Suara hujan deras membangunkan Aini lebih pagi dari biasanya. Langit di luar jendela kamar masih gelap meskipun jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Gemuruh petir sesekali menggelegar, memecah keheningan. Ia menarik selimut yang menjuntai di lantai, melilitkannya ke tubuh untuk mengusir hawa dingin yang merayap masuk dari sela-sela jendela.Setelah beberapa saat mengumpulkan tenaga, Aini akhirnya bangkit dari tempat tidur. Langkahnya pelan menuju kame mandi. Sudah terlalu siang untuk solat subuh, tetapi akan lebih merugi jika ia melewatkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Setelah solat, Aini kembali pada rutinitas pagi yang harus diselesaikan, terutama karena Dhuha dan ia menumpang pada mantannya itu yang tidak tahu akan sampai kapan. Ia menyalakan kompor dan mulai memotong bawang, menggoreng nasi dengan sisa lauk semalam. Aroma bawang yang wangi mulai memenuhi ruangan kecil itu, berpadu dengan suara gemericik hujan di luar. Di sisi lain dapur, teh manis yang hangat sedang
Langit sore memancarkan warna jingga keemasan saat Suci melangkahkan kakinya keluar dari mall. Beberapa kantong belanja berayun di tangannya, hasil dari perjalanan panjang mencari kebutuhan rumah dan beberapa barang untuk dirinya sendiri. Hari yang melelahkan, tapi ia senang karena mama mertuanya memberikan uang bulanan yang cukup banyak dan memintanya membeli beberapa stel pakaian bagus. Dengan langkah ringan, ia menuju area foodcourt karena ingin membelikan oleh-oleh baso Malang untuk sang Ibu mertua. Namun, perjalanannya terhenti ketika pandangannya tertuju pada dua sosok di sebuah restoran yang ada di dalam mall. Seorang wanita yang sangat dikenalnya sedang duduk bersama seorang pria. Wanita itu adalah Aini, istri pertama Alex, suaminya.Suci berdiri terpaku. Matanya tidak bisa lepas dari pemandangan tersebut. Aini terlihat anggun dalam balutan gaun sederhana. Di sampingnya, seorang pria muda dengan wajah tampan dan postur tinggi sedang tertawa ringan sambil menatapnya. Gestur m
Malam itu, langit gelap tanpa bintang. Hanya lampu-lampu jalan yang redup menjadi penerang di tengah sunyinya malam. Di dalam mobil mewahnya, Alex menggenggam setir dengan erat. Rahangnya mengeras, sementara napasnya memburu seperti amarah yang siap meledak kapan saja.“Sialan!” gumamnya penuh geram. Suara mesin mobil yang menderu-deru menenggelamkan kegundahan yang berputar di kepalanya. Ia tahu pasti bahwa Aini, istrinya, memilih pergi bersama Dhuha atas keinginannya sendiri. Namun, rasa marah dan cemburu membakar logikanya.Ia tidak menyangka bahwa Aini akan berbuat nekat di belakangnya. Sampai detik ini pun, ia masih sangat mencintai istri pertamanya itu. Menikahi Suci hanya karena terpaksa saja. “Aku tidak akan membiarkan mereka bahagia. Kalau perlu, Dhuha harus masuk penjara,” pikir Alex dengan penuh kebencian. Ia memutuskan untuk memutar cerita, membuat tuduhan palsu bahwa Dhuha telah menculik Aini. Dengan begitu, ia berharap polisi segera menangkap Dhuha dan memisahkannya dar
Pagi itu, suasana rumah Alex terasa lebih sunyi dari biasanya. Suci hanya terdengar sibuk di dapur, menghangatkan bubur untuk Alex yang masih terbaring di kamar. Wajahnya lelah, tapi ia tetap melakukan apa yang menurutnya adalah kewajiban sebagai seorang istri. Meskipun berkali-kali Alex menyakitinya secara verbal. Di kamar, Alex perlahan membuka matanya. Kepala masih berat, sisa mabuk kemarin membuat tubuhnya terasa lunglai. Namun, pikirannya terus dihantui oleh bayangan Aini. Dhuha dan Aini. Dua nama itu seperti duri yang menusuk setiap kali terlintas di benaknya.Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada beberapa pesan tak terbaca dari mamanya yang dikirim semalam, tapi Alex mengabaikannya. Yang ia cari adalah perkembangan dari polisi tentang laporan yang ia buat tadi malam. Namun, belum ada kabar. Ia juga melewati pesan yang dikirim bosnya di kantor. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Suci masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan sege
Langit malam yang pekat menyelimuti suasana di luar rumah sakit, sementara lampu-lampu neon menyala terang, menerangi lorong-lorong yang sepi namun terasa penuh beban. Rumah sakit itu sendiri, dengan aroma khas antiseptik yang memenuhi udara, menjadi saksi bisu dari berbagai kisah hidup—kelahiran, kesembuhan, kehilangan, dan harapan.Alex berjalan tergesa-gesa menuju kamar perawatan VIP. Langkah kakinya terdengar berat, mencerminkan hatinya yang penuh kebimbangan. Saat tiba di depan pintu kamar Suci, ia terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum membuka pintu.Di dalam, suasana hangat namun penuh ketegangan. Suci terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat namun tetap menampilkan keanggunan yang tak pudar. Di sebelahnya, Bu Asma duduk dengan senyum lebar yang tak dapat ia sembunyikan. Begitu melihat Alex, wajah Bu Asma berbinar."Alex, akhirnya kamu datang juga," ujar Bu Asma dengan nada penuh antusias. Ia segera berdiri dan menghampiri putranya. "Dokter baru saja pergi. Mereka bi
“Suci, apa kamu baik-baik saja?” suara Alex memecah keheningan di kamar perawatan VIP rumah sakit.Suci menoleh perlahan, matanya yang sembab karena lelah dan emosi menatap Alex tanpa banyak ekspresi. “Alhamdulillah Bapak sepertinya masih peduli pda saya. Oh, mungkin karena saya mengandung anak Bapak?” tanyanya pelan, tapi nadanya dingin.Alex menghela napas. Ia tahu Suci berhak marah, bahkan lebih dari itu. Ia terlalu sering membentaknya, meninggalkannya, bahkan membuatnya merasa tak berharga. Tapi saat ini, ada satu kenyataan yang tak bisa ia abaikan: Suci sedang mengandung anaknya.“Aku... aku hanya ingin tahu keadaanmu dan anak dalam perut kamu,” kata Alex dengan suara rendah.“Saya baik-baik saja. Mudah-mudahan janin ini pun sehat sampai nanti dilahirkan,” jawab Suci singkat. Ia lalu memalingkan wajah, menatap ke jendela lagi.Alex terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan ketegangan ini, tetapi semuanya terasa salah. Ia mendekat, duduk di kursi dekat ranjang Suci. “S
"Ambil saja kembaliannya, Pak." "Wah, makasih Neng. Maaf, mau cerai ya?" Luna hanya tersenyum saat pengemudi ojek online itu bertanya. Lalu ia segera berjalan hendak pintu gerbang kantor pengadilan agama itu. Hujan rintik-rintik turun perlahan, menciptakan simfoni halus di atas payung-payung dan daun-daun yang basah. Di depan gedung pengadilan agama, Luna berdiri dengan tubuh gemetar. Bukan karena dingin, melainkan karena pikirannya yang penuh keraguan. Bukankah ini yang ia inginkan, berpisah dari Anton. Tapi kenapa semakin lama ia jauh dari pria yang masih menjadi suaminya itu, maka semakin hampa juga rasanya ia menjalani hidup. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki gedung. Suara langkah kaki dan bisik-bisik pelan para pengunjung bercampur menjadi latar belakang yang membingungkan. Di salah satu deretan kursi, Anton duduk dengan tenang, mengenakan kemeja biru tua yang membuat kulit coklatnya tampak semakin bersinar. Rambutnya rapi, sedikit lebih panjang dari yang biasa Luna li
Pagi itu, Luna berdiri di depan rumah sederhana yang pernah ia tinggali bersama Anton dan Aris. Hatinya dipenuhi keberanian yang ia sendiri tak tahu berasal dari mana. Ia mengetuk pintu, menggenggam tas kecil di tangannya, seolah kunjungannya kali ini adalah hal biasa.Amel membuka pintu dengan alis terangkat. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas. “Luna?” tanyanya, suaranya terdengar ragu. “Ada apa pagi-pagi ke sini?”Luna tersenyum tipis, meski ada ketegangan di wajahnya. “Aku ke sini karena ingin mengantar Aris sekolah hari ini.”Amel terdiam sejenak, memandang Luna dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu yakin? Aris biasanya diantar Anton, kamu tahu itu, kan?” Amel menoleh ke bekalang. Sebelum Luna bisa menjawab, Anton muncul dari balik pintu, mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sama dengan Amel: terkejut. “Luna? Kenapa kamu di sini?” kening pria itu mengerut dalam. “Aku ingin mengantar Aris sekolah,” ulang Luna dengan suara yang
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.