Home / Romansa / Malam Pertama dengan Dosenku / Tak Bisa Menyimpan Sendiri

Share

Tak Bisa Menyimpan Sendiri

Author: Nia Kannia
last update Last Updated: 2025-03-28 21:16:53

"Ibu tahu ....?"

Pria itu mengangguk. Seketika membuatku menghela napas panjang.

“Saya nggak bisa menyimpan sendirian, Al. Ibu yang menjadi tempat saya berbagi semuanya, bahkan melebihi mama saya sendiri.”

Suaranya lebih terdengar seperti keluhan.

Apa tadi dia baru saja memberitahu hal pribadinya padaku?

“Ya udah kamu mau makan ap—"

Dering ponsel memotong ucapan pria itu.

“Itu pasti Bu Kinan. Pak Kaivan pulang aja, saya udah nggak apa-apa.” Ucapanku tidak sepenuhnya bohong, karena aku memang sudah lebih baik.

Aku bahkan merasa tidak nyaman berada dalam situasi ini. Rasa mual pun sudah mulai berkurang. Hanya kepala saja yang kini terasa pusing, juga perut yang kembali terasa lapar.

Drama mual-mual hari ini akhirnya berakhir, setelah aku memakan sate madura gerobak yang kata Pak Kaivan mangkal tidak jauh dari rumah. Sebelumnya aku sudah mencoba memakan-makanan yang ada di rumah, tetapi terasa sia-sia setelah aku menelannya. Akhirnya pria itu pergi setelah lewat jam sepuluh malam.

****

Sejak mengantarku ke rumah ini malam itu, aku tidak pernah lagi melihat Pak Kaivan datang. Hari ini lewat satu bulan. Belum ada tanda-tanda pria itu ke sini.

Tidak begitu masalah, sih. Aku masih punya Bu Rumi sebagai teman mengobrol dan teman melakukan segala hal.

Sebisa mungkin menikmati waktu-waktu yang harus kulalui. Jika dibayangkan memang berat, tetapi aku mencoba melewati dengan terus menganfirmasi energi kebahagiaan dalam diri.

Ternyata Ibu asuh Pak Kaivan itu baik sekali. Perlakuanyya padaku seperti ibuku sendiri. Aku tidak pernah kesepian karenanya.

Aku memang meliburkan kegiatan rutinitasku sebelum pernikahan. Kegiatan kampus kutinggalkan untuk sementara. Entah sampai kapan. Apakah nanti bisa lanjut atau tidak, aku belum tahu dan belum bisa memutuskan. Aku tidak ingin perubahan fisikku diketahui teman-teman seperjuanganku. Aku bahkan mulai menutup komunikasi dengan teman-teman kuliah. Semua pesan chat yang masuk menanyakan kabar kujawab seperlunya. Sebisa mungkin menghindari untuk memoles fakta dengan sedikit kebohongan.

Aku tengah asyik tenggelam membaca novel romance saat samar-samar kudengar suara orang mengobrol di luar. Pintu kamarku memang tidak tertutup rapat.

"Ibu ndak nyangka kamu tega seperti ini sama dia?" Itu suara Bu Rumi.

Aku bangkit dari ranjang tempat aku duduk, kemudian melangkah pelan ke arah pintu dan keluar. Memastikan jika teman mengobrol Ibu adalah orang yang ada di pikiranku.

"Bukannya kamu bilang dia nggak salah? Terus kenapa kamu biarkan dia menanggung sendiri kesalahanmu?" Suara Bu Rumi sedikit meninggi. "Kalau Ibu tidak memintamu datang, apa kamu akan membiarkannya sendiri sampai dia melahirkan?"

Sekarang aku bisa melihat punggung lawan bicara Ibu. Dia sedang duduk menghadap meja makan. Bukan sedang menikmati jamuan makan siang, tetapi menampung wejangan dari Ibu.

Masih dari kejauhan aku bisa mencium aroma khas yang tak pernah berubah.

Pria itu menunduk tanpa suara. Dia yang juga biasa mengoceh pada tiap mahasiswa yang melalaikan tugas, kini seakan tak berkutik menerima kuliah khusus dari ibu asuhnya itu.

Aku baru tahu, jika wanita paruh baya itu bisa cerewet juga. Dia baru berhenti berbicara setelah tanpa sengaja pandangannya menangkap sosokku yang berdiri mematung.

Pak Kaivan yang tadi memunggungiku kini menoleh. Wajah pria itu tetap dingin, datar seperti biasa.

Dia kemudian berdiri menatapku dari kejauhan. Aku memilih membuang pandangan ke lantai daripada harus beradu tatap dengannya.

Dengan langkah gontai aku mulai melangkah mendekat pada mereka. Namun, Ibu meninggalkan kami begitu aku sampai di sana. Mungkin ingin membiarkan kami bicara berdua.

"Gimana kabar kamu, Al." Pertanyaan itu terdengar kaku. Seperti jauh dari kepribadian Pak Kaivan yang kukenal selama ini.

"Seperti yang Bapak lihat, saya baik," ucapku datar tanpa menatap lawan bicara.

Dia menarik salah satu kursi, memintaku duduk di sana. Aku pun menurut.

"Maafkan saya, baru sempat mengunjungi kamu hari ini." Dia berbicara setelah aku duduk.

"Saya hanya ...."

Aku melengos dan membuang muka untuk sesaat. tersenyum miring.

"Saya paham kok, Pak. Lagipula saya juga tidak pernah meminta Bapak untuk selalu mengunjungi saya." Aku mengucap datar. Sejak hari petaka itu dimulai, aku seakan tidak memiliki keinginan apa-apa lagi. Mimpi dan cita-cita seakan kandas begitu saja. Meski seharusnya aku bisa bangkit, tetapi entah kapan waktunya. Aku tidak tahu.

"Kita ke dokter hari ini. Periksa kandungan kamu." Dia berucap pelan.

"Minggu kemarin sudah kontrol kok diantar Ibu," jawabku singkat tanpa menatap padanya.

Sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dan fisik dengannya.

Tidak bisa dipungkiri jika sejak hari pertama kami menikah, aku kerap merasakan gejolak yang aneh saat berdekatan dengan dirinya. Perasaan yang masih samar-samar itu lebih baik menghilang sebelum terlihat jelas.

"Tapi saya ingin lihat dia lewat usg. Boleh, 'kan?" Dia seperti memohon.

Aku memandangnya sesaat. Tatapan lemahnya membuatku sulit berkata tidak.

"Percuma, Pak. Belum kelihatan. Dia masih sangat kecil." Aku menunduk. Kuharap dia menyerah saja. Makin lama mungkin aku tidak akan bisa bertahan.

Aku berdiri seraya berkata, "Udahlah, Bapak pulang aja. Weekend begini seharusnya Bapak temani Bu Kinan liburan atau sekadar menghabiskan waktu di rumah." Aku merasa seperti ada yang mengiris pelan bongkahan merah di dalam sana. Sejak awal aku memang harus belajar merelakan. Lagi-lagi aku memang tidak boleh berharap apa pun dari pernikahan ini.

Aku memutar tubuh dan mulai melangkah untuk meninggalkannya. Namun, kalimat singkat darinya mampu memasung langkahku cukup lama.

"Tapi saya maunya sama kamu hari ini."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Malam Pertama dengan Dosenku   8. Jangan Bawa Dia Pergi

    Aku berbalik. "Jangan, Pak. Kasihan Bu Kinan kalau tahu Bapak--" "Alya, bisa nggak sih kamu jangan panggil saya Bapak? Saya suami kamu loh, bukan bapak kamu." Dia mengalihkan pembicaraan. Aku bergeming. Sementara dia mulai melangkah mendekat. "Kalau kamu nggak mau ke dokter nggak apa-apa. Gimana kalau kita jalan-jalan keluar?" Dia memberikan penawaran. Aku menggeleng, Aku benar-benar tidak mood untuk pergi ke mana pun. Lebih baik berdiam diri di kamar sambil menamatkan novel. Aku melengos. Melangkah meninggalkan dia yang masih berdiri di sana. "Alya." Dia meraih pergelangan tanganku. "Tolong maafkan saya." Dia berucap lagi. "Entah kenapa saya merasa kamu sedang marah sama saya." Aku nyaris tertawa. Dosen muda yang dikenal tegas dan selalu perfeksionis untuk sekian kalinya meminta maaf padaku? "Entahlah, saya merasa bersalah karena mengabaikan kamu." Dia masih memegang pergelangan tanganku. Mungkin takut aku pergi lagi. "Pak, tolong jangan gini," ucapku memohon sa

    Last Updated : 2025-03-28
  • Malam Pertama dengan Dosenku   9. Fakta yang Disembunyikan

    Pov Kaivan"Kapan kamu akan menceraikan Kinan, Kai?" Suara Mama yang menuntut di seberang sana cukup membuatku pusing. Mama selalu begini. Hampir setiap hari dia membahas hal itu, padahal aku tidak pernah berpikir sekali pun untuk mencari Kinan. "Mama apaan sih, pagi-pagi bahas cerai. Sudah kubilang, aku tidak akan menceraikan Kinan, Ma. Apa pun yang terjadi," tugasku. "Mama butuh cucu, Kai," selanya tak mau kalah."Iya, Kai tahu. Tapi ....""Dengar, Kai. Sampai kapan kamu mempertahankan perempuan yang tidak pernah mau memberimu keturunan, Kai?" Mama terdengar kesal. "Ma, Kinan bukan nggak mau, tapi mem–""Kenapa sih kamu nggak pernah mau dengarin Mama. Kamu benar-benar dibutakan cinta oleh Kinan. Sampai-sampai kamu nggak bisa menemukan kejelekannya." Aku tertawa lirih. Mama benar. Aku selalu melihat Kinan yang selalu sempurna. Belum ada cela yang bisa kutemukan. "Ma, beri kami waktu. Kita sedang berusaha?""Waktu? Kalian sudah menikah tujuh tahun, Kai? Mau selama apa lagi? Kamu

    Last Updated : 2025-03-28
  • Malam Pertama dengan Dosenku   10. Ke Mana Perginya Alya?

    Pov Kaivan Aku mengerutkan dahi mendengar jawaban Kayra yang penuh dengan teka-teki. Mama cukup dekat dengan Kayra yang merupakan anak dari sahabat masa kecilnya.Mama sempat menjodohkanku dengan Kayra. Namun, kami sama-sama menolak. Karena hubungan kami murni adalah persahabatan. "Kamu terlalu percaya pada Kinan, Kay. Itu pil kontr asepsi." Setelah berkata begitu Kayra menutup telepon. Namun, kalimat terakhirnya berhasil membuatku syok. Jadi, Mama benar. Kinan bukan belum bisa hamil, tetapi memang tidak mau hamil. Kenapa Kinan harus melakukan itu? Dia tidak pernah mengatakan ingin menunda kehamilan. Dia bahkan selalu bersikap seolah-olah sama inginnya sepertiku yang rindu akan hadirnya buah hati. Lantas, kenapa dia harus mengkonsumsi pil penunda keha milan? Sejak kapan dia mengkonsumsinya? Apakah selama tujuh tahun pernikahan kami? Untuk apa?Ah, memikirkan ini kepalaku terasa ingin pecah. Kinan jelas-jelas membohongiku. Entah apa tujuannya. Tapi kebohongan ini cukup membuatku be

    Last Updated : 2025-03-29
  • Malam Pertama dengan Dosenku   11. Sisi Lain dari Kinan

    PoV Kaivan "Mas dari mana aja?" Kinan bersedekap menatapku saat aku baru saja membuka pintu. Matanya tak berkedip menatapku, menelusuri tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin heran melihat penampilanku yang kacau. Kemeja berantakan dan kusut, rambut yang sudah mulai gondrong tidak lagi tertata. Belum lagi wajah yang sudah pasti sama kusutnya. "Ini bukan pertama kalinya Mas pulang larut seperti ini!" Aku bergeming. Tanpa menghiraukannya aku bergegas melangkah, melewati dia yang masih dengan posisi semula. Jujur saja aku kesal. Aku lelah, mood berantakan, sampai rumah malah disambut dengan sikap ingin menghakimi darinya. Sejak kepergian Alya aku memang kerap pulang larut. Waktu yang tersisa kugunakan untuk mencarinya ke mana saja. Terkadang aku malah memilih pulang dan berdiam diri di rumah sana. Malam ini jika Bu Rumi tidak mendesakku untuk pulang, mungkin aku tidak pulang lagi. Aku seperti kehabisan akal. Orang-orang yang kukerahkan untuk mencari Alya sam

    Last Updated : 2025-03-29
  • Malam Pertama dengan Dosenku   12. Hilangnya Buku Nikah

    "Mas Kai mau cari siapa? Mereka? Mereka ... siapa yang Mas Kai maksud?" Kinan mengerutkan dahi. Aku gelagapan. Apa yang harus kulakukan? Aku memang cukup kecewa dengan kebohongan yang dia buat bertahun-tahun. Namun, aku belum siap melihatnya terluka. "Hmm, bukan Apa-apa. Cuma ... cuma mahasiswa." Apa aku terlihat gugup? Mata Kinan menatap seperti menyelidik. "Mahasiswa?" Aku mengangguk tanpa suara, tak ingin salah bicara. Kemudian beranjak meninggalkannya untuk mengganti pakaian salat yang masih kukenakan. "Mas." Ternyata dia membuntutiku.Aku melirik dengan ujung mata. Tetap bergeming dalam mode dingin yang masih belum bisa kuperbaiki saat berhadapan dengan Kinan."Apa begitu sulit untuk memaafkanku? Kita udah cukup lama kayak gini, Mas," protes Kinan, "kita udah kayak orang lain di rumah dan kamar yang sama, Mas." Aku menoleh, berhadapan dengan dirinya. Menatap dia dengan tatapan ... mungkin jenuh. Ya, jenuh."Gimana aku bisa maafin kamu sementara kamu nggak benar-benar ikhla

    Last Updated : 2025-03-29
  • Malam Pertama dengan Dosenku   13. Mendadak Ingin Pulang

    Rutinitas hari ini kujalani jauh dari kata profesional. Fokusku terbagi ke mana-mana. Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Dari masalah keberadaan Alya dan anakku yang belum kutemukan rimbanya, perdebatan dingin dengan Kinan pagi ini, hingga fakta yang baru saja kutemukan jika Mama mengetahui pernikahan keduaku. Saat menelepon Mama, belum sempat bertanya apa pun aku sudah diserang habis-habisan."Kamu benar-benar, ya, Kai. Keterlaluan banget, segitu bencinyakah kamu ke Mama sampai hal sebesar ini kamu sembunyikan dari Mama." Mama mengomel seperti biasa. Aku hanya meringis seperti biasa. Omelan Mama adalah hal biasa. Namun, ada hal yang lebih mengganggu. "Buat apa kamu tanya KK dan buku nikah? Kamu kan nggak butuh. Jadi, biar Mama yang simpan," ucap Mama saat aku mengkonfirmasi kebenaran ucapan Bu Rumi."Lebih nggak masuk akal lagi kalau Mama yang simpan, 'kan?" protesku tak terima."Udah, deh, kamu urusin aja tuh istri kesayanganmu. Nggak perlu peduli apa yang Mama lakukan."

    Last Updated : 2025-03-30
  • Malam Pertama dengan Dosenku   14. Sang Penolong

    POV Alya Aku tidak pernah bermimpi menjadi istri kedua. Apalagi sampai dilabrak istri pertama. Dikatain pelakor dimaki habis-habisan dan diseret paksa keluar dari rumah.Aku bahkan tidak sempat pamit pada Bu Rumi. Sekadar mengatakan selamat tinggal untuk tak 'kan pernah kembali. Mereka membungkam mulutku dengan sapu tangan hingga aku tak mampu bersuara dan kehilangan setengah kesadaranku. Aku tahu, hatinya terluka karena suaminya menitipkan benih di rahim perempuan lain? Namun, pantaskah dia memperlakukanku seperti bina-.tang? Tidak bisakah dia memberiku kesempatan padaku untuk menjelaskan kenapa ini bisa terjadi? Apakah dia masih tega melakukan ini jika tahu siapa yang menyebabkan petaka itu terjadi padaku? Seharusnya dia marah pada kakaknya, 'kan? Bukan padaku.Saat terbangun, aku terbaring di atas sehelai tikar pandan. Di sekitarku banyak kotak-kotak kardus yang bertumpuk. Bau debu yang menyengat hidung juga cukup menyesakkan. Ruangan tak diberikan penerangan sama sekali. Tempat

    Last Updated : 2025-03-30
  • Malam Pertama dengan Dosenku   15. Panggil Saja Mama

    "Terus kumpulkan bukti kejahatannya untuk menjebloskan dia ke penjara."Aku bergidik mendengar kalimat itu. Siapa perempuan yang dia maksud. Aku memilih menjauh, tidak ingin tahu lebih banyak. Setidaknya aku harus tahu diri, 'kan? Beliau sudah menolongku dari sekapan Bu Kinan saat itu, kemudian memberi tumpangan, membiayai pengobatanku hingga pulih, dan memberiku kehidupan baru. Lebih penting lagi, dia memperlakukanku seperti anaknya sendiri.Jik aku ketahuan menguping, dia pasti tersinggung. Jadi, akan lebih baik jika aku tidak tahu apa pun urusan pribadi yang ia sembunyikan. "Maaf, apa Tante punya anak?" tanyaku suatu ketika saat kami sedang di meja makan. Menu makanan yang tersaji selalu kompleks memenuhi kebutuhanku sebagai ibu hamil.Dia mengangguk. "Anak laki-laki, satu-satunya. Tapi jauh, dia juga ga mau tinggal sama Tante. Lebih milih tinggal sama istrinya yang nggak pernah suka sama Tante." Matanya menerawang saat mengatakan itu. Aku membaca ada kesedihan di dalam sana. Dia

    Last Updated : 2025-03-31

Latest chapter

  • Malam Pertama dengan Dosenku   29. Kita Lihat Saja Nanti

    "Apa yang sudah dilakukan Kinan sama kamu, Al?" Aku menggeleng. Menahan perasaan yang tak kusuka kembali hadir. Aku benci mengingat bayangan buruk yang terjadi di masa lalu. Namun, aku memang harus jujur, 'kan?"Saya enggak yakin Pak Kaivan akan percaya kalau saya jujur?" ucapku akhirnya."Alya, kamu ...." Mama bersuara membuat mataku beralih dari Pak Kaivan. Dia setengah tertawa dan menatapku tak percaya. Sementara aku masih menunggu dia melanjutkan ucapannya."Kamu masih panggil Kaivan 'Pak'?" Wanita paruh baya itu melanjutkan.Kehabisan kata, meski aku sedikit bersyukur karena tidak perlu menceritakan tentang Bu Kinan untuk sekarang. Aku mengalihkan pandangan pada pria di dekatku. Dia hanya mengulum senyum sambil menaikkan alisnya. Sepertinya dia sengaja tidak ingin membantuku.Aku beralih pada Mama. "Mama, 'kan tahu gimana pernikahan ini terjadi dan terjalani, Ma. Jadi–""Alya," seru mereka bersamaan. Kedua ibu dan anak itu menatapku dengan pandangan yang tak kumengerti. Aku kic

  • Malam Pertama dengan Dosenku   18. Pertanyaan Kaivan

    Aku tidak mengira jika aku bisa mengatakan hal itu. Dia tertegun beberapa saat menatapku. Aku yakin, dia tidak akan bisa meninggalkan wanita itu. Entahlah.Kenapa? Kalian mau bilang aku egois? Tidak masalah, sih. Jika dia memang bisa mengabulkan permintaanku itu bagus, bukan? Setidaknya cap pelakor yang pernah disematkan Bu Kinan untukku tidak sia-sia. Dia cukup lama terdiam, pegangan di tanganku sempat mengendur. "Kenapa? Pak Kaivan nggak bisa, 'kan? Saya tahu, Pak Kaivan tidak akan bisa melakukan itu. Makanya sejak awal saya tahu diri, Pak. Saya nggak mau mengubah panggilan saya ke Pak Kaivan karena tidak mau mendorong diri saya untuk berharap lebih dari pernikahan ini. Sejak awal yang saya pikirkan hanya masa depan anak saya. Saya hanya tidak ingin dia tidak memiliki status. Sejak saat saya tahu dia tumbuh di dalam rahim saya, saya melupakan semua keinginan dan mimpi saya. Tidak, bukan kehadirannya yang saya anggap menghancurkan mimpi saya, tapi ...." Aku tak mampu melanjutkan uca

  • Malam Pertama dengan Dosenku   17. Permintaan

    Pria itu masih terus menggendong Rayyan dan terus mengajak berinteraksi.Jelas sekali ada kebahagian terlihat di sana. Sesekali Pak Kaivan mengusap matanya yang berair. Sepertinya dia tidak bosan-bosan terus mengajak makhluk kecil itu bicara dan bercanda, meski makhluk kecil itu belum mampu merespons dengan baik. Dia hanya terus menatap lawan bicaranya seolah mendengar dan mengerti apa yang tengah dibicarakan oleh sang ayah.Namun, lama-lama dia bosan dan menangis juga. Saat itulah Pak Kaivan mengembalikan padaku."Kayaknya udah haus lagi dia, Al," ucapnya.Masih dengan perasaan canggung dan sedikit grogi aku menerima bayi Rayyan yang masih menangis. Saat terpaksa bersentuhan dengannya, aku menahan napas untuk beberapa detik. Sepertinya akan makin mengusir rasa yang terlanjur tumbuh. "Alya, dia nangis terus tuh. Sus uin gih!" Suara Pak Kaivan membuatku terkesiap, naik dari tenggelamnya perasaan.Dia sudah duduk di sampingku. Jarak kami hanya sekitar dua puluh senti."Bapak keluar dul

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Dia Datang

    "Jujur? Tentang?" tanyanya sambil mengerucutkan dahi, kemudian mengembalikan cermin kecil itu ke dalam tas."Mama ibunya Pak Kaivan, 'kan?" tanyaku lagi. Aku bisa melihat jelas garis wajahnya yang berubah seketika, tampak terkejut. Dia tertegun dalam kebisuan, tetapi kemudian cepat menutupinya. "Kenapa bertanya seperti itu? Apa yang membuatmu yakin sekali, Al?" Dia bertanya, dengan nada bicara khas yang lembut."Nama Mama, Mitha. Ibu kandungnya Pak Kaivan juga Mitha, Bu Rumi pernah bilang. Dan, setelah dilihat-lihat wajah kalian mirip." Aku mengeluarkan uneg-unegku.Wanita itu terdiam sejenak. Kemudian menghela napas panjang. "Sekarang kamu tahu kan apa alasannya saya menolong dan mempertahankan kamu di sini?" ujarnya kemudian. "Saya pikir saya tidak akan diterima di keluarga Pak Kaivan, karena saya hanya–""Ssst! Nggak usah diterusin." Dia meraih tanganku. "Kamu tahu, enggak? Berbulan-bulan Mama nungguin kabar pernikahan kalian, tapi anak itu kayaknya ga ada niat buat berkata juju

  • Malam Pertama dengan Dosenku   15. Panggil Saja Mama

    "Terus kumpulkan bukti kejahatannya untuk menjebloskan dia ke penjara."Aku bergidik mendengar kalimat itu. Siapa perempuan yang dia maksud. Aku memilih menjauh, tidak ingin tahu lebih banyak. Setidaknya aku harus tahu diri, 'kan? Beliau sudah menolongku dari sekapan Bu Kinan saat itu, kemudian memberi tumpangan, membiayai pengobatanku hingga pulih, dan memberiku kehidupan baru. Lebih penting lagi, dia memperlakukanku seperti anaknya sendiri.Jik aku ketahuan menguping, dia pasti tersinggung. Jadi, akan lebih baik jika aku tidak tahu apa pun urusan pribadi yang ia sembunyikan. "Maaf, apa Tante punya anak?" tanyaku suatu ketika saat kami sedang di meja makan. Menu makanan yang tersaji selalu kompleks memenuhi kebutuhanku sebagai ibu hamil.Dia mengangguk. "Anak laki-laki, satu-satunya. Tapi jauh, dia juga ga mau tinggal sama Tante. Lebih milih tinggal sama istrinya yang nggak pernah suka sama Tante." Matanya menerawang saat mengatakan itu. Aku membaca ada kesedihan di dalam sana. Dia

  • Malam Pertama dengan Dosenku   14. Sang Penolong

    POV Alya Aku tidak pernah bermimpi menjadi istri kedua. Apalagi sampai dilabrak istri pertama. Dikatain pelakor dimaki habis-habisan dan diseret paksa keluar dari rumah.Aku bahkan tidak sempat pamit pada Bu Rumi. Sekadar mengatakan selamat tinggal untuk tak 'kan pernah kembali. Mereka membungkam mulutku dengan sapu tangan hingga aku tak mampu bersuara dan kehilangan setengah kesadaranku. Aku tahu, hatinya terluka karena suaminya menitipkan benih di rahim perempuan lain? Namun, pantaskah dia memperlakukanku seperti bina-.tang? Tidak bisakah dia memberiku kesempatan padaku untuk menjelaskan kenapa ini bisa terjadi? Apakah dia masih tega melakukan ini jika tahu siapa yang menyebabkan petaka itu terjadi padaku? Seharusnya dia marah pada kakaknya, 'kan? Bukan padaku.Saat terbangun, aku terbaring di atas sehelai tikar pandan. Di sekitarku banyak kotak-kotak kardus yang bertumpuk. Bau debu yang menyengat hidung juga cukup menyesakkan. Ruangan tak diberikan penerangan sama sekali. Tempat

  • Malam Pertama dengan Dosenku   13. Mendadak Ingin Pulang

    Rutinitas hari ini kujalani jauh dari kata profesional. Fokusku terbagi ke mana-mana. Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Dari masalah keberadaan Alya dan anakku yang belum kutemukan rimbanya, perdebatan dingin dengan Kinan pagi ini, hingga fakta yang baru saja kutemukan jika Mama mengetahui pernikahan keduaku. Saat menelepon Mama, belum sempat bertanya apa pun aku sudah diserang habis-habisan."Kamu benar-benar, ya, Kai. Keterlaluan banget, segitu bencinyakah kamu ke Mama sampai hal sebesar ini kamu sembunyikan dari Mama." Mama mengomel seperti biasa. Aku hanya meringis seperti biasa. Omelan Mama adalah hal biasa. Namun, ada hal yang lebih mengganggu. "Buat apa kamu tanya KK dan buku nikah? Kamu kan nggak butuh. Jadi, biar Mama yang simpan," ucap Mama saat aku mengkonfirmasi kebenaran ucapan Bu Rumi."Lebih nggak masuk akal lagi kalau Mama yang simpan, 'kan?" protesku tak terima."Udah, deh, kamu urusin aja tuh istri kesayanganmu. Nggak perlu peduli apa yang Mama lakukan."

  • Malam Pertama dengan Dosenku   12. Hilangnya Buku Nikah

    "Mas Kai mau cari siapa? Mereka? Mereka ... siapa yang Mas Kai maksud?" Kinan mengerutkan dahi. Aku gelagapan. Apa yang harus kulakukan? Aku memang cukup kecewa dengan kebohongan yang dia buat bertahun-tahun. Namun, aku belum siap melihatnya terluka. "Hmm, bukan Apa-apa. Cuma ... cuma mahasiswa." Apa aku terlihat gugup? Mata Kinan menatap seperti menyelidik. "Mahasiswa?" Aku mengangguk tanpa suara, tak ingin salah bicara. Kemudian beranjak meninggalkannya untuk mengganti pakaian salat yang masih kukenakan. "Mas." Ternyata dia membuntutiku.Aku melirik dengan ujung mata. Tetap bergeming dalam mode dingin yang masih belum bisa kuperbaiki saat berhadapan dengan Kinan."Apa begitu sulit untuk memaafkanku? Kita udah cukup lama kayak gini, Mas," protes Kinan, "kita udah kayak orang lain di rumah dan kamar yang sama, Mas." Aku menoleh, berhadapan dengan dirinya. Menatap dia dengan tatapan ... mungkin jenuh. Ya, jenuh."Gimana aku bisa maafin kamu sementara kamu nggak benar-benar ikhla

  • Malam Pertama dengan Dosenku   11. Sisi Lain dari Kinan

    PoV Kaivan "Mas dari mana aja?" Kinan bersedekap menatapku saat aku baru saja membuka pintu. Matanya tak berkedip menatapku, menelusuri tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin heran melihat penampilanku yang kacau. Kemeja berantakan dan kusut, rambut yang sudah mulai gondrong tidak lagi tertata. Belum lagi wajah yang sudah pasti sama kusutnya. "Ini bukan pertama kalinya Mas pulang larut seperti ini!" Aku bergeming. Tanpa menghiraukannya aku bergegas melangkah, melewati dia yang masih dengan posisi semula. Jujur saja aku kesal. Aku lelah, mood berantakan, sampai rumah malah disambut dengan sikap ingin menghakimi darinya. Sejak kepergian Alya aku memang kerap pulang larut. Waktu yang tersisa kugunakan untuk mencarinya ke mana saja. Terkadang aku malah memilih pulang dan berdiam diri di rumah sana. Malam ini jika Bu Rumi tidak mendesakku untuk pulang, mungkin aku tidak pulang lagi. Aku seperti kehabisan akal. Orang-orang yang kukerahkan untuk mencari Alya sam

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status