas besar susu panas adalah menu sarapan rutinnya. Namun, Adrian tidak sepenuhnya menikmati sarapan tersebut, asal masuk ke perut saja. Pasalnya, kepalanya dipenuhi dengan kejadian tadi malam setelah Naomi memutuskan untuk tidak tidur di kamar bersamanya."Mau tidur lah, Mas. Tapi tidak di kamar ini, tidak dengan kamu. Aku tidur sendirian saja."Dia marah sebegitunya karena malam pertama? Bukankah lumrah, wanita yang masih segel merasakan kesakitan itu? Kenapa aku harus minta maaf? Lagipula, dia terlihat menikmati permainanku kok.Memang begitu tugas seorang istri juga, kan?Adrian memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut, seraya memandang lurus punggung Naomi yang berjalan menjauhinya.
"Halo, Des. Kamu lagi apa? Aku kangen banget tau." Mata Naomi seketika berbinar begitu menangkap nama Desy di layar ponselnya. Rupanya benda pipih miliknya itu tadi menyempil di bawah bantal kepalanya. Ia berbicara dengan bersemangat seolah Desy bisa melihat wajahnya dari seberang sana. Padahal bukan video call. "Aku juga kangen dong. Baru beberapa hari aja, rasanya udah kayak sebulan nggak bertemu." Desy sama bahagianya, terdengar jelas dari suaranya yang ceria. "Jadi, kapan nih ada rencana honeymoon? Ajak-ajak aku dong," sambung Desy lagi. Desahan berat lolos dari bibir tipis Naomi. Apa-apaan sih Desy? Katanya kangen, bukannya bertanya kabar atau ngajak bertemu, malah bertanya soal honeymoon. Naomi yang menikah saja sama sekali tak kepikiran soal berbulan madu. Adrian juga sepertinya begitu. Tidak memikirkan berbulan madu karena banyak kerjaan