Beranda / Romansa / Malam Pertama dengan Dosenku / Tak Bisa Menyimpan Sendiri

Share

Tak Bisa Menyimpan Sendiri

Penulis: Nia Kannia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-28 21:16:53

"Ibu tahu ....?"

Pria itu mengangguk. Seketika membuatku menghela napas panjang.

“Saya nggak bisa menyimpan sendirian, Al. Ibu yang menjadi tempat saya berbagi semuanya, bahkan melebihi mama saya sendiri.”

Suaranya lebih terdengar seperti keluhan.

Apa tadi dia baru saja memberitahu hal pribadinya padaku?

“Ya udah kamu mau makan ap—"

Dering ponsel memotong ucapan pria itu.

“Itu pasti Bu Kinan. Pak Kaivan pulang aja, saya udah nggak apa-apa.” Ucapanku tidak sepenuhnya bohong, karena aku memang sudah lebih baik.

Aku bahkan merasa tidak nyaman berada dalam situasi ini. Rasa mual pun sudah mulai berkurang. Hanya kepala saja yang kini terasa pusing, juga perut yang kembali terasa lapar.

Drama mual-mual hari ini akhirnya berakhir, setelah aku memakan sate madura gerobak yang kata Pak Kaivan mangkal tidak jauh dari rumah. Sebelumnya aku sudah mencoba memakan-makanan yang ada di rumah, tetapi terasa sia-sia setelah aku menelannya. Akhirnya pria itu pergi setelah lewat jam sepuluh malam.

****

Sejak mengantarku ke rumah ini malam itu, aku tidak pernah lagi melihat Pak Kaivan datang. Hari ini lewat satu bulan. Belum ada tanda-tanda pria itu ke sini.

Tidak begitu masalah, sih. Aku masih punya Bu Rumi sebagai teman mengobrol dan teman melakukan segala hal.

Sebisa mungkin menikmati waktu-waktu yang harus kulalui. Jika dibayangkan memang berat, tetapi aku mencoba melewati dengan terus menganfirmasi energi kebahagiaan dalam diri.

Ternyata Ibu asuh Pak Kaivan itu baik sekali. Perlakuanyya padaku seperti ibuku sendiri. Aku tidak pernah kesepian karenanya.

Aku memang meliburkan kegiatan rutinitasku sebelum pernikahan. Kegiatan kampus kutinggalkan untuk sementara. Entah sampai kapan. Apakah nanti bisa lanjut atau tidak, aku belum tahu dan belum bisa memutuskan. Aku tidak ingin perubahan fisikku diketahui teman-teman seperjuanganku. Aku bahkan mulai menutup komunikasi dengan teman-teman kuliah. Semua pesan chat yang masuk menanyakan kabar kujawab seperlunya. Sebisa mungkin menghindari untuk memoles fakta dengan sedikit kebohongan.

Aku tengah asyik tenggelam membaca novel romance saat samar-samar kudengar suara orang mengobrol di luar. Pintu kamarku memang tidak tertutup rapat.

"Ibu ndak nyangka kamu tega seperti ini sama dia?" Itu suara Bu Rumi.

Aku bangkit dari ranjang tempat aku duduk, kemudian melangkah pelan ke arah pintu dan keluar. Memastikan jika teman mengobrol Ibu adalah orang yang ada di pikiranku.

"Bukannya kamu bilang dia nggak salah? Terus kenapa kamu biarkan dia menanggung sendiri kesalahanmu?" Suara Bu Rumi sedikit meninggi. "Kalau Ibu tidak memintamu datang, apa kamu akan membiarkannya sendiri sampai dia melahirkan?"

Sekarang aku bisa melihat punggung lawan bicara Ibu. Dia sedang duduk menghadap meja makan. Bukan sedang menikmati jamuan makan siang, tetapi menampung wejangan dari Ibu.

Masih dari kejauhan aku bisa mencium aroma khas yang tak pernah berubah.

Pria itu menunduk tanpa suara. Dia yang juga biasa mengoceh pada tiap mahasiswa yang melalaikan tugas, kini seakan tak berkutik menerima kuliah khusus dari ibu asuhnya itu.

Aku baru tahu, jika wanita paruh baya itu bisa cerewet juga. Dia baru berhenti berbicara setelah tanpa sengaja pandangannya menangkap sosokku yang berdiri mematung.

Pak Kaivan yang tadi memunggungiku kini menoleh. Wajah pria itu tetap dingin, datar seperti biasa.

Dia kemudian berdiri menatapku dari kejauhan. Aku memilih membuang pandangan ke lantai daripada harus beradu tatap dengannya.

Dengan langkah gontai aku mulai melangkah mendekat pada mereka. Namun, Ibu meninggalkan kami begitu aku sampai di sana. Mungkin ingin membiarkan kami bicara berdua.

"Gimana kabar kamu, Al." Pertanyaan itu terdengar kaku. Seperti jauh dari kepribadian Pak Kaivan yang kukenal selama ini.

"Seperti yang Bapak lihat, saya baik," ucapku datar tanpa menatap lawan bicara.

Dia menarik salah satu kursi, memintaku duduk di sana. Aku pun menurut.

"Maafkan saya, baru sempat mengunjungi kamu hari ini." Dia berbicara setelah aku duduk.

"Saya hanya ...."

Aku melengos dan membuang muka untuk sesaat. tersenyum miring.

"Saya paham kok, Pak. Lagipula saya juga tidak pernah meminta Bapak untuk selalu mengunjungi saya." Aku mengucap datar. Sejak hari petaka itu dimulai, aku seakan tidak memiliki keinginan apa-apa lagi. Mimpi dan cita-cita seakan kandas begitu saja. Meski seharusnya aku bisa bangkit, tetapi entah kapan waktunya. Aku tidak tahu.

"Kita ke dokter hari ini. Periksa kandungan kamu." Dia berucap pelan.

"Minggu kemarin sudah kontrol kok diantar Ibu," jawabku singkat tanpa menatap padanya.

Sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dan fisik dengannya.

Tidak bisa dipungkiri jika sejak hari pertama kami menikah, aku kerap merasakan gejolak yang aneh saat berdekatan dengan dirinya. Perasaan yang masih samar-samar itu lebih baik menghilang sebelum terlihat jelas.

"Tapi saya ingin lihat dia lewat usg. Boleh, 'kan?" Dia seperti memohon.

Aku memandangnya sesaat. Tatapan lemahnya membuatku sulit berkata tidak.

"Percuma, Pak. Belum kelihatan. Dia masih sangat kecil." Aku menunduk. Kuharap dia menyerah saja. Makin lama mungkin aku tidak akan bisa bertahan.

Aku berdiri seraya berkata, "Udahlah, Bapak pulang aja. Weekend begini seharusnya Bapak temani Bu Kinan liburan atau sekadar menghabiskan waktu di rumah." Aku merasa seperti ada yang mengiris pelan bongkahan merah di dalam sana. Sejak awal aku memang harus belajar merelakan. Lagi-lagi aku memang tidak boleh berharap apa pun dari pernikahan ini.

Aku memutar tubuh dan mulai melangkah untuk meninggalkannya. Namun, kalimat singkat darinya mampu memasung langkahku cukup lama.

"Tapi saya maunya sama kamu hari ini."

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Malam Pertama dengan Dosenku   8. Jangan Bawa Dia Pergi

    Aku berbalik. "Jangan, Pak. Kasihan Bu Kinan kalau tahu Bapak--" "Alya, bisa nggak sih kamu jangan panggil saya Bapak? Saya suami kamu loh, bukan bapak kamu." Dia mengalihkan pembicaraan. Aku bergeming. Sementara dia mulai melangkah mendekat. "Kalau kamu nggak mau ke dokter nggak apa-apa. Gimana kalau kita jalan-jalan keluar?" Dia memberikan penawaran. Aku menggeleng, Aku benar-benar tidak mood untuk pergi ke mana pun. Lebih baik berdiam diri di kamar sambil menamatkan novel. Aku melengos. Melangkah meninggalkan dia yang masih berdiri di sana. "Alya." Dia meraih pergelangan tanganku. "Tolong maafkan saya." Dia berucap lagi. "Entah kenapa saya merasa kamu sedang marah sama saya." Aku nyaris tertawa. Dosen muda yang dikenal tegas dan selalu perfeksionis untuk sekian kalinya meminta maaf padaku? "Entahlah, saya merasa bersalah karena mengabaikan kamu." Dia masih memegang pergelangan tanganku. Mungkin takut aku pergi lagi. "Pak, tolong jangan gini," ucapku memohon sa

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-28
  • Malam Pertama dengan Dosenku   9. Fakta yang Disembunyikan

    Pov Kaivan"Kapan kamu akan menceraikan Kinan, Kai?" Suara Mama yang menuntut di seberang sana cukup membuatku pusing. Mama selalu begini. Hampir setiap hari dia membahas hal itu, padahal aku tidak pernah berpikir sekali pun untuk mencari Kinan. "Mama apaan sih, pagi-pagi bahas cerai. Sudah kubilang, aku tidak akan menceraikan Kinan, Ma. Apa pun yang terjadi," tugasku. "Mama butuh cucu, Kai," selanya tak mau kalah."Iya, Kai tahu. Tapi ....""Dengar, Kai. Sampai kapan kamu mempertahankan perempuan yang tidak pernah mau memberimu keturunan, Kai?" Mama terdengar kesal. "Ma, Kinan bukan nggak mau, tapi mem–""Kenapa sih kamu nggak pernah mau dengarin Mama. Kamu benar-benar dibutakan cinta oleh Kinan. Sampai-sampai kamu nggak bisa menemukan kejelekannya." Aku tertawa lirih. Mama benar. Aku selalu melihat Kinan yang selalu sempurna. Belum ada cela yang bisa kutemukan. "Ma, beri kami waktu. Kita sedang berusaha?""Waktu? Kalian sudah menikah tujuh tahun, Kai? Mau selama apa lagi? Kamu

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-28
  • Malam Pertama dengan Dosenku   10. Ke Mana Perginya Alya?

    Pov Kaivan Aku mengerutkan dahi mendengar jawaban Kayra yang penuh dengan teka-teki. Mama cukup dekat dengan Kayra yang merupakan anak dari sahabat masa kecilnya.Mama sempat menjodohkanku dengan Kayra. Namun, kami sama-sama menolak. Karena hubungan kami murni adalah persahabatan. "Kamu terlalu percaya pada Kinan, Kay. Itu pil kontr asepsi." Setelah berkata begitu Kayra menutup telepon. Namun, kalimat terakhirnya berhasil membuatku syok. Jadi, Mama benar. Kinan bukan belum bisa hamil, tetapi memang tidak mau hamil. Kenapa Kinan harus melakukan itu? Dia tidak pernah mengatakan ingin menunda kehamilan. Dia bahkan selalu bersikap seolah-olah sama inginnya sepertiku yang rindu akan hadirnya buah hati. Lantas, kenapa dia harus mengkonsumsi pil penunda keha milan? Sejak kapan dia mengkonsumsinya? Apakah selama tujuh tahun pernikahan kami? Untuk apa?Ah, memikirkan ini kepalaku terasa ingin pecah. Kinan jelas-jelas membohongiku. Entah apa tujuannya. Tapi kebohongan ini cukup membuatku be

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-29
  • Malam Pertama dengan Dosenku   11. Sisi Lain dari Kinan

    PoV Kaivan "Mas dari mana aja?" Kinan bersedekap menatapku saat aku baru saja membuka pintu. Matanya tak berkedip menatapku, menelusuri tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin heran melihat penampilanku yang kacau. Kemeja berantakan dan kusut, rambut yang sudah mulai gondrong tidak lagi tertata. Belum lagi wajah yang sudah pasti sama kusutnya. "Ini bukan pertama kalinya Mas pulang larut seperti ini!" Aku bergeming. Tanpa menghiraukannya aku bergegas melangkah, melewati dia yang masih dengan posisi semula. Jujur saja aku kesal. Aku lelah, mood berantakan, sampai rumah malah disambut dengan sikap ingin menghakimi darinya. Sejak kepergian Alya aku memang kerap pulang larut. Waktu yang tersisa kugunakan untuk mencarinya ke mana saja. Terkadang aku malah memilih pulang dan berdiam diri di rumah sana. Malam ini jika Bu Rumi tidak mendesakku untuk pulang, mungkin aku tidak pulang lagi. Aku seperti kehabisan akal. Orang-orang yang kukerahkan untuk mencari Alya sam

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-29
  • Malam Pertama dengan Dosenku   12. Hilangnya Buku Nikah

    "Mas Kai mau cari siapa? Mereka? Mereka ... siapa yang Mas Kai maksud?" Kinan mengerutkan dahi. Aku gelagapan. Apa yang harus kulakukan? Aku memang cukup kecewa dengan kebohongan yang dia buat bertahun-tahun. Namun, aku belum siap melihatnya terluka. "Hmm, bukan Apa-apa. Cuma ... cuma mahasiswa." Apa aku terlihat gugup? Mata Kinan menatap seperti menyelidik. "Mahasiswa?" Aku mengangguk tanpa suara, tak ingin salah bicara. Kemudian beranjak meninggalkannya untuk mengganti pakaian salat yang masih kukenakan. "Mas." Ternyata dia membuntutiku.Aku melirik dengan ujung mata. Tetap bergeming dalam mode dingin yang masih belum bisa kuperbaiki saat berhadapan dengan Kinan."Apa begitu sulit untuk memaafkanku? Kita udah cukup lama kayak gini, Mas," protes Kinan, "kita udah kayak orang lain di rumah dan kamar yang sama, Mas." Aku menoleh, berhadapan dengan dirinya. Menatap dia dengan tatapan ... mungkin jenuh. Ya, jenuh."Gimana aku bisa maafin kamu sementara kamu nggak benar-benar ikhla

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-29
  • Malam Pertama dengan Dosenku   13. Mendadak Ingin Pulang

    Rutinitas hari ini kujalani jauh dari kata profesional. Fokusku terbagi ke mana-mana. Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Dari masalah keberadaan Alya dan anakku yang belum kutemukan rimbanya, perdebatan dingin dengan Kinan pagi ini, hingga fakta yang baru saja kutemukan jika Mama mengetahui pernikahan keduaku. Saat menelepon Mama, belum sempat bertanya apa pun aku sudah diserang habis-habisan."Kamu benar-benar, ya, Kai. Keterlaluan banget, segitu bencinyakah kamu ke Mama sampai hal sebesar ini kamu sembunyikan dari Mama." Mama mengomel seperti biasa. Aku hanya meringis seperti biasa. Omelan Mama adalah hal biasa. Namun, ada hal yang lebih mengganggu. "Buat apa kamu tanya KK dan buku nikah? Kamu kan nggak butuh. Jadi, biar Mama yang simpan," ucap Mama saat aku mengkonfirmasi kebenaran ucapan Bu Rumi."Lebih nggak masuk akal lagi kalau Mama yang simpan, 'kan?" protesku tak terima."Udah, deh, kamu urusin aja tuh istri kesayanganmu. Nggak perlu peduli apa yang Mama lakukan."

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-30
  • Malam Pertama dengan Dosenku   14. Sang Penolong

    POV Alya Aku tidak pernah bermimpi menjadi istri kedua. Apalagi sampai dilabrak istri pertama. Dikatain pelakor dimaki habis-habisan dan diseret paksa keluar dari rumah.Aku bahkan tidak sempat pamit pada Bu Rumi. Sekadar mengatakan selamat tinggal untuk tak 'kan pernah kembali. Mereka membungkam mulutku dengan sapu tangan hingga aku tak mampu bersuara dan kehilangan setengah kesadaranku. Aku tahu, hatinya terluka karena suaminya menitipkan benih di rahim perempuan lain? Namun, pantaskah dia memperlakukanku seperti bina-.tang? Tidak bisakah dia memberiku kesempatan padaku untuk menjelaskan kenapa ini bisa terjadi? Apakah dia masih tega melakukan ini jika tahu siapa yang menyebabkan petaka itu terjadi padaku? Seharusnya dia marah pada kakaknya, 'kan? Bukan padaku.Saat terbangun, aku terbaring di atas sehelai tikar pandan. Di sekitarku banyak kotak-kotak kardus yang bertumpuk. Bau debu yang menyengat hidung juga cukup menyesakkan. Ruangan tak diberikan penerangan sama sekali. Tempat

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-30
  • Malam Pertama dengan Dosenku   15. Panggil Saja Mama

    "Terus kumpulkan bukti kejahatannya untuk menjebloskan dia ke penjara."Aku bergidik mendengar kalimat itu. Siapa perempuan yang dia maksud. Aku memilih menjauh, tidak ingin tahu lebih banyak. Setidaknya aku harus tahu diri, 'kan? Beliau sudah menolongku dari sekapan Bu Kinan saat itu, kemudian memberi tumpangan, membiayai pengobatanku hingga pulih, dan memberiku kehidupan baru. Lebih penting lagi, dia memperlakukanku seperti anaknya sendiri.Jik aku ketahuan menguping, dia pasti tersinggung. Jadi, akan lebih baik jika aku tidak tahu apa pun urusan pribadi yang ia sembunyikan. "Maaf, apa Tante punya anak?" tanyaku suatu ketika saat kami sedang di meja makan. Menu makanan yang tersaji selalu kompleks memenuhi kebutuhanku sebagai ibu hamil.Dia mengangguk. "Anak laki-laki, satu-satunya. Tapi jauh, dia juga ga mau tinggal sama Tante. Lebih milih tinggal sama istrinya yang nggak pernah suka sama Tante." Matanya menerawang saat mengatakan itu. Aku membaca ada kesedihan di dalam sana. Dia

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-31

Bab terbaru

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Aroma Parfum Perempuan

    Pov AlyaTiba-tiba aku merasakan perut yang keroncongan karena tadi hanya makan sedikit sekali, tetapi rasanya seperti tidak punya selera untuk makan. Tenggorokanku juga terasa kering, tapi air mineral di meja sudah tumpah tadi masih kosong dan belum ada gantinya.Aku menatap foto baby Rayyan yang kuambil dari atas nakas. Pipinya yang merah, bulu matanya yang lentik—dia adalah salinan kecil Mas Kaivan. Tapi setelah ucapan Pak Arga tadi, keraguan mulai menyelinap, menggoyahkan keyakinan yang tadinya kokoh. [Dia benar-benar putra saya, Al. Bukan anak Kaivan.] Suara itu masih terngiang-ngiang dalam ingatan.Aku menggigit bibir sampai terasa sakit. *Tidak mungkin.* Aku ingat betul malam itu, hanya Mas Kaivan yang bersamaku. Pak Arga .... tidak mungkin .... Tapi video itu .... Dadaku sesak lagi. Aku tidak mau mengingatnya. Tidak mau. Pagi datang dengan kabut tebal di luar jendela. Aku tidak bisa tidur semalaman, hanya menatap langit-langit dengan harapan pria itu segera pulang. Na

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Dia Tidak Pulang

    PoV AlyaAku terbangun dengan kepala yang terasa berat, pandangan kabur, dan seluruh tubuh terasa lemas. Cahaya temaram dari lampu kamar menerangi ruangan yang sunyi. Perlahan, aku menggerakkan tubuh, merasakan dinginnya ruangan yang seakan menusuk tulang. Sepertinya ada yang tidak beres dengan tubuh ini. Mas Kaivan ....Pikiranku langsung melayang pria yang berstatus suamiju itu. Di mana dia? Kenapa tidak ada di sini? Dengan susah payah, aku bangkit dari pembaringan, tubuh gemetar menahan rasa pusing yang menusuk. Mataku langsung tertuju pada ranjang tempat Rayyan biasa terlelap dengan tenang. Namun, di sana tidak ada Rayyan. Apa Mbak Rani sudah kembali bekerja lagi?Buru-buru aku mengambil wudhu dan melaksanakan salat Maghrib yang sudah hampir di ujung waktu. Kenapa tidak ada yang membangunkanku untuk salat? Di mana sebenarnya Mas Kai?Usai salat, aku melangkah gontai ke pintu, membukanya perlahan. Suasana rumah gelap dan senyap. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Mas Kaivan. Den

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pria dalam Video

    "Jangan bohong, Kinan.""Ngapain bohong sih, Kak?""Ya udah, kalau gitu aku mau periksa kamar kamu." "Kalau aku gak izinin?""Artinya kamu bohong!""Terserah!" Kinan menutup pintu dengan membanting. Pintu digedor lagi, tetapi wanita itu abai. Kinan kemudian kembali naik ke atas tempat tidur. Dia mengendurkan ikatan tanganku, tetapi tidak membuka lakban di mulutku."Jangan macam-macam! Atau aku bisa lakukan apa pun pada istri dan anak kesayanganmu itu. Kamu ingat kan apa yang pernah kulakukan pada perempuan itu? Dulu dia ada yang jagain, anak buah Mama? Tapi sekarang? Tua bangka itu bahkan sudah membusuk dan dimakan cacing." Setelah berkata begitu, dia kemudian berbaring tak jauh dariku. Sepertinya dia tak berniat untuk melepaskan penutup mulutku.Aku bisa saja menggunakan kakiku untuk melakukan perlawanan padanya dan melemahkannya, terapi dia sedang mengandung. Aku masih punya hati. "Hmmmh." Aku bersuara dengan mulut masih tertutup.Dia bangkit. Lalu membuka penutup mulutku. "Tolo

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Kegilaan Kinan

    PoV Kinan----"Tapi, Ki. Ini salah. Sampai kapan kamu akan menahanku seperti ini. Kita udah resmi cerai. Dan, aku punya tanggung jawab atas anak dan istriku," selorohku kesal karena wanita ini tak juga mengerti. Kinan bergeming kemudian naik lagi ke atas tempat tidur dengan santai. "Tidurlah, Mas. Ini sudah larut," ucapnya lembut.Dia benar-benar sudah gila. Bagaimana aku bisa tidur dalam keadaan seperti ini."Kinan, jangan menguji kesabaranku!" seruku penuh penekanan. "Hah? Memangnya apa yang bisa kamu lakukan kalau habis kesabaran dalam keadaanmu yang seperti itu, Mas," ejeknya sambil tersenyum miring. "Lepaskan aku, Ki. Aku benar-benar ingin ke toilet," tandasku kesal karena memang menahan air seni sejak tadi."Sudah kubilang, pake ini aja, Mas!" tegasnya sambil mengangkat pispot lagi. "Mana bisa? Tanganku gak bisa gerak leluasa karena kamu ikat.""Oke, aku bantu, ya," ucapnya tanpa beban."Apa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.Aku menepis tangannya yang nyaris me

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Menjadi Sandera sang Mantan

    PoV KaivanDia duduk di sisiku. Sedikit menempel pada tubuhku. Aku merasakan tubuhnya yang sedikit bersandar di tubuhku. Aku tak bisa menggeser tubuh agar sedikit menjauh darinya. Tali di kedua sisi tidak bisa ditarik lagi.Tanpa kata dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku menggerak-gerakkan bahuku agar dia mengangkat kepalanya dari sana. "Kamu tahu gak, sih. Aku udah lama nungguin masa-masa ini. Maaf untuk kesalahanku dulu, Mas." Dia berkata lagi tanpa beban. Seolah tidak sedang terjadi apa pun. "Jangan seperti ini, Ki. Lepaskan aku dan biarkan aku pergi dari sini. Kita bukan suami istri lagi, kita sudah resmi cerai." Aku mengingatkan. "Kamu benar, Mas, pengadilan sudah meresmikan perceraian kita." Dia mengelus perutnya yang buncit. "Tapi aku hamil anakmu." Dia menatapku. Ucapannya membuatku membeku untuk beberapa saat. Tidak. Kinan tidak mungkin hamil anakku. Saat bersamaku dia selalu meminum pil KB tanpa jeda setiap hari. Jadi, tidak mungkin hamil."Itu gak mungkin, kamu se

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Hamil?

    PoV KaivanSaat pintu terbuka. Aku mendapati senyum ramah yang terkesan dibuat-buat. "Masuklah, aku sudah lama menunggumu," ucapnya seakan tahu jika aku akan datang. Aku masuk ke rumah itu tanpa sepatah kata. Aku mengikuti langkahnya tanpa keraguan. Meski aku tahu, langkah Arga tak pernah bisa ditebak, tetapi aku tidak pernah takut.Kami tiba di sebuah ruangan. Di ruangan seluas dua puluh lima meter persegi itu tidak banyak furnitur dan aksesoris. Hanya ada satu meja kerja dan kursinya, satu buah sofa lengkap dengan meja kaca, juga ada satu lemari.Dia mempersilakanku duduk. Senyum tipis yang dia sunggingkan seperti tak memiliki rasa bersalah sama sekali setelah apa yang dia lakukan pada Alya hari ini. Senyum itu bagiku lebih mirip seringai seorang monster.Seorang ART mengantarkan teh hangat dan camilan di hadapanku. Arga yang duduk tak jauh dariku setelah mengambil sesuatu di atas meja kerja.Arga duduk dan mempersilakanku untuk minum. Aku meneguknya hingga separuh.“Aku tidak ing

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tak Tersisa

    PoV AlyaDia menatapku intens, membuatku takut. Itu tatapan paling aneh dan menakutkan yang pernah pernah kudapat darinya—selama kami beberapa kali saja berinteraksi. "Dia benar-benar putra saya, Al. Bukan anak Kaivan."Tubuhku membeku seperti baru saja tersengat listrik mendengar kalimatnya yang random. Benar-benar random dan tak masuk akal. Bagaimana dia bisa berpikir untuk mengucapkan kalimat itu. Masuk ke rumah tanpa izin saja sudah cukup membuatku kesal. Apalagi mengatakan hal menjij-kkan seperti itu. "Jangan asal bicara, Pak!" sentakku kesal. Tak peduli apa pun yang dia pikirkan.Dia menatap lemah padaku. "Saya gak asal bicara, Al. Dia memang putra saya," tegasnya lagi. Aku tak peduli. Sepertinya memang sudah tidak waras."Dasar gila! Gak waras! Pergi dari sini," umpatku kemudian karena tidak dapat lagi menahan kesal. Aku segera memutar tubuh dan dengan langkah tergesa segera menaiki tangga. Saat hampir sampai di atas, aku sedikit menarik napas lega karena dia hanya menata

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pernyataan Arga

    PoV Alya"Pak Arga?" Aku tak dapat menyembunyikan rasa terkejutku. Buru-buru aku menutup pintu agar dia tak bisa masuk. Namun, pria menahan dengan satu kakinya, sehingga pintu tidak bisa tertutup begitu saja.Tindakannya membuat detak jantung meningkat dua kali lebih cepat. Tentu saja dia membuatku takut. Pasalnya aku hanya di rumah berdua bersama Rayyan. Mbak Rani sedang cuti. Sementara Bu Rumi sedang keluar untuk belanja bulanan."Tolong, Pak. Pergi aja dari sini." Aku memohon tanoa menatapnya."Plis, Alya. Saya hanya ingin bicara sebentar. Jika Kaivan tidak mau mendengarkan saya. Mungkin dia akan mendengarkan kamu." Suaranya rendah dan penuh permohonan. Dari suaranya terdengar terdengar tulus. Aku tidak melihat ada maksud terselubung. Namun, aku kembali ragu saat ingat kata-kata Mas Kaivan beberapa hari waktu lalu."Arga itu manipulatif, kamu jangan sampai tertipu."Aku menggeleng. "Maaf, Pak. Bapak kalau mau ketemu Mas Kaivan, datang aja ke kantornya. Jangan ke rumah ini. Saya

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Kesempatan

    PoV KaivanAku mengangkat tubuhnya menjauh dari lantai yang penuh dengan pecahan kaca. Setelah mendudukkan tubuhnya di sofa, mengambilkan air minum—dia meminumnya hingga tandas, aku kembali merapikan rambutnya yang masih sedikit berantakan."Apa ini kelakuan Arga?" Aku memberanikan diri bertanya. Pelan sekali.Matanya yang sayu menatapku lemah. Bibirnya bergetar, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi ada keraguan sebagai penghalangnya. Aku juga menemukan hal lain di matanya. Seakan ada ketakutan yang tidak bisa dikatakan. Setidaknya itu yang kulihat.Aku menangkup kedua pipinya, menatap intens. “Aku tahu dia datang ke sini. Katakan, Sayang. Apa dia melakukan sesuatu yang ...."Dia menggeleng. Aku kembali merengkuhnya dalam dekapan, lalu mendaratkan beberapa kecupan di rambutnya. “Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku bertanya lagi di dalam hati."Dia .... Rayyan ...." Alya mulai bicara. “Aku takut, Mas. Rayyan .... Dia bilang Rayyan–" Kalimat terputus oleh tangisnya sendiri. Aku mengus

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status