“De! Kamu lihat apa, sih!” bentak Klara yang mengetahui sorot mata pacarnya tak fokus pada dirinya.
Ketika Klara ingin menoleh ke belakang untuk memastikan ada apa di sana hingga membuat Deryl melebarkan mata, lelaki di hadapannya kembali tersadar dan segera meraih tangan mulus milik Klara. Tentu, Deryl tak ingin kalau Klara tahu ada Afsana juga di tempat itu.“Nggak, Sayang. Bukan apa-apa. Tadi aku hanya melihat orang yang agak aneh saja, tapi dia sudah pergi. Kamu mencarinya pun, dia sudah nggak ada.”Ya, hanya alasan agar Klara tak menoleh ke belakang. Meski sebenarnya, wajah Afsana tak akan kelihatan karena posisinya memunggungi tempat duduk mereka. Hanya berhati-hati demi kedamaian dunia.Wanita berparas cantik yang memakai crop top berwarna putih dipadukan dengan hot pants warna senada membuat Klara tampak begitu mempesona. Tentu, tampak begitu indah di mata para kaum lelaki.Berbanding terbalik dengan Afsana yang serba tertutup. Pakaiannya saja over size. Celana yang dipakai pun kulot yang tak ketat di kaki. Kerudung tentu menutupi rambut yang sempat membuat Deryl berdebar di kala pagi menyapa ketika tak segaja melihatnya sebab kerudung telah lepas dari tempatnya.“Kalau lagi diajak ngomong, fokus dong! Jangan tambah bikin kesal, kenapa, sih! Nggak tahu apa, kalau aku gelisah ketika kamu menikah sama wanita itu. Kamu ini, beneran cinta sama aku nggak, sih!”Kejengkelan tampak jelas di wajah Klara. Kerutan di kening pun muncul. Alisnya pula sampai hampir bertabrakan.“Aku cinta sama kamu, Sayang! Iya, maaf, kalau aku malah nggak fokus saat berbicara, Sayang. Jangan ngambek terus, dong. Aku mau bertemu sama kamu kan, pengen lihat wajahmu yang tersenyum bahagia. Senyum, dong, Sayang. Senyumanmu itu, kayak obat, loh, Sayang. Bikin aku sembuh karena teramat merindukanmu. Wajahmu yang lagi bahagia juga membuat aku bersemangat hidup. Jangan ngambek terus, dong, Sayang,” pinta Deryl dengan meluncurkan berbagai jurus rayuan. Ia pun menggenggam tangan wanita itu.Meski mulutnya pandai merangkai kata, tetapi di benaknya tak bisa dibohongi. Deryl mempertanyakan siapa orang yang berani duduk di hadapan Afsana. Meski tak ada rasa cinta, bagi Deryl, rasanya tak pantas saja kalau Afsana bertemu dengan lelaki lain apalagi dilihat oleh mata kepalanya sendiri.Apakah Afsa sengaja menghubungi lelaki itu? Berani banget kalau dia sampai melakukan semua itu. Wanita salihah apaan, masa pergi sama suami sendiri ketemuan sama pria lain. Parah banget!Ketika Klara sedang lengah, Deryl sengaja melirik ke tempat duduk Afsana. Ia mengatai perbuatan istrinya, padahal dirinya sama saja. Apalagi ketika melihat Afsana yang sepertinya fokus berbincang dengan lawan bicaranya tanpa sibuk dengan ponsel, berbanding terbalik ketika sedang berbicara dengan dirinya. Deryl merasa tak adil.Apa-apaan mereka? Kenapa kelihatannya ngobrolnya serius gitu. Apalagi, laki-laki itu kan, pakai sarung dan peci. Apa pantas ngobrol begitu dan hanya berdua sama wanita? Afsana kan, sudah menikah.Deryl menggelengkan kepala pelan. Batinnya sedang berperang dengan apa yang dilihat. Semua dilakukan tentu dengan hati-hati sebab ia tak mau lagi dimarahi oleh Klara.Embusan napas terasa berat. Lama-lama, kesal juga saat melirik ke arah istrinya malah masih ditemani oleh seorang lelaki. Deryl mulai gelisah, tetapi tak ingin diperlihatkan di hadapan Klara. Ia ke tempat ini kan, memang untuk berjumpa dengan kekasih hatinya. Namun, entah, perasaan gelisah itu datang ketika melihat wanita yang baru menjadi istrinya duduk hanya berdua dengan seorang lelaki.*** “Apa kabarmu? Kenapa di sini sendirian? Di mana suamimu?”Pertanyaan dari arah depan dan pemilik suaranya begitu dikenal membuat Afsana mendongak dengan cepat. Sorot mata yang tadinya fokus melihat ponsel, kini telah dialihkan lurus ke depan.Ketika tebakannya benar, Afsana merasa tak percaya. Matanya sempat melebar dengan mulut yang terbuka. Namun, hanya sebentar. Setelah itu, ia membenarkan posisi duduknya agar bisa merasa sedikit lebih nyaman.Suara lelaki itu milik seorang yang sampai saat ini masih mengisi ruangan di hatinya. Antara senang bercampur sedih sebab mengingat saat ini dirinya sudah menjadi istri dari orang lain.Lelaki yang sedang duduk di hadapan Afsana adalah Arsakha. Sebelum menikah, bahkan sampai saat ini, hubungan yang bisa dikatakan sebagai berpacaran belum ada kata putus. Kepergian Arsakha yang mendadak dan sulit dihubungi membuat keduanya bertahan dalam hubungan yang masih sama seperti sebelumnya.“Ma—mas Ar! Kenapa ada di sini?”Afsana tentu sangat gugup. Jantungnya berdebar dengan tempo yang lebih laju dari sebelumnya. Ia langsung meletakkan ponsel yang digenggam di atas meja. Ia ingin tersenyum karena merasa bahagia, tetapi denyutan nyeri terasa ketika mengingat apa kini statusnya.“Aku di sini karena ada keluarga yang meninggal. Aku harus pulang. Sebenarnya, aku diajak pergi ke acara nikahanmu, tapi aku menolak. Eh, malah aku melihatmu sendirian di sini. Di mana suamimu?”Wajah tampan itu berusaha keras untuk tampak baik-baik saja. Senyum yang diberikan begitu canggung. Afsana menangkap semua itu. Perasaan di dalam dadanya semakin nyeri seperti ditusuk jarum-jarum yang tajam.“Kenapa kamu nggak pernah mengabariku, Mas? Oh, atau mungkin, kamu memang hanya mempermainkan perasaanku.”Entah mengapa, kalimat itu terucap. Afsana ingin melampiaskan rasa sakit yang telah berkumpul di dada. Padahal, Afsana bisa memahami kalau lelaki yang ada di hadapannya pun merasa kecewa. Ya, kecewa karena telah ditinggal menikah oleh wanita yang punya hubungan dekat dengannya.Afsana hanya teringat lagi tentang perkataan kakaknya Arsakha yang bernama Najwa. Tentang perjodohan yang telah ditentukan untuk Arsakha.“Bukankah kamu yang mempermainkanku? Nyatanya, kamu malah menikah dengan laki-laki lain? Tentang aku yang nggak bisa kasih kabar, begitulah peraturan di sana. Aku juga sudah pernah memberitahumu kan? Tolong, jangan membuatku jadi membencimu.”Sorot mata dialihkan. Arsakha melakukannya seraya membuang napas pelan. Beban di dalam dada semakin terasa berat hingga rasanya jadi engap.“Atau mungkin, membenciku akan lebih baik. Toh, kemungkinan besar, kamu bukan jodohku.”Afsana ingin bertanya langsung tentang wanita yang akan dijodohkan dengan Arsakha, tetapi ia takut kalau kenyataan yang akan didengar malah semakin menyakiti hatinya.“Karena kamu yang telah mencari gantiku. Kamu yang telah mencari jodohmu sendiri.”Arsakha melihat wajah wanita yang tulus dicintainya itu dengan tatapan sendu.Afsana menggeleng. Matanya mulai terasa panas. Sakit yang dirasa di dalam dada pun semakin menjadi. Bagaimana lelaki yang dicintainya itu malah mengatakan sesuatu yang semakin menggores perasaannya?“Aku terpaksa menikah sama suamiku. Semua gara-gara utang. Tapi, kami akan bercerai secepatnya karena kami memang nggak saling cinta. Apa seperti itu bisa disebut sebagai mencari jodohku sendiri?”Air mata telah menetes. Afsana tak bisa membendung lagi rasa panas yang terasa di mata. Juga, perasaan sesak yang mendera sesuatu di dalam dadanya. Namun, jemarinya seketika mengusap benda cair itu.“Tapi, meski aku nantinya akan sendiri lagi, nggak mungkin kalau kita akan kembali menyatu kan, Mas Ar? Kamu mungkin bukan jodohku karena kamu sendiri sudah ditentukan jodohnya oleh keluargamu. Dan aku yang bukan siapa-siapa, nggak pantas mendapatkan lelaki sepertimu.”Afsana melanjutkan perkataannya walau menahan kepedihan yang mendalam. Semua telah dikatakan sesuai apa yang diketahui selama ini.“Tahu dari mana kamu semua itu?” tanya Arsakha dengan wajah yang cemas.“Nggak penting dari siapa, yang penting, semua itu adalah kebenaran kan?” Afsana ingin mempertegas segalanya.Arsakha mengambil napas dalam-dalam, lalu membuangnya kasar.“Benar, semua itu memang benar. Tapi, aku nggak mencintainya. Aku ini mencintaimu, Afsana. Kalau memang nanti kamu bercerai dari suamimu, aku bersedia menunggumu. Aku serius berhubungan denganmu.”Rasa bahagia datang menyusup. Senyuman pula ingin merekah, tetapi Afsana menahan diri. Apa benar, semua yang dikatakan oleh Arsakha tadi?“Ar! Ayo! Aku tunggu kok malah nggak keluar-keluar!”Seorang lelaki memanggil Arsakha hingga lelaki yang duduk di depan Afsana itu menjawabnya sambil mengangguk, “Iya! Ini mau ke situ, kok.”Arsakha kembali melihat Afsana.“Aku pergi dulu. Ingat kata-kataku. Jaga dirimu.”Arsakha bangkit dan berlalu.Perjumpaan singkat dan tanpa disengaja itu telah membuat Afsana melamun. Arsakha tak terlihat lagi dengan meninggalkan pesan yang masih tak dipercaya oleh gadis berkerudung hitam yang masih duduk sendiri itu.“Benarkah perkataannya tadi? Dia akan menunggu aku bercerai dari Mas Deryl? Apa semua bukan omong kosong saja? Tapi, aku merasa bahagia ketika mendengarnya berbicara seperti itu.”Senyum perlahan melebar. Namun, tetap saja tak bisa merasa lega. Masa depan tentu belum ada yang tahu. Arsakha memang mengatakan janji itu, tetapi sampai saat itu tiba, mereka tidak akan bisa menerka secara pasti. Kalau sampai terlalu berharap, tetapi tak sesuai, pasti akan merasa kekecewaan. Bahkan mungkin teramat sangat.Helaan napas kasar menggema bersama kesendiriannya. Meski tempat makan itu banyak pengunjungnya, tetapi bagi Afsana, dia hanya seorang diri. Suami yang datang bersamnya, sama sekali tak ada di ingatan. Justru, lelaki yang memakai sarung dan peci tadi yang memenuhi ruangan yang ada di
“Duduk dulu. Kita buat perjanjiannya dulu. Aku yang akan menulisnya di HP. Apa poin-poin yang akan ditulis di sana, kita diskusikan bersama. Setelah itu, kita cetak dan mendatanganinya. Kalau perlu, kita beri materai biar makin jelas.”“Pasang materainya dulu, baru ditandatangani. Harus ada sebagian meterai yang terkena tanda tangan.”“Iya! Intinya, kita buat isinya dulu di sini.”Afsana yang sudah berdiri dan mengenakan tas untuk pergi dari tampat itu, kembali mengurungkan niatnya. Ia duduk di tempat semula.Deryl mulai menulis pembukaan perjanjian sebelum pada poin-poin yang akan disepakati bersama. Ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar satu sama lain.Mereka begitu serius dalam menentukan isi perjanjian tersebut. Satu poin pun tak boleh terlewati. Namun, di saat yang sama, penciuman Deryl malah salah fokus pada aroma yang membuat hatinya mendesir. Aroma harum dan enak dihirup lama-lama menguar dari seseorang yang sedang bersamanya. Padahal, parfum yang Klara pakai juga leb
“Astagfirullah!” pekik Afsana seraya menoleh ke sumber suara.Suara yang cukup nyaring itu tentu membuat jantung berdebar lebih cepat. Meski begitu, Afsana merasa penasaran dan ingin tahu, apa penyebab suara itu terdengar di telinga.Pelan-pelan, wanita itu melangkahkan kaki. Ia berusaha mengintip agar bisa segera mengetahui penyebab benda itu terjatuh. Bisa saja karena ada kucing yang masuk hingga menjatuhkan benda ke lantai.Kening mengernyit kala sampai di tempat yang terdengar sebagai sumber suara. Di sana, memang ada beberapa benda yang tergeletak tak beraturan di lantai. Tampaknya, benda-benda itu yang tadi mengeluarkan suara. Namun, Afsana tidak melihat apa pun di sana.Afsana kembali mengulangi pencariannya terhadap sesuatu yang bisa mengacaukan barang-barang yang tergeletak di lantai. Namun, sekali lagi, ia tak menemukan apa-apa.“Masa sih, jatuh sendiri?”Karena tidak menemukan target yang bisa memecah rasa penasarannya, timbul pikiran buruk hingga membuat bulu kuduk berdiri
“Ada apa, hm? Kamu takut petir?” tanya Deryl meski awalnya ragu.Afsana hanya menggeleng. Mulutnya masih komat-kamit melafadkan kalimat istigfar. Hanya terdengar gumaman yang tak jelas karena sebagian wajahnya tertutup selimut.“Terus? Kenapa kamu begitu? Ngomong saja kalau takut,” ucap Deryl mulai bernada ketus.Lelaki yang bersusah-payah menghilangkan egonya demi menayakan keadaan istrinya, malah dibalas hanya dengan gelengan kepala. Namun, mulut masih tetap bergumam seperti orang yang sedang menahan rasa takut.“Aku nggak takut sama petir, tapi ….”Afsana tak melanjutkan perkataannya karena di dalam pikirannya terbersit tentang kemungkinan yang akan terjadi. Deryl yang mungkin tak percaya malah hanya akan membuat kesal.“Tapi apa? Kalau ngomong yang jelas.”Dua orang yang awalnya saling memunggungi, kini tanpa disadari, posisi mereka malah saling berhadapan. Deryl mulai kesal. Namun, ia melihat wajah istrinya yang sebagian tertutup selimut dengan begitu serius.“Aku nggak mau cerit
“Oh, Ibu,” ucap Deryl terperanjat. Jemarinya tanpa sadar mematikan panggilan video.“Kamu masih berhubungan sama dia?” tanya Asih seraya berjalan mendekati anak lelakinya. Lalu, ia duduk di sebelahnya.Senyum terlukis canggung. Ia tahu, perbuatannya tentu tak lazim sebab sekarang dirinya telah memiliki seorang istri.“Masih, Bu. Aku kan, memang sangat mencintainya. Buktinya, sampai saat ini, aku berusaha untuk tetap menjaga kehormatannya karena memang aku hanya ingin menikah sama Klara.”Pada akhirnya, Deryl harus tetap mengatakan apa yang harusnya dikatakan. Meski tak dimungkiri, keberadaan Afsana sedikit membuat sesuatu yang aneh tiba-tiba menyusup ke relung hati terdalam.“Kenyataannya sekarang, kamu kan, sudah menikahi Afsa, De. Apa kamu nggak memikirkan perasaan istrimu kalau kamu masih tetap begini?” Asih mengatakannya dengan lembut, tetapi ada penekanan.“Aku menikah karena dijodohkan sama Bapak, Bu. Nggak ada rasa cinta di antara kami berdua. Bukankah Afsa juga sependapat denga
Deryl berusaha keras menepis perasaan yang seolah menyetujui perkataan Asih.Klara juga hampir sempurna, kok.Sambil melangkah pergi, ia berbisik di dalam hati mengenai pacarnya agar perkataan Asih tak semakin terpatri di sana. Meski begitu, lelaki itu malah terngiang dengan sikap Klara tadi dan beberapa waktu silam ketika sedang bersama Asih.“Oh, Ibu memasak ini buat aku?” ucap Klara kala itu sambil mencicipi ikan yang dimasak oleh Asih.“Ambil garam, dong, Bu. Ini kurang asin,” ujar Klara lagi tanpa sungkan.Asih tentu menurutinya.Saat itu, Deryl baru kembali dari ruangan lain, tetapi sengaja bersembunyi ketika mendengar suara Klara. Ia ingin tahu, apa yang akan dilakukan Klara kepada Asih ketika tak ada dirinya. Harapannya tentu, mereka akan cocok dan asyik saat mengobrol. Deryl ingin dua orang yang sama-sama disayangi itu juga saling menyayangi. Ya, seperti ibu dan anak meski tak terikat dengan hubungan darah.“Sekalian tisu, Bu. Masa di meja nggak ada tisu. Kalau tangan kotor, g
“Bantu aku. Buat wanita yang ada difoto ini menyesal karena berurusan sama aku. Beri dia pelajaran, tapi jangan terlalu parah.”Pesan dikirim kepada seseorang beserta foto wanita bernama Afsana. Dalam beberapa detik, pesan itu bercentang biru. Sudah dibaca dan orang itu sedang menulis pesan balasan.“Wah, apa ini? Kamu berani menyuruhku tanpa membocorkan bayaran apa yang akan kudapat? Aku nggak tertarik.”Senyuman miring menghiasi bibir. Klara tahu, tetapi sengaja tak memberitahunya secara langsung. Ia ingin mengetahui tanggapannya terlebih dulu.“Apa kamu masih menginginkanku?” balas Klara.“Oh, wow! Apa ini? Kamu frustrasi setelah Deryl menikahi wanita lain? Oh, jangan-jangan, wanita ini istrinya Deryl?”“Aku nggak mau banyak basa-basi. Intinya, kalau kamu berhasil membuat wanita dalam foto itu pergi dari kehidupan Deryl, tanpa luka yang membuat curiga, aku akan memberikanmu satu kali kesempatan untuk tidur bersamaku.”“Wah! Penawaran yang sangat menggiurkan, tapi aku nggak mau ditip
Bismillah, mudah-mudahan daganganku laris.Afsana melajukan motor yang difasilitasi oleh keluarga suaminya. Ia melihat Asih lewat spion. Wajah itu terlihat mencemaskan menantunya.“Ibu sebaik itu, kalau aku nggak sopan sama beliau, jadi ada yang mengganjal di dalam hati. Tapi, aku nggak mau jadi menantunya terus. Aku nggak mau jadi istrinya Mas Deryl yang nggak bisa mendidikku ke agama yang diridai. Melakukan kewajibannya saja nggak pernah. Bagaimana bisa disebut sebagai imam yang baik?”Di perjalanan menuju pasar yang tak memakan banyak waktu, rutukan yang bisa dikatakan sebagai beban hidup kian menumpuk.“Kalau bertobat dan memperbaiki diri, mungkin aku akan mempertimbangkan semuanya. Allah saja Maha Pengampun, selalu memberikan kesempatan untuk bertobat untuk para hamba-Nya, kalau aku malah nggak memberikan kesempatan, siapa aku, coba? Sombong banget. Tapi, Mas Deryl kemungkinan besar nggak bakal bertobat. Dia sangat mencintai Mbak Klara dan nggak mungkin melepasnya begitu saja. Aku
“Walau kalian diam, Ibu akan tetap mengurusnya. Tidak ada yang bisa menolak,” tegas Asih meski diakhiri dengan senyuman.“Kalau aku, terserah Afsa saja, Bu,” timpal Deryl.“Nduk, kamu pasti mau, kan?” tanya Asih tatapannya bertemu dengan Afsana di spion.“Kalau kami pergi, Ibu sendirian di rumah,” jawab Afsana sambil nyengir.“Nggak masalah, Nduk. Masih ada mbak-mbak sama pegawai yang lain. Kamu nggak perlu mengkhawatirkannya. Kalian pergi paling lama semingguan. Itu nggak lama, Nduk.”“Tapi, tetap butuh biaya banyak kan, Bu?” Afsana memang merasa tidak enak hati.“Jangan pikirkan itu, Nduk. Setelah kalian pulang bulan madu, Deryl akan bekerja melanjutkan pekerjaan Bapak di tambak. Nantinya akan terkumpul lagi uangnya, Nduk.”Karena tidak ada lagi alasan untuk menolak perintah dari Asih, Afsana mengangguk pelan. Deryl melihatnya. Tentu senyumnya kembali merekah.“Kalau begitu, Afsa mau, Bu.”“Alhamdulillah. Harusnya memang begitu, Nduk. Kamu nggak perlu memusingkan biayanya. Nanti Ibu
Afsana sudah pasti akan mengakhiri pernikahan kami. Dia sudah punya cowok idaman. Dia akan kembali padanya dan menikah. Sedangkan aku, yang mati-matian aku jaga malah berkhianat walau dilakukan demi aku, tapi harusnya bukan begitu caranya.Dalam hati, Deryl berbisik. Tatapannya sendu bergulir tak fokus. Seringnya ke arah bawah, tapi tidak menunduk.Sebelum mulai bicara, Afsana sempat melihat ekspresi yang Deryl gambarkan lewat wajahnya.Apa yang sedang dia pikirkan? “Ayo, Nduk. Bu Asih sama Mas Deryl pasti sudah tidak sabar mendengar keputusanmu,” ujar Aminah membuat Afsana kembali fokus.Afsana kembali mengangguk sambil mengambil napas dalam.“Sebelumnya, terima kasih karena Ibu sama Mas Deryl mau memenuhi kemauanku dan datang ke sini. Untuk waktu yang diberikan kepadaku juga selama tinggal di rumah ini. Aku rasa semua itu cukup untukku berpikir dan harus memberikan keputusan untuk pernikahanku bersama Mas Deryl untuk ke depannya.”Afsana berhenti untuk mengambil napas. Namun, kedua
“Seperti yang kamu lihat sekarang, Af. Alhamdulillah, aku baik walau memang aku jadi sering memikirkanmu,” jawab Deryl yang spontan membuat teman Afsana tidak enak berada di antara mereka.“Af, aku tunggu di motor, ya,” ujarnya berbisik.Afsana ingin mencegah, tetapi tidak mungkin. Hanya bisa melebarkan kedua mata saat temannya perlahan meninggalkannya.“Af, maaf, kamu pasti nggak nyaman bertemu denganku begini.” Perkataan Deryl kembali memfokuskan Afsana.Senyum tersungging untuk sedikit mencairkan suasana.“Takdir yang mempertemukan kita, Mas. Mungkin, agar aku tau kalau kamu sudah benar-benar serius untuk berubah. Kita mungkin perlu bicara, walau nggak lama. Nggak mungkin aku menghindar terus, kan?” ujar Afsana harus menentukan dengan tegas.“Kalau gitu, apa kita bisa cari tempat yang lebih nyaman?”“Boleh, Mas.”Deryl mengitarkan pandangannya. Ia menemukan bangku di taman kecil dan kosong.“Tuh! Di sana, yuk,” ajak Deryl sambil mengacungkan jemarinya.Afsana mengikuti arah telunju
Sudah dua bulan semenjak Deryl mengantarkan Afsana ke rumah orang tuanya, selama itu pula, dua orang itu tidak saling memberi kabar.Jasad Marwan sudah dikembalikan dan dikebumikan dengan benar. Dengan seperti itu pula, Haribowo dan semua yang terlibat sudah jelas dimasukkan ke dalam penjara.“Nduk, sudah dua bulan kamu di sini. Apa kamu belum menentukannya? Kasihan Deryl, pasti sedang menunggu kepastian darimu di sana. Bu Asih kelihatan sayang juga sama kamu kan, Nduk?” tanya Aminah yang duduk di sebelah Afsana.Anak perempuannya itu melihat pergerakan sang ibu. Ia membuang napas perlahan. Tak dimungkiri, Afsana masih bingung mau dibawa ke mana pernikahannya yang baru seumur jagung. Memang benar, ada perjanjian akan bercerai di antara mereka, tetapi Afsana mulai gundah saat mengetahui Deryl bersungguh-sungguh mengubah kepribadiannya.“Tapi memang, sepertinya Deryl tidak pantas dijadikan suami untukmu kan, Nduk? Dia pasti nggak salat atau mengerjakan ibadah yang lain. Walau begitu, ke
“Pak, bagaimana?” tanya Lingga yang bisa ditangkap oleh Deryl.“Mas Lingga, apa kamu juga tahu, hm?” Deryl ingin segera menemukan titik terang sesungguhnya.Mungkin ini waktunya, bagaimanapun perasaan bersalah ini nggak bisa hilang begitu saja. Walau aku sudah coba untuk menebusnya dengan caraku sendiri.Haribowo bergeming. Padahal, Lingga yang ada di sebelahnya tampak gelisah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Deryl terasa menghunjam jantungnya.“Pak, jelaskan kalau memang Bapak tahu,” pinta Asih yang didampingi oleh Afsana. Tenaganya terasa menguap. Butuh orang untuk menjaganya.Embusan kasar dilakukan. Haribowo bersiap mengucapkan kalimat. Ia sudah memutuskan solusi paling tepat. Meski terasa sangat berat.“Aku akan mengakui semuanya,” ujar Haribowo.“Bapak yakin?” tanya Lingga agak kaget.“Iya, Ga. Mungkin inilah saatnya. Bapak merasa bersalah.”Lingga mengangguk pasrah.“Ada apa sebenarnya, Pak?” tanya Asih kini air matanya semakin deras mengalir. Perasaannya tidak karuan. Apakah
“Kamu mau ngapain, sih, De?” tanya Asih sebab setelah Haribowo meninggalkan rumah, anak lelakinya malah sibuk sendiri mempersiapkan keperluan untuk menggali tanah.“Mau gali tanah, Bu.”“Buat apa?” Asih keheranan.“Ada sesuatu yang harus dicaritahu, Bu.” Deryl tidak mengatakan tujuan sesungguhnya karena memang belum jelas hasilnya seperti apa.“Apa memangnya?”Asih makin penasaran, makanya ia ingin segera tahu tujuan itu.“Nanti Ibu akan tahu, Bu. Aku saja penasaran. Sudah tanyanya, Bu. Aku harus segera melakukannya agar rasa penasaran kita menghilang.”Asih menghela napas karena perkataan sang anak belum dipahami. Namun, ia hanya bisa diam dan mengikuti anak lelakinya itu.Sedangkan Afsana, ia juga bingung harus mengatakan kebenarannya atau tidak pada Asih. Dirinya kan tahu semuanya dan yang menjadi alasan Deryl mau menggali tanah itu.Deryl melihat Afsana. Lalu, ia pergi sebentar menemui sang istri.“Kamu pura-pura nggak tahu saja. Biar Ibu lihat sendiri nanti,” bisik Deryl. Lalu, k
Jam dinding terus bergerak jarumnya, nyatanya Afsana tidak semudah itu memajamkan matanya kembali setelah bermimpi buruk.“Kenapa belum tidur?” tanya Deryl saat melihat mata istrinya masih terbuka.“Aku jadi nggak ngantuk, Mas. Kamu tidur aja.”“Kenapa?”“Ya karena kamu pasti ngantuk, kan? Nggak usah nungguin aku tidur, Mas.”“Bukan itu. Kamu belum ngantuk karena takut bermimpi buruk lagi, kan?” tebak Deryl.Lebih tepatnya, Afsana belum bisa tidur karena bimbang akan mengatakan mimpi itu pada Deryl atau disimpan sendiri. Namun, mimpinya tadi seperti sebuah petunjuk. Juga, kejadian-kejadian di luar nalar yang beberapa waktu lalu dialami makin menambah pikiran.“Aku cerita, tapi kamu jangan tersinggung, ya, Mas.” Afsana memberanikan diri.“Cerita soal mimpi burukmu itu? Kenapa harus tersinggung?”“Aku ngomong dulu sebelum cerita, Mas. Soalnya, dalam mimpiku sosok itu ngomongnya agak aneh.”“Kamu cerita sambil tiduran begitu?”Memang benar, Afsana tidak beranjak dari tempat pembaringann
Pertanyaan itu dirasa janggal oleh Deryl. Kening tentu mengernyit.“Biar kamu tenang, Mas De. Aku biasa menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an kalau lagi banyak masalah. Alhamdulillah, hati terasa lebih tenang, Mas De. Mungkin saja, kamu pengen coba, siapa tahu ada perubahan,” ucap Afsana sambil tersenyum. Lalu, ia pergi mengambil kitab suci yang disimpan di lemari.“Ya sudahlah, terserah kamu saja,” jawab Deryl.“Oke.”Afsana kembali duduk. Wudhunya belum batal. Jadi, ia langsung mengambil kitab suci itu dan sekarang membukanya.“Suaraku nggak bagus,” ucap Afsana sebelum memulai melantunkan ayat-ayat suci itu.“Iya. Buruan.”Deryl duduk tak jauh dari Afsana.Afsana mengambil napas. Lalu, ia mulai melafazkan basmallah sebelum membaca ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab suci itu.Ketika mendengar suara istrinya, Deryl agak terkejut. Ia membuka mata lebar-lebar untuk sesaat. Yang dikata tidak merdu, nyatanya tak begitu bagi telinga lelaki itu.Sebagus ini dia ngomongnya nggak merd
Senyum getir menghiasi bibir. Benar memang, Deryl sadar diri bagaimana dirinya saat ini. Sangat berbanding terbalik kalau dibandingkan dengan lelaki yang pernah duduk di hadapan istrinya saat di warung makan.“Iya, aku tahu. Istirahatlah. Aku akan berangkat kerja.”“Iya, maafkan aku karena sudah mengatakan kenyataan pahit yang membuatmu tidak nyaman.”Hanya senyuman. Lalu, Deryl keluar dari kamar.Andai aku mengubah penampilan dan mempelajari ilmu agama dengan benar, apakah dia akan mempertimbangkan hubungan pernikahan yang telah terjalin ini? Tapi, buat apa aku memikirkannya? Memang lebih baik kalau kami bercerai kan?“De, kamu mau kerja?” tanya Asih ketika melihat anak lelakinya pergi ke garasi.“Iya, Bu. Afsa di sini kan, sudah ada Ibu. Aku juga harus serius bekerja biar nggak dimarahi Bapak.”“De, cobalah perbaiki dirimu dan dekati Afsa sungguh-sungguh. Kamu sudah menikah. Fokuslah pada pernikahanmu. Hubungan ini bukan untuk main-main walaupun awalnya karena perjanjian utang. Ibu