Ingatan Deryl terlempar ke masa di mana Klara bertamu ke rumah. Ia mengingat begitu jelas kalau kekasih yang dicintainya itu malah memperlakukan wanita pemilik surganya tak begitu sopan. Ya, Klara tanpa sungkan berani menyuruh-nyuruh Asih. Deryl mengetahuinya ketika ia meninggalkan mereka sebentar, lalu kembali dan mendengar kalimat-kalimat yang kurang enak didengar yang dikatakan oleh Klara.
“De! Ngapain kamu berdiri di situ? Mau ikut salat?” tanya Asih ketika melihat anak lelakinya mematung di dekat pintu.
Deryl tersentak. Ia melamun hingga tak sadar kalau aktivitas dua orang yang diintip telah usai. Jadilah, ia tertangkap basah. Malu, tentu saja. Namun, ia tak akan memerlihatkannya dengan jelas.
“Mana ada! Aku Cuma lewat kok!”
Afsana dan Asih tersenyum mengetahui Deryl berusaha untuk berbohong.
“Lewat, apa lewat? Aku pikir, sejak tadi, kamu berdiri sambil mengintip ke sini kok,” ujar Afsana mulai mencibir. “Iya kan, Bu. Ibu lihat kalau Mas De berdiri lama di sana. Mana ada lewat begitu.” Afsana mengutarakannya kepada ibu mertuanya seraya melebarkan senyuman.
“Aku bilang lewat, ya, lewat! Kok ngeyel!”
Deryl menjawab ketus. Lantas, ia melangkahkan kaki. Dua orang yang sedang melipat mukena hanya tersenyum.
“Bu, ngapain kamu di sini? Bapak cari di dapur nggak ada. Bapak dengar ada suara Deryl, jadi Bapak ke sini. Ternyata, dia lagi ngomong sama kamu. Kenapa kamu malah ada di sini?”
Pertanyaan itu terlontar dari seorang lelaki yang usianya tak muda lagi. Selang beberapa menit Deryl pergi, Haribowo menggantikan anaknya berdiri di ambang pintu.
Afsana menatap Asih. Ia takut kalau dimarahi karena sudah menyita waktu ibu mertuanya akibat mengerjakan salat. Asih malah tersenyum tipis mengisyaratkan kalau semua akan baik-baik saja.
Mukena yang telah rapi, diletakkan di atas kasur. Asih berniat menggunakannya lagi kalau waktu salat nanti datang.
“Ibu baru salat, Pak. Maaf ya, kalau Ibu nggak ada di dapur. Salatnya sebentar kok. Ini agak lama karena Ibu takut salah bacaannya. Jadi, Afsana yang mengajari Ibu dulu. Kalau Ibu sudah terbiasa, paling juga lima menitan sudah selesai kok.”
Asih menggandeng Afsana dan berjalan mendekati Haribowo.
“Salat? Kamu salat?” tanya Haribowo seraya mengerutkan kening.
“Iya, Pak. Nggak lama kok. Ibu malu sama Afsana yang rajin salat, Pak. Katanya, kita kan orang Islam. Kenapa nggak mengerjakan kewajiban?”
Haribowo malah mendesah kasar. Wajahnya seakan meremehkan ucapan yang keluar dari lisan istrinya.
“Yang penting, jangan mengganggu aktivitasmu, Bu. Bapak kurang suka kalau makan bukan masakanmu.”
“Iya, ini mau ke dapur kok. Yuk, Nduk,” ajak Asih pada Afsana.
Pak Haribowo nggak marah, tapi wajahnya bisa kubaca kalau dia nggak suka. Ibu kan, mau salat mungkin gara-gara aku. Apa Pak Haribowo kesal sama aku, ya? Tapi, salat kan, memang kewajiban. Bodo amat, deh. Mau nggak suka sama aku atau apa, kan, dia sendiri yang memilihku dijadikan menantunya gara-gara perjanjian konyol itu. Harus menerima risikonya, dong. Kalau aku disuruh untuk menurut aturannya yang nggak salat. Aku nggak akan mau. Meski dia lebih tua, tetap saja, dia makhluk sama sepertiku. Aku cukup menghormatinya, tanpa menggadaikan prinsip yang kupunya.
Sambil berjalan digandeng lengannya oleh Asih, Afsana memikirkan hal terburuk yang mungkin akan terjadi. Namun, wanita itu begitu teguh merengkuh prinsipnya selagi itu kebenaran.
***
“Awas saja kalau Deryl sampai membohongiku. Jangan sampai dia berpaling dariku. Pokoknya jangan sampai dia jatuh cinta sama wanita sialan itu!”
Setelah selesai menelepon Deryl, gemuruh di dalam dada teramat terasa. Wajah yang memang cantik itu ditekuk. Klara masih rebahan menatap langit-langit dengan prasangka-prasangka buruk yang mendatangi pikiran dan benaknya.
Meski hubungan percintaannya dengan Deryl sedang tidak baik-baik saja sebab ada Afsana yang hadir di antara mereka akibat perjodohan yang terjadi, tidak menyurutkan rasa cinta yang telah bergelora.
Klara tidak mau menyia-nyiakan Deryl yang merupakn lelaki setia. Di matanya, lelaki macam Deryl sudah langka. Deryl sangat menjaga diri dari wanita lain dan enggan menyentuh lawan jenisnya meski telah berhubungan lama sebagai pacar. Kata Deryl, ia tak mau menyakiti wanita apalagi sampai menodai. Itu karena, wanita di mata Deryl seperti ibunya yang patut dihormati dan dijaga sepenuh hati.
“Pokoknya, Deryl harus menjadi milikku. Nggak boleh dimiliki siapa pun. Kalau sampai wanita jalang itu merebutnya dariku, aku nggak bakal diam saja. Awas saja!”
Di bayangannya, tampak jelas wajah ayu Afsana yang dirias saat dipajang di pelaminan. Senyuman Afsana juga terekam jelas di ingatan Klara. Kemarahannya makin bergejolak. Lelaki yang dicintainya harus serumah bahkan sialnya, akan sekamar dengan orang itu.
“Bagaimana kalau Deryl malah jatuh cinta karena sering melihat wanita itu? Nggak! Pokoknya, nggak boleh! Deryl milikku seorang!”
Karena tidak ada solusi yang didapat, hanya amarah yang terus memenuhi ruangan di dalam dada. Klara mengambil bantal. Lalu, menutupkannya ke wajah. Ia menjerit dengan wajah yang tenggelam oleh benda empuk itu. Semua dilakukan dengan harapan rasa yang menyesakkan dada bisa sedikit terkikis.
***
“Nduk, jangan di rumah terus. Sana, jalan-jalan sama Deryl. Lihat tambak atau ke mana. Mau belanja juga boleh. Mumpung Deryl belum kerja. Katanya, Deryl kan, disuruh kerja sama Bapak setelah dia menikah.”
“Mas Deryl yang nggak mau, Bu.”
Afsana sedang sibuk membersihkan meja makan sisa sarapan tadi.
“Kamu ini, biarkan saja. Nanti juga ada Mbak yang bakal membersihkan piring kotornya. Nanti Ibu ngomong sama Deryl. Sebelum menikah sama kamu saja, dia suka naik motor nggak jelas sama teman-temannya. Ini, sudah punya istri malah nggak diajak jalan-jalan. Nanti, Ibu yang akan ngomong sama dia.”
“Afsa hanya membersihkannya. Nanti, biar Mbak yang mencucinya, Bu.”
Afsana tidak menanggapi perkataan Asih mengenai kebiasaan Deryl. Ia sudah menduga demikian, karena lelaki itu memang memiliki motor gede. Tidak mungkin kalau hanya dijadikan pajangan. Pasti, motor itu telah menjadi saksi bisu bagaimana sikap brutal yang dilakukan oleh Deryl.
“Deryl dulu punya pacar. Nggak tahu sekarang, hubungan mereka seperti apa. Deryl sih, anaknya sangat menjaga perasaan perempuan, maksudnya nggak pernah berniat merenggut kehormatan seorang perempuan sebelum adanya pernikahan. Katanya, ingat sama Ibu kalau mau jahat sama perempuan. Meski Deryl penampilannya begitu dan nggak pernah salat, dia bisa membatasi diri dengan lawan jenisnya, Nduk.”
Penjelasan yang dilontarkan oleh Asih, membuat Afsana agak ragu. Bisa saja, Deryl hanya membual dan mengatakan semuanya di depan ibunya agar dikira bisa menjaga pergaulan. Nyatanya, tadi pagi, Afsana mendengar kalau Deryl minta peluk. Tidak mungkin hanya omongan biasa. Kalau bertemu pasti akan melakukan semua itu.
Apa Ibu nggak tahu, kalau Mas De masih berpacaran sama Mbak Klara? Atau aku singgung tipis-tipis? Lagian, Mas De kan memang mau menikahi Mbak Klara.
“Kalau Mas De masih pacaran sama pacarnya gimana, Bu?”
Afsana mendekati Asih dan duduk di sebelahnya.
“Harusnya, Deryl tahu diri. Katanya, nggak mau menyakiti perasaan perempuan, masa dia mau melukai perasaanmu, Nduk.”
“Kita kan, menikah karena dijodohkan, Bu. Mana ada kata cinta.”
Seketika, Asih menunduk lesu. Ia menghela napas pelan. Wanita itu sudah terlanjur cocok dengan menantunya. Sulit kalau mendengar kalimat itu. Apalagi, Afsana tampaknya baik-baik saja di rumahnya. Tapi ternyata, memang tak ada kata cinta yang bisa mempertahankan keberadaan menantunya itu lebih lama.
“Padahal, Ibu berharap kalau kalian akan saling jatuh cinta setelah tinggal bersama dalam waktu yang lama.”
“Ibu, kenapa Ibu ngomong begitu? Aku sama Afsa mana mungkin akan saling cinta. Itu nggak akan pernah terjadi. Aku hanya mencintai Klara. Aku akan menjadikan Klara sebagai menantu Ibu menggantikan Afsa.”
Sejak tadi, Deryl bersembunyi di balik tirai dan mengintip dengan hati-hati. Ia bergumam sendiri ketika mengetahui bagaimana ekspresi Asih dan tanggapan dari wanita yang paling disayanginya itu saat berbincang dengan Afsana.
Afsana tersenyum dengan kedua ujung bibir terasa kaku. Ia bingung, bagaimana harus menanggapi perkataan ibu mertuanya itu?Walau Afsana tidak setuju dengan perjodohan yang terjadi, wanita itu tetap berusaha menghormati para orang tua yang telah membuatnya seperti ini. Ia telah diajarkan rasa sopan sejak kecil. Jadi, sebisa mungkin, ia menjalankan ajaran itu. Kebaikan adalah segalanya. Terutama pada orang tua.“Apa kamu sudah berpikir untuk bercerai dari Deryl, Nduk?” tanya Asih yang membuat Afsana terperajat.Di sisi lain, Deryl sangat terkejut pula. Ia teringat lagi dengan percakapan tadi malam. Afsana yang telah berencana akan menggugat cerai setelah enam bulan pernikahan karena Deryl tak menyentuhnya dan tak memberi nafkah batin. Kalau istrinya itu sampai mengatakan rencana itu sekarang, Deryl benar-benar tak berkutik. Ia harus menghentikannya.Deryl keluar dari persembunyiannya dengan sedikit bersandiwara. Seolah tak mengetahui kalau ada dua orang wanita yang sedang berbicara di s
“De! Kamu lihat apa, sih!” bentak Klara yang mengetahui sorot mata pacarnya tak fokus pada dirinya.Ketika Klara ingin menoleh ke belakang untuk memastikan ada apa di sana hingga membuat Deryl melebarkan mata, lelaki di hadapannya kembali tersadar dan segera meraih tangan mulus milik Klara. Tentu, Deryl tak ingin kalau Klara tahu ada Afsana juga di tempat itu.“Nggak, Sayang. Bukan apa-apa. Tadi aku hanya melihat orang yang agak aneh saja, tapi dia sudah pergi. Kamu mencarinya pun, dia sudah nggak ada.”Ya, hanya alasan agar Klara tak menoleh ke belakang. Meski sebenarnya, wajah Afsana tak akan kelihatan karena posisinya memunggungi tempat duduk mereka. Hanya berhati-hati demi kedamaian dunia.Wanita berparas cantik yang memakai crop top berwarna putih dipadukan dengan hot pants warna senada membuat Klara tampak begitu mempesona. Tentu, tampak begitu indah di mata para kaum lelaki.Berbanding terbalik dengan Afsana yang serba tertutup. Pakaiannya saja over size. Celana yang dipakai pu
Perjumpaan singkat dan tanpa disengaja itu telah membuat Afsana melamun. Arsakha tak terlihat lagi dengan meninggalkan pesan yang masih tak dipercaya oleh gadis berkerudung hitam yang masih duduk sendiri itu.“Benarkah perkataannya tadi? Dia akan menunggu aku bercerai dari Mas Deryl? Apa semua bukan omong kosong saja? Tapi, aku merasa bahagia ketika mendengarnya berbicara seperti itu.”Senyum perlahan melebar. Namun, tetap saja tak bisa merasa lega. Masa depan tentu belum ada yang tahu. Arsakha memang mengatakan janji itu, tetapi sampai saat itu tiba, mereka tidak akan bisa menerka secara pasti. Kalau sampai terlalu berharap, tetapi tak sesuai, pasti akan merasa kekecewaan. Bahkan mungkin teramat sangat.Helaan napas kasar menggema bersama kesendiriannya. Meski tempat makan itu banyak pengunjungnya, tetapi bagi Afsana, dia hanya seorang diri. Suami yang datang bersamnya, sama sekali tak ada di ingatan. Justru, lelaki yang memakai sarung dan peci tadi yang memenuhi ruangan yang ada di
“Duduk dulu. Kita buat perjanjiannya dulu. Aku yang akan menulisnya di HP. Apa poin-poin yang akan ditulis di sana, kita diskusikan bersama. Setelah itu, kita cetak dan mendatanganinya. Kalau perlu, kita beri materai biar makin jelas.”“Pasang materainya dulu, baru ditandatangani. Harus ada sebagian meterai yang terkena tanda tangan.”“Iya! Intinya, kita buat isinya dulu di sini.”Afsana yang sudah berdiri dan mengenakan tas untuk pergi dari tampat itu, kembali mengurungkan niatnya. Ia duduk di tempat semula.Deryl mulai menulis pembukaan perjanjian sebelum pada poin-poin yang akan disepakati bersama. Ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar satu sama lain.Mereka begitu serius dalam menentukan isi perjanjian tersebut. Satu poin pun tak boleh terlewati. Namun, di saat yang sama, penciuman Deryl malah salah fokus pada aroma yang membuat hatinya mendesir. Aroma harum dan enak dihirup lama-lama menguar dari seseorang yang sedang bersamanya. Padahal, parfum yang Klara pakai juga leb
“Astagfirullah!” pekik Afsana seraya menoleh ke sumber suara.Suara yang cukup nyaring itu tentu membuat jantung berdebar lebih cepat. Meski begitu, Afsana merasa penasaran dan ingin tahu, apa penyebab suara itu terdengar di telinga.Pelan-pelan, wanita itu melangkahkan kaki. Ia berusaha mengintip agar bisa segera mengetahui penyebab benda itu terjatuh. Bisa saja karena ada kucing yang masuk hingga menjatuhkan benda ke lantai.Kening mengernyit kala sampai di tempat yang terdengar sebagai sumber suara. Di sana, memang ada beberapa benda yang tergeletak tak beraturan di lantai. Tampaknya, benda-benda itu yang tadi mengeluarkan suara. Namun, Afsana tidak melihat apa pun di sana.Afsana kembali mengulangi pencariannya terhadap sesuatu yang bisa mengacaukan barang-barang yang tergeletak di lantai. Namun, sekali lagi, ia tak menemukan apa-apa.“Masa sih, jatuh sendiri?”Karena tidak menemukan target yang bisa memecah rasa penasarannya, timbul pikiran buruk hingga membuat bulu kuduk berdiri
“Ada apa, hm? Kamu takut petir?” tanya Deryl meski awalnya ragu.Afsana hanya menggeleng. Mulutnya masih komat-kamit melafadkan kalimat istigfar. Hanya terdengar gumaman yang tak jelas karena sebagian wajahnya tertutup selimut.“Terus? Kenapa kamu begitu? Ngomong saja kalau takut,” ucap Deryl mulai bernada ketus.Lelaki yang bersusah-payah menghilangkan egonya demi menayakan keadaan istrinya, malah dibalas hanya dengan gelengan kepala. Namun, mulut masih tetap bergumam seperti orang yang sedang menahan rasa takut.“Aku nggak takut sama petir, tapi ….”Afsana tak melanjutkan perkataannya karena di dalam pikirannya terbersit tentang kemungkinan yang akan terjadi. Deryl yang mungkin tak percaya malah hanya akan membuat kesal.“Tapi apa? Kalau ngomong yang jelas.”Dua orang yang awalnya saling memunggungi, kini tanpa disadari, posisi mereka malah saling berhadapan. Deryl mulai kesal. Namun, ia melihat wajah istrinya yang sebagian tertutup selimut dengan begitu serius.“Aku nggak mau cerit
“Oh, Ibu,” ucap Deryl terperanjat. Jemarinya tanpa sadar mematikan panggilan video.“Kamu masih berhubungan sama dia?” tanya Asih seraya berjalan mendekati anak lelakinya. Lalu, ia duduk di sebelahnya.Senyum terlukis canggung. Ia tahu, perbuatannya tentu tak lazim sebab sekarang dirinya telah memiliki seorang istri.“Masih, Bu. Aku kan, memang sangat mencintainya. Buktinya, sampai saat ini, aku berusaha untuk tetap menjaga kehormatannya karena memang aku hanya ingin menikah sama Klara.”Pada akhirnya, Deryl harus tetap mengatakan apa yang harusnya dikatakan. Meski tak dimungkiri, keberadaan Afsana sedikit membuat sesuatu yang aneh tiba-tiba menyusup ke relung hati terdalam.“Kenyataannya sekarang, kamu kan, sudah menikahi Afsa, De. Apa kamu nggak memikirkan perasaan istrimu kalau kamu masih tetap begini?” Asih mengatakannya dengan lembut, tetapi ada penekanan.“Aku menikah karena dijodohkan sama Bapak, Bu. Nggak ada rasa cinta di antara kami berdua. Bukankah Afsa juga sependapat denga
Deryl berusaha keras menepis perasaan yang seolah menyetujui perkataan Asih.Klara juga hampir sempurna, kok.Sambil melangkah pergi, ia berbisik di dalam hati mengenai pacarnya agar perkataan Asih tak semakin terpatri di sana. Meski begitu, lelaki itu malah terngiang dengan sikap Klara tadi dan beberapa waktu silam ketika sedang bersama Asih.“Oh, Ibu memasak ini buat aku?” ucap Klara kala itu sambil mencicipi ikan yang dimasak oleh Asih.“Ambil garam, dong, Bu. Ini kurang asin,” ujar Klara lagi tanpa sungkan.Asih tentu menurutinya.Saat itu, Deryl baru kembali dari ruangan lain, tetapi sengaja bersembunyi ketika mendengar suara Klara. Ia ingin tahu, apa yang akan dilakukan Klara kepada Asih ketika tak ada dirinya. Harapannya tentu, mereka akan cocok dan asyik saat mengobrol. Deryl ingin dua orang yang sama-sama disayangi itu juga saling menyayangi. Ya, seperti ibu dan anak meski tak terikat dengan hubungan darah.“Sekalian tisu, Bu. Masa di meja nggak ada tisu. Kalau tangan kotor, g
“Walau kalian diam, Ibu akan tetap mengurusnya. Tidak ada yang bisa menolak,” tegas Asih meski diakhiri dengan senyuman.“Kalau aku, terserah Afsa saja, Bu,” timpal Deryl.“Nduk, kamu pasti mau, kan?” tanya Asih tatapannya bertemu dengan Afsana di spion.“Kalau kami pergi, Ibu sendirian di rumah,” jawab Afsana sambil nyengir.“Nggak masalah, Nduk. Masih ada mbak-mbak sama pegawai yang lain. Kamu nggak perlu mengkhawatirkannya. Kalian pergi paling lama semingguan. Itu nggak lama, Nduk.”“Tapi, tetap butuh biaya banyak kan, Bu?” Afsana memang merasa tidak enak hati.“Jangan pikirkan itu, Nduk. Setelah kalian pulang bulan madu, Deryl akan bekerja melanjutkan pekerjaan Bapak di tambak. Nantinya akan terkumpul lagi uangnya, Nduk.”Karena tidak ada lagi alasan untuk menolak perintah dari Asih, Afsana mengangguk pelan. Deryl melihatnya. Tentu senyumnya kembali merekah.“Kalau begitu, Afsa mau, Bu.”“Alhamdulillah. Harusnya memang begitu, Nduk. Kamu nggak perlu memusingkan biayanya. Nanti Ibu
Afsana sudah pasti akan mengakhiri pernikahan kami. Dia sudah punya cowok idaman. Dia akan kembali padanya dan menikah. Sedangkan aku, yang mati-matian aku jaga malah berkhianat walau dilakukan demi aku, tapi harusnya bukan begitu caranya.Dalam hati, Deryl berbisik. Tatapannya sendu bergulir tak fokus. Seringnya ke arah bawah, tapi tidak menunduk.Sebelum mulai bicara, Afsana sempat melihat ekspresi yang Deryl gambarkan lewat wajahnya.Apa yang sedang dia pikirkan? “Ayo, Nduk. Bu Asih sama Mas Deryl pasti sudah tidak sabar mendengar keputusanmu,” ujar Aminah membuat Afsana kembali fokus.Afsana kembali mengangguk sambil mengambil napas dalam.“Sebelumnya, terima kasih karena Ibu sama Mas Deryl mau memenuhi kemauanku dan datang ke sini. Untuk waktu yang diberikan kepadaku juga selama tinggal di rumah ini. Aku rasa semua itu cukup untukku berpikir dan harus memberikan keputusan untuk pernikahanku bersama Mas Deryl untuk ke depannya.”Afsana berhenti untuk mengambil napas. Namun, kedua
“Seperti yang kamu lihat sekarang, Af. Alhamdulillah, aku baik walau memang aku jadi sering memikirkanmu,” jawab Deryl yang spontan membuat teman Afsana tidak enak berada di antara mereka.“Af, aku tunggu di motor, ya,” ujarnya berbisik.Afsana ingin mencegah, tetapi tidak mungkin. Hanya bisa melebarkan kedua mata saat temannya perlahan meninggalkannya.“Af, maaf, kamu pasti nggak nyaman bertemu denganku begini.” Perkataan Deryl kembali memfokuskan Afsana.Senyum tersungging untuk sedikit mencairkan suasana.“Takdir yang mempertemukan kita, Mas. Mungkin, agar aku tau kalau kamu sudah benar-benar serius untuk berubah. Kita mungkin perlu bicara, walau nggak lama. Nggak mungkin aku menghindar terus, kan?” ujar Afsana harus menentukan dengan tegas.“Kalau gitu, apa kita bisa cari tempat yang lebih nyaman?”“Boleh, Mas.”Deryl mengitarkan pandangannya. Ia menemukan bangku di taman kecil dan kosong.“Tuh! Di sana, yuk,” ajak Deryl sambil mengacungkan jemarinya.Afsana mengikuti arah telunju
Sudah dua bulan semenjak Deryl mengantarkan Afsana ke rumah orang tuanya, selama itu pula, dua orang itu tidak saling memberi kabar.Jasad Marwan sudah dikembalikan dan dikebumikan dengan benar. Dengan seperti itu pula, Haribowo dan semua yang terlibat sudah jelas dimasukkan ke dalam penjara.“Nduk, sudah dua bulan kamu di sini. Apa kamu belum menentukannya? Kasihan Deryl, pasti sedang menunggu kepastian darimu di sana. Bu Asih kelihatan sayang juga sama kamu kan, Nduk?” tanya Aminah yang duduk di sebelah Afsana.Anak perempuannya itu melihat pergerakan sang ibu. Ia membuang napas perlahan. Tak dimungkiri, Afsana masih bingung mau dibawa ke mana pernikahannya yang baru seumur jagung. Memang benar, ada perjanjian akan bercerai di antara mereka, tetapi Afsana mulai gundah saat mengetahui Deryl bersungguh-sungguh mengubah kepribadiannya.“Tapi memang, sepertinya Deryl tidak pantas dijadikan suami untukmu kan, Nduk? Dia pasti nggak salat atau mengerjakan ibadah yang lain. Walau begitu, ke
“Pak, bagaimana?” tanya Lingga yang bisa ditangkap oleh Deryl.“Mas Lingga, apa kamu juga tahu, hm?” Deryl ingin segera menemukan titik terang sesungguhnya.Mungkin ini waktunya, bagaimanapun perasaan bersalah ini nggak bisa hilang begitu saja. Walau aku sudah coba untuk menebusnya dengan caraku sendiri.Haribowo bergeming. Padahal, Lingga yang ada di sebelahnya tampak gelisah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Deryl terasa menghunjam jantungnya.“Pak, jelaskan kalau memang Bapak tahu,” pinta Asih yang didampingi oleh Afsana. Tenaganya terasa menguap. Butuh orang untuk menjaganya.Embusan kasar dilakukan. Haribowo bersiap mengucapkan kalimat. Ia sudah memutuskan solusi paling tepat. Meski terasa sangat berat.“Aku akan mengakui semuanya,” ujar Haribowo.“Bapak yakin?” tanya Lingga agak kaget.“Iya, Ga. Mungkin inilah saatnya. Bapak merasa bersalah.”Lingga mengangguk pasrah.“Ada apa sebenarnya, Pak?” tanya Asih kini air matanya semakin deras mengalir. Perasaannya tidak karuan. Apakah
“Kamu mau ngapain, sih, De?” tanya Asih sebab setelah Haribowo meninggalkan rumah, anak lelakinya malah sibuk sendiri mempersiapkan keperluan untuk menggali tanah.“Mau gali tanah, Bu.”“Buat apa?” Asih keheranan.“Ada sesuatu yang harus dicaritahu, Bu.” Deryl tidak mengatakan tujuan sesungguhnya karena memang belum jelas hasilnya seperti apa.“Apa memangnya?”Asih makin penasaran, makanya ia ingin segera tahu tujuan itu.“Nanti Ibu akan tahu, Bu. Aku saja penasaran. Sudah tanyanya, Bu. Aku harus segera melakukannya agar rasa penasaran kita menghilang.”Asih menghela napas karena perkataan sang anak belum dipahami. Namun, ia hanya bisa diam dan mengikuti anak lelakinya itu.Sedangkan Afsana, ia juga bingung harus mengatakan kebenarannya atau tidak pada Asih. Dirinya kan tahu semuanya dan yang menjadi alasan Deryl mau menggali tanah itu.Deryl melihat Afsana. Lalu, ia pergi sebentar menemui sang istri.“Kamu pura-pura nggak tahu saja. Biar Ibu lihat sendiri nanti,” bisik Deryl. Lalu, k
Jam dinding terus bergerak jarumnya, nyatanya Afsana tidak semudah itu memajamkan matanya kembali setelah bermimpi buruk.“Kenapa belum tidur?” tanya Deryl saat melihat mata istrinya masih terbuka.“Aku jadi nggak ngantuk, Mas. Kamu tidur aja.”“Kenapa?”“Ya karena kamu pasti ngantuk, kan? Nggak usah nungguin aku tidur, Mas.”“Bukan itu. Kamu belum ngantuk karena takut bermimpi buruk lagi, kan?” tebak Deryl.Lebih tepatnya, Afsana belum bisa tidur karena bimbang akan mengatakan mimpi itu pada Deryl atau disimpan sendiri. Namun, mimpinya tadi seperti sebuah petunjuk. Juga, kejadian-kejadian di luar nalar yang beberapa waktu lalu dialami makin menambah pikiran.“Aku cerita, tapi kamu jangan tersinggung, ya, Mas.” Afsana memberanikan diri.“Cerita soal mimpi burukmu itu? Kenapa harus tersinggung?”“Aku ngomong dulu sebelum cerita, Mas. Soalnya, dalam mimpiku sosok itu ngomongnya agak aneh.”“Kamu cerita sambil tiduran begitu?”Memang benar, Afsana tidak beranjak dari tempat pembaringann
Pertanyaan itu dirasa janggal oleh Deryl. Kening tentu mengernyit.“Biar kamu tenang, Mas De. Aku biasa menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an kalau lagi banyak masalah. Alhamdulillah, hati terasa lebih tenang, Mas De. Mungkin saja, kamu pengen coba, siapa tahu ada perubahan,” ucap Afsana sambil tersenyum. Lalu, ia pergi mengambil kitab suci yang disimpan di lemari.“Ya sudahlah, terserah kamu saja,” jawab Deryl.“Oke.”Afsana kembali duduk. Wudhunya belum batal. Jadi, ia langsung mengambil kitab suci itu dan sekarang membukanya.“Suaraku nggak bagus,” ucap Afsana sebelum memulai melantunkan ayat-ayat suci itu.“Iya. Buruan.”Deryl duduk tak jauh dari Afsana.Afsana mengambil napas. Lalu, ia mulai melafazkan basmallah sebelum membaca ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab suci itu.Ketika mendengar suara istrinya, Deryl agak terkejut. Ia membuka mata lebar-lebar untuk sesaat. Yang dikata tidak merdu, nyatanya tak begitu bagi telinga lelaki itu.Sebagus ini dia ngomongnya nggak merd
Senyum getir menghiasi bibir. Benar memang, Deryl sadar diri bagaimana dirinya saat ini. Sangat berbanding terbalik kalau dibandingkan dengan lelaki yang pernah duduk di hadapan istrinya saat di warung makan.“Iya, aku tahu. Istirahatlah. Aku akan berangkat kerja.”“Iya, maafkan aku karena sudah mengatakan kenyataan pahit yang membuatmu tidak nyaman.”Hanya senyuman. Lalu, Deryl keluar dari kamar.Andai aku mengubah penampilan dan mempelajari ilmu agama dengan benar, apakah dia akan mempertimbangkan hubungan pernikahan yang telah terjalin ini? Tapi, buat apa aku memikirkannya? Memang lebih baik kalau kami bercerai kan?“De, kamu mau kerja?” tanya Asih ketika melihat anak lelakinya pergi ke garasi.“Iya, Bu. Afsa di sini kan, sudah ada Ibu. Aku juga harus serius bekerja biar nggak dimarahi Bapak.”“De, cobalah perbaiki dirimu dan dekati Afsa sungguh-sungguh. Kamu sudah menikah. Fokuslah pada pernikahanmu. Hubungan ini bukan untuk main-main walaupun awalnya karena perjanjian utang. Ibu