“Ada apa, hm? Kamu takut petir?” tanya Deryl meski awalnya ragu.Afsana hanya menggeleng. Mulutnya masih komat-kamit melafadkan kalimat istigfar. Hanya terdengar gumaman yang tak jelas karena sebagian wajahnya tertutup selimut.“Terus? Kenapa kamu begitu? Ngomong saja kalau takut,” ucap Deryl mulai bernada ketus.Lelaki yang bersusah-payah menghilangkan egonya demi menayakan keadaan istrinya, malah dibalas hanya dengan gelengan kepala. Namun, mulut masih tetap bergumam seperti orang yang sedang menahan rasa takut.“Aku nggak takut sama petir, tapi ….”Afsana tak melanjutkan perkataannya karena di dalam pikirannya terbersit tentang kemungkinan yang akan terjadi. Deryl yang mungkin tak percaya malah hanya akan membuat kesal.“Tapi apa? Kalau ngomong yang jelas.”Dua orang yang awalnya saling memunggungi, kini tanpa disadari, posisi mereka malah saling berhadapan. Deryl mulai kesal. Namun, ia melihat wajah istrinya yang sebagian tertutup selimut dengan begitu serius.“Aku nggak mau cerit
“Oh, Ibu,” ucap Deryl terperanjat. Jemarinya tanpa sadar mematikan panggilan video.“Kamu masih berhubungan sama dia?” tanya Asih seraya berjalan mendekati anak lelakinya. Lalu, ia duduk di sebelahnya.Senyum terlukis canggung. Ia tahu, perbuatannya tentu tak lazim sebab sekarang dirinya telah memiliki seorang istri.“Masih, Bu. Aku kan, memang sangat mencintainya. Buktinya, sampai saat ini, aku berusaha untuk tetap menjaga kehormatannya karena memang aku hanya ingin menikah sama Klara.”Pada akhirnya, Deryl harus tetap mengatakan apa yang harusnya dikatakan. Meski tak dimungkiri, keberadaan Afsana sedikit membuat sesuatu yang aneh tiba-tiba menyusup ke relung hati terdalam.“Kenyataannya sekarang, kamu kan, sudah menikahi Afsa, De. Apa kamu nggak memikirkan perasaan istrimu kalau kamu masih tetap begini?” Asih mengatakannya dengan lembut, tetapi ada penekanan.“Aku menikah karena dijodohkan sama Bapak, Bu. Nggak ada rasa cinta di antara kami berdua. Bukankah Afsa juga sependapat denga
Deryl berusaha keras menepis perasaan yang seolah menyetujui perkataan Asih.Klara juga hampir sempurna, kok.Sambil melangkah pergi, ia berbisik di dalam hati mengenai pacarnya agar perkataan Asih tak semakin terpatri di sana. Meski begitu, lelaki itu malah terngiang dengan sikap Klara tadi dan beberapa waktu silam ketika sedang bersama Asih.“Oh, Ibu memasak ini buat aku?” ucap Klara kala itu sambil mencicipi ikan yang dimasak oleh Asih.“Ambil garam, dong, Bu. Ini kurang asin,” ujar Klara lagi tanpa sungkan.Asih tentu menurutinya.Saat itu, Deryl baru kembali dari ruangan lain, tetapi sengaja bersembunyi ketika mendengar suara Klara. Ia ingin tahu, apa yang akan dilakukan Klara kepada Asih ketika tak ada dirinya. Harapannya tentu, mereka akan cocok dan asyik saat mengobrol. Deryl ingin dua orang yang sama-sama disayangi itu juga saling menyayangi. Ya, seperti ibu dan anak meski tak terikat dengan hubungan darah.“Sekalian tisu, Bu. Masa di meja nggak ada tisu. Kalau tangan kotor, g
“Bantu aku. Buat wanita yang ada difoto ini menyesal karena berurusan sama aku. Beri dia pelajaran, tapi jangan terlalu parah.”Pesan dikirim kepada seseorang beserta foto wanita bernama Afsana. Dalam beberapa detik, pesan itu bercentang biru. Sudah dibaca dan orang itu sedang menulis pesan balasan.“Wah, apa ini? Kamu berani menyuruhku tanpa membocorkan bayaran apa yang akan kudapat? Aku nggak tertarik.”Senyuman miring menghiasi bibir. Klara tahu, tetapi sengaja tak memberitahunya secara langsung. Ia ingin mengetahui tanggapannya terlebih dulu.“Apa kamu masih menginginkanku?” balas Klara.“Oh, wow! Apa ini? Kamu frustrasi setelah Deryl menikahi wanita lain? Oh, jangan-jangan, wanita ini istrinya Deryl?”“Aku nggak mau banyak basa-basi. Intinya, kalau kamu berhasil membuat wanita dalam foto itu pergi dari kehidupan Deryl, tanpa luka yang membuat curiga, aku akan memberikanmu satu kali kesempatan untuk tidur bersamaku.”“Wah! Penawaran yang sangat menggiurkan, tapi aku nggak mau ditip
Bismillah, mudah-mudahan daganganku laris.Afsana melajukan motor yang difasilitasi oleh keluarga suaminya. Ia melihat Asih lewat spion. Wajah itu terlihat mencemaskan menantunya.“Ibu sebaik itu, kalau aku nggak sopan sama beliau, jadi ada yang mengganjal di dalam hati. Tapi, aku nggak mau jadi menantunya terus. Aku nggak mau jadi istrinya Mas Deryl yang nggak bisa mendidikku ke agama yang diridai. Melakukan kewajibannya saja nggak pernah. Bagaimana bisa disebut sebagai imam yang baik?”Di perjalanan menuju pasar yang tak memakan banyak waktu, rutukan yang bisa dikatakan sebagai beban hidup kian menumpuk.“Kalau bertobat dan memperbaiki diri, mungkin aku akan mempertimbangkan semuanya. Allah saja Maha Pengampun, selalu memberikan kesempatan untuk bertobat untuk para hamba-Nya, kalau aku malah nggak memberikan kesempatan, siapa aku, coba? Sombong banget. Tapi, Mas Deryl kemungkinan besar nggak bakal bertobat. Dia sangat mencintai Mbak Klara dan nggak mungkin melepasnya begitu saja. Aku
Afsana mendapatkan gambar seseorang yang disinyalir sebagai suaminya. Ia hendak mengejarnya, tetapi langkahnya begitu lebar. Juga, ada banyak orang di jalan yang akan dilaluinya hingga tak bisa mengambil langkah cepat.“Setidaknya, aku punya bukti foto ini. Kalau benar dia Mas Deryl, buat apa dia ada di sini? Bukankah bibirnya masih sakit?”Ponsel kembali disimpan. Ia mengayunkan kaki perlahan menuju ke motor yang ada di parkiran.*** “Nduk, sudah pulang?” tanya Asih ketika tahu menantunya sedang menyimpan motor di garasi.“Alhamdulillah, Bu. Ada yang borong dagangan Afsa. Katanya, buat acara. Afsa jadi pulang cepat begini.”“Oh, syukurlah. Eh, Alhamdulillah maksudnya.”“Ini, motornya Mas Deryl kok, nggak ada, Bu? Bukannya bibirnya masih sakit, ya?” tanya Afsana ketika tidak melihat seonggok motor sport yang harusnya terparkir di garasi.“Ibu nggak tahu, dia mau ke mana. Katanya, mau cari angin. Ibu suruh susul kamu ke pasar malah nggak mau.”Afsana diam. Ia berpikir hingga keningnya
“Oh, kamu, De. Sini, duduk. Gimana? Punya istri, enak kan?” tanya Lingga tanpa memedulikan pertanyaan yang Deryl lontarkan. Senyumnya mengembang begitu lebar. Deryl berdecap. Wajahnya berubah kusut.“Enak itu kalau kayak kamu. Nggak dijodohin. Bapak itu nggak adil,” ketus Deryl.“Sini, duduk,” pinta Lingga lagi.Deryl menuruti meski wajahnya tetap ditekuk.“Aku nggak sembarangan milih calon istri buatmu, De. Sebelum melakukan perjanjian, aku melihat dulu, apakah anaknya pantas bersanding dengamu? Aku pikir, Afsa orangnya alim. Pasti, gampang diatur.”Salah satu ujung bibir diangkat. Deryl mengejek perkataan Haribowo yang salah besar di matanya. Walau tadi, saat di pasar, ia melihat Afsana yang berusaha menjaga diri saat ada lelaki lain yang meminta bersalaman.“Gampang diatur gimana, Pak? Malahan dia yang suka ngatur-ngatur. Buktinya, Ibu mau disuruh salat sama dia.”“Oh, ya? Ibu mau salat?” tanya Lingga cukup terkejut.“Tanya saja sama Bapak.”Haribowo menghela napas.“Iya, aku jadi
Afsana seketika menoleh. Ia melebarkan mata karena kaget. Orang yang tadi agak dipuji ternyata ada di hadapannya. Kalimat yang tadi sudah terlanjur terucap seakan ingin ditarik kembali. Menyesal telah mengatakan hal yang sekarang malah bertolak belakang.Deryl belum seutuhnya masuk. Tangannya pun masih menggenggam hendel pintu. Namun, sorot mata yang terlanjur menagkap keindahan yang tak terduga itu membuat tubuhnya seakan membeku.Desir aneh lagi-lagi menjalar di tubuh. Debaran di dada menghanyutkannya ke dalam lamunan yang tak berujung. Deryl benar-benar terpesona dengan seseorang yang sedang dilihat oleh matanya. Seorang wanita berambut panjang yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk. Leher yang putih mulus itu seakan mempunyai kekuatan magis. Lelaki itu jadi ingin menyentuh dan merasakan kelembutannya.“Uwaahh!” teriak Afsana sambil berusaha menutup rapat-rapat rambutnya dengan handuk.Deryl pun tersadar ketika suara itu membuyarkan lamunannya.“Astaga! Aku lupa!” jawab Dery
“Walau kalian diam, Ibu akan tetap mengurusnya. Tidak ada yang bisa menolak,” tegas Asih meski diakhiri dengan senyuman.“Kalau aku, terserah Afsa saja, Bu,” timpal Deryl.“Nduk, kamu pasti mau, kan?” tanya Asih tatapannya bertemu dengan Afsana di spion.“Kalau kami pergi, Ibu sendirian di rumah,” jawab Afsana sambil nyengir.“Nggak masalah, Nduk. Masih ada mbak-mbak sama pegawai yang lain. Kamu nggak perlu mengkhawatirkannya. Kalian pergi paling lama semingguan. Itu nggak lama, Nduk.”“Tapi, tetap butuh biaya banyak kan, Bu?” Afsana memang merasa tidak enak hati.“Jangan pikirkan itu, Nduk. Setelah kalian pulang bulan madu, Deryl akan bekerja melanjutkan pekerjaan Bapak di tambak. Nantinya akan terkumpul lagi uangnya, Nduk.”Karena tidak ada lagi alasan untuk menolak perintah dari Asih, Afsana mengangguk pelan. Deryl melihatnya. Tentu senyumnya kembali merekah.“Kalau begitu, Afsa mau, Bu.”“Alhamdulillah. Harusnya memang begitu, Nduk. Kamu nggak perlu memusingkan biayanya. Nanti Ibu
Afsana sudah pasti akan mengakhiri pernikahan kami. Dia sudah punya cowok idaman. Dia akan kembali padanya dan menikah. Sedangkan aku, yang mati-matian aku jaga malah berkhianat walau dilakukan demi aku, tapi harusnya bukan begitu caranya.Dalam hati, Deryl berbisik. Tatapannya sendu bergulir tak fokus. Seringnya ke arah bawah, tapi tidak menunduk.Sebelum mulai bicara, Afsana sempat melihat ekspresi yang Deryl gambarkan lewat wajahnya.Apa yang sedang dia pikirkan? “Ayo, Nduk. Bu Asih sama Mas Deryl pasti sudah tidak sabar mendengar keputusanmu,” ujar Aminah membuat Afsana kembali fokus.Afsana kembali mengangguk sambil mengambil napas dalam.“Sebelumnya, terima kasih karena Ibu sama Mas Deryl mau memenuhi kemauanku dan datang ke sini. Untuk waktu yang diberikan kepadaku juga selama tinggal di rumah ini. Aku rasa semua itu cukup untukku berpikir dan harus memberikan keputusan untuk pernikahanku bersama Mas Deryl untuk ke depannya.”Afsana berhenti untuk mengambil napas. Namun, kedua
“Seperti yang kamu lihat sekarang, Af. Alhamdulillah, aku baik walau memang aku jadi sering memikirkanmu,” jawab Deryl yang spontan membuat teman Afsana tidak enak berada di antara mereka.“Af, aku tunggu di motor, ya,” ujarnya berbisik.Afsana ingin mencegah, tetapi tidak mungkin. Hanya bisa melebarkan kedua mata saat temannya perlahan meninggalkannya.“Af, maaf, kamu pasti nggak nyaman bertemu denganku begini.” Perkataan Deryl kembali memfokuskan Afsana.Senyum tersungging untuk sedikit mencairkan suasana.“Takdir yang mempertemukan kita, Mas. Mungkin, agar aku tau kalau kamu sudah benar-benar serius untuk berubah. Kita mungkin perlu bicara, walau nggak lama. Nggak mungkin aku menghindar terus, kan?” ujar Afsana harus menentukan dengan tegas.“Kalau gitu, apa kita bisa cari tempat yang lebih nyaman?”“Boleh, Mas.”Deryl mengitarkan pandangannya. Ia menemukan bangku di taman kecil dan kosong.“Tuh! Di sana, yuk,” ajak Deryl sambil mengacungkan jemarinya.Afsana mengikuti arah telunju
Sudah dua bulan semenjak Deryl mengantarkan Afsana ke rumah orang tuanya, selama itu pula, dua orang itu tidak saling memberi kabar.Jasad Marwan sudah dikembalikan dan dikebumikan dengan benar. Dengan seperti itu pula, Haribowo dan semua yang terlibat sudah jelas dimasukkan ke dalam penjara.“Nduk, sudah dua bulan kamu di sini. Apa kamu belum menentukannya? Kasihan Deryl, pasti sedang menunggu kepastian darimu di sana. Bu Asih kelihatan sayang juga sama kamu kan, Nduk?” tanya Aminah yang duduk di sebelah Afsana.Anak perempuannya itu melihat pergerakan sang ibu. Ia membuang napas perlahan. Tak dimungkiri, Afsana masih bingung mau dibawa ke mana pernikahannya yang baru seumur jagung. Memang benar, ada perjanjian akan bercerai di antara mereka, tetapi Afsana mulai gundah saat mengetahui Deryl bersungguh-sungguh mengubah kepribadiannya.“Tapi memang, sepertinya Deryl tidak pantas dijadikan suami untukmu kan, Nduk? Dia pasti nggak salat atau mengerjakan ibadah yang lain. Walau begitu, ke
“Pak, bagaimana?” tanya Lingga yang bisa ditangkap oleh Deryl.“Mas Lingga, apa kamu juga tahu, hm?” Deryl ingin segera menemukan titik terang sesungguhnya.Mungkin ini waktunya, bagaimanapun perasaan bersalah ini nggak bisa hilang begitu saja. Walau aku sudah coba untuk menebusnya dengan caraku sendiri.Haribowo bergeming. Padahal, Lingga yang ada di sebelahnya tampak gelisah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Deryl terasa menghunjam jantungnya.“Pak, jelaskan kalau memang Bapak tahu,” pinta Asih yang didampingi oleh Afsana. Tenaganya terasa menguap. Butuh orang untuk menjaganya.Embusan kasar dilakukan. Haribowo bersiap mengucapkan kalimat. Ia sudah memutuskan solusi paling tepat. Meski terasa sangat berat.“Aku akan mengakui semuanya,” ujar Haribowo.“Bapak yakin?” tanya Lingga agak kaget.“Iya, Ga. Mungkin inilah saatnya. Bapak merasa bersalah.”Lingga mengangguk pasrah.“Ada apa sebenarnya, Pak?” tanya Asih kini air matanya semakin deras mengalir. Perasaannya tidak karuan. Apakah
“Kamu mau ngapain, sih, De?” tanya Asih sebab setelah Haribowo meninggalkan rumah, anak lelakinya malah sibuk sendiri mempersiapkan keperluan untuk menggali tanah.“Mau gali tanah, Bu.”“Buat apa?” Asih keheranan.“Ada sesuatu yang harus dicaritahu, Bu.” Deryl tidak mengatakan tujuan sesungguhnya karena memang belum jelas hasilnya seperti apa.“Apa memangnya?”Asih makin penasaran, makanya ia ingin segera tahu tujuan itu.“Nanti Ibu akan tahu, Bu. Aku saja penasaran. Sudah tanyanya, Bu. Aku harus segera melakukannya agar rasa penasaran kita menghilang.”Asih menghela napas karena perkataan sang anak belum dipahami. Namun, ia hanya bisa diam dan mengikuti anak lelakinya itu.Sedangkan Afsana, ia juga bingung harus mengatakan kebenarannya atau tidak pada Asih. Dirinya kan tahu semuanya dan yang menjadi alasan Deryl mau menggali tanah itu.Deryl melihat Afsana. Lalu, ia pergi sebentar menemui sang istri.“Kamu pura-pura nggak tahu saja. Biar Ibu lihat sendiri nanti,” bisik Deryl. Lalu, k
Jam dinding terus bergerak jarumnya, nyatanya Afsana tidak semudah itu memajamkan matanya kembali setelah bermimpi buruk.“Kenapa belum tidur?” tanya Deryl saat melihat mata istrinya masih terbuka.“Aku jadi nggak ngantuk, Mas. Kamu tidur aja.”“Kenapa?”“Ya karena kamu pasti ngantuk, kan? Nggak usah nungguin aku tidur, Mas.”“Bukan itu. Kamu belum ngantuk karena takut bermimpi buruk lagi, kan?” tebak Deryl.Lebih tepatnya, Afsana belum bisa tidur karena bimbang akan mengatakan mimpi itu pada Deryl atau disimpan sendiri. Namun, mimpinya tadi seperti sebuah petunjuk. Juga, kejadian-kejadian di luar nalar yang beberapa waktu lalu dialami makin menambah pikiran.“Aku cerita, tapi kamu jangan tersinggung, ya, Mas.” Afsana memberanikan diri.“Cerita soal mimpi burukmu itu? Kenapa harus tersinggung?”“Aku ngomong dulu sebelum cerita, Mas. Soalnya, dalam mimpiku sosok itu ngomongnya agak aneh.”“Kamu cerita sambil tiduran begitu?”Memang benar, Afsana tidak beranjak dari tempat pembaringann
Pertanyaan itu dirasa janggal oleh Deryl. Kening tentu mengernyit.“Biar kamu tenang, Mas De. Aku biasa menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an kalau lagi banyak masalah. Alhamdulillah, hati terasa lebih tenang, Mas De. Mungkin saja, kamu pengen coba, siapa tahu ada perubahan,” ucap Afsana sambil tersenyum. Lalu, ia pergi mengambil kitab suci yang disimpan di lemari.“Ya sudahlah, terserah kamu saja,” jawab Deryl.“Oke.”Afsana kembali duduk. Wudhunya belum batal. Jadi, ia langsung mengambil kitab suci itu dan sekarang membukanya.“Suaraku nggak bagus,” ucap Afsana sebelum memulai melantunkan ayat-ayat suci itu.“Iya. Buruan.”Deryl duduk tak jauh dari Afsana.Afsana mengambil napas. Lalu, ia mulai melafazkan basmallah sebelum membaca ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab suci itu.Ketika mendengar suara istrinya, Deryl agak terkejut. Ia membuka mata lebar-lebar untuk sesaat. Yang dikata tidak merdu, nyatanya tak begitu bagi telinga lelaki itu.Sebagus ini dia ngomongnya nggak merd
Senyum getir menghiasi bibir. Benar memang, Deryl sadar diri bagaimana dirinya saat ini. Sangat berbanding terbalik kalau dibandingkan dengan lelaki yang pernah duduk di hadapan istrinya saat di warung makan.“Iya, aku tahu. Istirahatlah. Aku akan berangkat kerja.”“Iya, maafkan aku karena sudah mengatakan kenyataan pahit yang membuatmu tidak nyaman.”Hanya senyuman. Lalu, Deryl keluar dari kamar.Andai aku mengubah penampilan dan mempelajari ilmu agama dengan benar, apakah dia akan mempertimbangkan hubungan pernikahan yang telah terjalin ini? Tapi, buat apa aku memikirkannya? Memang lebih baik kalau kami bercerai kan?“De, kamu mau kerja?” tanya Asih ketika melihat anak lelakinya pergi ke garasi.“Iya, Bu. Afsa di sini kan, sudah ada Ibu. Aku juga harus serius bekerja biar nggak dimarahi Bapak.”“De, cobalah perbaiki dirimu dan dekati Afsa sungguh-sungguh. Kamu sudah menikah. Fokuslah pada pernikahanmu. Hubungan ini bukan untuk main-main walaupun awalnya karena perjanjian utang. Ibu