Pov AlyaTiba-tiba aku merasakan perut yang keroncongan karena tadi hanya makan sedikit sekali, tetapi rasanya seperti tidak punya selera untuk makan. Tenggorokanku juga terasa kering, tapi air mineral di meja sudah tumpah tadi masih kosong dan belum ada gantinya.Aku menatap foto baby Rayyan yang kuambil dari atas nakas. Pipinya yang merah, bulu matanya yang lentik—dia adalah salinan kecil Mas Kaivan. Tapi setelah ucapan Pak Arga tadi, keraguan mulai menyelinap, menggoyahkan keyakinan yang tadinya kokoh. [Dia benar-benar putra saya, Al. Bukan anak Kaivan.] Suara itu masih terngiang-ngiang dalam ingatan.Aku menggigit bibir sampai terasa sakit. *Tidak mungkin.* Aku ingat betul malam itu, hanya Mas Kaivan yang bersamaku. Pak Arga .... tidak mungkin .... Tapi video itu .... Dadaku sesak lagi. Aku tidak mau mengingatnya. Tidak mau. Pagi datang dengan kabut tebal di luar jendela. Aku tidak bisa tidur semalaman, hanya menatap langit-langit dengan harapan pria itu segera pulang. Na
PoV KaivanAku tidak tahu Kinan pingsan atau tertidur. Namun, beberapa saat setelah Kinan terkulai, pintu kamar dibuka dengan paksa. Arga muncul di sana. Dia menghampiriku dan melepaskan semua ikatan di kedua tanganku, juga lakban yang membungkam mulutku. Melihat wajah Arga membuat emosiku memuncak. Aku teringat video yang diputar Kinan semalam.Aku mencengkram kerah bajunya. Wajahnya terkejut karena mungkin tak siap."Gak ada waktu untuk ini, Kai. Pergilah sekarang. Maaf, seharusnya aku tidak mengundangmu ke sini. Aku tidak tahu jika Kinan akan senekat ini.""Omong kosong lu, Ga. Kenapa ada orang sebusuk lu, hah? Lu pura-pura bantu nyokap gue buat nyatuin gue orang sebaik Alya, tapi lu malah ikut nodain dia." Aku melayangkan tinjv ke wajahnya. Dia meronta. "Apa maksud kamu, Kai? Aku memang mengakui anak kalian sebagai anakku hanya untuk menggertak Alya, memancing supaya kamu datang menemuiku. Demi Tuhan aku gak pernah menyentuh Alya." Dia mencoba menjelaskan.Aku mengambil remote d
"Mas selingkuh?"Aku menggeleng.Sial. Ini pasti ulah Kinan tadi malam. Namun, penjelasan seperti apa yang harus kukatakan pada Alya."Gak perlu bohong, Mas. Aku bisa lihat. Dan ...." Dia menarik paksa napasnya. "Ini bukan aroma parfum kamu, ini parfum perempuan." Dia mendorong tubuhku.Aku bergeming. Aku baru saja akan bercerita ke mana aku pergi semalam supaya tidak menimbulkan salah paham. Namun, dia sudah terlanjur salah paham. Lalu aku harus bagaimana? Apa dia masih bisa mendengarku?"Alya, aku gak selingkuh. Kamu salah paham. Aku bisa jelasin apa yang sebenarnya terjadi semalam." Aku berkata lirih.Dia menatapku lemah. Napasnya mulai naik turun dengan tempo cepat dan berat.Aku mencoba meraih tangannya dalam genggaman. Namun, dia menepis dengan cepat. Dia kemudian memiringkan tubuhnya dan membelakangiku."Bukannya dulu aku pernah bilang. Aku bisa bertahan hanya jika Mas tinggalka Bu Kinan. Tapi bukan berarti boleh ada wanita lain meski itu bukan Bu Kinan, Mas," ucapnya lirih. Su
"Saya tahu ini adalah kesalahan besar, tapi saya harap kamu bisa melupakan malam ini. Anggap yang telah terjadi tidak pernah terjadi." Pria berusia matang itu bersuara. Berat. Dia terburu-buru mengenakan kembali semua pakaiannya. Wajahnya masam karena sebuah petaka besar yang baru saja menimpa kami.Sementara aku duduk di tepi ranjang. Beberapa saat menatap pria itu, lalu membuang muka. Mendadak aku muak dengan orang yang kukagumi sejak resmi menjadi mahasiswi.Siang kemarin, aku baru saja memuji kewibaannya. Semua peserta seminar pasti terkagum-kagum setiap dosen itu menjadi nara sumber. Karena setiap Kaivan Satria Aksa mengisi pasti bahan yang disampaikan sangat berbobot untuk para mahasiswa. Sehingga seminar yang diisi dengan Kaivan Satria Aksa sebagai narasumbernya tidak pernah sepi peserta. Bimbingan skripsi yang harusnya membawaku pada pintu kelulusan, siapa sangka justru membawaku pada petaka yang tak 'kan pernah kulupakan seumur hidup.Aku masih bergeming. Meresapi penyesalan
Entah kenapa aku muak melihat pria yang berusia sebaya dengan Pak Kaivan itu. Dia tidak sendiri. Dua orang lainnya berdiri di belakangnya layaknya bodyguard."Hai, kamu!" Kini ekor matanya beralih padaku yang berdiri di belakang punggung Pak Kaivan."Ayam kampus!" ejeknya sambil tersenyum miring. Dia maju beberapa langkah untuk mendekatiku. Namun, Pak Kaivan menggeser tubuhnya menghadang pria itu."Bukankah kita sudah janjian sebelumnya? Tapi di sini rupanya kamu!" Dia masih tak menyerah. Ya, dia memang Pak Arga. Dosen pembimbing skripsi yang membuatku tersesat di sini. Entah kenapa aku yakin jika dia sengaja memberiku nomor kamar yang salah. Jangan ditanya bagaimana keadaanku sekarang, rasanya seperti tak bermalu lagi."Bisakah kau berhenti melibatkan orang lain dalam masalah kita, Ga?" tekan Pak Kaivan dengan suara berat.Pak Arga menyeringai lagi. "Sayangnya tidak. Tidak akan seru jika kita hanya bermain berdua, Kai." Dia menjawab santai."Ssst." Pak Arga setengah menoleh menatap
"Terima kasih, tidak membuat keluarga saya curiga dengan pernikahan kita," ucapku saat kami memulai perjalan untuk kembali ke Jakarta. Jujur saja rasa canggung sedikit terselip dalam kalimat itu. Kata ‘kita’ di dalam kalimat itulah yang menjadi penyebabnya. Pasalnya aku tahu, kami menikah bukan karena cinta. Bahkan aku merasa seperti menjadi simpanan sekarang. Bedanya, jika wanita simpanan lain merasa disayangi dan diperlakukan lebih daripada istri sah, aku justru merasa bersyukur sudah dinikahi. Aku cukup tahu diri untuk meminta banyak hal dari Pak Kaivan.Ya, akhirnya pernikahan yang tak diinginkan itu terjadi. Tragedi di malam itu benar-benar menyisakan bekasdan menghadirkan kehidupan kecil di rahimku.Sesaat, aku merasa dunia seakan berhenti saat sadar jika kehamilan itu terjadi. Aku seperti berada relung bumi yang paling dasar.“Sejak malam itu saya merasa, kalau kamu adalah tanggung jawab saya. Tanggung jawab saya menjaga nama baik kamu, di depan keluarga kamu sendiri.” Tid
“Ayo turun,” ucap pria itu lirih seraya menoleh padaku. Aku hanya setengah menoleh padanya, tanpa suara dan gerakan yang lain. “Alya, kita sudah sampai. Turunlah," ulangnya lagi. Bisa kudengar embusan napas dalamnya. Ada hal yang mengganggu pikiranku sehingga aku belum ingin keluar. “Tapi, Pak. Ini rumah siapa?” Aku mengedarkan pandangan ke semua sisi di luar mobil. “Rumah saya, kamu akan tinggal di sini.” Aku menggeleng cepat. “Pak Kai antar saya ke kontrakan aja, saya akan tinggal di sana," ucapku cepat. Mana mungkin aku tinggal di rumah ini. Sendirian? Dia pasti akan pulang ke rumah istrinya. Atau jangan-jangan Bu Kinan di dalam. Jika iya, Pak Kaivan mungkin akan menyekapku di sebuah ruangan gelap supaya istri pertamanya itu tidak tahu. Tidak. Lebih baik aku tinggal di kontrakanku saja. Aku tidak akan bisa tinggal bersama wanita yang menjadi kakak maduku. Lagi pula diri ini belum siap menghadapi bila tiba-tiba Bu Kinan ngamuk dan memakiku sebagai pelakor. Aku bergidik
Pak Kaivan yang sepertinya sadar dengan penolakanku menyambut tangannya, memundurkan tubuh sedikit. Ia kemudian membiarkanku melangkah lebih dulu.Aku terkesiap saat ada yang membukakan pintu untuk kami saat aku baru saja sampai di teras. Tepat di depan pintu.“Eh, sudah datang?” ucap wanita paruh baya dengan pakaian sederhana dan tertutup yang membuka pintu. Pak Kaivan yang ada di belakang, melewatiku kemudian segera menyalami wanita paruh baya itu dengan takzim. Aku pun mengikuti gerakannya meski tanda tanya bercokol di kepala tentang siapa wanita ini? Ibunyakah? Hmm ... sepertinya bukan. “Oya, Alya. Ini Bu Rumi. Sudah seperti ibu saya sendiri. Beliau yang akan menemani kamu tinggal di sini.” Pak Kaivan menatapku sepintas. Benar, 'kan? Memang bukan ibunya. Jadi, Bu Rumi yang akan menemaniku di rumah ini? Baiklah, sepertinya tidak buruk. Menurut perkiraanku Bu Rumi masih lebih muda daripada ibuku. Ah, Ibu. Aku jadi teringat, aku sudah berbohong pada Ibu dan Ayah.Pak Kaivan menye
"Mas selingkuh?"Aku menggeleng.Sial. Ini pasti ulah Kinan tadi malam. Namun, penjelasan seperti apa yang harus kukatakan pada Alya."Gak perlu bohong, Mas. Aku bisa lihat. Dan ...." Dia menarik paksa napasnya. "Ini bukan aroma parfum kamu, ini parfum perempuan." Dia mendorong tubuhku.Aku bergeming. Aku baru saja akan bercerita ke mana aku pergi semalam supaya tidak menimbulkan salah paham. Namun, dia sudah terlanjur salah paham. Lalu aku harus bagaimana? Apa dia masih bisa mendengarku?"Alya, aku gak selingkuh. Kamu salah paham. Aku bisa jelasin apa yang sebenarnya terjadi semalam." Aku berkata lirih.Dia menatapku lemah. Napasnya mulai naik turun dengan tempo cepat dan berat.Aku mencoba meraih tangannya dalam genggaman. Namun, dia menepis dengan cepat. Dia kemudian memiringkan tubuhnya dan membelakangiku."Bukannya dulu aku pernah bilang. Aku bisa bertahan hanya jika Mas tinggalka Bu Kinan. Tapi bukan berarti boleh ada wanita lain meski itu bukan Bu Kinan, Mas," ucapnya lirih. Su
PoV KaivanAku tidak tahu Kinan pingsan atau tertidur. Namun, beberapa saat setelah Kinan terkulai, pintu kamar dibuka dengan paksa. Arga muncul di sana. Dia menghampiriku dan melepaskan semua ikatan di kedua tanganku, juga lakban yang membungkam mulutku. Melihat wajah Arga membuat emosiku memuncak. Aku teringat video yang diputar Kinan semalam.Aku mencengkram kerah bajunya. Wajahnya terkejut karena mungkin tak siap."Gak ada waktu untuk ini, Kai. Pergilah sekarang. Maaf, seharusnya aku tidak mengundangmu ke sini. Aku tidak tahu jika Kinan akan senekat ini.""Omong kosong lu, Ga. Kenapa ada orang sebusuk lu, hah? Lu pura-pura bantu nyokap gue buat nyatuin gue orang sebaik Alya, tapi lu malah ikut nodain dia." Aku melayangkan tinjv ke wajahnya. Dia meronta. "Apa maksud kamu, Kai? Aku memang mengakui anak kalian sebagai anakku hanya untuk menggertak Alya, memancing supaya kamu datang menemuiku. Demi Tuhan aku gak pernah menyentuh Alya." Dia mencoba menjelaskan.Aku mengambil remote d
Pov AlyaTiba-tiba aku merasakan perut yang keroncongan karena tadi hanya makan sedikit sekali, tetapi rasanya seperti tidak punya selera untuk makan. Tenggorokanku juga terasa kering, tapi air mineral di meja sudah tumpah tadi masih kosong dan belum ada gantinya.Aku menatap foto baby Rayyan yang kuambil dari atas nakas. Pipinya yang merah, bulu matanya yang lentik—dia adalah salinan kecil Mas Kaivan. Tapi setelah ucapan Pak Arga tadi, keraguan mulai menyelinap, menggoyahkan keyakinan yang tadinya kokoh. [Dia benar-benar putra saya, Al. Bukan anak Kaivan.] Suara itu masih terngiang-ngiang dalam ingatan.Aku menggigit bibir sampai terasa sakit. *Tidak mungkin.* Aku ingat betul malam itu, hanya Mas Kaivan yang bersamaku. Pak Arga .... tidak mungkin .... Tapi video itu .... Dadaku sesak lagi. Aku tidak mau mengingatnya. Tidak mau. Pagi datang dengan kabut tebal di luar jendela. Aku tidak bisa tidur semalaman, hanya menatap langit-langit dengan harapan pria itu segera pulang. Na
PoV AlyaAku terbangun dengan kepala yang terasa berat, pandangan kabur, dan seluruh tubuh terasa lemas. Cahaya temaram dari lampu kamar menerangi ruangan yang sunyi. Perlahan, aku menggerakkan tubuh, merasakan dinginnya ruangan yang seakan menusuk tulang. Sepertinya ada yang tidak beres dengan tubuh ini. Mas Kaivan ....Pikiranku langsung melayang pria yang berstatus suamiju itu. Di mana dia? Kenapa tidak ada di sini? Dengan susah payah, aku bangkit dari pembaringan, tubuh gemetar menahan rasa pusing yang menusuk. Mataku langsung tertuju pada ranjang tempat Rayyan biasa terlelap dengan tenang. Namun, di sana tidak ada Rayyan. Apa Mbak Rani sudah kembali bekerja lagi?Buru-buru aku mengambil wudhu dan melaksanakan salat Maghrib yang sudah hampir di ujung waktu. Kenapa tidak ada yang membangunkanku untuk salat? Di mana sebenarnya Mas Kai?Usai salat, aku melangkah gontai ke pintu, membukanya perlahan. Suasana rumah gelap dan senyap. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Mas Kaivan. Den
"Jangan bohong, Kinan.""Ngapain bohong sih, Kak?""Ya udah, kalau gitu aku mau periksa kamar kamu." "Kalau aku gak izinin?""Artinya kamu bohong!""Terserah!" Kinan menutup pintu dengan membanting. Pintu digedor lagi, tetapi wanita itu abai. Kinan kemudian kembali naik ke atas tempat tidur. Dia mengendurkan ikatan tanganku, tetapi tidak membuka lakban di mulutku."Jangan macam-macam! Atau aku bisa lakukan apa pun pada istri dan anak kesayanganmu itu. Kamu ingat kan apa yang pernah kulakukan pada perempuan itu? Dulu dia ada yang jagain, anak buah Mama? Tapi sekarang? Tua bangka itu bahkan sudah membusuk dan dimakan cacing." Setelah berkata begitu, dia kemudian berbaring tak jauh dariku. Sepertinya dia tak berniat untuk melepaskan penutup mulutku.Aku bisa saja menggunakan kakiku untuk melakukan perlawanan padanya dan melemahkannya, terapi dia sedang mengandung. Aku masih punya hati. "Hmmmh." Aku bersuara dengan mulut masih tertutup.Dia bangkit. Lalu membuka penutup mulutku. "Tolo
PoV Kinan----"Tapi, Ki. Ini salah. Sampai kapan kamu akan menahanku seperti ini. Kita udah resmi cerai. Dan, aku punya tanggung jawab atas anak dan istriku," selorohku kesal karena wanita ini tak juga mengerti. Kinan bergeming kemudian naik lagi ke atas tempat tidur dengan santai. "Tidurlah, Mas. Ini sudah larut," ucapnya lembut.Dia benar-benar sudah gila. Bagaimana aku bisa tidur dalam keadaan seperti ini."Kinan, jangan menguji kesabaranku!" seruku penuh penekanan. "Hah? Memangnya apa yang bisa kamu lakukan kalau habis kesabaran dalam keadaanmu yang seperti itu, Mas," ejeknya sambil tersenyum miring. "Lepaskan aku, Ki. Aku benar-benar ingin ke toilet," tandasku kesal karena memang menahan air seni sejak tadi."Sudah kubilang, pake ini aja, Mas!" tegasnya sambil mengangkat pispot lagi. "Mana bisa? Tanganku gak bisa gerak leluasa karena kamu ikat.""Oke, aku bantu, ya," ucapnya tanpa beban."Apa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.Aku menepis tangannya yang nyaris me
PoV KaivanDia duduk di sisiku. Sedikit menempel pada tubuhku. Aku merasakan tubuhnya yang sedikit bersandar di tubuhku. Aku tak bisa menggeser tubuh agar sedikit menjauh darinya. Tali di kedua sisi tidak bisa ditarik lagi.Tanpa kata dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku menggerak-gerakkan bahuku agar dia mengangkat kepalanya dari sana. "Kamu tahu gak, sih. Aku udah lama nungguin masa-masa ini. Maaf untuk kesalahanku dulu, Mas." Dia berkata lagi tanpa beban. Seolah tidak sedang terjadi apa pun. "Jangan seperti ini, Ki. Lepaskan aku dan biarkan aku pergi dari sini. Kita bukan suami istri lagi, kita sudah resmi cerai." Aku mengingatkan. "Kamu benar, Mas, pengadilan sudah meresmikan perceraian kita." Dia mengelus perutnya yang buncit. "Tapi aku hamil anakmu." Dia menatapku. Ucapannya membuatku membeku untuk beberapa saat. Tidak. Kinan tidak mungkin hamil anakku. Saat bersamaku dia selalu meminum pil KB tanpa jeda setiap hari. Jadi, tidak mungkin hamil."Itu gak mungkin, kamu se
PoV KaivanSaat pintu terbuka. Aku mendapati senyum ramah yang terkesan dibuat-buat. "Masuklah, aku sudah lama menunggumu," ucapnya seakan tahu jika aku akan datang. Aku masuk ke rumah itu tanpa sepatah kata. Aku mengikuti langkahnya tanpa keraguan. Meski aku tahu, langkah Arga tak pernah bisa ditebak, tetapi aku tidak pernah takut.Kami tiba di sebuah ruangan. Di ruangan seluas dua puluh lima meter persegi itu tidak banyak furnitur dan aksesoris. Hanya ada satu meja kerja dan kursinya, satu buah sofa lengkap dengan meja kaca, juga ada satu lemari.Dia mempersilakanku duduk. Senyum tipis yang dia sunggingkan seperti tak memiliki rasa bersalah sama sekali setelah apa yang dia lakukan pada Alya hari ini. Senyum itu bagiku lebih mirip seringai seorang monster.Seorang ART mengantarkan teh hangat dan camilan di hadapanku. Arga yang duduk tak jauh dariku setelah mengambil sesuatu di atas meja kerja.Arga duduk dan mempersilakanku untuk minum. Aku meneguknya hingga separuh.“Aku tidak ing
PoV AlyaDia menatapku intens, membuatku takut. Itu tatapan paling aneh dan menakutkan yang pernah pernah kudapat darinya—selama kami beberapa kali saja berinteraksi. "Dia benar-benar putra saya, Al. Bukan anak Kaivan."Tubuhku membeku seperti baru saja tersengat listrik mendengar kalimatnya yang random. Benar-benar random dan tak masuk akal. Bagaimana dia bisa berpikir untuk mengucapkan kalimat itu. Masuk ke rumah tanpa izin saja sudah cukup membuatku kesal. Apalagi mengatakan hal menjij-kkan seperti itu. "Jangan asal bicara, Pak!" sentakku kesal. Tak peduli apa pun yang dia pikirkan.Dia menatap lemah padaku. "Saya gak asal bicara, Al. Dia memang putra saya," tegasnya lagi. Aku tak peduli. Sepertinya memang sudah tidak waras."Dasar gila! Gak waras! Pergi dari sini," umpatku kemudian karena tidak dapat lagi menahan kesal. Aku segera memutar tubuh dan dengan langkah tergesa segera menaiki tangga. Saat hampir sampai di atas, aku sedikit menarik napas lega karena dia hanya menata