PoV KaivanDia duduk di sisiku. Sedikit menempel pada tubuhku. Aku merasakan tubuhnya yang sedikit bersandar di tubuhku. Aku tak bisa menggeser tubuh agar sedikit menjauh darinya. Tali di kedua sisi tidak bisa ditarik lagi.Tanpa kata dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku menggerak-gerakkan bahuku agar dia mengangkat kepalanya dari sana. "Kamu tahu gak, sih. Aku udah lama nungguin masa-masa ini. Maaf untuk kesalahanku dulu, Mas." Dia berkata lagi tanpa beban. Seolah tidak sedang terjadi apa pun. "Jangan seperti ini, Ki. Lepaskan aku dan biarkan aku pergi dari sini. Kita bukan suami istri lagi, kita sudah resmi cerai." Aku mengingatkan. "Kamu benar, Mas, pengadilan sudah meresmikan perceraian kita." Dia mengelus perutnya yang buncit. "Tapi aku hamil anakmu." Dia menatapku. Ucapannya membuatku membeku untuk beberapa saat. Tidak. Kinan tidak mungkin hamil anakku. Saat bersamaku dia selalu meminum pil KB tanpa jeda setiap hari. Jadi, tidak mungkin hamil."Itu gak mungkin, kamu se
PoV Kinan----"Tapi, Ki. Ini salah. Sampai kapan kamu akan menahanku seperti ini. Kita udah resmi cerai. Dan, aku punya tanggung jawab atas anak dan istriku," selorohku kesal karena wanita ini tak juga mengerti. Kinan bergeming kemudian naik lagi ke atas tempat tidur dengan santai. "Tidurlah, Mas. Ini sudah larut," ucapnya lembut.Dia benar-benar sudah gila. Bagaimana aku bisa tidur dalam keadaan seperti ini."Kinan, jangan menguji kesabaranku!" seruku penuh penekanan. "Hah? Memangnya apa yang bisa kamu lakukan kalau habis kesabaran dalam keadaanmu yang seperti itu, Mas," ejeknya sambil tersenyum miring. "Lepaskan aku, Ki. Aku benar-benar ingin ke toilet," tandasku kesal karena memang menahan air seni sejak tadi."Sudah kubilang, pake ini aja, Mas!" tegasnya sambil mengangkat pispot lagi. "Mana bisa? Tanganku gak bisa gerak leluasa karena kamu ikat.""Oke, aku bantu, ya," ucapnya tanpa beban."Apa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.Aku menepis tangannya yang nyaris me
"Jangan bohong, Kinan.""Ngapain bohong sih, Kak?""Ya udah, kalau gitu aku mau periksa kamar kamu." "Kalau aku gak izinin?""Artinya kamu bohong!""Terserah!" Kinan menutup pintu dengan membanting. Pintu digedor lagi, tetapi wanita itu abai. Kinan kemudian kembali naik ke atas tempat tidur. Dia mengendurkan ikatan tanganku, tetapi tidak membuka lakban di mulutku."Jangan macam-macam! Atau aku bisa lakukan apa pun pada istri dan anak kesayanganmu itu. Kamu ingat kan apa yang pernah kulakukan pada perempuan itu? Dulu dia ada yang jagain, anak buah Mama? Tapi sekarang? Tua bangka itu bahkan sudah membusuk dan dimakan cacing." Setelah berkata begitu, dia kemudian berbaring tak jauh dariku. Sepertinya dia tak berniat untuk melepaskan penutup mulutku.Aku bisa saja menggunakan kakiku untuk melakukan perlawanan padanya dan melemahkannya, terapi dia sedang mengandung. Aku masih punya hati. "Hmmmh." Aku bersuara dengan mulut masih tertutup.Dia bangkit. Lalu membuka penutup mulutku. "Tolo
"Saya tahu ini adalah kesalahan besar, tapi saya harap kamu bisa melupakan malam ini. Anggap yang telah terjadi tidak pernah terjadi." Pria berusia matang itu bersuara. Berat. Dia terburu-buru mengenakan kembali semua pakaiannya. Wajahnya masam karena sebuah petaka besar yang baru saja menimpa kami.Sementara aku duduk di tepi ranjang. Beberapa saat menatap pria itu, lalu membuang muka. Mendadak aku muak dengan orang yang kukagumi sejak resmi menjadi mahasiswi.Siang kemarin, aku baru saja memuji kewibaannya. Semua peserta seminar pasti terkagum-kagum setiap dosen itu menjadi nara sumber. Karena setiap Kaivan Satria Aksa mengisi pasti bahan yang disampaikan sangat berbobot untuk para mahasiswa. Sehingga seminar yang diisi dengan Kaivan Satria Aksa sebagai narasumbernya tidak pernah sepi peserta. Bimbingan skripsi yang harusnya membawaku pada pintu kelulusan, siapa sangka justru membawaku pada petaka yang tak 'kan pernah kulupakan seumur hidup.Aku masih bergeming. Meresapi penyesalan
Entah kenapa aku muak melihat pria yang berusia sebaya dengan Pak Kaivan itu. Dia tidak sendiri. Dua orang lainnya berdiri di belakangnya layaknya bodyguard."Hai, kamu!" Kini ekor matanya beralih padaku yang berdiri di belakang punggung Pak Kaivan."Ayam kampus!" ejeknya sambil tersenyum miring. Dia maju beberapa langkah untuk mendekatiku. Namun, Pak Kaivan menggeser tubuhnya menghadang pria itu."Bukankah kita sudah janjian sebelumnya? Tapi di sini rupanya kamu!" Dia masih tak menyerah. Ya, dia memang Pak Arga. Dosen pembimbing skripsi yang membuatku tersesat di sini. Entah kenapa aku yakin jika dia sengaja memberiku nomor kamar yang salah. Jangan ditanya bagaimana keadaanku sekarang, rasanya seperti tak bermalu lagi."Bisakah kau berhenti melibatkan orang lain dalam masalah kita, Ga?" tekan Pak Kaivan dengan suara berat.Pak Arga menyeringai lagi. "Sayangnya tidak. Tidak akan seru jika kita hanya bermain berdua, Kai." Dia menjawab santai."Ssst." Pak Arga setengah menoleh menatap
"Terima kasih, tidak membuat keluarga saya curiga dengan pernikahan kita," ucapku saat kami memulai perjalan untuk kembali ke Jakarta. Jujur saja rasa canggung sedikit terselip dalam kalimat itu. Kata ‘kita’ di dalam kalimat itulah yang menjadi penyebabnya. Pasalnya aku tahu, kami menikah bukan karena cinta. Bahkan aku merasa seperti menjadi simpanan sekarang. Bedanya, jika wanita simpanan lain merasa disayangi dan diperlakukan lebih daripada istri sah, aku justru merasa bersyukur sudah dinikahi. Aku cukup tahu diri untuk meminta banyak hal dari Pak Kaivan.Ya, akhirnya pernikahan yang tak diinginkan itu terjadi. Tragedi di malam itu benar-benar menyisakan bekasdan menghadirkan kehidupan kecil di rahimku.Sesaat, aku merasa dunia seakan berhenti saat sadar jika kehamilan itu terjadi. Aku seperti berada relung bumi yang paling dasar.“Sejak malam itu saya merasa, kalau kamu adalah tanggung jawab saya. Tanggung jawab saya menjaga nama baik kamu, di depan keluarga kamu sendiri.” Tid
“Ayo turun,” ucap pria itu lirih seraya menoleh padaku. Aku hanya setengah menoleh padanya, tanpa suara dan gerakan yang lain. “Alya, kita sudah sampai. Turunlah," ulangnya lagi. Bisa kudengar embusan napas dalamnya. Ada hal yang mengganggu pikiranku sehingga aku belum ingin keluar. “Tapi, Pak. Ini rumah siapa?” Aku mengedarkan pandangan ke semua sisi di luar mobil. “Rumah saya, kamu akan tinggal di sini.” Aku menggeleng cepat. “Pak Kai antar saya ke kontrakan aja, saya akan tinggal di sana," ucapku cepat. Mana mungkin aku tinggal di rumah ini. Sendirian? Dia pasti akan pulang ke rumah istrinya. Atau jangan-jangan Bu Kinan di dalam. Jika iya, Pak Kaivan mungkin akan menyekapku di sebuah ruangan gelap supaya istri pertamanya itu tidak tahu. Tidak. Lebih baik aku tinggal di kontrakanku saja. Aku tidak akan bisa tinggal bersama wanita yang menjadi kakak maduku. Lagi pula diri ini belum siap menghadapi bila tiba-tiba Bu Kinan ngamuk dan memakiku sebagai pelakor. Aku bergidik
Pak Kaivan yang sepertinya sadar dengan penolakanku menyambut tangannya, memundurkan tubuh sedikit. Ia kemudian membiarkanku melangkah lebih dulu.Aku terkesiap saat ada yang membukakan pintu untuk kami saat aku baru saja sampai di teras. Tepat di depan pintu.“Eh, sudah datang?” ucap wanita paruh baya dengan pakaian sederhana dan tertutup yang membuka pintu. Pak Kaivan yang ada di belakang, melewatiku kemudian segera menyalami wanita paruh baya itu dengan takzim. Aku pun mengikuti gerakannya meski tanda tanya bercokol di kepala tentang siapa wanita ini? Ibunyakah? Hmm ... sepertinya bukan. “Oya, Alya. Ini Bu Rumi. Sudah seperti ibu saya sendiri. Beliau yang akan menemani kamu tinggal di sini.” Pak Kaivan menatapku sepintas. Benar, 'kan? Memang bukan ibunya. Jadi, Bu Rumi yang akan menemaniku di rumah ini? Baiklah, sepertinya tidak buruk. Menurut perkiraanku Bu Rumi masih lebih muda daripada ibuku. Ah, Ibu. Aku jadi teringat, aku sudah berbohong pada Ibu dan Ayah.Pak Kaivan menye
"Jangan bohong, Kinan.""Ngapain bohong sih, Kak?""Ya udah, kalau gitu aku mau periksa kamar kamu." "Kalau aku gak izinin?""Artinya kamu bohong!""Terserah!" Kinan menutup pintu dengan membanting. Pintu digedor lagi, tetapi wanita itu abai. Kinan kemudian kembali naik ke atas tempat tidur. Dia mengendurkan ikatan tanganku, tetapi tidak membuka lakban di mulutku."Jangan macam-macam! Atau aku bisa lakukan apa pun pada istri dan anak kesayanganmu itu. Kamu ingat kan apa yang pernah kulakukan pada perempuan itu? Dulu dia ada yang jagain, anak buah Mama? Tapi sekarang? Tua bangka itu bahkan sudah membusuk dan dimakan cacing." Setelah berkata begitu, dia kemudian berbaring tak jauh dariku. Sepertinya dia tak berniat untuk melepaskan penutup mulutku.Aku bisa saja menggunakan kakiku untuk melakukan perlawanan padanya dan melemahkannya, terapi dia sedang mengandung. Aku masih punya hati. "Hmmmh." Aku bersuara dengan mulut masih tertutup.Dia bangkit. Lalu membuka penutup mulutku. "Tolo
PoV Kinan----"Tapi, Ki. Ini salah. Sampai kapan kamu akan menahanku seperti ini. Kita udah resmi cerai. Dan, aku punya tanggung jawab atas anak dan istriku," selorohku kesal karena wanita ini tak juga mengerti. Kinan bergeming kemudian naik lagi ke atas tempat tidur dengan santai. "Tidurlah, Mas. Ini sudah larut," ucapnya lembut.Dia benar-benar sudah gila. Bagaimana aku bisa tidur dalam keadaan seperti ini."Kinan, jangan menguji kesabaranku!" seruku penuh penekanan. "Hah? Memangnya apa yang bisa kamu lakukan kalau habis kesabaran dalam keadaanmu yang seperti itu, Mas," ejeknya sambil tersenyum miring. "Lepaskan aku, Ki. Aku benar-benar ingin ke toilet," tandasku kesal karena memang menahan air seni sejak tadi."Sudah kubilang, pake ini aja, Mas!" tegasnya sambil mengangkat pispot lagi. "Mana bisa? Tanganku gak bisa gerak leluasa karena kamu ikat.""Oke, aku bantu, ya," ucapnya tanpa beban."Apa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.Aku menepis tangannya yang nyaris me
PoV KaivanDia duduk di sisiku. Sedikit menempel pada tubuhku. Aku merasakan tubuhnya yang sedikit bersandar di tubuhku. Aku tak bisa menggeser tubuh agar sedikit menjauh darinya. Tali di kedua sisi tidak bisa ditarik lagi.Tanpa kata dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku menggerak-gerakkan bahuku agar dia mengangkat kepalanya dari sana. "Kamu tahu gak, sih. Aku udah lama nungguin masa-masa ini. Maaf untuk kesalahanku dulu, Mas." Dia berkata lagi tanpa beban. Seolah tidak sedang terjadi apa pun. "Jangan seperti ini, Ki. Lepaskan aku dan biarkan aku pergi dari sini. Kita bukan suami istri lagi, kita sudah resmi cerai." Aku mengingatkan. "Kamu benar, Mas, pengadilan sudah meresmikan perceraian kita." Dia mengelus perutnya yang buncit. "Tapi aku hamil anakmu." Dia menatapku. Ucapannya membuatku membeku untuk beberapa saat. Tidak. Kinan tidak mungkin hamil anakku. Saat bersamaku dia selalu meminum pil KB tanpa jeda setiap hari. Jadi, tidak mungkin hamil."Itu gak mungkin, kamu se
PoV KaivanSaat pintu terbuka. Aku mendapati senyum ramah yang terkesan dibuat-buat. "Masuklah, aku sudah lama menunggumu," ucapnya seakan tahu jika aku akan datang. Aku masuk ke rumah itu tanpa sepatah kata. Aku mengikuti langkahnya tanpa keraguan. Meski aku tahu, langkah Arga tak pernah bisa ditebak, tetapi aku tidak pernah takut.Kami tiba di sebuah ruangan. Di ruangan seluas dua puluh lima meter persegi itu tidak banyak furnitur dan aksesoris. Hanya ada satu meja kerja dan kursinya, satu buah sofa lengkap dengan meja kaca, juga ada satu lemari.Dia mempersilakanku duduk. Senyum tipis yang dia sunggingkan seperti tak memiliki rasa bersalah sama sekali setelah apa yang dia lakukan pada Alya hari ini. Senyum itu bagiku lebih mirip seringai seorang monster.Seorang ART mengantarkan teh hangat dan camilan di hadapanku. Arga yang duduk tak jauh dariku setelah mengambil sesuatu di atas meja kerja.Arga duduk dan mempersilakanku untuk minum. Aku meneguknya hingga separuh.“Aku tidak ing
PoV AlyaDia menatapku intens, membuatku takut. Itu tatapan paling aneh dan menakutkan yang pernah pernah kudapat darinya—selama kami beberapa kali saja berinteraksi. "Dia benar-benar putra saya, Al. Bukan anak Kaivan."Tubuhku membeku seperti baru saja tersengat listrik mendengar kalimatnya yang random. Benar-benar random dan tak masuk akal. Bagaimana dia bisa berpikir untuk mengucapkan kalimat itu. Masuk ke rumah tanpa izin saja sudah cukup membuatku kesal. Apalagi mengatakan hal menjij-kkan seperti itu. "Jangan asal bicara, Pak!" sentakku kesal. Tak peduli apa pun yang dia pikirkan.Dia menatap lemah padaku. "Saya gak asal bicara, Al. Dia memang putra saya," tegasnya lagi. Aku tak peduli. Sepertinya memang sudah tidak waras."Dasar gila! Gak waras! Pergi dari sini," umpatku kemudian karena tidak dapat lagi menahan kesal. Aku segera memutar tubuh dan dengan langkah tergesa segera menaiki tangga. Saat hampir sampai di atas, aku sedikit menarik napas lega karena dia hanya menata
PoV Alya"Pak Arga?" Aku tak dapat menyembunyikan rasa terkejutku. Buru-buru aku menutup pintu agar dia tak bisa masuk. Namun, pria menahan dengan satu kakinya, sehingga pintu tidak bisa tertutup begitu saja.Tindakannya membuat detak jantung meningkat dua kali lebih cepat. Tentu saja dia membuatku takut. Pasalnya aku hanya di rumah berdua bersama Rayyan. Mbak Rani sedang cuti. Sementara Bu Rumi sedang keluar untuk belanja bulanan."Tolong, Pak. Pergi aja dari sini." Aku memohon tanoa menatapnya."Plis, Alya. Saya hanya ingin bicara sebentar. Jika Kaivan tidak mau mendengarkan saya. Mungkin dia akan mendengarkan kamu." Suaranya rendah dan penuh permohonan. Dari suaranya terdengar terdengar tulus. Aku tidak melihat ada maksud terselubung. Namun, aku kembali ragu saat ingat kata-kata Mas Kaivan beberapa hari waktu lalu."Arga itu manipulatif, kamu jangan sampai tertipu."Aku menggeleng. "Maaf, Pak. Bapak kalau mau ketemu Mas Kaivan, datang aja ke kantornya. Jangan ke rumah ini. Saya
PoV KaivanAku mengangkat tubuhnya menjauh dari lantai yang penuh dengan pecahan kaca. Setelah mendudukkan tubuhnya di sofa, mengambilkan air minum—dia meminumnya hingga tandas, aku kembali merapikan rambutnya yang masih sedikit berantakan."Apa ini kelakuan Arga?" Aku memberanikan diri bertanya. Pelan sekali.Matanya yang sayu menatapku lemah. Bibirnya bergetar, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi ada keraguan sebagai penghalangnya. Aku juga menemukan hal lain di matanya. Seakan ada ketakutan yang tidak bisa dikatakan. Setidaknya itu yang kulihat.Aku menangkup kedua pipinya, menatap intens. “Aku tahu dia datang ke sini. Katakan, Sayang. Apa dia melakukan sesuatu yang ...."Dia menggeleng. Aku kembali merengkuhnya dalam dekapan, lalu mendaratkan beberapa kecupan di rambutnya. “Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku bertanya lagi di dalam hati."Dia .... Rayyan ...." Alya mulai bicara. “Aku takut, Mas. Rayyan .... Dia bilang Rayyan–" Kalimat terputus oleh tangisnya sendiri. Aku mengus
PoV Kaivan "Nah, Pak Kaivan, bagaimana perasaan Anda sekarang? Apakah Anda merasa ada perubahan dalam diri Anda setelah sesi terapi kali ini?" tanya dr. Arsyinta, Sp.KJ seraya menatap ramah. Aku mengembuskan napas perlahan setelah amenghirupnya dalam-dalam. "Alhamdulillah, saya merasa lebih rileks dan tenang. Saya juga merasa lebih siap untuk menghadapi masalah yang ada." "Itu bagus. Sesi hipnoterapi ini dapat membantu Anda mengakses pikiran bawah sadar dan mengubah pola pikir yang tidak sehat. Apakah Anda ingat apa yang terjadi selama sesi hipnoterapi?" tanyanya lagi. "Saya ingat bahwa saya merasa sangat santai dan dapat memvisualisasikan diri saya dalam situasi yang positif. Saya juga merasa bahwa saya dapat melepaskan beban emosi yang saya rasakan sebelumnya." Dia mengangguk kemudian tersenyum tipis. Wanita yang aku perkirakan mendekati usia kepala lima itu kemudian mencatat sesuatu di buku kecil catatan diagnosis psikiatri milikku. "Sepertinya tadi ada telepon penting
PoV Alya---"Maafin aku, Sayang. Maaf." Dia menciumi tanganku. Aku bergeming. Masih butuh waktu untuk menerima apa yang baru saja terjadi."Aku gak bermaksud untuk menyakiti kamu. Maaf, aku gak bisa mengendalikan diri." Aku merasakan hangat menyentuh punggung tangan. Ternyata air matanya menetes di sana. Namun, dia malah mengangkat tangannya untuk menyeka bulir mata di pipiku."Maaf, Sayang. Maafin aku," ucapnya lagi. "Aku benar-benar kalut tadi."Tak mendapatkan jawaban, dia merebahkab kepalanya di atas pahaku. "Tolong, Al. Jangan seperti ini," ucapnya cemas. “Plis, apa pun yang terjadi, jangan pernah temui dia lagi, Al. Aku benar-benar gak mau kita bermasalah dengan dia lagi. Kamu tahu, dia mengambil semua milikku. Aku gak mau dia ambil kamu juga. Kamu dan Rayyan. Hanya kalian berdua yang kumiliki sekarang."Aku menyentuh kepalanya, kemudian memberikan belaian halus di sana. "