Afsana tersenyum dengan kedua ujung bibir terasa kaku. Ia bingung, bagaimana harus menanggapi perkataan ibu mertuanya itu?
Walau Afsana tidak setuju dengan perjodohan yang terjadi, wanita itu tetap berusaha menghormati para orang tua yang telah membuatnya seperti ini. Ia telah diajarkan rasa sopan sejak kecil. Jadi, sebisa mungkin, ia menjalankan ajaran itu. Kebaikan adalah segalanya. Terutama pada orang tua.
“Apa kamu sudah berpikir untuk bercerai dari Deryl, Nduk?” tanya Asih yang membuat Afsana terperajat.
Di sisi lain, Deryl sangat terkejut pula. Ia teringat lagi dengan percakapan tadi malam. Afsana yang telah berencana akan menggugat cerai setelah enam bulan pernikahan karena Deryl tak menyentuhnya dan tak memberi nafkah batin. Kalau istrinya itu sampai mengatakan rencana itu sekarang, Deryl benar-benar tak berkutik. Ia harus menghentikannya.
Deryl keluar dari persembunyiannya dengan sedikit bersandiwara. Seolah tak mengetahui kalau ada dua orang wanita yang sedang berbicara di sana.
“Oh, De. Kebetulan kamu ke sini,” ujar Asih melupakan pertanyaan tadi ketika melihat anak lelakinya.
Baguslah, fokus Ibu berubah. Gawat kalau tadi sampai Afsana menjawabnya. Untung, aku menguping dan bisa mengantisipasi.
Kening mengerut. Deryl pura-pura tidak memahami perkataan Asih. Padahal, ia sudah tahu kalau Asih akan menyuruhnya untuk mengajak Afsana pergi jalan-jalan.
“Memangnya, ada apa, Bu?”
“Kamu ini, ya. Ajak istrimu jalan ke mana gitu. Belanja atau apa. Kamu kan, suka naik motor waktu main sama teman-teman. Kenapa sekarang nggak ajak istrimu pergi? Mumpung kamu belum kerja juga kan? Ingat, kamu disuruh sama Bapak untuk bekerja setelah menikah. Ibu sudah nggak bisa membelamu lagi karena kamu memang sudah dewasa, De.”
Deryl mendesah kasar. Lelaki yang tak pernah memikirkan pekerjaan sebelumnya, sekarang malah dipaksa untuk mencari uang. Sejak kecil hingga usianya 27 tahun, Deryl sangat dimanja oleh Asih. Deryl hanya ingin bersenang-senang dan menghamburkan uang saja. Asih pun selalu mendukungnya. Jadi, Haribowo tak bisa berbuat banyak.
Kecuali, saat meminta Deryl untuk menikah dan harus memenuhi syarat yang lainnya. Haribowo sudah tak memedulikan rengekan dari Asih karena usia Deryl sudah tak pantas dimanja secara berlebihan.
Dasar! Anak mama!
Dalam diam, hati Afsana berbisik. Bibirnya pula tersenyum tipis mengejek suaminya yang ternyata teramat dimanja oleh Asih.
“Iya, Bu. Aku tahu dan mengingat perkataan Bapak yang menyebalkan itu. Nggak adil banget. Sudah disuruh menikah dengan paksaan. Masih disuruh untuk bekerja lagi,” keluh Deryl, agak manja dengan wajah yang ditekuk.
“Loh, kok, mengeluh, Mas De. Katanya, mau menabung buat ….”
“Mau jalan-jalan? Ayo!” Deryl sengaja memotong perkataan Afsana yang menjurus ke rencana pernikahannya dengan Klara. Deryl belum siap kalau semua rencana itu diketahui oleh Asih.
Lelaki berpostur tinggi, rambut sebahu dan ada beberapa tindikan di telinga itu menghampiri Afsana. Senyumnya dibuat semanis mungkin. Padahal, ada maksud tertentu dari lengkungan indah yang terlukis di bibir itu.
Afsana mengernyit. Kesal juga ketika perkataannya dipotong begitu saja.
“Ayo, Af. Jangan pakai lama. Kamu mau jalan-jalan kan?” tanya Deryl ketika sudah di dekat istrinya. Ia membuat raut wajah yang menjadikan Afsana makin risi ketika melihatnya. Ajakan itu pun penuh penekanan.
“De, masa manggil istri begitu? Nggak ada manis-manisnya,” ujar Asih. Ia ingin membuat hubungan dua orang itu makin dekat mengingat percakapannya dengan Afsana tadi telah menjurus ke ranah perceraian yang bisa saja terjadi. Asih tak mau itu terjadi.
Ibu ini, bisa-bisanya menyuruhku memanggilnya dengan kata-kata sayang. Geli sendiri.
Deryl hanya bisa menggerutu di dalam dada. Senyumnya makin aneh. Ia hanya ingin memisahkan dua orang yang tadi berbicara ke pembahasan yang rumit. Walau mungkin ada saja kesempatan yang akan terjadi suatu hari nanti, tetapi setidaknya untuk saat ini, rencana itu belum terdengar di telinga ibunya.
“Ayo,” ajak Deryl lagi seraya menggenggam pergelangan tangan Afsana. Tentu, wanita itu melebarkan mata. Ia melihat ke arah Deryl masih dengan mata yang melotot.
Deryl malah melebarkan senyuman sambil menarik istrinya.
“Kami pergi dulu ya, Bu.” Deryl berpamitan dan tak menghiraukan Afsana yang memprotes dalam diam.
“Iya. Hati-hati. Jangan ngebut-ngebut.”
“Iya, Bu.”
Mereka berlalu.
“Afsana jangan sampai meminta cerai. Dia wanita baik. Deryl harusnya nggak berhubungan lagi sama Klara,” gumam Asih ketika melihat anak dan menantunya pergi menaiki motor.
“Apaan sih, kamu! Pegang-pegang sembarangan!” protes Afsana ketika motor telah melaju di jalan raya.
“Gara-gara kamu, kok! Bukannya kamu tadi mau menceritakan tentang rencanaku yang mau menikahi Klara? Jangan bodoh, ya! Aku masih merahasiakan semuanya! Kamu jangan ngomong sembarangan!”
Dua orang yang baru saja melangkah ke jenjang pelaminan, nyatanya tak seharmonis kebanyakan orang. Di atas motor dengan angin yang menerpa sebagai saksi bisu pertengkaran mereka.
“Terus, kamu jadi boleh memegangku, gitu? Kamu juga, jangan bodoh, ya!”
Afsana sebenarnya tahu batasan sebagai seorang istri, tetapi itu terjadi ketika ia menikah dengan orang yang tepat menurutnya. Ini kan, sudah menikah karena terpaksa, gara-gara harus menebus utang. Ditambah, suaminya tak sesuai harapan. Minus akhlak bagi Afsana sulit untuk mendapat penghormatan khusus darinya. Ia ingin mengabaikan tugas istri yang baik agar bisa lepas dari Deryl.
“Kita cari tempat makan di pantai. Aku akan bertemu sama Klara. Kamu bebas mau ngapain.”
Deryl mengalihkan pembicaraan hingga membuat Afsana ingin menggeplak kepala yang ada di hadapannya. Namun, ia menahan diri.
“Aku menunggu di tempat makan. Cepat ke sini. Aku kangen.”
Deryl mengirim pesan itu kepada Klara. Ia juga mengirimkan lokasi keberadaannya.
“Ngapain kamu masih di sini? Sana, pergi sesukamu. Aku nggak mau diganggu waktu aku berbicara sama Klara,” ujar Deryl ketika melihat istrinya asyik memainkan ponsel sambil duduk di meja pesanannya.
“Aku mau di sini. Kamu saja yang pergi. Repot amat, ngusir-ngusir,” ketus Afsana tak memalingkan wajahnya dari ponsel yang di genggam.
Deryl geregetan. Ia menyatukan gigi atas dan bawah kuat-kuat sambil melebarkan mata. Namun, ia tak bisa melakukan apa-apa. Deryl akhirnya bangkit dan mencari tempat duduk lain.
“Jadi orang kok, nyebelin gitu. Bisa-bisanya, Bapak ngomong kalau dia penurut. Apanya yang penurut?”
Di kursi yang lain, Deryl menunggu pujaan hatinya. Ia juga menyempatkan diri untuk menggerutui tindakan wanita yang telah dijodohkan oleh Haribowo. Ya, Deryl selalu merutuki pernyataan yang dilontarkan oleh bapaknya tentang sikap Afsana yang katanya salihah dan bisa diatur sesuka hati. Nyatanya, tak begitu sama sekali.
“Sayang, kamu benar kan, nggak macam-macam sama istri sialanmu itu?” tanya Klara setelah wanita itu duduk di hadapan Deryl.
Posisi antara Deryl dan Afsana lumayan jauh, tetapi Deryl masih bisa melihat keberadaan istrinya yang masih sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Klara, ia membelakangi Afsana, hingga tak tahu kalau ada istri pacarnya di tempat yang sama.
Afsana benar-benar tak peduli dengan apa yang sedang dilakukan oleh suaminya bersama pacarnya. Ia fokus dengan ponselnya dan berbisnis online. Walau tak menyetok barang, Afsana sudah berpenghasilan yang cukup besar dari bisnisnya itu meski ia juga bekerja di kantin sebuah pondok pesantren bersama ibunya sebelum dinikahi oleh Deryl. Ia begitu telaten dan merawat bisnisnya dengan sungguh-sungguh hingga banyak orang yang telah percaya padanya.
“Tentu saja, aku nggak melakukan apa-apa, Sayang,” jawab Deryl berusaha fokus pada Klara seorang.
“Kamu tidur sekamar kan, sama dia?” Klara masih memasang wajah cemberut. Bagaimanapun, ia tak rela kalau pacarnya sekamar dengan istrinya.
Belum sempat menjawabnya, fokus Deryl kembali terbagi. Ia melebarkan mata ketika melihat ada seorang lelaki berpeci dan memakai sarung duduk di depan istrinya yang sedang sendirian sambil memainkan ponsel.
“De! Kamu lihat apa, sih!” bentak Klara yang mengetahui sorot mata pacarnya tak fokus pada dirinya.Ketika Klara ingin menoleh ke belakang untuk memastikan ada apa di sana hingga membuat Deryl melebarkan mata, lelaki di hadapannya kembali tersadar dan segera meraih tangan mulus milik Klara. Tentu, Deryl tak ingin kalau Klara tahu ada Afsana juga di tempat itu.“Nggak, Sayang. Bukan apa-apa. Tadi aku hanya melihat orang yang agak aneh saja, tapi dia sudah pergi. Kamu mencarinya pun, dia sudah nggak ada.”Ya, hanya alasan agar Klara tak menoleh ke belakang. Meski sebenarnya, wajah Afsana tak akan kelihatan karena posisinya memunggungi tempat duduk mereka. Hanya berhati-hati demi kedamaian dunia.Wanita berparas cantik yang memakai crop top berwarna putih dipadukan dengan hot pants warna senada membuat Klara tampak begitu mempesona. Tentu, tampak begitu indah di mata para kaum lelaki.Berbanding terbalik dengan Afsana yang serba tertutup. Pakaiannya saja over size. Celana yang dipakai pu
Perjumpaan singkat dan tanpa disengaja itu telah membuat Afsana melamun. Arsakha tak terlihat lagi dengan meninggalkan pesan yang masih tak dipercaya oleh gadis berkerudung hitam yang masih duduk sendiri itu.“Benarkah perkataannya tadi? Dia akan menunggu aku bercerai dari Mas Deryl? Apa semua bukan omong kosong saja? Tapi, aku merasa bahagia ketika mendengarnya berbicara seperti itu.”Senyum perlahan melebar. Namun, tetap saja tak bisa merasa lega. Masa depan tentu belum ada yang tahu. Arsakha memang mengatakan janji itu, tetapi sampai saat itu tiba, mereka tidak akan bisa menerka secara pasti. Kalau sampai terlalu berharap, tetapi tak sesuai, pasti akan merasa kekecewaan. Bahkan mungkin teramat sangat.Helaan napas kasar menggema bersama kesendiriannya. Meski tempat makan itu banyak pengunjungnya, tetapi bagi Afsana, dia hanya seorang diri. Suami yang datang bersamnya, sama sekali tak ada di ingatan. Justru, lelaki yang memakai sarung dan peci tadi yang memenuhi ruangan yang ada di
“Duduk dulu. Kita buat perjanjiannya dulu. Aku yang akan menulisnya di HP. Apa poin-poin yang akan ditulis di sana, kita diskusikan bersama. Setelah itu, kita cetak dan mendatanganinya. Kalau perlu, kita beri materai biar makin jelas.”“Pasang materainya dulu, baru ditandatangani. Harus ada sebagian meterai yang terkena tanda tangan.”“Iya! Intinya, kita buat isinya dulu di sini.”Afsana yang sudah berdiri dan mengenakan tas untuk pergi dari tampat itu, kembali mengurungkan niatnya. Ia duduk di tempat semula.Deryl mulai menulis pembukaan perjanjian sebelum pada poin-poin yang akan disepakati bersama. Ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar satu sama lain.Mereka begitu serius dalam menentukan isi perjanjian tersebut. Satu poin pun tak boleh terlewati. Namun, di saat yang sama, penciuman Deryl malah salah fokus pada aroma yang membuat hatinya mendesir. Aroma harum dan enak dihirup lama-lama menguar dari seseorang yang sedang bersamanya. Padahal, parfum yang Klara pakai juga leb
“Astagfirullah!” pekik Afsana seraya menoleh ke sumber suara.Suara yang cukup nyaring itu tentu membuat jantung berdebar lebih cepat. Meski begitu, Afsana merasa penasaran dan ingin tahu, apa penyebab suara itu terdengar di telinga.Pelan-pelan, wanita itu melangkahkan kaki. Ia berusaha mengintip agar bisa segera mengetahui penyebab benda itu terjatuh. Bisa saja karena ada kucing yang masuk hingga menjatuhkan benda ke lantai.Kening mengernyit kala sampai di tempat yang terdengar sebagai sumber suara. Di sana, memang ada beberapa benda yang tergeletak tak beraturan di lantai. Tampaknya, benda-benda itu yang tadi mengeluarkan suara. Namun, Afsana tidak melihat apa pun di sana.Afsana kembali mengulangi pencariannya terhadap sesuatu yang bisa mengacaukan barang-barang yang tergeletak di lantai. Namun, sekali lagi, ia tak menemukan apa-apa.“Masa sih, jatuh sendiri?”Karena tidak menemukan target yang bisa memecah rasa penasarannya, timbul pikiran buruk hingga membuat bulu kuduk berdiri
“Ada apa, hm? Kamu takut petir?” tanya Deryl meski awalnya ragu.Afsana hanya menggeleng. Mulutnya masih komat-kamit melafadkan kalimat istigfar. Hanya terdengar gumaman yang tak jelas karena sebagian wajahnya tertutup selimut.“Terus? Kenapa kamu begitu? Ngomong saja kalau takut,” ucap Deryl mulai bernada ketus.Lelaki yang bersusah-payah menghilangkan egonya demi menayakan keadaan istrinya, malah dibalas hanya dengan gelengan kepala. Namun, mulut masih tetap bergumam seperti orang yang sedang menahan rasa takut.“Aku nggak takut sama petir, tapi ….”Afsana tak melanjutkan perkataannya karena di dalam pikirannya terbersit tentang kemungkinan yang akan terjadi. Deryl yang mungkin tak percaya malah hanya akan membuat kesal.“Tapi apa? Kalau ngomong yang jelas.”Dua orang yang awalnya saling memunggungi, kini tanpa disadari, posisi mereka malah saling berhadapan. Deryl mulai kesal. Namun, ia melihat wajah istrinya yang sebagian tertutup selimut dengan begitu serius.“Aku nggak mau cerit
“Oh, Ibu,” ucap Deryl terperanjat. Jemarinya tanpa sadar mematikan panggilan video.“Kamu masih berhubungan sama dia?” tanya Asih seraya berjalan mendekati anak lelakinya. Lalu, ia duduk di sebelahnya.Senyum terlukis canggung. Ia tahu, perbuatannya tentu tak lazim sebab sekarang dirinya telah memiliki seorang istri.“Masih, Bu. Aku kan, memang sangat mencintainya. Buktinya, sampai saat ini, aku berusaha untuk tetap menjaga kehormatannya karena memang aku hanya ingin menikah sama Klara.”Pada akhirnya, Deryl harus tetap mengatakan apa yang harusnya dikatakan. Meski tak dimungkiri, keberadaan Afsana sedikit membuat sesuatu yang aneh tiba-tiba menyusup ke relung hati terdalam.“Kenyataannya sekarang, kamu kan, sudah menikahi Afsa, De. Apa kamu nggak memikirkan perasaan istrimu kalau kamu masih tetap begini?” Asih mengatakannya dengan lembut, tetapi ada penekanan.“Aku menikah karena dijodohkan sama Bapak, Bu. Nggak ada rasa cinta di antara kami berdua. Bukankah Afsa juga sependapat denga
Deryl berusaha keras menepis perasaan yang seolah menyetujui perkataan Asih.Klara juga hampir sempurna, kok.Sambil melangkah pergi, ia berbisik di dalam hati mengenai pacarnya agar perkataan Asih tak semakin terpatri di sana. Meski begitu, lelaki itu malah terngiang dengan sikap Klara tadi dan beberapa waktu silam ketika sedang bersama Asih.“Oh, Ibu memasak ini buat aku?” ucap Klara kala itu sambil mencicipi ikan yang dimasak oleh Asih.“Ambil garam, dong, Bu. Ini kurang asin,” ujar Klara lagi tanpa sungkan.Asih tentu menurutinya.Saat itu, Deryl baru kembali dari ruangan lain, tetapi sengaja bersembunyi ketika mendengar suara Klara. Ia ingin tahu, apa yang akan dilakukan Klara kepada Asih ketika tak ada dirinya. Harapannya tentu, mereka akan cocok dan asyik saat mengobrol. Deryl ingin dua orang yang sama-sama disayangi itu juga saling menyayangi. Ya, seperti ibu dan anak meski tak terikat dengan hubungan darah.“Sekalian tisu, Bu. Masa di meja nggak ada tisu. Kalau tangan kotor, g
“Bantu aku. Buat wanita yang ada difoto ini menyesal karena berurusan sama aku. Beri dia pelajaran, tapi jangan terlalu parah.”Pesan dikirim kepada seseorang beserta foto wanita bernama Afsana. Dalam beberapa detik, pesan itu bercentang biru. Sudah dibaca dan orang itu sedang menulis pesan balasan.“Wah, apa ini? Kamu berani menyuruhku tanpa membocorkan bayaran apa yang akan kudapat? Aku nggak tertarik.”Senyuman miring menghiasi bibir. Klara tahu, tetapi sengaja tak memberitahunya secara langsung. Ia ingin mengetahui tanggapannya terlebih dulu.“Apa kamu masih menginginkanku?” balas Klara.“Oh, wow! Apa ini? Kamu frustrasi setelah Deryl menikahi wanita lain? Oh, jangan-jangan, wanita ini istrinya Deryl?”“Aku nggak mau banyak basa-basi. Intinya, kalau kamu berhasil membuat wanita dalam foto itu pergi dari kehidupan Deryl, tanpa luka yang membuat curiga, aku akan memberikanmu satu kali kesempatan untuk tidur bersamaku.”“Wah! Penawaran yang sangat menggiurkan, tapi aku nggak mau ditip
“Walau kalian diam, Ibu akan tetap mengurusnya. Tidak ada yang bisa menolak,” tegas Asih meski diakhiri dengan senyuman.“Kalau aku, terserah Afsa saja, Bu,” timpal Deryl.“Nduk, kamu pasti mau, kan?” tanya Asih tatapannya bertemu dengan Afsana di spion.“Kalau kami pergi, Ibu sendirian di rumah,” jawab Afsana sambil nyengir.“Nggak masalah, Nduk. Masih ada mbak-mbak sama pegawai yang lain. Kamu nggak perlu mengkhawatirkannya. Kalian pergi paling lama semingguan. Itu nggak lama, Nduk.”“Tapi, tetap butuh biaya banyak kan, Bu?” Afsana memang merasa tidak enak hati.“Jangan pikirkan itu, Nduk. Setelah kalian pulang bulan madu, Deryl akan bekerja melanjutkan pekerjaan Bapak di tambak. Nantinya akan terkumpul lagi uangnya, Nduk.”Karena tidak ada lagi alasan untuk menolak perintah dari Asih, Afsana mengangguk pelan. Deryl melihatnya. Tentu senyumnya kembali merekah.“Kalau begitu, Afsa mau, Bu.”“Alhamdulillah. Harusnya memang begitu, Nduk. Kamu nggak perlu memusingkan biayanya. Nanti Ibu
Afsana sudah pasti akan mengakhiri pernikahan kami. Dia sudah punya cowok idaman. Dia akan kembali padanya dan menikah. Sedangkan aku, yang mati-matian aku jaga malah berkhianat walau dilakukan demi aku, tapi harusnya bukan begitu caranya.Dalam hati, Deryl berbisik. Tatapannya sendu bergulir tak fokus. Seringnya ke arah bawah, tapi tidak menunduk.Sebelum mulai bicara, Afsana sempat melihat ekspresi yang Deryl gambarkan lewat wajahnya.Apa yang sedang dia pikirkan? “Ayo, Nduk. Bu Asih sama Mas Deryl pasti sudah tidak sabar mendengar keputusanmu,” ujar Aminah membuat Afsana kembali fokus.Afsana kembali mengangguk sambil mengambil napas dalam.“Sebelumnya, terima kasih karena Ibu sama Mas Deryl mau memenuhi kemauanku dan datang ke sini. Untuk waktu yang diberikan kepadaku juga selama tinggal di rumah ini. Aku rasa semua itu cukup untukku berpikir dan harus memberikan keputusan untuk pernikahanku bersama Mas Deryl untuk ke depannya.”Afsana berhenti untuk mengambil napas. Namun, kedua
“Seperti yang kamu lihat sekarang, Af. Alhamdulillah, aku baik walau memang aku jadi sering memikirkanmu,” jawab Deryl yang spontan membuat teman Afsana tidak enak berada di antara mereka.“Af, aku tunggu di motor, ya,” ujarnya berbisik.Afsana ingin mencegah, tetapi tidak mungkin. Hanya bisa melebarkan kedua mata saat temannya perlahan meninggalkannya.“Af, maaf, kamu pasti nggak nyaman bertemu denganku begini.” Perkataan Deryl kembali memfokuskan Afsana.Senyum tersungging untuk sedikit mencairkan suasana.“Takdir yang mempertemukan kita, Mas. Mungkin, agar aku tau kalau kamu sudah benar-benar serius untuk berubah. Kita mungkin perlu bicara, walau nggak lama. Nggak mungkin aku menghindar terus, kan?” ujar Afsana harus menentukan dengan tegas.“Kalau gitu, apa kita bisa cari tempat yang lebih nyaman?”“Boleh, Mas.”Deryl mengitarkan pandangannya. Ia menemukan bangku di taman kecil dan kosong.“Tuh! Di sana, yuk,” ajak Deryl sambil mengacungkan jemarinya.Afsana mengikuti arah telunju
Sudah dua bulan semenjak Deryl mengantarkan Afsana ke rumah orang tuanya, selama itu pula, dua orang itu tidak saling memberi kabar.Jasad Marwan sudah dikembalikan dan dikebumikan dengan benar. Dengan seperti itu pula, Haribowo dan semua yang terlibat sudah jelas dimasukkan ke dalam penjara.“Nduk, sudah dua bulan kamu di sini. Apa kamu belum menentukannya? Kasihan Deryl, pasti sedang menunggu kepastian darimu di sana. Bu Asih kelihatan sayang juga sama kamu kan, Nduk?” tanya Aminah yang duduk di sebelah Afsana.Anak perempuannya itu melihat pergerakan sang ibu. Ia membuang napas perlahan. Tak dimungkiri, Afsana masih bingung mau dibawa ke mana pernikahannya yang baru seumur jagung. Memang benar, ada perjanjian akan bercerai di antara mereka, tetapi Afsana mulai gundah saat mengetahui Deryl bersungguh-sungguh mengubah kepribadiannya.“Tapi memang, sepertinya Deryl tidak pantas dijadikan suami untukmu kan, Nduk? Dia pasti nggak salat atau mengerjakan ibadah yang lain. Walau begitu, ke
“Pak, bagaimana?” tanya Lingga yang bisa ditangkap oleh Deryl.“Mas Lingga, apa kamu juga tahu, hm?” Deryl ingin segera menemukan titik terang sesungguhnya.Mungkin ini waktunya, bagaimanapun perasaan bersalah ini nggak bisa hilang begitu saja. Walau aku sudah coba untuk menebusnya dengan caraku sendiri.Haribowo bergeming. Padahal, Lingga yang ada di sebelahnya tampak gelisah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Deryl terasa menghunjam jantungnya.“Pak, jelaskan kalau memang Bapak tahu,” pinta Asih yang didampingi oleh Afsana. Tenaganya terasa menguap. Butuh orang untuk menjaganya.Embusan kasar dilakukan. Haribowo bersiap mengucapkan kalimat. Ia sudah memutuskan solusi paling tepat. Meski terasa sangat berat.“Aku akan mengakui semuanya,” ujar Haribowo.“Bapak yakin?” tanya Lingga agak kaget.“Iya, Ga. Mungkin inilah saatnya. Bapak merasa bersalah.”Lingga mengangguk pasrah.“Ada apa sebenarnya, Pak?” tanya Asih kini air matanya semakin deras mengalir. Perasaannya tidak karuan. Apakah
“Kamu mau ngapain, sih, De?” tanya Asih sebab setelah Haribowo meninggalkan rumah, anak lelakinya malah sibuk sendiri mempersiapkan keperluan untuk menggali tanah.“Mau gali tanah, Bu.”“Buat apa?” Asih keheranan.“Ada sesuatu yang harus dicaritahu, Bu.” Deryl tidak mengatakan tujuan sesungguhnya karena memang belum jelas hasilnya seperti apa.“Apa memangnya?”Asih makin penasaran, makanya ia ingin segera tahu tujuan itu.“Nanti Ibu akan tahu, Bu. Aku saja penasaran. Sudah tanyanya, Bu. Aku harus segera melakukannya agar rasa penasaran kita menghilang.”Asih menghela napas karena perkataan sang anak belum dipahami. Namun, ia hanya bisa diam dan mengikuti anak lelakinya itu.Sedangkan Afsana, ia juga bingung harus mengatakan kebenarannya atau tidak pada Asih. Dirinya kan tahu semuanya dan yang menjadi alasan Deryl mau menggali tanah itu.Deryl melihat Afsana. Lalu, ia pergi sebentar menemui sang istri.“Kamu pura-pura nggak tahu saja. Biar Ibu lihat sendiri nanti,” bisik Deryl. Lalu, k
Jam dinding terus bergerak jarumnya, nyatanya Afsana tidak semudah itu memajamkan matanya kembali setelah bermimpi buruk.“Kenapa belum tidur?” tanya Deryl saat melihat mata istrinya masih terbuka.“Aku jadi nggak ngantuk, Mas. Kamu tidur aja.”“Kenapa?”“Ya karena kamu pasti ngantuk, kan? Nggak usah nungguin aku tidur, Mas.”“Bukan itu. Kamu belum ngantuk karena takut bermimpi buruk lagi, kan?” tebak Deryl.Lebih tepatnya, Afsana belum bisa tidur karena bimbang akan mengatakan mimpi itu pada Deryl atau disimpan sendiri. Namun, mimpinya tadi seperti sebuah petunjuk. Juga, kejadian-kejadian di luar nalar yang beberapa waktu lalu dialami makin menambah pikiran.“Aku cerita, tapi kamu jangan tersinggung, ya, Mas.” Afsana memberanikan diri.“Cerita soal mimpi burukmu itu? Kenapa harus tersinggung?”“Aku ngomong dulu sebelum cerita, Mas. Soalnya, dalam mimpiku sosok itu ngomongnya agak aneh.”“Kamu cerita sambil tiduran begitu?”Memang benar, Afsana tidak beranjak dari tempat pembaringann
Pertanyaan itu dirasa janggal oleh Deryl. Kening tentu mengernyit.“Biar kamu tenang, Mas De. Aku biasa menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an kalau lagi banyak masalah. Alhamdulillah, hati terasa lebih tenang, Mas De. Mungkin saja, kamu pengen coba, siapa tahu ada perubahan,” ucap Afsana sambil tersenyum. Lalu, ia pergi mengambil kitab suci yang disimpan di lemari.“Ya sudahlah, terserah kamu saja,” jawab Deryl.“Oke.”Afsana kembali duduk. Wudhunya belum batal. Jadi, ia langsung mengambil kitab suci itu dan sekarang membukanya.“Suaraku nggak bagus,” ucap Afsana sebelum memulai melantunkan ayat-ayat suci itu.“Iya. Buruan.”Deryl duduk tak jauh dari Afsana.Afsana mengambil napas. Lalu, ia mulai melafazkan basmallah sebelum membaca ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab suci itu.Ketika mendengar suara istrinya, Deryl agak terkejut. Ia membuka mata lebar-lebar untuk sesaat. Yang dikata tidak merdu, nyatanya tak begitu bagi telinga lelaki itu.Sebagus ini dia ngomongnya nggak merd
Senyum getir menghiasi bibir. Benar memang, Deryl sadar diri bagaimana dirinya saat ini. Sangat berbanding terbalik kalau dibandingkan dengan lelaki yang pernah duduk di hadapan istrinya saat di warung makan.“Iya, aku tahu. Istirahatlah. Aku akan berangkat kerja.”“Iya, maafkan aku karena sudah mengatakan kenyataan pahit yang membuatmu tidak nyaman.”Hanya senyuman. Lalu, Deryl keluar dari kamar.Andai aku mengubah penampilan dan mempelajari ilmu agama dengan benar, apakah dia akan mempertimbangkan hubungan pernikahan yang telah terjalin ini? Tapi, buat apa aku memikirkannya? Memang lebih baik kalau kami bercerai kan?“De, kamu mau kerja?” tanya Asih ketika melihat anak lelakinya pergi ke garasi.“Iya, Bu. Afsa di sini kan, sudah ada Ibu. Aku juga harus serius bekerja biar nggak dimarahi Bapak.”“De, cobalah perbaiki dirimu dan dekati Afsa sungguh-sungguh. Kamu sudah menikah. Fokuslah pada pernikahanmu. Hubungan ini bukan untuk main-main walaupun awalnya karena perjanjian utang. Ibu