Langit sore memancarkan warna jingga keemasan saat Suci melangkahkan kakinya keluar dari mall. Beberapa kantong belanja berayun di tangannya, hasil dari perjalanan panjang mencari kebutuhan rumah dan beberapa barang untuk dirinya sendiri. Hari yang melelahkan, tapi ia senang karena mama mertuanya memberikan uang bulanan yang cukup banyak dan memintanya membeli beberapa stel pakaian bagus. Dengan langkah ringan, ia menuju area foodcourt karena ingin membelikan oleh-oleh baso Malang untuk sang Ibu mertua. Namun, perjalanannya terhenti ketika pandangannya tertuju pada dua sosok di sebuah restoran yang ada di dalam mall. Seorang wanita yang sangat dikenalnya sedang duduk bersama seorang pria. Wanita itu adalah Aini, istri pertama Alex, suaminya.Suci berdiri terpaku. Matanya tidak bisa lepas dari pemandangan tersebut. Aini terlihat anggun dalam balutan gaun sederhana. Di sampingnya, seorang pria muda dengan wajah tampan dan postur tinggi sedang tertawa ringan sambil menatapnya. Gestur m
Malam itu, langit gelap tanpa bintang. Hanya lampu-lampu jalan yang redup menjadi penerang di tengah sunyinya malam. Di dalam mobil mewahnya, Alex menggenggam setir dengan erat. Rahangnya mengeras, sementara napasnya memburu seperti amarah yang siap meledak kapan saja.“Sialan!” gumamnya penuh geram. Suara mesin mobil yang menderu-deru menenggelamkan kegundahan yang berputar di kepalanya. Ia tahu pasti bahwa Aini, istrinya, memilih pergi bersama Dhuha atas keinginannya sendiri. Namun, rasa marah dan cemburu membakar logikanya.Ia tidak menyangka bahwa Aini akan berbuat nekat di belakangnya. Sampai detik ini pun, ia masih sangat mencintai istri pertamanya itu. Menikahi Suci hanya karena terpaksa saja. “Aku tidak akan membiarkan mereka bahagia. Kalau perlu, Dhuha harus masuk penjara,” pikir Alex dengan penuh kebencian. Ia memutuskan untuk memutar cerita, membuat tuduhan palsu bahwa Dhuha telah menculik Aini. Dengan begitu, ia berharap polisi segera menangkap Dhuha dan memisahkannya dar
Pagi itu, suasana rumah Alex terasa lebih sunyi dari biasanya. Suci hanya terdengar sibuk di dapur, menghangatkan bubur untuk Alex yang masih terbaring di kamar. Wajahnya lelah, tapi ia tetap melakukan apa yang menurutnya adalah kewajiban sebagai seorang istri. Meskipun berkali-kali Alex menyakitinya secara verbal. Di kamar, Alex perlahan membuka matanya. Kepala masih berat, sisa mabuk kemarin membuat tubuhnya terasa lunglai. Namun, pikirannya terus dihantui oleh bayangan Aini. Dhuha dan Aini. Dua nama itu seperti duri yang menusuk setiap kali terlintas di benaknya.Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada beberapa pesan tak terbaca dari mamanya yang dikirim semalam, tapi Alex mengabaikannya. Yang ia cari adalah perkembangan dari polisi tentang laporan yang ia buat tadi malam. Namun, belum ada kabar. Ia juga melewati pesan yang dikirim bosnya di kantor. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Suci masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan sege
Langit malam yang pekat menyelimuti suasana di luar rumah sakit, sementara lampu-lampu neon menyala terang, menerangi lorong-lorong yang sepi namun terasa penuh beban. Rumah sakit itu sendiri, dengan aroma khas antiseptik yang memenuhi udara, menjadi saksi bisu dari berbagai kisah hidup—kelahiran, kesembuhan, kehilangan, dan harapan.Alex berjalan tergesa-gesa menuju kamar perawatan VIP. Langkah kakinya terdengar berat, mencerminkan hatinya yang penuh kebimbangan. Saat tiba di depan pintu kamar Suci, ia terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum membuka pintu.Di dalam, suasana hangat namun penuh ketegangan. Suci terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat namun tetap menampilkan keanggunan yang tak pudar. Di sebelahnya, Bu Asma duduk dengan senyum lebar yang tak dapat ia sembunyikan. Begitu melihat Alex, wajah Bu Asma berbinar."Alex, akhirnya kamu datang juga," ujar Bu Asma dengan nada penuh antusias. Ia segera berdiri dan menghampiri putranya. "Dokter baru saja pergi. Mereka bi
“Suci, apa kamu baik-baik saja?” suara Alex memecah keheningan di kamar perawatan VIP rumah sakit.Suci menoleh perlahan, matanya yang sembab karena lelah dan emosi menatap Alex tanpa banyak ekspresi. “Alhamdulillah Bapak sepertinya masih peduli pda saya. Oh, mungkin karena saya mengandung anak Bapak?” tanyanya pelan, tapi nadanya dingin.Alex menghela napas. Ia tahu Suci berhak marah, bahkan lebih dari itu. Ia terlalu sering membentaknya, meninggalkannya, bahkan membuatnya merasa tak berharga. Tapi saat ini, ada satu kenyataan yang tak bisa ia abaikan: Suci sedang mengandung anaknya.“Aku... aku hanya ingin tahu keadaanmu dan anak dalam perut kamu,” kata Alex dengan suara rendah.“Saya baik-baik saja. Mudah-mudahan janin ini pun sehat sampai nanti dilahirkan,” jawab Suci singkat. Ia lalu memalingkan wajah, menatap ke jendela lagi.Alex terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan ketegangan ini, tetapi semuanya terasa salah. Ia mendekat, duduk di kursi dekat ranjang Suci. “S
"Ambil saja kembaliannya, Pak." "Wah, makasih Neng. Maaf, mau cerai ya?" Luna hanya tersenyum saat pengemudi ojek online itu bertanya. Lalu ia segera berjalan hendak pintu gerbang kantor pengadilan agama itu. Hujan rintik-rintik turun perlahan, menciptakan simfoni halus di atas payung-payung dan daun-daun yang basah. Di depan gedung pengadilan agama, Luna berdiri dengan tubuh gemetar. Bukan karena dingin, melainkan karena pikirannya yang penuh keraguan. Bukankah ini yang ia inginkan, berpisah dari Anton. Tapi kenapa semakin lama ia jauh dari pria yang masih menjadi suaminya itu, maka semakin hampa juga rasanya ia menjalani hidup. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki gedung. Suara langkah kaki dan bisik-bisik pelan para pengunjung bercampur menjadi latar belakang yang membingungkan. Di salah satu deretan kursi, Anton duduk dengan tenang, mengenakan kemeja biru tua yang membuat kulit coklatnya tampak semakin bersinar. Rambutnya rapi, sedikit lebih panjang dari yang biasa Luna li
Pagi itu, Luna berdiri di depan rumah sederhana yang pernah ia tinggali bersama Anton dan Aris. Hatinya dipenuhi keberanian yang ia sendiri tak tahu berasal dari mana. Ia mengetuk pintu, menggenggam tas kecil di tangannya, seolah kunjungannya kali ini adalah hal biasa.Amel membuka pintu dengan alis terangkat. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas. “Luna?” tanyanya, suaranya terdengar ragu. “Ada apa pagi-pagi ke sini?”Luna tersenyum tipis, meski ada ketegangan di wajahnya. “Aku ke sini karena ingin mengantar Aris sekolah hari ini.”Amel terdiam sejenak, memandang Luna dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu yakin? Aris biasanya diantar Anton, kamu tahu itu, kan?” Amel menoleh ke bekalang. Sebelum Luna bisa menjawab, Anton muncul dari balik pintu, mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sama dengan Amel: terkejut. “Luna? Kenapa kamu di sini?” kening pria itu mengerut dalam. “Aku ingin mengantar Aris sekolah,” ulang Luna dengan suara yang
"Jadi, Luna benar-benar kembali ke rumah Anton?" "Ya, begitulah."Suara Hakim terdengar berat, penuh dengan kekecewaan. Ia menatap wajah Dhuha yang sedang menyeduh kopi di dapur kecil apartemennya."Kok bisa?""Gue dengar langsung dari Amel tadi pagi," jawab Dhuha, menyerahkan cangkir kopi kepada sepupunya itu. "Lo tahu, gue nggak habis pikir. Apa yang ada di pikiran Luna? Anton itu jelas-jelas sedang dekat dengan Amel. Dan sekarang Luna kembali? Ini seperti menghidupkan bara api di tumpukan jerami."Hakim menghela napas panjang. "Gue jadi bingung sama status adek gue. Bagaimana juga Amel itu masih ting ting, Dhu. Sarjana lagi, S2, tapi perasaannya malah jatuh pada duda yang statusnya masih belum jelas juga.""Tepat sekali." Dhuha mengangguk sambil duduk di sofa. "Dan itulah masalahnya. Status itu penting, Hakim. Kalau hubungan mereka tidak sah di mata agama maupun negara, siapa yang akan menanggung akibatnya? Masalah seperti ini bukan cuma merugikan diri sendiri, tapi juga orang-ora
Dhuha berdiri di balkon apartemennya, pandangannya menembus pemandangan kota Bandung yang mulai dihiasi lampu-lampu malam. Angin dingin berembus lembut, membawa aroma hujan yang tersisa sejak sore tadi. Tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya. Melainkan bayangan seorang perempuan, dengan senyum lembut yang selalu berhasil membuat hatinya berdebar. Aini.Wanita yang dulunya ia tak sudi menyentuhnya, tapi sekarang, dia bisa mati jika berjauhan dengannya. Ada sebuah kalimat petuah bertuliskan, membencilah sewajarnya, karena suatu saat kalian bisa jadi sangat mencintainya. Kini ia tidak tahu kapan tepatnya jatuh cinta lagi kepada mantan istrinya itu. Mungkin sejak pertama kali Aini datang kembali ke kehidupannya, meminta bantuan untuk menyelesaikan perceraian dengan Alex. Atau mungkin sejak mereka mulai berbagi ruang lagi di apartemen ini, saat Dhuha melihat sisi rapuh Aini yang selama ini jarang ia perhatikan. Namun, situasi mereka jauh dari kata sederhana. Aini masih terikat dalam per
Pagi-pagi sekali, bik Emi sudah sampai di apartemen Dhuha dengan membawa bahan masakan. Semalam Dhuha mengirimkan pesan pada wanita itu agar bisa datang lebih pagi dan membawa bahan masakan. Wanita itu sudah sibuk di dapur, sambil terus melihat ke arah ruang tengah, dimana bosnya sedang tidur pulas. Mendengar suara sedikit berisik di dapur, Dhuha terbangun. "Oh, udah datang, Bik," sapanya. "Sudah, Pak. Bapak tidur di luar? Lagi ada tamu ya?" Dhuha mengangguk "Iya, ada mama dan saudara saya. Makanya kamu semalam saya suruh datang cepat untuk masak. Biar Aini gak usah masak.""Baik, Pak, saya masak kwetiau kuah seafood, nasi goreng, dan ada jus buah. Apa itu cukup, Pak?""Cukup, Bik. Lanjutkan saja pekerjaan kamu." Dhuha berjalan masuk ke kamar mandi yang berada di luar. Ia tidak mau menganggu tidur mamanya dan juga Monic. Suara gemericik air dari wastafel dan aroma tumisan bawang putih memenuhi dapur apartemen Dhuha. Bik Emi sibuk mengaduk wajan sambil memotong sayuran di sampingn
Tok! Tok! Anton menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk dua kali. Siapa lagi kalau bukan Luna. Pria itu menekan layar ponselnya untuk melihat jam. Sudah jam dua belas malam. Di luar hujan dan saat ini baru saja mati lampu. "Anton." Pria itu menghela napas. "Kenapa?""Maaf, apa kamu punya lilin lagi? Lilin di kamar udah mau habis." Anton melirik lilin yang ada di lantai kamar yang juga tinggal kurang lebih lima senti saja. Pria itu akhirnya membuka pintu kamar. "Di dapur gak ada?" Luna menggelengkan kepala. "Ya sudah, tunggu sebentar." Anton berjalan ke dapur, sedangkan Luna masuk ke kamar yang dulu pernah ia tiduri selama empat tahun lamanya. Kamarnya masih sama, ranjangnya juga. Ia bisa melihat keadaan kamar itu dari temaram cahaya lilin. Lalu ia melihat ke arah dinding yang biasanya ada foto pernikahannya, tetapi kini sudah tidak ada. Foto pernikahan di mana posenya seperti singa yang hendak menerkam mangsa. Beda dengan Anton yang tersenyum. "Ngapain kamu di sini?" tanya Anto
"Jadi, lo berangkat malam ini ke Surabaya?" Dhuha mengaduk latte-nya dengan malas, matanya mengamati Hakim yang tampak sibuk memeriksa pesan di ponselnya. Kedua sepupu itu ketemu di sebuah kafe dekat dengan kantor Hakim. "Iya, gue udah pesen tiket tadi pagi," jawab Hakim tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Resepsi pernikahannya Kinanti kan besok pagi. Gue nggak mungkin datang telat. Mama, papa, sama Amel udah di sana dari jumat karena menyaksikan aksi nikah. Lo beneran gak datang?" "Kayaknya bakal rame, ya. Semua keluarga ngumpul," Dhuha menyesap minumannya."Iya, kalau lagi ada momen nikahan, emang selalu kumpul kan. Mami Maria juga gak datang kayaknya karena masih belum pulih ya?" tanya Hakim. Dhuha pun mengangguk. Ia yang melarang mamanya terbang ke Surabaya karena kondisi kesehatan. "Gue udah transfer langsung ke Kinanti. Dari gue sama mama. Mungkin kalau mama udah enakan, baru ke sana." Hakim pun mengangguk mafhum. "By the way, gimana kabar Amel? Udah lama gue n
“Amel, kamu yakin nggak mau mencoba mengenal Levi lebih jauh?” suara Viona terdengar lembut, tapi tetap mendesak.Amel menatap ibunya dengan alis bertaut. Ia baru saja turun ke ruang makan untuk sarapan, tapi Viona sudah memulai lagi topik yang sama. “Ma, aku sudah bilang, aku masih sama Anton. Aku nggak tertarik untuk mengenal siapa pun lagi. Mama tahu kan, aku perempuan yang jarang sekali pacaran dan baru kali ini aku senang sama lelaki dewasa yang bertanggung jawab."Viona menghela napas panjang, menahan diri agar tidak meledak. Fahri yang duduk di sebelahnya ikut menimpali. “Amel, kami hanya ingin yang terbaik buat kamu. Anton itu... ya, kamu tahu sendiri, dia punya banyak masalah. Dia duda dengan satu anak. Kami nggak yakin dia bisa membuatmu bahagia. Apalagi dia duda bercerai, bukan ditinggal meninggal istrinya. Mama dan papa harap, kamu mau memikirkan perkenalan dengan Levi. Just friends, girl!"“Papa, Mama, aku tahu kalian nggak setuju sama hubungan kami,” jawab Amel, suaranya
“Mas, Luna masih di sana?” suara Amel terdengar di ujung telepon, nadanya penuh kehati-hatian namun sarat kecurigaan.Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Sayang. Luna masih di sini. Tapi, percayalah, dia cuma di sini sampai urusan perceraian kami selesai.”“Tapi kenapa dia harus tinggal di rumahmu? Bukankah itu bisa diselesaikan tanpa harus tinggal bersama?” suara Amel sedikit bergetar. “Aku ini cemburu, Mas. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku takut kalau kalian berdua jadi rujuk. Apalagi, aku harus di Surabaya sampai tiga hari. Ck, ingin banget aku buru-buru pulang, tapi gak bisa. Acara nikahan sodaraku rumit."“Amel, dengarkan aku.” Anton menekankan suaranya, mencoba meyakinkan Amel. “Aku dan Luna sudah selesai. Tidak ada lagi apa-apa di antara kami selain tanggung jawab sebagai orang tua untuk Aris. Dia hanya di sini demi anak kami. Aku mohon, percayalah padaku. Kamu masih gak percaya sama aku?"Namun, jawaban itu tidak sepenuhnya membuat hati Amel tenang. Ia ter
“Luna, kamu sebaiknya pergi dari sini,” ujar Anton dengan nada tegas, meski suaranya terdengar lelah. Ia berdiri di ruang tamu, menatap Luna yang sedang menyapu lantai dengan gerakan santai, seolah-olah dia adalah pemilik sah rumah itu. Dan memang saat ini statusnya masih istri Anton, tentu saja tak ada masalah dengan kegiatannya membereskan rumah. “Aku tidak akan pergi, Mas,” jawab Luna tanpa menoleh, tetap melanjutkan pekerjaannya. “Aku istrimu, dan sampai pengadilan memutuskan sebaliknya, aku akan tetap di sini.”Tumben sekali panggil, Mas! Apa dia kesambet? Batin Anton. “Kita sedang dalam proses perceraian,” balas Anton, suaranya meninggi. “Kamu tahu itu. Apa yang kamu harapkan dengan tinggal di sini? Rumah tangga ini gak ada harapan. Sejak awal rumah tangga ini berdiri tanpa cinta."Luna berhenti menyapu. Dia menatap Anton dengan mata yang tenang, seolah kata-kata pria itu tidak ada artinya. “Aku tidak di sini untuk cinta, Mas. Aku di sini untuk Aris. Untuk rumah ini. Dan untuk
"Jika kamu mau bicara, bicara padaku, bukan dengan Aini. Jika tidak, sebaiknya kamu pergi! Ini unitku dan aku bisa mengusirmu kapan saja!" Alex menahan diri agar tidak emosi di depan Dhuha. Ia tahu jika ia melawan maka ia akan diusir dari apartemen. Apalagi dua security yang menemani Dhuha sudah siap sedia untuk menyeretnya. Bisa dilihat dari tatapan dua pria bertubuh tinggi besar itu. "Jika mau, kita bicara di kafe di bawah. Sebagai lelaki, bagaimana?" tawar Dhuha. Alex tidak menyahut, tapi pria itu pun pergi masuk ke dalam lift. Dhuha mengikuti dari belakang. Kini keduanya sudah duduk di kafe yang berada di lantai satu apartemen. "Lo udah sarapan? Mau pesan makan?" Alex tak menjawab. “Dhuha,” suara Alex terdengar serak, berusaha menahan gejolak di dadanya. Mereka berdua duduk di beranda rumah Dhuha, malam yang sunyi hanya ditemani suara alunan khas musik kafe pagi hari. “Aku ingin kamu jawab jujur satu hal.”Dhuha menatap Alex, ekspresinya datar namun matanya tajam. “Tanya saja,
Ruang televisi yang tadinya dipenuhi suara tawa dari film komedi romantis kini senyap, hanya menyisakan desahan napas tertahan dari dua insan yang saling berpandangan. Dhuha masih duduk di sofa, matanya membulat, sementara Aini berdiri terburu-buru. Wajahnya memerah hingga ke telinga. Ia tidak menunggu lama untuk berlari masuk ke kamarnya, meninggalkan Dhuha yang masih membeku di tempat. Detak jantungnya masih tak beraturan. Di kamar, Aini menjatuhkan dirinya ke ranjang. Jantungnya berdetak terlalu cepat, tangannya gemetar saat menyentuh bibirnya sendiri. "Apa yang aku lakukan?!" bisiknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, berharap rasa malu itu bisa mereda. Tapi semakin ia mengingat kejadian tadi, semakin panas wajahnya."Kenapa aku nekat cium Dhuha? Ya ampun, malunya!"Ia telah mencium Dhuha. Bukan kecupan iseng, melainkan ciuman yang terasa nyata, penuh emosi. Dan yang membuatnya semakin sulit menerima adalah kenyataan bahwa ia yang memulai. Ia yang duduk di pangkuan Dhuha,