"Ma, Mbak Aini kemana, ya? Saya belum pernah lihat dia di rumah sejak pindah ke sini," tanya Suci perlahan. Ia menatap ibu mertuanya, Bu Asma, yang sedang sibuk menyiapkan teh di meja dapur. Suci merasa perlu menanyakan hal ini karena meskipun ia istri kedua Alex, ia belum pernah bertemu langsung dengan istri pertama suaminya.Bu Asma mendesah pelan sebelum menjawab, "Biasanya Aini habis antar anak-anak ke sekolah, terus keluyuran entah ke mana. Dia jarang di rumah siang-siang begini.""Oh begitu," balas Suci, mencoba menyembunyikan rasa lega yang menggelayut di hatinya.Sejak ia resmi menikah siri dengan Alex dia minggu lalu, hidup Suci terasa seperti berjalan di atas bara. Perasaan bersalah terus menghantui, terlebih saat ia tahu harus tinggal seatap dengan keluarga Alex. Namun, yang mengejutkannya, Alex lebih sering tidur di kamarnya daripada di kamar Aini. Keadaan ini membuatnya bertanya-tanya, tapi ia memilih untuk tidak memperlihatkan kebingungannya di depan mertuanya."Intan sa
Langit Jakarta mulai menggelap saat Dhuha memacu langkahnya menuju apartemen. Napasnya memburu, sebagian karena tergesa-gesa, sebagian lagi karena pikirannya yang terus bergulat. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kantor dan menerima pesan singkat dari mamanya dan telepon dari Aini. Kabar mamanya yang berkunjung ke apartemennya, tentu saja membuatnya syok. Apalagi sang Mama terang-terangan mengusir Aini. Ia tidak akan membiarkan wanita yang ia cintai, yang saat ini sedang tidak baik-baik saja, malah pergi darinya. Ketika pintu apartemen terbuka, aroma lavender dari diffuser menyambutnya, tapi tidak mampu mengurangi ketegangan di udara. Di ruang tamu, Bu Maria duduk di sofa, tubuhnya tegak dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya yang biasanya lembut kini murung, dengan tatapan tajam mengarah pada Dhuha.“Dhuha, kamu sudah benar-benar tidak mendengarkan Mama lagi, ya?” Suaranya dingin, langsung menusuk ke inti pembicaraan sebelum Dhuha sempat melepas sepatu.Dhuha menelan lud
"Dhuha," suara itu menggema, lembut namun tegas, seperti angin musim semi yang membelai dedaunan."Dhuha, bangun!"Dhuha tersentak. Tubuhnya seolah terhempas kembali ke dunia nyata, seperti ada tangan tak terlihat yang mengguncangnya. Matanya terbuka perlahan, menyadari bahwa dia masih berada di ruang tamu, duduk di sofa dengan selimut kusut melilit kakinya.Di hadapannya berdiri Aini, wajahnya penuh tanda tanya. Rambutnya yang panjang digelung sederhana, mengenakan baju tidur berwarna pastel yang membuatnya terlihat lebih alami. Tatapan matanya yang lekat seakan menelusuri apa yang baru saja dialami Dhuha."Kamu mimpi apa sih? Sampai manggil-manggil namaku," tanya Aini sambil menyilangkan tangan di dada. Ia terlihat antara bingung dan geli.Dhuha tidak segera menjawab. Matanya memandangi Aini dari ujung kaki hingga ujung rambut, memastikan bahwa ini adalah realitas. Bukan lagi bayangan samar di dalam mimpinya. Ruangan di sekitarnya terasa begitu akrab, tetapi kenapa dalam benaknya ia
Suci menatap Intan dan Izzam dari kejauhan, senyumnya terlukis penuh harapan. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk menarik perhatian kedua anak itu sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini, hampir sebulan yang lalu. Namun, Intan si bungsu dan Izzam si sulung terus saja mengabaikannya, seolah keberadaannya hanyalah bayangan yang tak perlu diperhatikan.Hari ini, Suci memasak camilan kesukaan Intan—roti cokelat isi keju—dan meletakkannya di atas meja ruang keluarga. "Intan, sini, coba roti buatan Tante," panggilnya dengan suara ceria.Intan melirik sekilas, lalu kembali ke layar tablet yang digenggamnya tanpa sepatah kata pun. Izzam, yang sedang membaca buku di pojok ruangan, hanya mendengus kecil.Suci tidak menyerah. "Kalian tahu nggak? Tante belajar bikin roti ini khusus buat kalian, loh. Kata papa, kalian suka banget makanan manis.""Kalau suka, mending buat Tante aja," gumam Izzam dengan nada ketus, tapi cukup jelas untuk membuat Suci terdiam sejenak."Kebanyakan makan man
Suara hujan deras membangunkan Aini lebih pagi dari biasanya. Langit di luar jendela kamar masih gelap meskipun jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Gemuruh petir sesekali menggelegar, memecah keheningan. Ia menarik selimut yang menjuntai di lantai, melilitkannya ke tubuh untuk mengusir hawa dingin yang merayap masuk dari sela-sela jendela.Setelah beberapa saat mengumpulkan tenaga, Aini akhirnya bangkit dari tempat tidur. Langkahnya pelan menuju kame mandi. Sudah terlalu siang untuk solat subuh, tetapi akan lebih merugi jika ia melewatkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Setelah solat, Aini kembali pada rutinitas pagi yang harus diselesaikan, terutama karena Dhuha dan ia menumpang pada mantannya itu yang tidak tahu akan sampai kapan. Ia menyalakan kompor dan mulai memotong bawang, menggoreng nasi dengan sisa lauk semalam. Aroma bawang yang wangi mulai memenuhi ruangan kecil itu, berpadu dengan suara gemericik hujan di luar. Di sisi lain dapur, teh manis yang hangat sedang
Langit sore memancarkan warna jingga keemasan saat Suci melangkahkan kakinya keluar dari mall. Beberapa kantong belanja berayun di tangannya, hasil dari perjalanan panjang mencari kebutuhan rumah dan beberapa barang untuk dirinya sendiri. Hari yang melelahkan, tapi ia senang karena mama mertuanya memberikan uang bulanan yang cukup banyak dan memintanya membeli beberapa stel pakaian bagus. Dengan langkah ringan, ia menuju area foodcourt karena ingin membelikan oleh-oleh baso Malang untuk sang Ibu mertua. Namun, perjalanannya terhenti ketika pandangannya tertuju pada dua sosok di sebuah restoran yang ada di dalam mall. Seorang wanita yang sangat dikenalnya sedang duduk bersama seorang pria. Wanita itu adalah Aini, istri pertama Alex, suaminya.Suci berdiri terpaku. Matanya tidak bisa lepas dari pemandangan tersebut. Aini terlihat anggun dalam balutan gaun sederhana. Di sampingnya, seorang pria muda dengan wajah tampan dan postur tinggi sedang tertawa ringan sambil menatapnya. Gestur m
Malam itu, langit gelap tanpa bintang. Hanya lampu-lampu jalan yang redup menjadi penerang di tengah sunyinya malam. Di dalam mobil mewahnya, Alex menggenggam setir dengan erat. Rahangnya mengeras, sementara napasnya memburu seperti amarah yang siap meledak kapan saja.“Sialan!” gumamnya penuh geram. Suara mesin mobil yang menderu-deru menenggelamkan kegundahan yang berputar di kepalanya. Ia tahu pasti bahwa Aini, istrinya, memilih pergi bersama Dhuha atas keinginannya sendiri. Namun, rasa marah dan cemburu membakar logikanya.Ia tidak menyangka bahwa Aini akan berbuat nekat di belakangnya. Sampai detik ini pun, ia masih sangat mencintai istri pertamanya itu. Menikahi Suci hanya karena terpaksa saja. “Aku tidak akan membiarkan mereka bahagia. Kalau perlu, Dhuha harus masuk penjara,” pikir Alex dengan penuh kebencian. Ia memutuskan untuk memutar cerita, membuat tuduhan palsu bahwa Dhuha telah menculik Aini. Dengan begitu, ia berharap polisi segera menangkap Dhuha dan memisahkannya dar
Pagi itu, suasana rumah Alex terasa lebih sunyi dari biasanya. Suci hanya terdengar sibuk di dapur, menghangatkan bubur untuk Alex yang masih terbaring di kamar. Wajahnya lelah, tapi ia tetap melakukan apa yang menurutnya adalah kewajiban sebagai seorang istri. Meskipun berkali-kali Alex menyakitinya secara verbal. Di kamar, Alex perlahan membuka matanya. Kepala masih berat, sisa mabuk kemarin membuat tubuhnya terasa lunglai. Namun, pikirannya terus dihantui oleh bayangan Aini. Dhuha dan Aini. Dua nama itu seperti duri yang menusuk setiap kali terlintas di benaknya.Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada beberapa pesan tak terbaca dari mamanya yang dikirim semalam, tapi Alex mengabaikannya. Yang ia cari adalah perkembangan dari polisi tentang laporan yang ia buat tadi malam. Namun, belum ada kabar. Ia juga melewati pesan yang dikirim bosnya di kantor. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Suci masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan sege
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.