"Terima kasih, tidak membuat keluarga saya curiga dengan pernikahan kita," ucapku saat kami memulai perjalan untuk kembali ke Jakarta.
Jujur saja rasa canggung sedikit terselip dalam kalimat itu. Kata ‘kita’ di dalam kalimat itulah yang menjadi penyebabnya. Pasalnya aku tahu, kami menikah bukan karena cinta. Bahkan aku merasa seperti menjadi simpanan sekarang. Bedanya, jika wanita simpanan lain merasa disayangi dan diperlakukan lebih daripada istri sah, aku justru merasa bersyukur sudah dinikahi. Aku cukup tahu diri untuk meminta banyak hal dari Pak Kaivan. Ya, akhirnya pernikahan yang tak diinginkan itu terjadi. Tragedi di malam itu benar-benar menyisakan bekas dan menghadirkan kehidupan kecil di rahimku. Sesaat, aku merasa dunia seakan berhenti saat sadar jika kehamilan itu terjadi. Aku seperti berada relung bumi yang paling dasar. “Sejak malam itu saya merasa, kalau kamu adalah tanggung jawab saya. Tanggung jawab saya menjaga nama baik kamu, di depan keluarga kamu sendiri.” Tidak bisa dipungkiri, jawaban Pak Kaivan membuatku merasa melayang untuk sesaat. Akan tetapi, kalimat pria itu selanjutnya membuatku seperti dihempas jauh-jauh dari bumi. “Tapi saya minta satu hal sama kamu, pernikahan kita hanya ada di depan keluarga kamu dan orang-orang di kampung kamu. Setelah sampai di Jakarta nanti, di kampus, di hadapan Kinan dan yang lainnya kita bukan siapa-siapa?” ucapnya pelan, tetapi tak meninggalkan kesan tegas. Aku cepat tersadar saat tiba-tiba pelupuk mata terasa memanas. “Kamu paham?” tanyanya kemudian karena aku hanya bergeming tanpa merespons. Aku akhirnya mengangguk tanpa suara, bahkan tanpa menoleh pada pria itu. “Maaf," ujarnya lirih, "maksud saya ... sampai saya siap untuk mengatakan yang sebenarnya pada semuanya.” Sepertinya dia menyadari jika aku tidak menyukai ucapannya. “Pak Kaivan nggak perlu melakukan itu. Setelah anak ini lahir, Bapak bisa ceraikan saya, saya janji nggak akan ganggu Pak Kaivan dengan menggunakan anak ini sebagai alasan. Saya hanya butuh status ayah untuk akta kelahirannya nanti, itu saja.” Aku berusaha meredam apa yang sebenarnya bergejolak di hati. Bagaimanapun pria itu sekarang adalah suamiku. Terlepas bagaimana cara kami menikah. Rasa sakit itu pasti ada saat wanita mana pun mendengar sesuatu yang tidak disuka dari pria yang berstatus sebagai suami. Apa yang kukatakan benar, bukan? “Maksud kamu?” tanyanya kemudian sembari menoleh. Dari ujung mata yang melirik sekilas, aku bisa melihat keningnya sedikit berkerut. Aku bergeming. Tidak tahu bagaimana menjawab. Aku paham benar bagaimana status pernikahan ini di depan orang-orang terdekat Pak Kaivan nantinya. Seharunya tidak perlu dia perjelas seperti itu. Aku cukup tahu diri. Karena itu, aku mendadak merasa muak saat pria itu membahas dan menekankan lagi. “Asal kamu tahu saja, Alya. Saya bukan seorang pria yang tidak bertanggung jawab, dan saya tidak ingin menjadi seperti itu, Alya," ucapnya tegas, "Terlebih itu adalah sebagai seorang ayah." Dia menghela napas dalam, kemudian berkata lagi, "Kalau boleh jujur, saya sudah lama menginginkannya kehadiran seorang anak.” Kalimat terakhirnya itu dia katakan dengan lirih sekali. Kalimat itu juga cukup membuatku menoleh secara refleks. Jujur, ucapannya cukup ampuh memperbaiki mood yang tadi mendadak berantakan. Aku tahu pernikahannya dengan Bu Kinan memang cukup lama--meski aku tidak tahu angka pastinya. Mereka memang belum dikaruniai seorang anak. “Kenapa percaya sama saya, Pak?” Iseng aku bertanya. “Hmm?” Dia bergumam tanpa menoleh. “Bisa saja, 'kan, saya menipu Pak Kaivan? Pak Kaivan yakin kalau ini anak Pak Kaivan?” Entahlah, pertanyaan itu muncul begitu saja. Tentu saja aku hanya mengujinya. Karena seratus persen yang tumbuh di dalam sana adalah darah dagingnya. Dia bergeming. Masih terus fokus mengemudi. Sepertinya dia tidak akan menjawab pertanyaanku begitu saja. Akan tetapi, aku tidak menyerah. “Gimana, Pak?” tanyaku lagi karena pria bercambang tipis itu tidak juga memberi respons. “Hmm, saya sudah jadi suami kamu, tapi kamu masih panggil saya pak?” Kelihatan sekali dia berusaha mengalihkan pembicaraan. Seperti biasa, suaranya tetap terdengar datar dan dingin. Kali ini ganti aku yang terdiam. Ia segera membuang pandang ke jendela sesaat setelah tatapan kami baru saja bertemu. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang beda di dalam sana. “Ja—jadi, saya harus panggil apa?” Ah, kenapa aku mendadak jadi gagap? “Terserah, waktu di depan keluarga kamu kemarin kamu panggil saya apa?” Dia balik bertanya. Kebiasaan. “Emhh ...., M-mas?” ucapku ragu. “Itu lebih baik, daripada saya seperti menjadi bapak kamu.” Sepertinya dia sedang mencoba menetralkan suana yang selalu canggung. “Tapi kan Bapak memang dosen saya,” protesku kemudian. Sebab rasanya akan sulit mengganti panggilan baru untuk seseorang. Pak Kaivan sudah menjadi dosenku selama tiga tahun ini. Dua tahun terakhir pria itu selalu mengisi mata kuliah di kelasku tiap semester. Tentu saja tidak mudah untuk mengubah sebutan itu. “Kamu pasti bisa membedakan di mana saya menjadi dosen kamu dan di mana saya menjadi suami kamu.” Dia sedikit menegakkan badan sambil terus mengemudi. Entahlah, aku merasa dia seperti sedang salah tingkah. Aku pun memutar bola mata. “Oke,” jawabku singkat. Sejujurnya aku masih bingung bagaimana harus menyikapi pria yang berstatus suamiku itu. Terkadang berkata manis seolah-olah diri ini memang berharga, terkadang juga bersikap dingin seolah aku bukan siapa-siapa. Ya, menurutku kalimat Pak Kaivan barusan memang terdengar manis. Entahlah, aku tidak merasa suara Pak Kalian sedingin tadi. Dia lebih bisa mencair daripada sebelumnya. Perjalanan kami lebih banyak diisi dengan kebisuan. Selain karena rasa canggung yang masih mengusung, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku yakin dia pun juga. Pak Kaivan menghentikan Pajeronya di pelataran rumah yang terbilang mewah menurutku. Meskipun bisa dikatakan minimalis, tetapi Aku bisa melihat bangunan itu memiliki dua lantai. Aku mendongak sesaat. Ada balkon mini juga di sana. Aku menghela napas kemudian. Apa aku akan tinggal di sana? Ada siapa di dalam sana? Jangan bilang ada istri pertamanya di sana. Tidak mungkin. Dia bilang kan status pernikahan ini disembunyikan dari istrinya.“Ayo turun,” ucap pria itu lirih seraya menoleh padaku. Aku hanya setengah menoleh padanya, tanpa suara dan gerakan yang lain. “Alya, kita sudah sampai. Turunlah," ulangnya lagi. Bisa kudengar embusan napas dalamnya. Ada hal yang mengganggu pikiranku sehingga aku belum ingin keluar. “Tapi, Pak. Ini rumah siapa?” Aku mengedarkan pandangan ke semua sisi di luar mobil. “Rumah saya, kamu akan tinggal di sini.” Aku menggeleng cepat. “Pak Kai antar saya ke kontrakan aja, saya akan tinggal di sana," ucapku cepat. Mana mungkin aku tinggal di rumah ini. Sendirian? Dia pasti akan pulang ke rumah istrinya. Atau jangan-jangan Bu Kinan di dalam. Jika iya, Pak Kaivan mungkin akan menyekapku di sebuah ruangan gelap supaya istri pertamanya itu tidak tahu. Tidak. Lebih baik aku tinggal di kontrakanku saja. Aku tidak akan bisa tinggal bersama wanita yang menjadi kakak maduku. Lagi pula diri ini belum siap menghadapi bila tiba-tiba Bu Kinan ngamuk dan memakiku sebagai pelakor. Aku bergidik
Pak Kaivan yang sepertinya sadar dengan penolakanku menyambut tangannya, memundurkan tubuh sedikit. Ia kemudian membiarkanku melangkah lebih dulu.Aku terkesiap saat ada yang membukakan pintu untuk kami saat aku baru saja sampai di teras. Tepat di depan pintu.“Eh, sudah datang?” ucap wanita paruh baya dengan pakaian sederhana dan tertutup yang membuka pintu. Pak Kaivan yang ada di belakang, melewatiku kemudian segera menyalami wanita paruh baya itu dengan takzim. Aku pun mengikuti gerakannya meski tanda tanya bercokol di kepala tentang siapa wanita ini? Ibunyakah? Hmm ... sepertinya bukan. “Oya, Alya. Ini Bu Rumi. Sudah seperti ibu saya sendiri. Beliau yang akan menemani kamu tinggal di sini.” Pak Kaivan menatapku sepintas. Benar, 'kan? Memang bukan ibunya. Jadi, Bu Rumi yang akan menemaniku di rumah ini? Baiklah, sepertinya tidak buruk. Menurut perkiraanku Bu Rumi masih lebih muda daripada ibuku. Ah, Ibu. Aku jadi teringat, aku sudah berbohong pada Ibu dan Ayah.Pak Kaivan menye
Pria berambut lurus itu menarik tangannya kembali. Mungkin mengerti apa yang tengah kurasakan sekarang. Pria itu kemudian lanjut makan. Jika aku tidak salah hitung, dia sudah nambah dua kali. Padahal tadi bilang hanya akan mencicip dan makan di rumah. Nyicip, 'kan biasanya sedikit, ini kenapa malah nambah dua kali? Berbeda dengan aku sendiri yang baru makan tiga suap. Itu pun rasanya susah sekali menghabiskan makanan yang sudah masuk ke mulut. Entahlah, rasanya aneh sekali dengan masakan ini sebenarnya. Namun, aku merasa tidak enak hati pada Bu Rumi yang sudah susah payah memasak bila tidak memakannya. Aroma kunyit yang berasal dari bumbu pepes ikan buatan Bu Rumi ini membuat perut terasa bergejolak. Namun, aku benar-benar tidak berani berkata jujur. Selain takut wanita paruh baya itu tersinggung, aku juga takut jika Bu Rumi tahu tentang kehamilanku. Bagaimana ini? Rasanya benar-benar membuatku mual. Beberapa hari ini rasa mual yang aneh itu memang kerap datang tiba-tiba. Namun, te
"Ibu tahu ....?" Pria itu mengangguk. Seketika membuatku menghela napas panjang. “Saya nggak bisa menyimpan sendirian, Al. Ibu yang menjadi tempat saya berbagi semuanya, bahkan melebihi mama saya sendiri.”Suaranya lebih terdengar seperti keluhan. Apa tadi dia baru saja memberitahu hal pribadinya padaku?“Ya udah kamu mau makan ap—" Dering ponsel memotong ucapan pria itu.“Itu pasti Bu Kinan. Pak Kaivan pulang aja, saya udah nggak apa-apa.” Ucapanku tidak sepenuhnya bohong, karena aku memang sudah lebih baik. Aku bahkan merasa tidak nyaman berada dalam situasi ini. Rasa mual pun sudah mulai berkurang. Hanya kepala saja yang kini terasa pusing, juga perut yang kembali terasa lapar. Drama mual-mual hari ini akhirnya berakhir, setelah aku memakan sate madura gerobak yang kata Pak Kaivan mangkal tidak jauh dari rumah. Sebelumnya aku sudah mencoba memakan-makanan yang ada di rumah, tetapi terasa sia-sia setelah aku menelannya. Akhirnya pria itu pergi setelah lewat jam sepuluh malam.
Aku berbalik. "Jangan, Pak. Kasihan Bu Kinan kalau tahu Bapak--" "Alya, bisa nggak sih kamu jangan panggil saya Bapak? Saya suami kamu loh, bukan bapak kamu." Dia mengalihkan pembicaraan. Aku bergeming. Sementara dia mulai melangkah mendekat. "Kalau kamu nggak mau ke dokter nggak apa-apa. Gimana kalau kita jalan-jalan keluar?" Dia memberikan penawaran. Aku menggeleng, Aku benar-benar tidak mood untuk pergi ke mana pun. Lebih baik berdiam diri di kamar sambil menamatkan novel. Aku melengos. Melangkah meninggalkan dia yang masih berdiri di sana. "Alya." Dia meraih pergelangan tanganku. "Tolong maafkan saya." Dia berucap lagi. "Entah kenapa saya merasa kamu sedang marah sama saya." Aku nyaris tertawa. Dosen muda yang dikenal tegas dan selalu perfeksionis untuk sekian kalinya meminta maaf padaku? "Entahlah, saya merasa bersalah karena mengabaikan kamu." Dia masih memegang pergelangan tanganku. Mungkin takut aku pergi lagi. "Pak, tolong jangan gini," ucapku memohon sa
Pov Kaivan"Kapan kamu akan menceraikan Kinan, Kai?" Suara Mama yang menuntut di seberang sana cukup membuatku pusing. Mama selalu begini. Hampir setiap hari dia membahas hal itu, padahal aku tidak pernah berpikir sekali pun untuk mencari Kinan. "Mama apaan sih, pagi-pagi bahas cerai. Sudah kubilang, aku tidak akan menceraikan Kinan, Ma. Apa pun yang terjadi," tugasku. "Mama butuh cucu, Kai," selanya tak mau kalah."Iya, Kai tahu. Tapi ....""Dengar, Kai. Sampai kapan kamu mempertahankan perempuan yang tidak pernah mau memberimu keturunan, Kai?" Mama terdengar kesal. "Ma, Kinan bukan nggak mau, tapi mem–""Kenapa sih kamu nggak pernah mau dengarin Mama. Kamu benar-benar dibutakan cinta oleh Kinan. Sampai-sampai kamu nggak bisa menemukan kejelekannya." Aku tertawa lirih. Mama benar. Aku selalu melihat Kinan yang selalu sempurna. Belum ada cela yang bisa kutemukan. "Ma, beri kami waktu. Kita sedang berusaha?""Waktu? Kalian sudah menikah tujuh tahun, Kai? Mau selama apa lagi? Kamu
Pov Kaivan Aku mengerutkan dahi mendengar jawaban Kayra yang penuh dengan teka-teki. Mama cukup dekat dengan Kayra yang merupakan anak dari sahabat masa kecilnya.Mama sempat menjodohkanku dengan Kayra. Namun, kami sama-sama menolak. Karena hubungan kami murni adalah persahabatan. "Kamu terlalu percaya pada Kinan, Kay. Itu pil kontr asepsi." Setelah berkata begitu Kayra menutup telepon. Namun, kalimat terakhirnya berhasil membuatku syok. Jadi, Mama benar. Kinan bukan belum bisa hamil, tetapi memang tidak mau hamil. Kenapa Kinan harus melakukan itu? Dia tidak pernah mengatakan ingin menunda kehamilan. Dia bahkan selalu bersikap seolah-olah sama inginnya sepertiku yang rindu akan hadirnya buah hati. Lantas, kenapa dia harus mengkonsumsi pil penunda keha milan? Sejak kapan dia mengkonsumsinya? Apakah selama tujuh tahun pernikahan kami? Untuk apa?Ah, memikirkan ini kepalaku terasa ingin pecah. Kinan jelas-jelas membohongiku. Entah apa tujuannya. Tapi kebohongan ini cukup membuatku be
PoV Kaivan "Mas dari mana aja?" Kinan bersedekap menatapku saat aku baru saja membuka pintu. Matanya tak berkedip menatapku, menelusuri tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin heran melihat penampilanku yang kacau. Kemeja berantakan dan kusut, rambut yang sudah mulai gondrong tidak lagi tertata. Belum lagi wajah yang sudah pasti sama kusutnya. "Ini bukan pertama kalinya Mas pulang larut seperti ini!" Aku bergeming. Tanpa menghiraukannya aku bergegas melangkah, melewati dia yang masih dengan posisi semula. Jujur saja aku kesal. Aku lelah, mood berantakan, sampai rumah malah disambut dengan sikap ingin menghakimi darinya. Sejak kepergian Alya aku memang kerap pulang larut. Waktu yang tersisa kugunakan untuk mencarinya ke mana saja. Terkadang aku malah memilih pulang dan berdiam diri di rumah sana. Malam ini jika Bu Rumi tidak mendesakku untuk pulang, mungkin aku tidak pulang lagi. Aku seperti kehabisan akal. Orang-orang yang kukerahkan untuk mencari Alya sam
Pov AlyaTiba-tiba aku merasakan perut yang keroncongan karena tadi hanya makan sedikit sekali, tetapi rasanya seperti tidak punya selera untuk makan. Tenggorokanku juga terasa kering, tapi air mineral di meja sudah tumpah tadi masih kosong dan belum ada gantinya.Aku menatap foto baby Rayyan yang kuambil dari atas nakas. Pipinya yang merah, bulu matanya yang lentik—dia adalah salinan kecil Mas Kaivan. Tapi setelah ucapan Pak Arga tadi, keraguan mulai menyelinap, menggoyahkan keyakinan yang tadinya kokoh. [Dia benar-benar putra saya, Al. Bukan anak Kaivan.] Suara itu masih terngiang-ngiang dalam ingatan.Aku menggigit bibir sampai terasa sakit. *Tidak mungkin.* Aku ingat betul malam itu, hanya Mas Kaivan yang bersamaku. Pak Arga .... tidak mungkin .... Tapi video itu .... Dadaku sesak lagi. Aku tidak mau mengingatnya. Tidak mau. Pagi datang dengan kabut tebal di luar jendela. Aku tidak bisa tidur semalaman, hanya menatap langit-langit dengan harapan pria itu segera pulang. Na
PoV AlyaAku terbangun dengan kepala yang terasa berat, pandangan kabur, dan seluruh tubuh terasa lemas. Cahaya temaram dari lampu kamar menerangi ruangan yang sunyi. Perlahan, aku menggerakkan tubuh, merasakan dinginnya ruangan yang seakan menusuk tulang. Sepertinya ada yang tidak beres dengan tubuh ini. Mas Kaivan ....Pikiranku langsung melayang pria yang berstatus suamiju itu. Di mana dia? Kenapa tidak ada di sini? Dengan susah payah, aku bangkit dari pembaringan, tubuh gemetar menahan rasa pusing yang menusuk. Mataku langsung tertuju pada ranjang tempat Rayyan biasa terlelap dengan tenang. Namun, di sana tidak ada Rayyan. Apa Mbak Rani sudah kembali bekerja lagi?Buru-buru aku mengambil wudhu dan melaksanakan salat Maghrib yang sudah hampir di ujung waktu. Kenapa tidak ada yang membangunkanku untuk salat? Di mana sebenarnya Mas Kai?Usai salat, aku melangkah gontai ke pintu, membukanya perlahan. Suasana rumah gelap dan senyap. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Mas Kaivan. Den
"Jangan bohong, Kinan.""Ngapain bohong sih, Kak?""Ya udah, kalau gitu aku mau periksa kamar kamu." "Kalau aku gak izinin?""Artinya kamu bohong!""Terserah!" Kinan menutup pintu dengan membanting. Pintu digedor lagi, tetapi wanita itu abai. Kinan kemudian kembali naik ke atas tempat tidur. Dia mengendurkan ikatan tanganku, tetapi tidak membuka lakban di mulutku."Jangan macam-macam! Atau aku bisa lakukan apa pun pada istri dan anak kesayanganmu itu. Kamu ingat kan apa yang pernah kulakukan pada perempuan itu? Dulu dia ada yang jagain, anak buah Mama? Tapi sekarang? Tua bangka itu bahkan sudah membusuk dan dimakan cacing." Setelah berkata begitu, dia kemudian berbaring tak jauh dariku. Sepertinya dia tak berniat untuk melepaskan penutup mulutku.Aku bisa saja menggunakan kakiku untuk melakukan perlawanan padanya dan melemahkannya, terapi dia sedang mengandung. Aku masih punya hati. "Hmmmh." Aku bersuara dengan mulut masih tertutup.Dia bangkit. Lalu membuka penutup mulutku. "Tolo
PoV Kinan----"Tapi, Ki. Ini salah. Sampai kapan kamu akan menahanku seperti ini. Kita udah resmi cerai. Dan, aku punya tanggung jawab atas anak dan istriku," selorohku kesal karena wanita ini tak juga mengerti. Kinan bergeming kemudian naik lagi ke atas tempat tidur dengan santai. "Tidurlah, Mas. Ini sudah larut," ucapnya lembut.Dia benar-benar sudah gila. Bagaimana aku bisa tidur dalam keadaan seperti ini."Kinan, jangan menguji kesabaranku!" seruku penuh penekanan. "Hah? Memangnya apa yang bisa kamu lakukan kalau habis kesabaran dalam keadaanmu yang seperti itu, Mas," ejeknya sambil tersenyum miring. "Lepaskan aku, Ki. Aku benar-benar ingin ke toilet," tandasku kesal karena memang menahan air seni sejak tadi."Sudah kubilang, pake ini aja, Mas!" tegasnya sambil mengangkat pispot lagi. "Mana bisa? Tanganku gak bisa gerak leluasa karena kamu ikat.""Oke, aku bantu, ya," ucapnya tanpa beban."Apa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.Aku menepis tangannya yang nyaris me
PoV KaivanDia duduk di sisiku. Sedikit menempel pada tubuhku. Aku merasakan tubuhnya yang sedikit bersandar di tubuhku. Aku tak bisa menggeser tubuh agar sedikit menjauh darinya. Tali di kedua sisi tidak bisa ditarik lagi.Tanpa kata dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku menggerak-gerakkan bahuku agar dia mengangkat kepalanya dari sana. "Kamu tahu gak, sih. Aku udah lama nungguin masa-masa ini. Maaf untuk kesalahanku dulu, Mas." Dia berkata lagi tanpa beban. Seolah tidak sedang terjadi apa pun. "Jangan seperti ini, Ki. Lepaskan aku dan biarkan aku pergi dari sini. Kita bukan suami istri lagi, kita sudah resmi cerai." Aku mengingatkan. "Kamu benar, Mas, pengadilan sudah meresmikan perceraian kita." Dia mengelus perutnya yang buncit. "Tapi aku hamil anakmu." Dia menatapku. Ucapannya membuatku membeku untuk beberapa saat. Tidak. Kinan tidak mungkin hamil anakku. Saat bersamaku dia selalu meminum pil KB tanpa jeda setiap hari. Jadi, tidak mungkin hamil."Itu gak mungkin, kamu se
PoV KaivanSaat pintu terbuka. Aku mendapati senyum ramah yang terkesan dibuat-buat. "Masuklah, aku sudah lama menunggumu," ucapnya seakan tahu jika aku akan datang. Aku masuk ke rumah itu tanpa sepatah kata. Aku mengikuti langkahnya tanpa keraguan. Meski aku tahu, langkah Arga tak pernah bisa ditebak, tetapi aku tidak pernah takut.Kami tiba di sebuah ruangan. Di ruangan seluas dua puluh lima meter persegi itu tidak banyak furnitur dan aksesoris. Hanya ada satu meja kerja dan kursinya, satu buah sofa lengkap dengan meja kaca, juga ada satu lemari.Dia mempersilakanku duduk. Senyum tipis yang dia sunggingkan seperti tak memiliki rasa bersalah sama sekali setelah apa yang dia lakukan pada Alya hari ini. Senyum itu bagiku lebih mirip seringai seorang monster.Seorang ART mengantarkan teh hangat dan camilan di hadapanku. Arga yang duduk tak jauh dariku setelah mengambil sesuatu di atas meja kerja.Arga duduk dan mempersilakanku untuk minum. Aku meneguknya hingga separuh.“Aku tidak ing
PoV AlyaDia menatapku intens, membuatku takut. Itu tatapan paling aneh dan menakutkan yang pernah pernah kudapat darinya—selama kami beberapa kali saja berinteraksi. "Dia benar-benar putra saya, Al. Bukan anak Kaivan."Tubuhku membeku seperti baru saja tersengat listrik mendengar kalimatnya yang random. Benar-benar random dan tak masuk akal. Bagaimana dia bisa berpikir untuk mengucapkan kalimat itu. Masuk ke rumah tanpa izin saja sudah cukup membuatku kesal. Apalagi mengatakan hal menjij-kkan seperti itu. "Jangan asal bicara, Pak!" sentakku kesal. Tak peduli apa pun yang dia pikirkan.Dia menatap lemah padaku. "Saya gak asal bicara, Al. Dia memang putra saya," tegasnya lagi. Aku tak peduli. Sepertinya memang sudah tidak waras."Dasar gila! Gak waras! Pergi dari sini," umpatku kemudian karena tidak dapat lagi menahan kesal. Aku segera memutar tubuh dan dengan langkah tergesa segera menaiki tangga. Saat hampir sampai di atas, aku sedikit menarik napas lega karena dia hanya menata
PoV Alya"Pak Arga?" Aku tak dapat menyembunyikan rasa terkejutku. Buru-buru aku menutup pintu agar dia tak bisa masuk. Namun, pria menahan dengan satu kakinya, sehingga pintu tidak bisa tertutup begitu saja.Tindakannya membuat detak jantung meningkat dua kali lebih cepat. Tentu saja dia membuatku takut. Pasalnya aku hanya di rumah berdua bersama Rayyan. Mbak Rani sedang cuti. Sementara Bu Rumi sedang keluar untuk belanja bulanan."Tolong, Pak. Pergi aja dari sini." Aku memohon tanoa menatapnya."Plis, Alya. Saya hanya ingin bicara sebentar. Jika Kaivan tidak mau mendengarkan saya. Mungkin dia akan mendengarkan kamu." Suaranya rendah dan penuh permohonan. Dari suaranya terdengar terdengar tulus. Aku tidak melihat ada maksud terselubung. Namun, aku kembali ragu saat ingat kata-kata Mas Kaivan beberapa hari waktu lalu."Arga itu manipulatif, kamu jangan sampai tertipu."Aku menggeleng. "Maaf, Pak. Bapak kalau mau ketemu Mas Kaivan, datang aja ke kantornya. Jangan ke rumah ini. Saya
PoV KaivanAku mengangkat tubuhnya menjauh dari lantai yang penuh dengan pecahan kaca. Setelah mendudukkan tubuhnya di sofa, mengambilkan air minum—dia meminumnya hingga tandas, aku kembali merapikan rambutnya yang masih sedikit berantakan."Apa ini kelakuan Arga?" Aku memberanikan diri bertanya. Pelan sekali.Matanya yang sayu menatapku lemah. Bibirnya bergetar, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi ada keraguan sebagai penghalangnya. Aku juga menemukan hal lain di matanya. Seakan ada ketakutan yang tidak bisa dikatakan. Setidaknya itu yang kulihat.Aku menangkup kedua pipinya, menatap intens. “Aku tahu dia datang ke sini. Katakan, Sayang. Apa dia melakukan sesuatu yang ...."Dia menggeleng. Aku kembali merengkuhnya dalam dekapan, lalu mendaratkan beberapa kecupan di rambutnya. “Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku bertanya lagi di dalam hati."Dia .... Rayyan ...." Alya mulai bicara. “Aku takut, Mas. Rayyan .... Dia bilang Rayyan–" Kalimat terputus oleh tangisnya sendiri. Aku mengus