Dhuha terbangun di tengah malam. Tenggorokannya kering, dan tubuhnya mulai terasa lebih baik. Demamnya telah mereda, meskipun rasa lemas masih tersisa. Ia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Ketika ia kembali ke kamar, ponselnya yang diletakkan di meja samping tempat tidur menyala, menandakan sebuah pesan masuk.Pesan itu dari Aini.> “Aku tertekan dengan pernikahanku. Rasanya seperti dihukum atas kesalahan yang bahkan nggak pernah aku lakukan.”Dhuha membaca pesan itu dengan hati berdebar. Ia langsung mengetik balasan.> “Kalau begitu, biar aku jemput kamu sekarang juga. Kita bisa bicara.”Tak butuh waktu lama, balasan dari Aini muncul.> “Besok saja, Dhuha. Malam ini aku nggak mau membuat masalah baru. Aku sudah terlalu lelah.”Dhuha menatap layar ponsel itu beberapa detik, lalu menarik napas panjang. Ia ingin segera menolong Aini, tetapi ia tahu wanita itu perlu waktu.“Baiklah,” balasnya akhirnya. “Besok aku tunggu kamu. Kapan dan
"Ma, Mbak Aini kemana, ya? Saya belum pernah lihat dia di rumah sejak pindah ke sini," tanya Suci perlahan. Ia menatap ibu mertuanya, Bu Asma, yang sedang sibuk menyiapkan teh di meja dapur. Suci merasa perlu menanyakan hal ini karena meskipun ia istri kedua Alex, ia belum pernah bertemu langsung dengan istri pertama suaminya.Bu Asma mendesah pelan sebelum menjawab, "Biasanya Aini habis antar anak-anak ke sekolah, terus keluyuran entah ke mana. Dia jarang di rumah siang-siang begini.""Oh begitu," balas Suci, mencoba menyembunyikan rasa lega yang menggelayut di hatinya.Sejak ia resmi menikah siri dengan Alex dia minggu lalu, hidup Suci terasa seperti berjalan di atas bara. Perasaan bersalah terus menghantui, terlebih saat ia tahu harus tinggal seatap dengan keluarga Alex. Namun, yang mengejutkannya, Alex lebih sering tidur di kamarnya daripada di kamar Aini. Keadaan ini membuatnya bertanya-tanya, tapi ia memilih untuk tidak memperlihatkan kebingungannya di depan mertuanya."Intan sa
Langit Jakarta mulai menggelap saat Dhuha memacu langkahnya menuju apartemen. Napasnya memburu, sebagian karena tergesa-gesa, sebagian lagi karena pikirannya yang terus bergulat. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kantor dan menerima pesan singkat dari mamanya dan telepon dari Aini. Kabar mamanya yang berkunjung ke apartemennya, tentu saja membuatnya syok. Apalagi sang Mama terang-terangan mengusir Aini. Ia tidak akan membiarkan wanita yang ia cintai, yang saat ini sedang tidak baik-baik saja, malah pergi darinya. Ketika pintu apartemen terbuka, aroma lavender dari diffuser menyambutnya, tapi tidak mampu mengurangi ketegangan di udara. Di ruang tamu, Bu Maria duduk di sofa, tubuhnya tegak dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya yang biasanya lembut kini murung, dengan tatapan tajam mengarah pada Dhuha.“Dhuha, kamu sudah benar-benar tidak mendengarkan Mama lagi, ya?” Suaranya dingin, langsung menusuk ke inti pembicaraan sebelum Dhuha sempat melepas sepatu.Dhuha menelan lud
"Dhuha," suara itu menggema, lembut namun tegas, seperti angin musim semi yang membelai dedaunan."Dhuha, bangun!"Dhuha tersentak. Tubuhnya seolah terhempas kembali ke dunia nyata, seperti ada tangan tak terlihat yang mengguncangnya. Matanya terbuka perlahan, menyadari bahwa dia masih berada di ruang tamu, duduk di sofa dengan selimut kusut melilit kakinya.Di hadapannya berdiri Aini, wajahnya penuh tanda tanya. Rambutnya yang panjang digelung sederhana, mengenakan baju tidur berwarna pastel yang membuatnya terlihat lebih alami. Tatapan matanya yang lekat seakan menelusuri apa yang baru saja dialami Dhuha."Kamu mimpi apa sih? Sampai manggil-manggil namaku," tanya Aini sambil menyilangkan tangan di dada. Ia terlihat antara bingung dan geli.Dhuha tidak segera menjawab. Matanya memandangi Aini dari ujung kaki hingga ujung rambut, memastikan bahwa ini adalah realitas. Bukan lagi bayangan samar di dalam mimpinya. Ruangan di sekitarnya terasa begitu akrab, tetapi kenapa dalam benaknya ia
Suci menatap Intan dan Izzam dari kejauhan, senyumnya terlukis penuh harapan. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk menarik perhatian kedua anak itu sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini, hampir sebulan yang lalu. Namun, Intan si bungsu dan Izzam si sulung terus saja mengabaikannya, seolah keberadaannya hanyalah bayangan yang tak perlu diperhatikan.Hari ini, Suci memasak camilan kesukaan Intan—roti cokelat isi keju—dan meletakkannya di atas meja ruang keluarga. "Intan, sini, coba roti buatan Tante," panggilnya dengan suara ceria.Intan melirik sekilas, lalu kembali ke layar tablet yang digenggamnya tanpa sepatah kata pun. Izzam, yang sedang membaca buku di pojok ruangan, hanya mendengus kecil.Suci tidak menyerah. "Kalian tahu nggak? Tante belajar bikin roti ini khusus buat kalian, loh. Kata papa, kalian suka banget makanan manis.""Kalau suka, mending buat Tante aja," gumam Izzam dengan nada ketus, tapi cukup jelas untuk membuat Suci terdiam sejenak."Kebanyakan makan man
Suara hujan deras membangunkan Aini lebih pagi dari biasanya. Langit di luar jendela kamar masih gelap meskipun jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Gemuruh petir sesekali menggelegar, memecah keheningan. Ia menarik selimut yang menjuntai di lantai, melilitkannya ke tubuh untuk mengusir hawa dingin yang merayap masuk dari sela-sela jendela.Setelah beberapa saat mengumpulkan tenaga, Aini akhirnya bangkit dari tempat tidur. Langkahnya pelan menuju kame mandi. Sudah terlalu siang untuk solat subuh, tetapi akan lebih merugi jika ia melewatkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Setelah solat, Aini kembali pada rutinitas pagi yang harus diselesaikan, terutama karena Dhuha dan ia menumpang pada mantannya itu yang tidak tahu akan sampai kapan. Ia menyalakan kompor dan mulai memotong bawang, menggoreng nasi dengan sisa lauk semalam. Aroma bawang yang wangi mulai memenuhi ruangan kecil itu, berpadu dengan suara gemericik hujan di luar. Di sisi lain dapur, teh manis yang hangat sedang
Langit sore memancarkan warna jingga keemasan saat Suci melangkahkan kakinya keluar dari mall. Beberapa kantong belanja berayun di tangannya, hasil dari perjalanan panjang mencari kebutuhan rumah dan beberapa barang untuk dirinya sendiri. Hari yang melelahkan, tapi ia senang karena mama mertuanya memberikan uang bulanan yang cukup banyak dan memintanya membeli beberapa stel pakaian bagus. Dengan langkah ringan, ia menuju area foodcourt karena ingin membelikan oleh-oleh baso Malang untuk sang Ibu mertua. Namun, perjalanannya terhenti ketika pandangannya tertuju pada dua sosok di sebuah restoran yang ada di dalam mall. Seorang wanita yang sangat dikenalnya sedang duduk bersama seorang pria. Wanita itu adalah Aini, istri pertama Alex, suaminya.Suci berdiri terpaku. Matanya tidak bisa lepas dari pemandangan tersebut. Aini terlihat anggun dalam balutan gaun sederhana. Di sampingnya, seorang pria muda dengan wajah tampan dan postur tinggi sedang tertawa ringan sambil menatapnya. Gestur m
Malam itu, langit gelap tanpa bintang. Hanya lampu-lampu jalan yang redup menjadi penerang di tengah sunyinya malam. Di dalam mobil mewahnya, Alex menggenggam setir dengan erat. Rahangnya mengeras, sementara napasnya memburu seperti amarah yang siap meledak kapan saja.“Sialan!” gumamnya penuh geram. Suara mesin mobil yang menderu-deru menenggelamkan kegundahan yang berputar di kepalanya. Ia tahu pasti bahwa Aini, istrinya, memilih pergi bersama Dhuha atas keinginannya sendiri. Namun, rasa marah dan cemburu membakar logikanya.Ia tidak menyangka bahwa Aini akan berbuat nekat di belakangnya. Sampai detik ini pun, ia masih sangat mencintai istri pertamanya itu. Menikahi Suci hanya karena terpaksa saja. “Aku tidak akan membiarkan mereka bahagia. Kalau perlu, Dhuha harus masuk penjara,” pikir Alex dengan penuh kebencian. Ia memutuskan untuk memutar cerita, membuat tuduhan palsu bahwa Dhuha telah menculik Aini. Dengan begitu, ia berharap polisi segera menangkap Dhuha dan memisahkannya dar
Dhuha berdiri di balkon apartemennya, pandangannya menembus pemandangan kota Bandung yang mulai dihiasi lampu-lampu malam. Angin dingin berembus lembut, membawa aroma hujan yang tersisa sejak sore tadi. Tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya. Melainkan bayangan seorang perempuan, dengan senyum lembut yang selalu berhasil membuat hatinya berdebar. Aini.Wanita yang dulunya ia tak sudi menyentuhnya, tapi sekarang, dia bisa mati jika berjauhan dengannya. Ada sebuah kalimat petuah bertuliskan, membencilah sewajarnya, karena suatu saat kalian bisa jadi sangat mencintainya. Kini ia tidak tahu kapan tepatnya jatuh cinta lagi kepada mantan istrinya itu. Mungkin sejak pertama kali Aini datang kembali ke kehidupannya, meminta bantuan untuk menyelesaikan perceraian dengan Alex. Atau mungkin sejak mereka mulai berbagi ruang lagi di apartemen ini, saat Dhuha melihat sisi rapuh Aini yang selama ini jarang ia perhatikan. Namun, situasi mereka jauh dari kata sederhana. Aini masih terikat dalam per
Pagi-pagi sekali, bik Emi sudah sampai di apartemen Dhuha dengan membawa bahan masakan. Semalam Dhuha mengirimkan pesan pada wanita itu agar bisa datang lebih pagi dan membawa bahan masakan. Wanita itu sudah sibuk di dapur, sambil terus melihat ke arah ruang tengah, dimana bosnya sedang tidur pulas. Mendengar suara sedikit berisik di dapur, Dhuha terbangun. "Oh, udah datang, Bik," sapanya. "Sudah, Pak. Bapak tidur di luar? Lagi ada tamu ya?" Dhuha mengangguk "Iya, ada mama dan saudara saya. Makanya kamu semalam saya suruh datang cepat untuk masak. Biar Aini gak usah masak.""Baik, Pak, saya masak kwetiau kuah seafood, nasi goreng, dan ada jus buah. Apa itu cukup, Pak?""Cukup, Bik. Lanjutkan saja pekerjaan kamu." Dhuha berjalan masuk ke kamar mandi yang berada di luar. Ia tidak mau menganggu tidur mamanya dan juga Monic. Suara gemericik air dari wastafel dan aroma tumisan bawang putih memenuhi dapur apartemen Dhuha. Bik Emi sibuk mengaduk wajan sambil memotong sayuran di sampingn
Tok! Tok! Anton menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk dua kali. Siapa lagi kalau bukan Luna. Pria itu menekan layar ponselnya untuk melihat jam. Sudah jam dua belas malam. Di luar hujan dan saat ini baru saja mati lampu. "Anton." Pria itu menghela napas. "Kenapa?""Maaf, apa kamu punya lilin lagi? Lilin di kamar udah mau habis." Anton melirik lilin yang ada di lantai kamar yang juga tinggal kurang lebih lima senti saja. Pria itu akhirnya membuka pintu kamar. "Di dapur gak ada?" Luna menggelengkan kepala. "Ya sudah, tunggu sebentar." Anton berjalan ke dapur, sedangkan Luna masuk ke kamar yang dulu pernah ia tiduri selama empat tahun lamanya. Kamarnya masih sama, ranjangnya juga. Ia bisa melihat keadaan kamar itu dari temaram cahaya lilin. Lalu ia melihat ke arah dinding yang biasanya ada foto pernikahannya, tetapi kini sudah tidak ada. Foto pernikahan di mana posenya seperti singa yang hendak menerkam mangsa. Beda dengan Anton yang tersenyum. "Ngapain kamu di sini?" tanya Anto
"Jadi, lo berangkat malam ini ke Surabaya?" Dhuha mengaduk latte-nya dengan malas, matanya mengamati Hakim yang tampak sibuk memeriksa pesan di ponselnya. Kedua sepupu itu ketemu di sebuah kafe dekat dengan kantor Hakim. "Iya, gue udah pesen tiket tadi pagi," jawab Hakim tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Resepsi pernikahannya Kinanti kan besok pagi. Gue nggak mungkin datang telat. Mama, papa, sama Amel udah di sana dari jumat karena menyaksikan aksi nikah. Lo beneran gak datang?" "Kayaknya bakal rame, ya. Semua keluarga ngumpul," Dhuha menyesap minumannya."Iya, kalau lagi ada momen nikahan, emang selalu kumpul kan. Mami Maria juga gak datang kayaknya karena masih belum pulih ya?" tanya Hakim. Dhuha pun mengangguk. Ia yang melarang mamanya terbang ke Surabaya karena kondisi kesehatan. "Gue udah transfer langsung ke Kinanti. Dari gue sama mama. Mungkin kalau mama udah enakan, baru ke sana." Hakim pun mengangguk mafhum. "By the way, gimana kabar Amel? Udah lama gue n
“Amel, kamu yakin nggak mau mencoba mengenal Levi lebih jauh?” suara Viona terdengar lembut, tapi tetap mendesak.Amel menatap ibunya dengan alis bertaut. Ia baru saja turun ke ruang makan untuk sarapan, tapi Viona sudah memulai lagi topik yang sama. “Ma, aku sudah bilang, aku masih sama Anton. Aku nggak tertarik untuk mengenal siapa pun lagi. Mama tahu kan, aku perempuan yang jarang sekali pacaran dan baru kali ini aku senang sama lelaki dewasa yang bertanggung jawab."Viona menghela napas panjang, menahan diri agar tidak meledak. Fahri yang duduk di sebelahnya ikut menimpali. “Amel, kami hanya ingin yang terbaik buat kamu. Anton itu... ya, kamu tahu sendiri, dia punya banyak masalah. Dia duda dengan satu anak. Kami nggak yakin dia bisa membuatmu bahagia. Apalagi dia duda bercerai, bukan ditinggal meninggal istrinya. Mama dan papa harap, kamu mau memikirkan perkenalan dengan Levi. Just friends, girl!"“Papa, Mama, aku tahu kalian nggak setuju sama hubungan kami,” jawab Amel, suaranya
“Mas, Luna masih di sana?” suara Amel terdengar di ujung telepon, nadanya penuh kehati-hatian namun sarat kecurigaan.Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Sayang. Luna masih di sini. Tapi, percayalah, dia cuma di sini sampai urusan perceraian kami selesai.”“Tapi kenapa dia harus tinggal di rumahmu? Bukankah itu bisa diselesaikan tanpa harus tinggal bersama?” suara Amel sedikit bergetar. “Aku ini cemburu, Mas. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku takut kalau kalian berdua jadi rujuk. Apalagi, aku harus di Surabaya sampai tiga hari. Ck, ingin banget aku buru-buru pulang, tapi gak bisa. Acara nikahan sodaraku rumit."“Amel, dengarkan aku.” Anton menekankan suaranya, mencoba meyakinkan Amel. “Aku dan Luna sudah selesai. Tidak ada lagi apa-apa di antara kami selain tanggung jawab sebagai orang tua untuk Aris. Dia hanya di sini demi anak kami. Aku mohon, percayalah padaku. Kamu masih gak percaya sama aku?"Namun, jawaban itu tidak sepenuhnya membuat hati Amel tenang. Ia ter
“Luna, kamu sebaiknya pergi dari sini,” ujar Anton dengan nada tegas, meski suaranya terdengar lelah. Ia berdiri di ruang tamu, menatap Luna yang sedang menyapu lantai dengan gerakan santai, seolah-olah dia adalah pemilik sah rumah itu. Dan memang saat ini statusnya masih istri Anton, tentu saja tak ada masalah dengan kegiatannya membereskan rumah. “Aku tidak akan pergi, Mas,” jawab Luna tanpa menoleh, tetap melanjutkan pekerjaannya. “Aku istrimu, dan sampai pengadilan memutuskan sebaliknya, aku akan tetap di sini.”Tumben sekali panggil, Mas! Apa dia kesambet? Batin Anton. “Kita sedang dalam proses perceraian,” balas Anton, suaranya meninggi. “Kamu tahu itu. Apa yang kamu harapkan dengan tinggal di sini? Rumah tangga ini gak ada harapan. Sejak awal rumah tangga ini berdiri tanpa cinta."Luna berhenti menyapu. Dia menatap Anton dengan mata yang tenang, seolah kata-kata pria itu tidak ada artinya. “Aku tidak di sini untuk cinta, Mas. Aku di sini untuk Aris. Untuk rumah ini. Dan untuk
"Jika kamu mau bicara, bicara padaku, bukan dengan Aini. Jika tidak, sebaiknya kamu pergi! Ini unitku dan aku bisa mengusirmu kapan saja!" Alex menahan diri agar tidak emosi di depan Dhuha. Ia tahu jika ia melawan maka ia akan diusir dari apartemen. Apalagi dua security yang menemani Dhuha sudah siap sedia untuk menyeretnya. Bisa dilihat dari tatapan dua pria bertubuh tinggi besar itu. "Jika mau, kita bicara di kafe di bawah. Sebagai lelaki, bagaimana?" tawar Dhuha. Alex tidak menyahut, tapi pria itu pun pergi masuk ke dalam lift. Dhuha mengikuti dari belakang. Kini keduanya sudah duduk di kafe yang berada di lantai satu apartemen. "Lo udah sarapan? Mau pesan makan?" Alex tak menjawab. “Dhuha,” suara Alex terdengar serak, berusaha menahan gejolak di dadanya. Mereka berdua duduk di beranda rumah Dhuha, malam yang sunyi hanya ditemani suara alunan khas musik kafe pagi hari. “Aku ingin kamu jawab jujur satu hal.”Dhuha menatap Alex, ekspresinya datar namun matanya tajam. “Tanya saja,
Ruang televisi yang tadinya dipenuhi suara tawa dari film komedi romantis kini senyap, hanya menyisakan desahan napas tertahan dari dua insan yang saling berpandangan. Dhuha masih duduk di sofa, matanya membulat, sementara Aini berdiri terburu-buru. Wajahnya memerah hingga ke telinga. Ia tidak menunggu lama untuk berlari masuk ke kamarnya, meninggalkan Dhuha yang masih membeku di tempat. Detak jantungnya masih tak beraturan. Di kamar, Aini menjatuhkan dirinya ke ranjang. Jantungnya berdetak terlalu cepat, tangannya gemetar saat menyentuh bibirnya sendiri. "Apa yang aku lakukan?!" bisiknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, berharap rasa malu itu bisa mereda. Tapi semakin ia mengingat kejadian tadi, semakin panas wajahnya."Kenapa aku nekat cium Dhuha? Ya ampun, malunya!"Ia telah mencium Dhuha. Bukan kecupan iseng, melainkan ciuman yang terasa nyata, penuh emosi. Dan yang membuatnya semakin sulit menerima adalah kenyataan bahwa ia yang memulai. Ia yang duduk di pangkuan Dhuha,